Sunday, 31 December 2017

PEWAKTU

Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Selalu bergerak
Terus berdetak

Derak langkahnya memutari cakrawala
Jejak jemarinya menelusuri masa
Berjalan dalam pusara zaman
Menyusur di sepanjang peradaban

Merenda selaksa jingga di langit pagi
Menjuntai takzim pada rona lembayung di ujung hari
Merajut kisah bersama bias cahaya di kaki purnama
Menjumput hikmah pada pijar bebintang di angkasa

Mencicipi lezatnya sukacita
Menyibak pilunya dukacita
Menemani berbagai berita
Melakoni beribu-ribu cerita

Tik tok tik tok
Tik tok tik tok
Dalam kesendirian ia bersuara
Pewaktu yang terus berbicara.

***
Malang, 31.12.2017
sang tenang
Readmore → PEWAKTU

Sunday, 24 December 2017

NYANYIAN HATI DI MALAM KUDUS

Hari ini, 24 Desember 2017, di Frateran Celaket 21 Malang, kami merayakan HUT frater Fransisikus dengan makan siang bersama. Di tengah menikmati santapan jasmani dalam suasana persaudaraan itu, seorang konfrater berkomentar soal misa malam Natal nanti. Tentang posisi yang perlu diperhatikan. Maksudnya, harus datang lebih awal agar bisa duduk di dalam gereja saat mengikuti misa, bukan di luar karena gereja sudah penuh.
Menanggapi komentar itu, saya memberi respon bahwa yang paling penting dalam mengikuti misa bukan tentang posisi duduk tetapi soal "posisi" hati. Ini soal keberadaan hati atau fokus dan perhatian selama mengikuti misa. Bisa saja seseorang duduk di dalam gereja tapi hatinya melalang buana ke mana-mana. Atau sebaliknya, dia duduk di luar tetapi dengan tekun mengikuti misa. Jadi poinnya bukan tentang tempat duduk tetapi di mana hati kita ditempatkan selama misa berlangsung.
Untuk menindaklanjuti soal itu, pukul 18.00 saya sudah berjubah lengkap hendak menuju gereja Katedral Malang untuk mengikuti misa ke-2 malam Natal yang dimulai pada pukul 19.00. Satu jam lebih dahulu saya sudah siap agar bisa mendapatkan tempat duduk di dalam gereja. Itu rencana saya. Namun, di depan kamar, saya bertemu seorang frater yang mau ke gereja juga. Tetapi dia akan misa malam Natal di sebuah kapel stasi. Saat diajak, saya turuti saja dia. Sepertinya menarik suasana di sana, demikian batin saya. Itu juga yang menjadi alasan saya mau ke kapel kecil di pinggir kota Malang itu. Jadilah malam Natal 2017 ini saya mengikuti misa di Kapel Stasi St. Theresia Lisieux, Gempol Marga Bakti, Sukun, Malang.
Suasananya memang tenang. Dekorasi dengan ornamen-ornamen Natal yang sederhana. Tidak ada hingar bingar lampu seperti di gereja-gereja besar. Anggota koor membawakan lagu dengan baik dan indah didengar. Pastor pemimpin misa kudus menjalankan tugasnya dengan kalem dan membawa homili yang sederhana dan mudah dicerna. Umat-umat berpenampilan sederhana dengan khusyuk mengikuti misa. "Dia yang memiliki segalanya dilahirkan di tempat yang sederhana," demikian kata sang imam sungguh senada dengan suasana di kapel kecil pada malam Natal ini.
Misa malam Natal di stasi dari paroki Hati Kudus Yesus Kayutangan Malang ini sungguh membuat saya menikmati suasananya dan turut membantu saya untuk menempatkan hati sesuai posisi yang semestinya.
Selamat Natal 2017. Damai dan Sukacita Kristus menyertai kita. Amin.

Malang, 24.12.17
Walter Arryano
sang tenang
Readmore → NYANYIAN HATI DI MALAM KUDUS

Friday, 22 December 2017

MERAYAKAN HARI IBU

Selama 2011-2015, setiap merayakan Hari Ibu yang jatuh pada 22 Desember, ternyata saya selalu memposting status di wall facebook saya:

2015
Untuk seorang perempuan yang rahimnya pernah kusinggahi, kukirimkan doa untuk ketenangan jiwamu, rindu untuk semua cerita tentang kita, dan salam baktiku bagi cinta luhur nan abadi pemberianmu.
Semoga bahagiamu abadi bersama Dia yang mengasihimu di surga-Nya.

#rindumama
***

2014
Dan ketika semua lidah mengakui bahwa ibu adalah wanita terhebat,
hatiku terenyuh manatap langit. Seutas tanya bernada protes pun terlontar, "Sungguhkah kau wanita terhebat, ibu?"
Entah apa pun jawabannya.
Yang kutahu bahwa ibu adalah malaikat yang setia menunggu kami di atas sana.

Tuhan, sampaikan salam sayang dan rindu kami untuk mama di surga.
***

2013
Karena membaca surat-surat Cinta untuk Ibu di koran Jawa Pos, jadi kangen ibuku di surga.

Ma,  apa kabar?
Baik-baik saja kan di sana?

Ma, kalau boleh sekali aja datang dalam mimpiku.
Aku hanya mau mengatakan ini, "aku rindu memeluk dan dipeluk mama".
Tapi jika Tuhan tidak mengijinkan mama,  biarlah rasa rindu ini menjadi doaku buat mama seperti mama yang tak kunjung henti berdoa buat kami, anak-anak mama.

Salam sayang dan rinduku buat mama.
***

2012
Selamat hari ibu untuk mama di surga.

Baik-baik yah, ma.
Salam rindu dan doaku.
***

2011
Kasih ibu sejauh cintanya.
Selamat hari ibu.
***

Tahun ini saya menulis 10 HAIKU dengan kata kunci HARI IBU:

#1
seuntai doa
terucap di pusara
di hari ibu
#2
pigura ibu
retak di hari ibu
kisah yang sedih
#3
di hari ibu
menuju pemakaman
membawa rindu
#4
derak sepeda
bawa kabar gembira
di hari ibu
#5
di foto usang
tertulis hari ibu
kenangan indah
#6
di hari ibu
roda keliling panti
bakti sang anak
#7
sebuket mawar
mekar di hari ibu
bingkisan cinta
#8
semerbak bunga
harum di pemakaman
di hari ibu
#9
cahaya lilin
terang di hari ibu
ibadat arwah
#10
tangan mengatup
sungkem di hari ibu
hormat ananda

Haiku-haiku itu saya tulis sebagian besar berangkat dari pengalaman pribadi. Sejak 17/12 sampai hari ini, ada lebih dari seribu haiku tentang ibu yang diposting di grup NEWHAIKU, 10 di antaranya merupakan karya saya. Luar biasa responsnya.

Tentang IBU, selalu ada inspirasi untuk ditulis dan diceritakan!

Malang, 22 Desember 2017
Di Hari Ibu
Walter Arryano
sang tenang
Readmore → MERAYAKAN HARI IBU

Thursday, 21 December 2017

YUBILARIS DALAM KENANGAN

Hari ini Frater M. Bartholomeus, BHK merayakan 50 tahun membiara dalam Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Profisiat dan selamat berbahagia!

Pada 2005-2007, sekitar 12 tahun lalu, saya berjumpa pertama kali dengan beliau di Novisiat Malang. Selama dua tahun saya sebagai novis, beliau turut membantu sebagai pengajar dan staf formator. Beliau mendampingi kami melalui pelajaran Dinamika Hidup Doa dengan properti yang biasa dipakai untuk praktek berdoa yaitu dengklik. Saya masih ingat dengan sangat baik rupa dan cara menggunakannya. Berdasarkan ingatan saya, ada dua pengalaman yang masih terekam dengan baik dalam memori saya.

Pertama, saat kami dituntun untuk merenungkan siapa saja yang turut membantu perjalanan panggilan kami masing-masing. Saat itu saya disadarkan bahwa ternyata Tuhan memanggil saya melalui seorang teman. Dia adalah teman SD saya yang sering tidak cocok dengan saya. Kelas 6 SD kami satu sekolah, waktu SMP lain sekolah, dan kami bersama lagi waktu di SMAK Frateran Ndao. Cerita selanjutnya tentang perjalanan panggilan saya justru bermula dari teman yang menjadi musuh masa kecilku ini. Saya mengenal frater BHK melaluinya. Kami sempat bersama sekitar 6 bulan di Postulat Maumere. Setelah itu dia pulang dan saya melanjutkan pilihan hidup sebagai seorang frater BHK sampai hari ini. Dia seperti Yohanes Pembaptis yang membawa saya ke jalan panggilan ini, setelah itu dia mundur dan biarkan saya terus melangkah. Kesadaran ini saya alami waktu di Novisiat saat renungan yang dipimpin oleh fr. Barth.

Kedua, saat kami dituntun untuk merenungkan sebuah lagu yang berjudul Kutak Dapat Berjalan Sendiri. Lagu itu dipedengarkan kepada kami. Lalu kami disuruh berjalan dengan kedua mata ditutup sapu tangan mengelilingi kelas, tempat latihan rohani itu dilakukan. Lagu masih di pertengahan tiba-tiba air mata saya tak kuasa terbendung lagi. Saya membayangkan apa jadinya kalau hidup saya tanpa indera penglihatan. Sejak lahir sampai hari ini, saya hidup dengan satu mata yang berfungsi secara normal. Sebelah kirinya tidak bisa melihat dengan baik. Tetapi saya masih bisa melihat dunia ini dengan segala keindahannya. Saya masih lebih beruntung dibandingkan dengan mereka yang sungguh tak dapat melihat. Sejak saat itu saya belajar menerima diri. Saya merasa lebih bersyukur dengan keadaan diri saya. Orang yang berperan di balik pengalaman saya ini adalah fr. Barth.

Untuk itu, di hari istimewa dalam perjalanan hidup panggilannya sebagai Frater BHK, sekali lagi saya mengucapkan selamat berbahagia. Terima kasih atas teladan kesetiaan yang telah diberikan kepada kami yang sedang berjuang dalam komunitas persaudaraan ini. Tetap sehat dan semoga selalu gembira menikmati masa senja ini.

Malang, 21-12-17
Walter Arryano
sang tenang
Readmore → YUBILARIS DALAM KENANGAN

Tuesday, 12 December 2017

TONTONAN YANG MENGUBAH

biarkan pena berbicara
Terlahir sebagai anak semata wayang dalam keluarga berada, apa yang masih kurang bagi hidupku? Segala sesuatunya dengan mudah kudapatkan. Tinggal bilang, pasti akan dipenuhi oleh ayah atau ibuku. Ada sekian banyak temanku di sekolah yang mengalami kesulitan: biaya uang sekolah, beli buku-buku dan perlengkapan sekolah, uang jajan, uang kegiatan, dan sebagainya. Aku tak sedikitpun merasakan hal itu. Hidupku bagai berenang di samudera kekayaan. Aku bergelimang harta. Aku memiliki apa saja yang kuinginkan.
Kemarin sore dalam perjalanan pulang dari sekolah, aku memberitahu ibuku supaya membeli sepatu baru untuk menggantikan sepatu lama yang kupakai tiga bulan terakhir ini. Aku sudah tidak nyaman lagi memakai alas kaki yang terlihat kusam itu. Biasanya ibu tidak banyak omong saat kuutarakan keinginanku. Tetapi kali ini tidak seperti biasanya. Entah kenapa, ibuku tidak segera memenuhi permintaanku.
Malam terus bergerak. Di luar hujan belum reda sejak sore tadi. Ibu dan ayah sedang duduk bersama, menonton TV ketika aku ikut bergabung setelah membaca buku untuk pelajaran besok kutandaskan. "Ma, mana sepatuku?" Pertanyaanku membuyarkan kosentrasi ayah dan ibuku yang sedang melihat tayangan reality show yang rupanya inspiratif itu. "Sayang, maaf yah. Mama belum sempat beli. Mama janji, besok pulang jemput adek di sekolah, kita langsung ke toko sepatu yah." Kata ibuku sambil mengelus-elus pundakku. Lalu ibuku masih menjelaskan kenapa permintaanku kali ini tidak segera terpenuhi dengan beberapa alasan yang memang benar adanya. Aku tidak mau tahu dengan apapun alasan ibu. Aku terus-menerus berteriak, menuntut keinginanku. Walaupun ayah ikut menenangkanku tapi aku masih terus menuntut. Di tengah suasana gundah yang menyelimuti hatiku, tiba-tiba mataku melihat tayangan di TV. Aku tertarik untuk memperhatikan tontonan yang sedari tadi dilihat oleh kedua orangtuku itu. Seorang anak berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Dua kruk mengapit di kedua ketiaknya. Saat mataku berpaling, ingin mendapatkan jawaban di mata ibuku, aku menemukan makna di balik binar cahaya wanita lemah lembut itu. Seketika tanpa sadar mulutku lalu berucap, "Mama nggak usah beli sepatu baru dulu yah. Sepatu adek yang itu masih bagus." Entah kekuatan dari mana yang mendorongku mengatakan itu. Tatapan penuh kasih merona di wajah perempuan 32 tahun yang duduk di sampingku, menyempurnakan biasan roman muka penuh penghargaan lelaki penyabar yang selama ini kupanggil papa. "Seharusnya aku lebih banyak bersyukur karena sudah punya segalanya," kataku dalam diam yang tak biasa.

Malang, Desember 2017
sang tenang
Readmore → TONTONAN YANG MENGUBAH

Sunday, 10 December 2017

KAUL JOMBLO

Di sebuah ruang kelas di Sekolah Dasar sedang ada pelajaran muatan lokal sekolah. Ini pelajaran khusus untuk mengenal tarekat religius pemilik sekolah tersebut. Hari itu mereka belajar tentang tiga macam kaul yang diikrarkan oleh seorang biarawan. Pelajaran berjalan baik bersama seorang guru muda yang adalah seorang frater yang sudah mengikrarkan kaul-kaul tersebut. Jadi materi pelajaran ini tidak lain adalah bagian dari cara hidupnya yang diceritakan kepada anak didiknya.
"Salah satu contoh penghayatan kaul kemurnian bagi seorang frater biarawan adalah selibat atau hidup tidak menikah." Demikian sang guru menguraikan contoh dari salah satu dari ketiga kaul tersebut yang diikuti dua contoh untuk dua kaul yang lain. Anak-anak antusias mendengarkan apalagi saat sang guru menambahkan embel-embel di belakang penjelasannya menggunakan istilah anak-anak zaman ini yaitu “jomblo” untuk menyederhanakan maksud dari selibat. "Selibat atau hidup yang tidak menikah artinya seorang frater akan menjadi jomblo sepanjang masa," demikian katanya. Pelajaran hari itu diakhiri dengan mengagendakan ulangan pada pertemuan berikutnya.
Seminggu kemudian, saat itu malam masih di jalan menuju puncaknya. Seserpih bulan bertengger di pucuk cemara. Redup temarannya mengundang seekor tokek  bersuara nyaring di pojok taman. Di meja kerjanya seorang frater senyam-senyum sendiri di tengah kesibukannya mengoreksi hasil ulangan murid-muridnya. Di bawah soal, tuliskan tiga macam kaul, ada seorang anak yang menjawab: kaul ketaatan, kaul kemiskinan, dan kaul jomblo. "Selalu ada kejutan bagi seorang pendidik. Itulah indahnya menjadi seorang guru SD," gumamnya lirih.

Malang, November 2017
sang tenang
Readmore → KAUL JOMBLO

Saturday, 2 December 2017

MURID CANTIK BERNAMA CLARA

Namanya frater Kevin. Dia adalah seorang frater muda kelahiran Ende, Flores, NTT yang saat ini berdomisili di kota Malang, Jawa Timur. Sejak Juli 2016, dia bersama delapan orang teman angkatannya berada di kota dingin nan sejuk ini untuk menjalani masa formasio menjadi anggota sebuah tarekat religius. Mulai Juli tahun ini, mereka menyebar ke biara-biara kongregasinya untuk hidup dan mengalami secara langsung dinamika kehidupan real komunitas biara dan karya pelayanannya. Program kegiatan yang disebut dengan stage ini merupakan tahapan pembinaan sebelum mereka benar-benar siap dan mantap untuk menjadi seorang frater. Sejak dua bulan yang lalu, fr. Kevin bergabung bersama kami di sekolah yang menjadi salah satu unit karya tarekatnya ini.
Ini adalah hari terakhir kebersamaan kami di sekolah ini. Masa stage fr. Kevin sudah berakhir. Bersama teman-teman angkatannya, dia akan kembali ke novisiat, tempat di mana selama ini mereka tinggal dan menjalani masa pendidikan dan pembinaan untuk menjadi seorang biarawan tersebut. Waktunya memang hanya dua bulan di tempat kami, tetapi dia sudah mampu memberikan kesan at home di hati putra-putri, peserta didik di sekolah ini secara umum dan murid-murid kelas 1A secara khusus. Salah seorang murid itu adalah Clara. Murid cantik bertubuh proposional ini terkenal dengan cerewetnya dan agak tomboi. Hal itulah yang menyebabkan Clara sering mendapat perhatian ekstra dari "guru praktek" ini. Seringkali fr. Kevin meneriakinya agar kelas berjalan tertib selama pelajaran berlangsung. Mungkin hal inilah yang membuat frater yang berstatus sebagai novis ini menjadi "istimewa" bagi Clara.
Seremoni perpisahan berlangsung lancar. Acara singkat yang diadakan untuk melepas-pergikan fr. Kevin berjalan baik. Penyampaian pesan dan kesan oleh frater bertubuh langsing di hadapan seluruh peserta didik itu sejenak terjadi, kemudian disusul sambutan singkat oleh pimpinan sekolah. Walaupun terlihat sederhana tetapi cukup memberi makna bagi perjalanan hidup panggilannya. Pihak sekolah melalui seluruh warganya memberi salam perpisahan sekaligus doa dan dukungan bagi kesetiaan calon frater ini. "Heiiii, anak siapa itu yang nangis?" teriak seorang ibu, menggoda putrinya sendiri yang saat itu menangis sembari memeluk seorang guru berjubah putih. Anak itu adalah si cantik Clara yang tidak ingin berpisah dari fraternya, padahal waktu sekolah sudah usai dan ibunya sudah datang menjemputnya. Sang ibu berusaha membujuk putrinya dan berjanji akan menemani dia mengujungi fr. Kevin suatu hari nanti. Perpisahan yang memilukan hati itu terjadi di depan mataku, frater senior yang hampir tiga tahun menyandang predikat guru bagi anak-anak di SD ini. Aku terkesan dengan kejadian sederhana yang melibatkan seorang frater novis yang berada jauh di bawahku baik dari segi usia maupun masa hidup membiaranya. "Terima kasih, saudaraku. Frater telah memberi contoh bagaimana menjadi seorang guru dan frater yang dicintai murid-muridnya," kata batinku dalam diamnya. Setitik rinai membentur di lantai paving halaman sekolah. Hujan segera tiba. Sebelum hujan haru atas teladan hebat di hadapanku ini membanjiri bola mataku, aku mengayunkan langkah membiarkan fr. Kevin dan Clara mengakhiri kebersamaan mereka di siang yang semakin remang itu.

Malang, 2.12.17
sang tenang
Readmore → MURID CANTIK BERNAMA CLARA

Tuesday, 28 November 2017

PEMBELAJARAN DI LADANG AYAH

Sejak awal, mereka memang diciptakan untuk selalu hidup bersama. Di mana yang satu tumbuh, akan ada yang lain ikut bersanding. Suatu realitas yang membuat para petani memiliki kesibukan dalam proses mengolah ladang. Rupanya Sang Pencipta mempunyai maksud tertentu dengan kedua ciptaan-Nya itu.
Di sisi sebuah ladang yang luas, seorang anak memandang ayahya, lalu bertanya "Ayah, mengapa ada ilalang di antara tanaman padi di kebun ayah ini? Padahal ayah tidak pernah menanamnya?" Sambil tersenyum, sang ayah berkata, "Itu rahasia alam, nak." Anak itu mengernyitkan dahi, tanda bahwa ia tidak memahami jawaban ayahnya. Obrolan ayah-anak itu berlanjut dengan menguraikan karakteristik kedua tanaman itu dalam kaca mata seorang petani. Sampai sang anak memahami jawaban ayahnya. Sang ayah kemudian menambahkan bahwa kedua tanaman itu melambangkan sifat manusia. Padi adalah hidup, damai, sukacita, kebaikan, iman, harapan, dan kasih. Sementara ilalang adalah kejahatan, antipati, sombong, tamak, marah, dengki, iri hati, sedih, cemburu, dan egois. Hari sudah menjelang sore, sang ayah memungkas kalimatnya dengan berkata, "Nak, Pencipta selalu menyertakan kebijaksanaan-Nya dalam setiap ciptaan-Nya".
Bocah kritis itu menengadah, menatap tajam mata ayahnya, kemudian bertanya, "Tapi yah, kenapa Pencipta membiarkan ilalang bertumbuh bersama padi? Bukankah lebih baik Dia tidak perlu menciptakan ilalang agar para petani seperti ayah tidak lagi bekerja keras menyianginya?" Ayah anak itu sejenak diam. Kemudian sambil memegang pundak anaknya ia berkata, "Agar kau selalu memiliki kesempatan untuk memilih. Itulah kebijaksanaan-Nya, nak." Beribu jingga merekah di langit senja. Sepasang camar melenguh di sudut cakrawala. Putra semata wayang lelaki singel parent itu mengangguk-angguk, entah apa yang ada dalam ruang pikirannya. 


Malang, 28.11.17
sang tenang


Readmore → PEMBELAJARAN DI LADANG AYAH

Friday, 3 November 2017

TAKDIR

biarkan pena berbicara
Takut-takut kuacungkan jari. Bukan karena aku malu dengan pengalaman hidupku. Aku bukan orang tertutup. Tetapi keragu-raguan yang kurasakan itu lantaran aku adalah orang yang kurang percaya diri. Aku hanya memiliki sedikit keberanian untuk berbicara dalam forum formal yang melibatkan banyak orang seperti siang hari itu. Tetapi karena ada hal lain yang ingin kucapai, akhirnya keberanian itu datang juga.
“Saya setuju dengan ungkapan hati beberapa teman tadi. Bisa dipahami apabila mereka menjadi Stella, mereka mungkin tidak bisa memaafkan sang ayah yang tega menodai puteri semata mayangnya itu sendiri. Tetapi bagi saya, apapun yang dialami Stella, saya tetap merasa iri dengannya. Walaupun dia sangat terluka, marah, dan kecewa dengan ayah kandungnya tetapi Stella memiliki orang tua. Takdir hidup saya berbeda.” Dengan terbata-bata kulanjutkan cerita tentang nasib hidupku yang penuh pilu. Potongan-potongan kisah hidupku belum usai terurai, aku sudah tak bisa menguasai diriku lagi. Hanya sepenggal cerita yang mampu kuungkapkan. Kesedihan yang kutahan akhirnya pecah bersama tangisan yang tak kuasa kubendung lagi.
Sesaat kemudian, ruang konferensi riuh oleh tepukan tangan, membahana memenuhi langit-langit ruangan. Aku mendapat support dari teman-temanku. Sebuah dukungan agar aku bisa menerima pengalaman kerentananku sebagai seorang anak yang ditinggal orang tua sejak kecil.

Malang, Agustus 2017
sang tenang
Readmore → TAKDIR

Monday, 30 October 2017

DOA SI JOMBLO

Sore yang diam. Awan mendung menyelimuti. Sebuah laman penyedia layanan tes berbasis analisis data pada profil sebuah akun facebook menunjukkan hasilnya. Tertera keterangan bahwa pemilik akun tersebut akan meninggal pada tahun 2020. Tiga tahun lagi.

Lalu dia berdoa, "mudah-mudahan di tahun itu aku sudah menikah, setidaknya aku nggak meninggal dalam keadaan jomblo." Lalu disusul beberapa emotikon tertawa.

Aku yang tak sengaja membaca postingannya itu sesaat ikut tertawa, terbawa suasana. Namun, setika terhenti. Aku menyadari sesuatu. Kemudian batinku berbisik, "seharusnya itu juga menjadi doaku."

Malang, Agustus 2017
sang tenang
Readmore → DOA SI JOMBLO

Saturday, 21 October 2017

Rotan sang Guru Musik

biarkan pena berbicara
Jingga mengintip di langit senja. Kawanan camar terbang melintasi dermaga tua yang membentang di sisi lautan. Ombak-ombak berlari, berkejaran, lalu pecah dan berbuih di bibir pantai. Setitik semburannya terciprat dan mengenai wajahku. Wajah sayu yang sembab karena tersiram hujanan haru oleh kenangan masa laluku.
Aku sendiri duduk di pinggir dermaga tua itu saat semburat senja mulai merona di batas cakrawala. Hanya untuk menghabiskan waktu, berbagi kisah bersama seseorang. Aku memanggilnya sang guru. Beliau adalah seorang biarawan, frater kekal yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya sebagai seorang guru. Dia sangat terkenal sebagai seorang frater guru yang menguasai bidang musik. Ia pandai bermain organ, melatih paduan suara, dan menciptakan lagu-lagu rohani. Kepiawaiannya dalam bidang musik membuat dia terlihat “selalu” muda dan disukai banyak orang terutama kaum muda. Bagi dia, musik adalah jiwanya. Sampai-sampai ada konfrater yang menggodanya, kalau tidak main musik satu hari, ia bisa sakit satu minggu. Itulah sang guru yang juga seorang biarawan itu.
Sore itu, bertemankan sepi dan alunan suara ombak, aku tenggelam dalam diamku. "Frater minta maaf, frater dulu terlalu kasar dengan kalian." Mataku berkaca-kaca saat mengulang kembali kata-kata yang pernah kuungkapkan di hadapan mantan muridku beberapa waktu lalu saat mereka mengunjungiku. Aku masih ingat, salah seorang dari mereka yang tidak hanya memelukku tetapi dia juga mencium kakiku. "Frater tidak kasar. Frater tidak menyakiti hati kami. Kami tahu bahwa setiap hentakan rotan yang frater berikan, itu adalah tanda bahwa frater mencintai kami. Rotan-rotan itulah yang membuat kami seperti sekarang ini." Kata-kata itulah yang telah merekahkan titik-titik kristal di pelupuk mataku senja itu. Kata-kata dari orang nomor satu di sebuah kabupaten di pulau Flores. Seorang mantan muridku yang terkenal paling nakal di angkatannya dulu. Itulah secuil kisah yang menjadi pemicu hadirnya sembab di mataku senja itu.

Malang, 21.10.17
sang tenang
Readmore → Rotan sang Guru Musik

Sunday, 8 October 2017

KOLEKTE

biarkan pena berbicara
Ada sebuah keluarga kecil yang hidup sederhana. Sang ayah adalah tipe pria  yang super sabar dan sangat menyayangi keluarga kecilnya. Sementara sang ibu yang tidak banyak berbicara sangat telaten mengurus rumah tangga. Ia mengajari nilai-nilai hidup kepada putra-putrinya melalui praksis hidup yang dilakoninya saban hari. Keluarga ini dianugerahi dua orang anak dengan kepribadian yang sungguh terpuji. Walaupun mereka tergolong dalam keluarga menengah atas secara ekonomi, tetapi cara hidup yang berhaja membuat mereka disukai oleh tetangga sekitar yang hidupnya pas-pasan.
Ini sudah hari Minggu ke tiga sejak pertanyaan itu mulai berkecamuk di hatinya. Grace, si putri bungsu yang cantik itu masih ingat kesepakatan yang telah diputuskan bersama beberapa waktu lalu saat semua anggota keluarga berkumpul untuk menikmati santap malam bersama. Kala itu sang ayah mengusulkan supaya Grace bersama Dave, kakaknya menyisihkan sebagian uang jajan mereka selama seminggu sekolah untuk kolekte pada misa hari Minggu di ujung pekan. Demikian juga sang ayah dan ibu, mereka melakukan hal yang sama. Besar kolekte yang akan diberikan masing-masing juga disampaikan dalam "rapat" keluarga itu dan disetujui oleh semuanya. Tetapi kenapa ibunya seakan mengabaikan kesepakatan itu. Hal ini yang membuat Grace tidak tenang selama mengikuti Misa tiga hari Minggu terakhir ini dan terus bertanya dalam hatinya.
"Sayang, ibu nggak curang kok. Ibu selalu memberi kolekte sesuai janji ibu waktu itu. Hanya ibu belum cerita sama Grace ke mana kolekte ibu yang lainnya itu." Itu jawaban sang ibu saat Grace bertanya, agak protes ihwal kolekte ibunya yang selalu kurang dari kesepakatan. Lalu sang ibu mengajak Grace ke pasar di suatu hari libur dan menunjukkan di mana "kotak persembahan" yang ke dalamnya sang ibu biasa menaruh kolekte yang lain itu. "Sayang, begitulah selama ini ibumu menepati janjinya, sebagian dibawa ke gereja dan sebagian yang lain dimasukkan di kotak nenek renta yang sakit-sakitan itu," kata sang ayah menenangkan rasa penasaran putri kecilnya di suatu senja yang anggun.

Malang, 08.10.17
sang tenang
Readmore → KOLEKTE

Thursday, 21 September 2017

TERCIPTA SEBAGAI HADIAH

Jika wajahmu masih bisa merona, tertawalah
Karena ada sesamamu yang sangat menginginkannya
Tetapi mereka tak punya alasan untuk melakukannya.

Jika bibirmu masih bisa merekah, tersenyumlah
Karena ada sesamamu yang sangat mendambakannya
Tetapi mereka tak punya sebab untuk melakukannya.

Jika tawamu masih bisa menggembirakan, tunjukkanlah
Karena ada sesamamu yang telah mencobanya
Tetapi mereka tak punya daya untuk melakukannya.

Jika tatapanmu masih bisah meneduhkan, pandanglah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan perhatian
Tetapi mereka tak punya kuasa untuk meminta.

Jika kupingmu masih bisa disendengkan, mendengarlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan telinga
Tetapi mereka tak punya hak untuk memohon.

Jika tanganmu masih bisa menghangatkan, peluklah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan sentuhan
Tetapi mereka tak punya keberanian untuk menyuruh.

Jika kakimu masih bisah diayunkan, melangkahlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan kunjungan
Tetapi mereka tak punya kekuatan untuk memaksa.

Jika bahumu masih bisa menyangga, menopanglah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan dukungan
Tetapi mereka tak punya tempat untuk bersandar.

Jika suaramu masih bisa meneguhkan, berkatalah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan wejangan
Tetapi tak ada petuah yang diperdengarkan.

Jika hatimu masih bisa mengasihi, tunjukkanlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan cinta
Tetapi tak banyak mereka yang peduli.

Saudara,
Jika dirimu masih memiliki sejuta alasan untuk dibagi, lakukakanlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan orang lain
Tetapi tidak semua orang bisa ada untuk mereka.
Hidup ini hanyalah titipan dari langit
Hadiah Sang Khalik yang akan berarti jika dibagi
Engkau tercipta sebagai hadiah bagi sesamamu
Maka, berbagilah.





Malang, 21 09 17
sang tenang
Readmore → TERCIPTA SEBAGAI HADIAH

Saturday, 9 September 2017

TUKANG BECAK DAN KEBIJAKSANAANNYA

Usianya tak lagi muda. Ia sudah sepuh dan sakit-sakitan. Perkerjaannya tak jauh berbeda dengan rakyat jelata pada umumnya. Ia hanya seorang tukang becak. Tetapi yang membedakannya dengan kebanyakan tukang becak lain, ia adalah seorang tukang becak yang sedang menderita strok. Walaupun dengan kondisi kesehatannya seperti itu tetapi semangat kerja kerasnya tidak kendur. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Ia tidak mengemis sebagaimana yang dilakukan orang lain yang bahkan tidak menderita strok seperti dirinya. Berbekal becak tua, harta milik satu-satunya itu, ia berjuang menyambung hidup dan menyisi sedikit penghasilan untuk pengobatannya. Ia berangkat pagi-pagi, pukul 05.00, saat selaksa jingga biasan fajar mulai meronai langit timur hingga mentari sore menjemput, saat sekawanan camar melenguh, terbang menyusur pantai di batas peraduan sang senja.
Aku seringkali berpapasan dengan si kakek, tukang becak itu. Biasanya kami saling menyapa saat bertemu dan mengobrol sebentar. Terutama saat ia mampir makan di sebuah warung kecil yang berada di antara sebuah rumah makan besar dan balai kota. Kebetulan rumahku berada tak jauh dari pangkalan becaknya itu. Saat-saat seperti itu adalah momen istimewa bagi diriku. Kesempatan emas bagiku untuk belajar tentang kebijaksaan hidup di tengah keterbatasan materi. Dari setiap obrolan bersama si kakek tua yang miskin dan sakit-sakitan itu, aku selalu menuai hikmah, menjumput petuah bernilai tinggi.
Seperti di sore itu, setelah senja ke tujuh berlalu. Walau pendarnya agak murung di antara hamparan lembayung sore, tetapi senja ini sungguh istimewa bagiku. “Nduk, memang tidak semua mereka koruptor tetapi cerita miring tentang orang-orang itu menggerakan hatiku. Aku selalu menerima pemberian mereka, berapa pun itu. Uang-uang itu tidak pernah aku pakai walaupun aku sangat membutuhkannya. Aku selalu menyerahkannya ke panti asuhan di bukit sana. Pemikiranku sederhana saja, nduk. Masih ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkannya. Biarlah dengan caraku ini, orang-orang berbaju necis itu selalu dimudahkan oleh Yang di atas. Bagi mereka yang kurang jujur, semoga Gusti dengan cara-Nya selalu mengingatkan mereka.” Ceritanya itu mengingatkan aku pada bungkukkan badan penuh hormat yang selalu dilakukannya setiap kali para penjabat pengkot itu menyerahkan sejumlah rupiah kepadanya. Aku pun sadar, ternyata tukang becak renta yang selalu membawa serta kruk saat dia “bekerja” ini adalah seorang manusia langka di tengah metropolitan ini.

Malang, 09-09-2017
sang tenang
Readmore → TUKANG BECAK DAN KEBIJAKSANAANNYA

Friday, 8 September 2017

Keluarga Terberkati

Aku adalah anak satu-satunya dari keluarga itu. Orang tuaku hidup sederhana dan saleh. Mereka hidup dalam tradisi warisan nenek moyangku yang taat beragama dan ketat dalam hukum. Aku bersyukur dilahirkan di tengah-tengah orang tuaku yang sangat mencintaiku. Karena itu aku bertumbuh menjadi gadis yang sederhana dan saleh. Keistimewaan lain yang selalu kuingat dari kedua orang tuaku adalah apa pun yang mereka hadapi dalam hidup, terutama kesulitan-kesulitan, beban, atau pun pergulatan, mereka selalu berpasrah pada kehendak Ilahi. Tentu tetap ada usaha-usaha manusiawi yang mereka lakukan. Ayah dan ibuku mengambil cara hidup yang berkenan pada Tuhan. Aku, puteri tunggal mereka mewarisi teladan hidup yang hebat itu.
Pada suatu ketika, aku mengalami sebuah peristiwa yang “mencoreng” nama baik ayah-ibuku. Mereka merasa terpukul, malu, dan kecewa. Di usiaku yang masih belia, aku hamil. Memang saat itu aku sudah betunangan dengan seorang lelaki, pujaan hatiku. Tetapi kami belum hidup bersama sebagai suami-istri. Maka, peristiwa memalukan itu menjadi bahan pergunjingan tetangga. Aku tahu kejadian tidak biasa itu melukai hati kedua orang tuaku yang belum memahaminya. Tetapi aku hanya berpasrah dan berdoa di tengah hatiku yang diliputi kekalutan sebagaimana biasanya orang tua lakukan saat mereka menghadapi masalah.
Sekali lagi kukatakan bahwa aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga kecil yang bersahaja nan suci murni ini. Mereka tidak menghakimiku apalagi mengusirku dari rumah. Mereka tetap mencintaiku walaupun aku telah merendahkan martabat keluargaku dengan peristiwa yang sesungguhnya aku sendiri belum memahaminya. Apalagi kedua orang tuaku. Kami hanya bisa berdoa dan berpasrah pada penyelenggaraan Ilahi. Hingga kabar itu, kabar gembira dari surga yang dibawa sang utusan menjadi kenyataan. Aku yang disebut sebagai wanita yang beroleh kasih karunia di hadapan Allah terpilih menjadi ibu Tuhan dan Bunda Allah. Sementara kedua orang tuaku diganjari mahkota Para Kudus. Dan kini, kami hidup mulia bersama Bapa di kemah abadi, surga-Nya.

Malang, 26 Juli 2017
Pada Peringatan St. Yoakim dan Ana,
Orang tua Santa Perawan Maria.

Walter Arryano
Readmore → Keluarga Terberkati

Tuesday, 5 September 2017

Pelukan Jessy


Malam yang rusuh. Listrik padam. Suara petir menggelegar, sambar-menyambar. Jessy, seorang gadis dari keluarga berada yang baru saja menyewa kotrakan persis di sebelah rumah seorang ibu miskin dan dua anaknya itu gemetaran. Jiwanya kelu oleh gemparan suara petir di tengah hujan deras di malam ketujuh dia menempati rumah kontrakan itu.
Diterangi cahaya handphone, gadis itu hendak ke dapur, mengambil lilin. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kontrakannya. Ternyata seorang anak miskin, tetangga sebelah rumah. “Kakak ada lilin?” Tanya anak miskin itu dengan risau setelah Jessy membuka pintu. Dia berpikir sejenak. Lalu muncul di benaknya kata-kata yang telah lama tertanam “jangan pinjamkan, nanti jadi kebiasaan untuk terus-menerus meminta!” Maka gadis itu menjawab, “tidak ada!” Sebuah jawaban yang tegas penuh penekanan.  
Lalu si anak miskin berkata dengan riang, "Saya sudah menduga kakak tidak ada lilin, ini ada dua lilin saya bawakan untuk kakak. Kami sangat kuatir karena kakak tinggal sendirian dan tidak ada lilin." Jessy merasa bersalah. Sesaat kemudian tumpukan kristal di pelupuk matanya merekah. Dalam linangan air mata, dia memeluk anak miskin itu. Erat sekali.

Malang, September 2017
sang tenang
Readmore → Pelukan Jessy

Saturday, 26 August 2017

Nasionalisme Anak Desa

Aku anak miskin yang tinggal di sebuah desa terluar dekat perbatasan dengan negara tetangga. Banyak orang menyebutnya dengan tapal batas. Aku tidak terlalu paham dengan sebutan itu. Lagi pula apa pun namanya, tidak ada pengaruhnya dengan nasib hidupku sebagai anak miskin di desa ini.
“Anak-anak, ini adalah bendera negara kita, Indonesia!” Dengan tegas, ibu guru berkata pada suatu siang di sekolahku sambil menunjukkan dua potong kain yang dijahit sambung, berwarna merah dan putih. Bu guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi itu selanjutnya menjelaskan bahwa kami harus menghormati bendera itu. Ia sangat berharga seperti nyawa kami. Ia harus dijaga sebagaimana kami menjaga diri kami. Bu guru berapi-api menghidupi semangat nasionalisme dalam jiwa kami, anak didiknya. Aku adalah murid yang paling antusias di siang yang terik itu.
Suatu kali setelah dua ahad berlalu semenjak pelajaran yang membahas tentang bendera negara itu, aku dan beberapa anak desa sebayaku menyeberang ke wilayah negeri jiran untuk berdagang sebagaimana yang biasa kami lakukan pada setiap akhir pekan di hari libur sekolah. Pada sebuah lapak, aku melihat seorang penjual menghamparkan dagangannya di atas kain yang warnanya sama persis dengan bendera di depan kelasku. Aku mendekat. Kujelaskan kepada bapak itu agar ia tidak boleh menggunakannya seperti itu. Panjang lebar kuuraikan keberatanku dengan berbagai alasan, tetapi si penjual bersikeras. Darah dalam jiwa kecilku mendidih. Aku marah dan merasa terhina tetapi aku tak berdaya. Otakku lalu berpikir cepat, mencari solusi. “Pakcik, boleh tak aku tukar sama kain itu?” Masih dengan nafas terengah-engah, aku menawarkan jalan keluar sambil menyerahkan selembar kain sarung yang baru kubeli menggunakan uang hasil daganganku. Dia terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Transaksi berlangsung cepat. Persoalan selesai. Dalam perjalanan pulang, kupeluk erat potongan kain yang sudah kuketahui sebagai bendera tanah airku itu. Hatiku berkobar-kobar. Api cinta tanah air menggelora dalam jiwaku. “Walaupun aku anak desa miskin yang nanti akan dimarahi ayah karena uang di kantongku tinggal separuh, tetapi kau harus diperlakukan sebagaimana mestinya,” kataku dalam diam kepada sambungan dua potong kain berwarna merah dan putih yang sekarang kudekap erat di dadaku.

Malang, Agustus 2017
sang tenang
Readmore → Nasionalisme Anak Desa

Monday, 21 August 2017

In Memoriam Frater M. Amatus, BHK

Dari tanah Nagi, ujung Timur Nusa Bunga
Engkau datang memenuhi panggilan-Nya
Meninggalkan sanak famili dan Lewotana
Untuk mengabdi Tuhan dan sesama


Hidupmu adalah hadiah bagi kami
Engkau adalah teladan kesetiaan
Engkau adalah contoh ketekunan
Kerja keras, keberanian, dan kedisiplinan adalah warisanmu
Engkau menunjukkannya melalui kesaksian hidupmu
Menjadi frater yang baik dalam perkataan dan perbuatan 
telah engkau buktikan sepanjang 58 tahun hidupmu
dalam kongregasi kita
Engkau adalah anugerah bagi persekutuan ini

Frater,
Bagaikan sang fajar yang merangkak naik
menuju puncak angkasa selepas menyingsing
Lalu beranjak turun ke batas senja
Demikian hidupmu kini telah sampai di titik itu
Sebuah simpul kehidupan yang ke sanalah 
seluruh umat manusia berziarah
Engkau telah sampai di garis finis

Frater,
Senjamu sudah tiba
Perjuanganmu telah usai
Tidur panjangmu sudah dimulai
Ke dalam ribaan kasih Bapa
Kami mengantarmu kembali
Kepada-Nya engkau akan pergi

Pulanglah, frater
Tidurlah, saudaraku
Nikmati kedamaian kekalmu
Bersama Allah dan Para Kudus-Nya

Bersama Maria Bunda Hati Kudus
kami menyertakan bersulur-sulur untaian doa
sebagai bekal bagi perjalanan abadimu
Di atas pusaramu beribu pinta kami unjukkan
Agar engkau tenang di sisi-Nya
Selamat jalan, frater
Beristirahatlah dalam damai, saudaraku
Jadilah pendoa bagi kami dan persekutuan kita. 
***




Malang, 21 08 2017
sang tenang
Readmore → In Memoriam Frater M. Amatus, BHK

Saturday, 19 August 2017

MEMELUK KEGELAPAN

“Kamu tidak perlu menceritakannya. Itu sudah menjadi rahasiamu. Biarlah kamu sendiri saja yang tahu,” kata aku yang satu. Tetapi aku yang lain membantah, “Kamu harus cerita! Tujuannya bukan hanya untuk diketahui orang lain tapi lebih dari itu. Dengan bercerita, kamu bisa menerima pengelaman kegelapanmu itu. Tentu itu membuatmu tidak nyaman, malu atau kamu akan ditolak oleh teman-temanmu tetapi dengan bercerita kamu akan berdamai dengannya. Kamu akan sembuh. Jadi, berceritalah!”
Sepanjang malam aku bergulat dengan diriku sendiri. Kedua aku yang ada dalam diriku terus bergejolak, mempertahankan argumennya masing-masing. Hingga lelah membawaku dalam tidur yang tidak nyaman.
Pagi itu, setelah malam yang berat kulewati, aku akhirnya bisa memilih berpihak pada salah satu aku. “Ketika masih remaja, aku pernah jatuh cinta kepada seseorang. Setelah sekian lama memendam perasaan itu, suatu saat aku menemukan keberanian untuk menyatakannya. Tetapi hal yang tidak kuharapkan terjadi padaku. Aku ditolak bahkan dihina olehnya. Aku merasa malu dan patah hati. Pengalaman cinta pertama yang buruk itu sangat berpengaruh bagi diriku yang sekarang ini, terutama dalam hal orientasi seksual.” Serentak teman-temanku bertepuk tangan, memberi dukungan. Rasanya plong. Ketakutanku sirna. Bukan penolakan yang kualami tetapi aku mendapatkan rangkulan persaudaraan. Aku diterima apa adanya diriku.  Sesaat aku menyadari satu sisi diriku yang suka berada dalam zona nyaman menghilang entah ke mana. Adu gagasan telah usai. Pergulatanku telah berakhir. Tinggalah satu sisi diriku yang lain. Kurangkul akuku yang ini dengan cinta yang hangat sebagaimana aku merangkul diriku apa adanya. Diriku yang memiliki orientasi ketertarikan yang tidak lazim.
***
Untukmu yang telah berbagi persaudaraan denganku
sang tenang
Readmore → MEMELUK KEGELAPAN

Thursday, 17 August 2017

IBU PERTIWI

Beribu sulur jingga
Merekah di langit timur
Semburat mentari merona
Fajar 17 Agustus 2017 menyingsing


Ibu,
Ini harimu
Hari ketika kami merayakan ulang tahun kelahiranmu
Sang Merah Putih kami kibarkan
Indonesia Raya kami kumandangkan
Pekik kemerdekaan kami lantangkan memenuhi langit negeri
Untukmu ibu, kami bersorak-sorai


72 tahun usiamu kini
Penjajahan dan penindasan telah berlalu
Perang dan kesengsaraan telah usai
Tinggalah perjuangan dan kerja keras kami membangunmu


Ibu,
Ketika kemiskinan dan kebodohan menyakitimu
Ketika sakit dan terlantar melukaimu
Ketika korupsi dan intoleransi menguasaimu
Teguh kami berdiri di sini
Untuk menghapus air matamu
Memerangi dukacitamu
Menjaga nyawamu.


Ibu,
Di bawah kibaran sang Merah Putih kami memohon
Pada ribaanmu kami meminta
Jagailah kami, anak-anakmu
Lindungilah kami, putera-puterimu
Berkatilah tanah tumpah darahmu
Ridailah segala perjuangan kami
Agar majulah bangsa ini
Makmurlah negeri ini
Jayalah Indonesia sejahtera!


Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!











Malang, 17 08 2017
sang tenang

Readmore → IBU PERTIWI

Sunday, 6 August 2017

Jawaban yang Diharapkan

“Anak-anak, kalian tahu binatang kecoak, kan?” Tanya seorang frater, guru agama di sebuah SD, mengawali pengajarannya suatu hari. Anak-anak menjawab “iya” sambil mengangguk, merespon pertanyaan sang guru. Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya, “apa yang kalian lakukan apabila kalian melihat kecoak dalam posisi badannya terbuka, kakinya bergerak-gerak berusaha membalikkan badannya?”
Pertanyaan kedua dari frater muda itu mereduksi semangat anak-anak yang selalu antusias dengan pelajaran guru berjubah putih ini. Apa hubungannya? Sebagian anak kelihatan tidak tertarik. Demi pelajaran agar tetap berjalan, anak-anak menjawab saja sesuai pengalaman masing-masing. Ada yang lari terbirit-birit, berteriak ketakutan karena fobia terhadap binatang itu. Ada yang cuek saja. Ada pula yang menendang atau menginjaknya. Tak ada satu pun jawaban yang diharapkan. Apakah memang demikian ataukah ada yang belum berani mengungkapkannya. Sang frater meneruskan pelajaran.
Waktu istirahat. Tiba-tiba di salah satu pojok sekolah rusuh. Terdengar suara jeritan seorang anak puteri. Rani, anak pendiam itu ternyata fobia terhadap kecoak. Ia berteriak ketakutan karena tak sengaja berdiri tepat di sebelah seekor kecoak yang menggerak-gerakkan kaki, berusaha membalikkan badannya. Sejurus kemudian, Rian, seorang anak lelaki yang paling antusias dalam pelajaran agama tadi tampil menyelamatkan binatang itu sebelum anak lain membunuhnya. “Ooo…, jadi kamu mau jadi santo sama seperti cerita frater tadi di kelas, yah?” Goda seorang temannya. “Cieeee, calon santo nih!” Sambung yang lain ikut menggoda. “Sebelum frater bercerita tentang santo pencinta binatang itu, aku sudah mempunyai kebiasaan seperti ini. Ayahku selalu bilang, semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang harus dihargai. Kita tidak boleh sembarang membunuhnya. Apa pun itu bahkan terhadap seekor kecoak yang kotor, jijik dan berbau busuk ini,” katanya tegas membungkam mulut teman-temannya. Percakapan itu disaksikan oleh sang frater, guru agama tadi. Matanya seketika bercahaya. “Ternyata ada muridku yang memiliki jawaban sesuai harapanku,” gumamnya bangga.
  
Malang, Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → Jawaban yang Diharapkan

HARTA

Gavriel nama panggilannya. Dia adalah seorang anak yang cerdas dan kritis walaupun masih berusia anak-anak, tujuh tahun. Dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki sebuah rumah yang mewah, beberapa buah mobil berkelas dan masih banyak barang mewah lainnya termasuk sejumlah perhiasan bernilai tinggi milik ibunya.
Pada suatu hari, Gavriel bersama kedua orang tuanya akan melakukan sebuah perjalanan wisata. Mereka akan berekreasi ke luar kota untuk menghabiskan waktu weekend di sebuah penginapan super lux dengan view yang menawan. Itu adalah momen langka bagi Gavriel yang sering kali ditinggal kedua orang tuanya bekerja.
“Ma, kenapa mama harus cemas begitu? Di rumah kita kan ada bibi? Bibi itu orang jujur, ma. Bibi bisa menjaga rumah ini dengan baik selama kita pergi termasuk perhiasan-perhiasan mewah milik mama itu,” kata Gavriel berusaha menenangkan ibunya. “Tentu tidak sayang! Mama nggak percaya sama bibi,” tegas ibunya. “Tapi ma, kenapa mama selalu menitipkan aku sama bibi setiap hari tanpa merasa cemas sedikit pun?” tanya Gavriel sembari berlalu, meninggalkan ibunya yang seketika itu bungkam oleh pertanyaan kritis putera semata wayangnya.

Malang, Juli 2017
 Walter Arryano
Readmore → HARTA

Saturday, 5 August 2017

SANG TENANG

Seperti saat ini, ketika purnama ke tujuh tersenyum menyapaku, “selamat malam, sahabat.” Lalu dia bertanya, “apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab, “lihatlah!” Sambil jemariku terus menari-nari, bermain, dan berlari bersama pena yang tengah berbicara di atas berlarik-larik kertas putih. “Aku sedang mengurai makna di balik senyum manismu, yang mekar dalam lekukakan wajah ayumu, sobat.” Sang rembulan tersipu. Ia jengah atas kejujuran puja pujiku.
Itulah seulas kisahku malam ini setelah senja terakhir di tanah leluhur. Sebuah cerita yang kurajut bersama sang rembulan di bawah temarannya. Ia akan menjadi tenunan kisah yang akan menyelimuti hari-hariku sebagai sang peziarah, pencari keabadian.
Aku tahu, dunia ini berisik. Semesta ini riuh rendah. Hari-hari adalah kebisingan. Tetapi alam raya dan segala ciptaan pemberian-Nya adalah milikku. Aku mampu hadir sebagai rekan yang hebat. Karena aku adalah pemuja keheningan. Kesunyian adalah hidupku. Kesendirian adalah nafasku. Ketenangan adalah jiwaku. Ruang refleksi adalah rumahku. Alam raya adalah sumber inspirasiku. Dan menemukan makna di balik setiap pengalaman hidup adalah kebijaksanaanku. Walau hiruk pikuk dunia adalah lahan gersang bagi si pemuja keheningan seperti diriku, tetapi aku mampu memeluknya. Karena aku terlahir sebagai sang tenang yang terus berenang di tengah dunia yang gundah gulana.

Malang, Agustus 2017
Walter Arryano
Readmore → SANG TENANG

Thursday, 3 August 2017

BERKAT DI BALIK KERAPUHAN

“Andre, terima kasih banyak yah. Kamu adalah sahabatku yang terbaik. Kamu sabar mendengarkan cerita-ceritaku tentang masa lalu yang kelam itu. Tidak pernah sekalipun kamu menyela apalagi menghakimiku. Sekarang aku merasa lebih tenang, plong, dan bebas dari tekanan pengalaman memalukan itu. Terima kasih banyak yah.” Aku mengangguk, merespon apresiasi tulus Rani, teman baikku atas kesetiaan aku menjadi sahabatnya dalam berbagi kisah.
Udara sejuk menyelimuti kami di senja yang elok itu. Beberapa buah gazebo menghampar santun, memenuhi taman dengan jarak kira-kira 10 meter memisahkan satu dengan yang lainnya. Pada sebuah gazebo di sudut taman doa itu, duduklah dengan takzim sepasang sahabat, aku dan Rani. Kami menghabiskan senja berdua untuk berbagi cerita hidup yang selama ini membebani batin kami masing-masing.
“Andre, kamu tahu aku adalah orang yang agak tertutup. Sebenarnya aku tidak berani membuka aibku itu kepada siapa pun termasuk kamu yang selama ini sudah kupercayai. Tetapi karena kamu telah memulainya, aku sepertinya memiliki keberanian. Kamu memberi aku energi positif untuk membuka diri. Kebebasanmu dalam berbagi pengalaman masa lalumu membangkitkan keberanianku untuk menceritakan apa yang selama ini kututup rapat-rapat. Terima kasih banyak yah.” Seulas senyum termanis yang kumiliki, tulus kurekahkan kepadanya. Saat itu juga hati dan pikiranku kompak mengamini sebuah kalimat hebat yang dikatakan Romo pembimbing retret pada konferensi siang tadi, “hanya ketika kita mengenali kegelapan diri, kita mampu hadir bersama kegelapan orang lain.” Sesaat aku menyadari berkat-Nya di balik kerapuhanku. Batinku bercahaya. Dalam diam seuntai nada syukur kunaikan kehadirat-Nya.

Malang, 03 Agustus 2017
Walter Arryano
Readmore → BERKAT DI BALIK KERAPUHAN

Wednesday, 2 August 2017

Kompas

Malam beranjak menjemput pagi. Semburat mentari merona di ufuk timur. Selaksa jingga yang indah di hari yang baru. Jalanan riuh oleh deru kendaraan bermotor. Kehidupan kota Surabaya mulai bergeliat. Kesibukan ada di mana-mana. Kemacetan apalagi. Sudah menjadi pemandangan lazim yang tak pernah absen di kota metropolitan itu saban hari.
Kuhidupkan motor tua milik kakekku yang kupinjam. Hari itu aku hendak ke sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota untuk menjenguk seorang saudara yang dirawat di sana. “Celaka! Motor ini bisa ngadat di tengah jalan,” kataku cemas setelah mataku menangkap sesuatu pada speedometer-nya. Jarum penunjuk bahan bakar berada tepat di garis merah. Itu berarti bensin motor ini sebentar lagi tandas dan mesinnya akan mati.
“Mas, nggak muat lagi ini. Satu botol aja sudah penuh tangkinya”, kata penjual bensin yang menjajakan bahan bakar itu di pinggir jalan. Sesaat aku menyadari sesuatu. Kuserahkan sejumlah uang pembayaran untuk sebotol bensin sembari membatalkan sebotol yang lain yang tidak jadi kubeli lantaran tangkinya sudah full. Motor kuhidupkan, perjalanan kulanjutkan lagi. “Seandainya motor tua ini adalah diriku, bahkan baru sepersepuluh dari masa hidupku yang kujalani di dunia ini, aku sudah tersesat,” bisikku dalam diam sembari menatap dengan kagum motor tua itu yang dengan gagah membawaku, meliuk-liuk membelah jalanan kota walau sebagian onderdilnya tidak berfungsi.
Malang, 02 Agustus 2017
 Walter Arryano
Readmore → Kompas