Saturday, 9 September 2017

TUKANG BECAK DAN KEBIJAKSANAANNYA

Usianya tak lagi muda. Ia sudah sepuh dan sakit-sakitan. Perkerjaannya tak jauh berbeda dengan rakyat jelata pada umumnya. Ia hanya seorang tukang becak. Tetapi yang membedakannya dengan kebanyakan tukang becak lain, ia adalah seorang tukang becak yang sedang menderita strok. Walaupun dengan kondisi kesehatannya seperti itu tetapi semangat kerja kerasnya tidak kendur. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Ia tidak mengemis sebagaimana yang dilakukan orang lain yang bahkan tidak menderita strok seperti dirinya. Berbekal becak tua, harta milik satu-satunya itu, ia berjuang menyambung hidup dan menyisi sedikit penghasilan untuk pengobatannya. Ia berangkat pagi-pagi, pukul 05.00, saat selaksa jingga biasan fajar mulai meronai langit timur hingga mentari sore menjemput, saat sekawanan camar melenguh, terbang menyusur pantai di batas peraduan sang senja.
Aku seringkali berpapasan dengan si kakek, tukang becak itu. Biasanya kami saling menyapa saat bertemu dan mengobrol sebentar. Terutama saat ia mampir makan di sebuah warung kecil yang berada di antara sebuah rumah makan besar dan balai kota. Kebetulan rumahku berada tak jauh dari pangkalan becaknya itu. Saat-saat seperti itu adalah momen istimewa bagi diriku. Kesempatan emas bagiku untuk belajar tentang kebijaksaan hidup di tengah keterbatasan materi. Dari setiap obrolan bersama si kakek tua yang miskin dan sakit-sakitan itu, aku selalu menuai hikmah, menjumput petuah bernilai tinggi.
Seperti di sore itu, setelah senja ke tujuh berlalu. Walau pendarnya agak murung di antara hamparan lembayung sore, tetapi senja ini sungguh istimewa bagiku. “Nduk, memang tidak semua mereka koruptor tetapi cerita miring tentang orang-orang itu menggerakan hatiku. Aku selalu menerima pemberian mereka, berapa pun itu. Uang-uang itu tidak pernah aku pakai walaupun aku sangat membutuhkannya. Aku selalu menyerahkannya ke panti asuhan di bukit sana. Pemikiranku sederhana saja, nduk. Masih ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkannya. Biarlah dengan caraku ini, orang-orang berbaju necis itu selalu dimudahkan oleh Yang di atas. Bagi mereka yang kurang jujur, semoga Gusti dengan cara-Nya selalu mengingatkan mereka.” Ceritanya itu mengingatkan aku pada bungkukkan badan penuh hormat yang selalu dilakukannya setiap kali para penjabat pengkot itu menyerahkan sejumlah rupiah kepadanya. Aku pun sadar, ternyata tukang becak renta yang selalu membawa serta kruk saat dia “bekerja” ini adalah seorang manusia langka di tengah metropolitan ini.

Malang, 09-09-2017
sang tenang
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment