Tuesday, 12 December 2017

TONTONAN YANG MENGUBAH

biarkan pena berbicara
Terlahir sebagai anak semata wayang dalam keluarga berada, apa yang masih kurang bagi hidupku? Segala sesuatunya dengan mudah kudapatkan. Tinggal bilang, pasti akan dipenuhi oleh ayah atau ibuku. Ada sekian banyak temanku di sekolah yang mengalami kesulitan: biaya uang sekolah, beli buku-buku dan perlengkapan sekolah, uang jajan, uang kegiatan, dan sebagainya. Aku tak sedikitpun merasakan hal itu. Hidupku bagai berenang di samudera kekayaan. Aku bergelimang harta. Aku memiliki apa saja yang kuinginkan.
Kemarin sore dalam perjalanan pulang dari sekolah, aku memberitahu ibuku supaya membeli sepatu baru untuk menggantikan sepatu lama yang kupakai tiga bulan terakhir ini. Aku sudah tidak nyaman lagi memakai alas kaki yang terlihat kusam itu. Biasanya ibu tidak banyak omong saat kuutarakan keinginanku. Tetapi kali ini tidak seperti biasanya. Entah kenapa, ibuku tidak segera memenuhi permintaanku.
Malam terus bergerak. Di luar hujan belum reda sejak sore tadi. Ibu dan ayah sedang duduk bersama, menonton TV ketika aku ikut bergabung setelah membaca buku untuk pelajaran besok kutandaskan. "Ma, mana sepatuku?" Pertanyaanku membuyarkan kosentrasi ayah dan ibuku yang sedang melihat tayangan reality show yang rupanya inspiratif itu. "Sayang, maaf yah. Mama belum sempat beli. Mama janji, besok pulang jemput adek di sekolah, kita langsung ke toko sepatu yah." Kata ibuku sambil mengelus-elus pundakku. Lalu ibuku masih menjelaskan kenapa permintaanku kali ini tidak segera terpenuhi dengan beberapa alasan yang memang benar adanya. Aku tidak mau tahu dengan apapun alasan ibu. Aku terus-menerus berteriak, menuntut keinginanku. Walaupun ayah ikut menenangkanku tapi aku masih terus menuntut. Di tengah suasana gundah yang menyelimuti hatiku, tiba-tiba mataku melihat tayangan di TV. Aku tertarik untuk memperhatikan tontonan yang sedari tadi dilihat oleh kedua orangtuku itu. Seorang anak berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Dua kruk mengapit di kedua ketiaknya. Saat mataku berpaling, ingin mendapatkan jawaban di mata ibuku, aku menemukan makna di balik binar cahaya wanita lemah lembut itu. Seketika tanpa sadar mulutku lalu berucap, "Mama nggak usah beli sepatu baru dulu yah. Sepatu adek yang itu masih bagus." Entah kekuatan dari mana yang mendorongku mengatakan itu. Tatapan penuh kasih merona di wajah perempuan 32 tahun yang duduk di sampingku, menyempurnakan biasan roman muka penuh penghargaan lelaki penyabar yang selama ini kupanggil papa. "Seharusnya aku lebih banyak bersyukur karena sudah punya segalanya," kataku dalam diam yang tak biasa.

Malang, Desember 2017
sang tenang
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment