Wednesday, 2 August 2017

Kompas

Malam beranjak menjemput pagi. Semburat mentari merona di ufuk timur. Selaksa jingga yang indah di hari yang baru. Jalanan riuh oleh deru kendaraan bermotor. Kehidupan kota Surabaya mulai bergeliat. Kesibukan ada di mana-mana. Kemacetan apalagi. Sudah menjadi pemandangan lazim yang tak pernah absen di kota metropolitan itu saban hari.
Kuhidupkan motor tua milik kakekku yang kupinjam. Hari itu aku hendak ke sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota untuk menjenguk seorang saudara yang dirawat di sana. “Celaka! Motor ini bisa ngadat di tengah jalan,” kataku cemas setelah mataku menangkap sesuatu pada speedometer-nya. Jarum penunjuk bahan bakar berada tepat di garis merah. Itu berarti bensin motor ini sebentar lagi tandas dan mesinnya akan mati.
“Mas, nggak muat lagi ini. Satu botol aja sudah penuh tangkinya”, kata penjual bensin yang menjajakan bahan bakar itu di pinggir jalan. Sesaat aku menyadari sesuatu. Kuserahkan sejumlah uang pembayaran untuk sebotol bensin sembari membatalkan sebotol yang lain yang tidak jadi kubeli lantaran tangkinya sudah full. Motor kuhidupkan, perjalanan kulanjutkan lagi. “Seandainya motor tua ini adalah diriku, bahkan baru sepersepuluh dari masa hidupku yang kujalani di dunia ini, aku sudah tersesat,” bisikku dalam diam sembari menatap dengan kagum motor tua itu yang dengan gagah membawaku, meliuk-liuk membelah jalanan kota walau sebagian onderdilnya tidak berfungsi.
Malang, 02 Agustus 2017
 Walter Arryano
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment