Malam
yang rusuh. Listrik padam. Suara petir menggelegar, sambar-menyambar. Jessy,
seorang gadis dari keluarga berada yang baru saja menyewa kotrakan persis di
sebelah rumah seorang ibu miskin dan dua anaknya itu gemetaran. Jiwanya kelu
oleh gemparan suara petir di tengah hujan deras di malam ketujuh dia menempati
rumah kontrakan itu.
Diterangi
cahaya handphone, gadis itu hendak ke
dapur, mengambil lilin. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kontrakannya.
Ternyata seorang anak miskin, tetangga sebelah rumah. “Kakak ada lilin?” Tanya
anak miskin itu dengan risau setelah Jessy membuka pintu. Dia berpikir sejenak.
Lalu muncul di benaknya kata-kata yang telah lama tertanam “jangan pinjamkan,
nanti jadi kebiasaan untuk terus-menerus meminta!” Maka gadis itu menjawab,
“tidak ada!” Sebuah jawaban yang tegas penuh penekanan.
Lalu si anak miskin berkata dengan riang,
"Saya sudah menduga kakak tidak ada lilin, ini ada dua
lilin saya bawakan untuk kakak. Kami sangat kuatir karena kakak tinggal
sendirian dan tidak ada lilin." Jessy merasa bersalah. Sesaat kemudian
tumpukan kristal di pelupuk matanya merekah. Dalam linangan air mata, dia
memeluk anak miskin itu. Erat sekali.
Malang,
September 2017
sang
tenang