Friday, 3 November 2017

TAKDIR

biarkan pena berbicara
Takut-takut kuacungkan jari. Bukan karena aku malu dengan pengalaman hidupku. Aku bukan orang tertutup. Tetapi keragu-raguan yang kurasakan itu lantaran aku adalah orang yang kurang percaya diri. Aku hanya memiliki sedikit keberanian untuk berbicara dalam forum formal yang melibatkan banyak orang seperti siang hari itu. Tetapi karena ada hal lain yang ingin kucapai, akhirnya keberanian itu datang juga.
“Saya setuju dengan ungkapan hati beberapa teman tadi. Bisa dipahami apabila mereka menjadi Stella, mereka mungkin tidak bisa memaafkan sang ayah yang tega menodai puteri semata mayangnya itu sendiri. Tetapi bagi saya, apapun yang dialami Stella, saya tetap merasa iri dengannya. Walaupun dia sangat terluka, marah, dan kecewa dengan ayah kandungnya tetapi Stella memiliki orang tua. Takdir hidup saya berbeda.” Dengan terbata-bata kulanjutkan cerita tentang nasib hidupku yang penuh pilu. Potongan-potongan kisah hidupku belum usai terurai, aku sudah tak bisa menguasai diriku lagi. Hanya sepenggal cerita yang mampu kuungkapkan. Kesedihan yang kutahan akhirnya pecah bersama tangisan yang tak kuasa kubendung lagi.
Sesaat kemudian, ruang konferensi riuh oleh tepukan tangan, membahana memenuhi langit-langit ruangan. Aku mendapat support dari teman-temanku. Sebuah dukungan agar aku bisa menerima pengalaman kerentananku sebagai seorang anak yang ditinggal orang tua sejak kecil.

Malang, Agustus 2017
sang tenang
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment