Seperti saat ini, ketika purnama ke tujuh tersenyum menyapaku, “selamat
malam, sahabat.” Lalu dia bertanya, “apa yang kau lakukan di sini?” Aku
menjawab, “lihatlah!” Sambil jemariku terus menari-nari, bermain, dan berlari
bersama pena yang tengah berbicara di atas berlarik-larik kertas putih. “Aku sedang
mengurai makna di balik senyum manismu, yang mekar dalam lekukakan wajah ayumu,
sobat.” Sang rembulan tersipu. Ia jengah atas kejujuran puja pujiku.
Itulah seulas kisahku malam ini setelah senja terakhir di tanah leluhur.
Sebuah cerita yang kurajut bersama sang rembulan di bawah temarannya. Ia akan
menjadi tenunan kisah yang akan menyelimuti hari-hariku sebagai sang peziarah,
pencari keabadian.
Aku tahu, dunia ini berisik. Semesta ini riuh rendah. Hari-hari adalah
kebisingan. Tetapi alam raya dan segala ciptaan pemberian-Nya adalah milikku.
Aku mampu hadir sebagai rekan yang hebat. Karena aku adalah pemuja keheningan. Kesunyian
adalah hidupku. Kesendirian adalah nafasku. Ketenangan adalah jiwaku. Ruang
refleksi adalah rumahku. Alam raya adalah sumber inspirasiku. Dan menemukan
makna di balik setiap pengalaman hidup adalah kebijaksanaanku. Walau hiruk
pikuk dunia adalah lahan gersang bagi si pemuja keheningan seperti diriku,
tetapi aku mampu memeluknya. Karena aku terlahir sebagai sang tenang yang terus
berenang di tengah dunia yang gundah gulana.
Malang, Agustus 2017
Walter Arryano