“Kamu tidak perlu menceritakannya. Itu sudah menjadi rahasiamu. Biarlah
kamu sendiri saja yang tahu,” kata aku yang satu. Tetapi aku yang lain
membantah, “Kamu harus cerita! Tujuannya bukan hanya untuk diketahui orang lain
tapi lebih dari itu. Dengan bercerita, kamu bisa menerima pengelaman
kegelapanmu itu. Tentu itu membuatmu tidak nyaman, malu atau kamu akan ditolak
oleh teman-temanmu tetapi dengan bercerita kamu akan berdamai dengannya. Kamu akan
sembuh. Jadi, berceritalah!”
Sepanjang malam aku bergulat dengan diriku sendiri. Kedua aku yang ada
dalam diriku terus bergejolak, mempertahankan argumennya masing-masing. Hingga
lelah membawaku dalam tidur yang tidak nyaman.
Pagi itu, setelah malam yang berat kulewati, aku akhirnya bisa memilih
berpihak pada salah satu aku. “Ketika masih remaja, aku pernah jatuh cinta
kepada seseorang. Setelah sekian lama memendam perasaan itu, suatu saat aku
menemukan keberanian untuk menyatakannya. Tetapi hal yang tidak kuharapkan
terjadi padaku. Aku ditolak bahkan dihina olehnya. Aku merasa malu dan patah
hati. Pengalaman cinta pertama yang buruk itu sangat berpengaruh bagi diriku
yang sekarang ini, terutama dalam hal orientasi seksual.” Serentak
teman-temanku bertepuk tangan, memberi dukungan. Rasanya plong. Ketakutanku
sirna. Bukan penolakan yang kualami tetapi aku mendapatkan rangkulan
persaudaraan. Aku diterima apa adanya diriku.
Sesaat aku menyadari satu sisi diriku yang suka berada dalam zona nyaman
menghilang entah ke mana. Adu gagasan telah usai. Pergulatanku telah berakhir.
Tinggalah satu sisi diriku yang lain. Kurangkul akuku yang ini dengan cinta yang
hangat sebagaimana aku merangkul diriku apa adanya. Diriku yang memiliki
orientasi ketertarikan yang tidak lazim.
***
Untukmu yang telah berbagi persaudaraan denganku
sang tenang