Malam beranjak menjemput pagi. Semburat mentari
merona di ufuk timur. Selaksa jingga yang indah di hari yang baru. Jalanan riuh
oleh deru kendaraan bermotor. Kehidupan kota Surabaya mulai bergeliat.
Kesibukan ada di mana-mana. Kemacetan apalagi. Sudah menjadi pemandangan lazim
yang tak pernah absen di kota metropolitan itu saban hari.
Kuhidupkan motor tua milik kakekku yang kupinjam.
Hari itu aku hendak ke sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota untuk
menjenguk seorang saudara yang dirawat di sana. “Celaka! Motor ini bisa ngadat di tengah jalan,” kataku cemas
setelah mataku menangkap sesuatu pada speedometer-nya.
Jarum penunjuk bahan bakar berada tepat di garis merah. Itu berarti bensin
motor ini sebentar lagi tandas dan mesinnya akan mati.
“Mas, nggak
muat lagi ini. Satu botol aja sudah
penuh tangkinya”, kata penjual bensin yang menjajakan bahan bakar itu di
pinggir jalan. Sesaat aku menyadari sesuatu. Kuserahkan sejumlah uang
pembayaran untuk sebotol bensin sembari membatalkan sebotol yang lain yang
tidak jadi kubeli lantaran tangkinya sudah full.
Motor kuhidupkan, perjalanan kulanjutkan lagi. “Seandainya motor tua ini adalah
diriku, bahkan baru sepersepuluh dari masa hidupku yang kujalani di dunia ini,
aku sudah tersesat,” bisikku dalam diam sembari menatap dengan kagum motor tua
itu yang dengan gagah membawaku, meliuk-liuk membelah jalanan kota walau
sebagian onderdilnya tidak berfungsi.
Malang, 02 Agustus 2017
Walter
Arryano