Saturday, 21 October 2017

Rotan sang Guru Musik

biarkan pena berbicara
Jingga mengintip di langit senja. Kawanan camar terbang melintasi dermaga tua yang membentang di sisi lautan. Ombak-ombak berlari, berkejaran, lalu pecah dan berbuih di bibir pantai. Setitik semburannya terciprat dan mengenai wajahku. Wajah sayu yang sembab karena tersiram hujanan haru oleh kenangan masa laluku.
Aku sendiri duduk di pinggir dermaga tua itu saat semburat senja mulai merona di batas cakrawala. Hanya untuk menghabiskan waktu, berbagi kisah bersama seseorang. Aku memanggilnya sang guru. Beliau adalah seorang biarawan, frater kekal yang sepanjang hidupnya mendedikasikan dirinya sebagai seorang guru. Dia sangat terkenal sebagai seorang frater guru yang menguasai bidang musik. Ia pandai bermain organ, melatih paduan suara, dan menciptakan lagu-lagu rohani. Kepiawaiannya dalam bidang musik membuat dia terlihat “selalu” muda dan disukai banyak orang terutama kaum muda. Bagi dia, musik adalah jiwanya. Sampai-sampai ada konfrater yang menggodanya, kalau tidak main musik satu hari, ia bisa sakit satu minggu. Itulah sang guru yang juga seorang biarawan itu.
Sore itu, bertemankan sepi dan alunan suara ombak, aku tenggelam dalam diamku. "Frater minta maaf, frater dulu terlalu kasar dengan kalian." Mataku berkaca-kaca saat mengulang kembali kata-kata yang pernah kuungkapkan di hadapan mantan muridku beberapa waktu lalu saat mereka mengunjungiku. Aku masih ingat, salah seorang dari mereka yang tidak hanya memelukku tetapi dia juga mencium kakiku. "Frater tidak kasar. Frater tidak menyakiti hati kami. Kami tahu bahwa setiap hentakan rotan yang frater berikan, itu adalah tanda bahwa frater mencintai kami. Rotan-rotan itulah yang membuat kami seperti sekarang ini." Kata-kata itulah yang telah merekahkan titik-titik kristal di pelupuk mataku senja itu. Kata-kata dari orang nomor satu di sebuah kabupaten di pulau Flores. Seorang mantan muridku yang terkenal paling nakal di angkatannya dulu. Itulah secuil kisah yang menjadi pemicu hadirnya sembab di mataku senja itu.

Malang, 21.10.17
sang tenang
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment