biarkan pena berbicara |
Terlahir sebagai anak semata wayang dalam keluarga
berada, apa yang masih kurang bagi hidupku? Segala sesuatunya dengan mudah
kudapatkan. Tinggal bilang, pasti akan dipenuhi oleh ayah atau ibuku. Ada
sekian banyak temanku di sekolah yang mengalami kesulitan: biaya uang sekolah,
beli buku-buku dan perlengkapan sekolah, uang jajan, uang kegiatan, dan
sebagainya. Aku tak sedikitpun merasakan hal itu. Hidupku bagai berenang di
samudera kekayaan. Aku bergelimang harta. Aku memiliki apa saja yang
kuinginkan.
Kemarin sore dalam perjalanan pulang dari sekolah, aku
memberitahu ibuku supaya membeli sepatu baru untuk menggantikan sepatu lama
yang kupakai tiga bulan terakhir ini. Aku sudah tidak nyaman lagi memakai alas
kaki yang terlihat kusam itu. Biasanya ibu tidak banyak omong saat kuutarakan
keinginanku. Tetapi kali ini tidak seperti biasanya. Entah kenapa, ibuku tidak segera
memenuhi permintaanku.
Malam terus bergerak. Di luar hujan belum reda sejak
sore tadi. Ibu dan ayah sedang duduk bersama, menonton TV ketika aku ikut
bergabung setelah membaca buku untuk pelajaran besok kutandaskan. "Ma,
mana sepatuku?" Pertanyaanku membuyarkan kosentrasi ayah dan ibuku yang
sedang melihat tayangan reality show
yang rupanya inspiratif itu. "Sayang, maaf yah. Mama belum sempat beli.
Mama janji, besok pulang jemput adek di sekolah, kita langsung ke toko sepatu
yah." Kata ibuku sambil mengelus-elus pundakku. Lalu ibuku masih
menjelaskan kenapa permintaanku kali ini tidak segera terpenuhi dengan beberapa
alasan yang memang benar adanya. Aku tidak mau tahu dengan apapun alasan ibu.
Aku terus-menerus berteriak, menuntut keinginanku. Walaupun ayah ikut
menenangkanku tapi aku masih terus menuntut. Di tengah suasana gundah yang
menyelimuti hatiku, tiba-tiba mataku melihat tayangan di TV. Aku tertarik untuk
memperhatikan tontonan yang sedari tadi dilihat oleh kedua orangtuku itu.
Seorang anak berjalan dengan langkah tertatih-tatih. Dua kruk mengapit di kedua
ketiaknya. Saat mataku berpaling, ingin mendapatkan jawaban di mata ibuku, aku
menemukan makna di balik binar cahaya wanita lemah lembut itu. Seketika tanpa
sadar mulutku lalu berucap, "Mama nggak usah beli sepatu baru dulu yah.
Sepatu adek yang itu masih bagus." Entah kekuatan dari mana yang mendorongku
mengatakan itu. Tatapan penuh kasih merona di wajah perempuan 32 tahun yang
duduk di sampingku, menyempurnakan biasan roman muka penuh penghargaan lelaki
penyabar yang selama ini kupanggil papa. "Seharusnya aku lebih banyak
bersyukur karena sudah punya segalanya," kataku dalam diam yang tak biasa.
Malang, Desember 2017
sang tenang