Usianya tak lagi muda. Ia sudah sepuh dan sakit-sakitan. Perkerjaannya
tak jauh berbeda dengan rakyat jelata pada umumnya. Ia hanya seorang tukang
becak. Tetapi yang membedakannya dengan kebanyakan tukang becak lain, ia adalah
seorang tukang becak yang sedang menderita strok. Walaupun dengan kondisi
kesehatannya seperti itu tetapi semangat kerja kerasnya tidak kendur. Ia tidak
ingin merepotkan orang lain. Ia tidak mengemis sebagaimana yang dilakukan orang
lain yang bahkan tidak menderita strok seperti dirinya. Berbekal becak tua,
harta milik satu-satunya itu, ia berjuang menyambung hidup dan menyisi sedikit
penghasilan untuk pengobatannya. Ia berangkat pagi-pagi, pukul 05.00, saat
selaksa jingga biasan fajar mulai meronai langit timur hingga mentari sore
menjemput, saat sekawanan camar melenguh, terbang menyusur pantai di batas
peraduan sang senja.
Aku seringkali berpapasan dengan si kakek, tukang becak itu. Biasanya
kami saling menyapa saat bertemu dan mengobrol sebentar. Terutama saat ia
mampir makan di sebuah warung kecil yang berada di antara sebuah rumah makan
besar dan balai kota. Kebetulan rumahku berada tak jauh dari pangkalan becaknya
itu. Saat-saat seperti itu adalah momen istimewa bagi diriku. Kesempatan emas
bagiku untuk belajar tentang kebijaksaan hidup di tengah keterbatasan materi.
Dari setiap obrolan bersama si kakek tua yang miskin dan sakit-sakitan itu, aku
selalu menuai hikmah, menjumput petuah bernilai tinggi.
Seperti di sore itu, setelah senja ke tujuh berlalu. Walau pendarnya
agak murung di antara hamparan lembayung sore, tetapi senja ini sungguh
istimewa bagiku. “Nduk, memang tidak
semua mereka koruptor tetapi cerita miring tentang orang-orang itu menggerakan
hatiku. Aku selalu menerima pemberian mereka, berapa pun itu. Uang-uang itu
tidak pernah aku pakai walaupun aku sangat membutuhkannya. Aku selalu menyerahkannya
ke panti asuhan di bukit sana. Pemikiranku sederhana saja, nduk. Masih ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkannya.
Biarlah dengan caraku ini, orang-orang berbaju necis itu selalu dimudahkan oleh
Yang di atas. Bagi mereka yang kurang jujur, semoga Gusti dengan cara-Nya
selalu mengingatkan mereka.” Ceritanya itu mengingatkan aku pada bungkukkan
badan penuh hormat yang selalu dilakukannya setiap kali para penjabat pengkot
itu menyerahkan sejumlah rupiah kepadanya. Aku pun sadar, ternyata tukang becak
renta yang selalu membawa serta kruk saat dia “bekerja” ini adalah seorang
manusia langka di tengah metropolitan ini.
Malang, 09-09-2017
sang tenang