biarkan pena berbicara |
Takut-takut kuacungkan jari. Bukan karena aku malu dengan pengalaman
hidupku. Aku bukan orang tertutup. Tetapi keragu-raguan yang kurasakan itu
lantaran aku adalah orang yang kurang percaya diri. Aku hanya memiliki sedikit
keberanian untuk berbicara dalam forum formal yang melibatkan banyak orang
seperti siang hari itu. Tetapi karena ada hal lain yang ingin kucapai, akhirnya
keberanian itu datang juga.
“Saya setuju dengan ungkapan hati beberapa teman tadi. Bisa dipahami
apabila mereka menjadi Stella, mereka mungkin tidak bisa memaafkan sang ayah
yang tega menodai puteri semata mayangnya itu sendiri. Tetapi bagi saya, apapun
yang dialami Stella, saya tetap merasa iri dengannya. Walaupun dia sangat
terluka, marah, dan kecewa dengan ayah kandungnya tetapi Stella memiliki orang
tua. Takdir hidup saya berbeda.” Dengan terbata-bata kulanjutkan cerita tentang
nasib hidupku yang penuh pilu. Potongan-potongan kisah hidupku belum usai
terurai, aku sudah tak bisa menguasai diriku lagi. Hanya sepenggal cerita yang mampu
kuungkapkan. Kesedihan yang kutahan akhirnya pecah bersama tangisan yang tak
kuasa kubendung lagi.
Sesaat kemudian, ruang konferensi riuh oleh tepukan tangan, membahana
memenuhi langit-langit ruangan. Aku mendapat support dari teman-temanku. Sebuah dukungan agar aku bisa menerima
pengalaman kerentananku sebagai seorang anak yang ditinggal orang tua sejak
kecil.
Malang, Agustus 2017
sang tenang