“Andre, terima kasih banyak yah. Kamu adalah sahabatku yang terbaik.
Kamu sabar mendengarkan cerita-ceritaku tentang masa lalu yang kelam itu. Tidak
pernah sekalipun kamu menyela apalagi menghakimiku. Sekarang aku merasa lebih tenang,
plong, dan bebas dari tekanan pengalaman memalukan itu. Terima kasih banyak
yah.” Aku mengangguk, merespon apresiasi tulus Rani, teman baikku atas
kesetiaan aku menjadi sahabatnya dalam berbagi kisah.
Udara sejuk menyelimuti kami di senja yang elok itu. Beberapa buah
gazebo menghampar santun, memenuhi taman dengan jarak kira-kira 10 meter
memisahkan satu dengan yang lainnya. Pada sebuah gazebo di sudut taman doa itu,
duduklah dengan takzim sepasang sahabat, aku dan Rani. Kami menghabiskan senja berdua
untuk berbagi cerita hidup yang selama ini membebani batin kami masing-masing.
“Andre, kamu tahu aku adalah orang yang agak tertutup. Sebenarnya aku
tidak berani membuka aibku itu kepada siapa pun termasuk kamu yang selama ini
sudah kupercayai. Tetapi karena kamu telah memulainya, aku sepertinya memiliki
keberanian. Kamu memberi aku energi positif untuk membuka diri. Kebebasanmu
dalam berbagi pengalaman masa lalumu membangkitkan keberanianku untuk
menceritakan apa yang selama ini kututup rapat-rapat. Terima kasih banyak yah.”
Seulas senyum termanis yang kumiliki, tulus kurekahkan kepadanya. Saat itu juga
hati dan pikiranku kompak mengamini sebuah kalimat hebat yang dikatakan Romo
pembimbing retret pada konferensi siang tadi, “hanya ketika kita mengenali
kegelapan diri, kita mampu hadir bersama kegelapan orang lain.” Sesaat aku
menyadari berkat-Nya di balik kerapuhanku. Batinku bercahaya. Dalam diam
seuntai nada syukur kunaikan kehadirat-Nya.
Malang, 03 Agustus 2017
Walter Arryano