Saturday, 10 November 2018

MENULIS UNTUK KESEMBUHAN

Sebuah Catatan Reflektif


Beberapa waktu lalu dalam satu Whatsapp Group yang saya ikuti, ramai dengan obrolan yang seru. Beberapa member grup tersebut membagikan pengalamannya tentang menulis. Ada yang sudah mulai menulis sejak masih di Sekolah Dasar dan menerbitkan buku sendiri atau diterbitkan di majalah maupun surat kabar lain. Menurut saya, ini sangat luar biasa. Sebuah pengalaman menulis yang sangat berbeda dengan yang saya miliki. Itulah sebabnya saya menyimak obrolan itu dengan saksama secara diam-diam. Saya tidak berani menyela, menyeletuk, atau semacamnya karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Ada rasa kecil yang menyiutkan nyali lantaran saya tidak memiliki sesuatu dalam hal menulis untuk dibagikan. Saya masih sangat awam.
Pada suatu hari di bulan Februari 2018, seorang teman di facebook mem-posting sebuah catatan yang berjudul INSPIRASI di grup FB Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Poin yang ingin disampaikan dalam tulisan reflektif itu mengenai menulis sebagai suatu bentuk membagi inspirasi yang oleh penulis mengakuinya sebagai pemberian Yang Mahakuasa. Menulis berarti membagi inspirasi yang ditimba dari Tuhan, demikian sekiranya saya boleh memberi kesimpulannya.
Setelah menyimak obrolan di grup WA dan membaca tulisan seorang teman ini, saya lalu tergerak hati untuk berbagi satu hal kecil tentang menulis berdasarkan pengalaman saya. Apa yang menjadi judul catatan saya ini, MENULIS UNTUK KESEMBUHAN, itulah yang ingin saya bagikan melalui ulasan sederhana ini.
Pada masa Prapaskah sekitar 13 tahun lalu, saya membangun sebuah kebiasaan yang nantinya akan sangat membantu saya dalam belajar menulis. Kebiasaan baik ini bermula atas arahan Frater Magister (Pemimpin Novisiat) kepada kami, para Frater Novis untuk membuat suatu bentuk laku tapa dalam rangka mengisi masa retret agung itu.
Membaca adalah pilihan saya. Saya menggunakan waktu istirahat siang selama setengah jam setiap hari untuk menjalankan aksi mati raga itu. Bahan bacaan saya adalah koran, pada artikel-artikel yang menulis tentang sepak bola. Cukup masuk akal karena hobi saya memang di bidang itu. Selain itu juga, cerpen-cerpen yang diterbitkan setiap Minggu oleh koran itu dan Majalah Hidup adalah bacaan favorit saya.
Bermula dari situ, semakin hari saya semakin menikmati habituasi ini. Saya semakin tertarik dengan membaca. Bahan bacaannya juga kemudian berkembang ke buku-buku yang dipinjam di perpustakaan dengan bahan bacaan yang lebih berat dan saya serap semampu otak saya. Tentu selain materi-materi pembinaan (pendidikan) bagi calon Frater.
Kebiasaan membaca ini berdampak positif bagi saya dalam hal menulis buku harian yang menjadi kewajiban bagi kami para pemula hidup bakti. Bahasanya runtut, teratur, dan memiliki perbendaharaan kata yang mumpuni, demikian para formator memberi catatan tentang tulisan-tulisan saya di buku harian maupun terhadap renungan-renungan yang saya bawakan. Itulah pengaruh budaya membaca bagi pengalaman awal saya dalam belajar menulis.
Desember 2006 menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya dalam hubungannya dengan belajar menulis. Untuk pertama kalinya cerpen tulisan saya dimuat pada majalah internal Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, OIKOS. Ide cerpen itu terinspirasi dari cerpen yang pernah saya tulis karena ada tugas yang diberikan guru Bahasa Indonesia waktu di SMA dan menjadi satu-satunya tulisan saya yang pernah nongkrong di mading sekolah.
Cerpen yang berjudul "SELAMAT NATAL SAHABAT" itu membuat penasaran bagi teman-teman Frater Novis terutama karena nama tokoh dalam cerita itu adalah seorang gadis yang dikenal baik oleh teman-teman seangkatan. Beberapa teman dari kongregasi suster yang sempat membaca tulisan pertama saya itu juga bertanya-tanya tentang siapa gadis itu. Rupanya mereka juga ikut terhanyut dalam genangan imajinasi rekaan saya itu. Hal inilah yang kemudian membuat saya semakin bersemangat dalam menulis, khususnya cerpen.
Setelah menyelesaikan masa pembinaan di Novisiat dan berkaul sementara, saya mendapat tugas perutusan pertama sebagai Frater Yunior di Frateran Podor, Larantuka, Flores Timur, NTT. Di komunitas ini, saya diberi tanggung jawab untuk membantu tiga unit kerja. Salah satunya adalah menjadi asisten Bapak asrama SMA Frateran. Berada di antara anak-anak remaja ini, saya mendapat inspirasi untuk menulis. Namun sayangnya, selama setahun di biara yang terletak di ujung timur pulau Flores itu, saya hanya mampu menulis satu cerpen saja.
Tahun berikutnya saya dipindahkan ke Kupang. Di kota karang, ibu kota provinsi NTT ini, saya memiliki pengalaman menarik yang masih saya ingat sampai hari ini. Cerpen-cerpen tulisan saya beberapa kali dibaca dan diperdengarkan oleh sebuah stasiun radio swasta di kota kasih itu. Saya merasa begitu gembira oleh pengalaman itu dan termotivasi untuk menulis.
Menarik kalau saya kembali mengingat ke masa-masa itu. Ada sebuah cerpen yang berjudul "SEBUAH KISAH DI HARI VALENTINE” yang menceritakan tentang pengalaman pribadi seorang biarawan. Dalam cerpen itu, saya menulis tentang bagaimana seorang frater muda yang bergulat dengan dua pilihan hidup, membiara atau berkeluarga; antara cinta dan panggilan. Cerpen itu menjadi menarik karena saya jiplak dari pengalaman pergulatan saya sendiri.
Setahun kemudian, saat saya pindah tugas di Malang, tepatnya pada tahun 2009 dan saya sudah mulai menggunakan media sosial - facebook, saya mem-posting cerpen itu di kolom Notes - satu bagian laman yang disediakan facebook. Dari sekian banyak komentar yang diberikan oleh mereka yang membaca cerpen itu, ada satu yang begitu berkesan bagi saya. "Tidak semua orang biara yang saya kenal, yang berani mengungkapkan pengalaman pergulatannya di media sosial seperti ini," begitulah komentarnya. Saya menjawab saja bahwa dengan berbagi seperti ini, saya ingin bebas dari pergulatan hidup yang kemudian saya memahaminya sebagai bagian proses penyembuhan itu. Melalui cerita sederhana ini, mungkin ada teman-teman saya yang terinspirasi. Begitu, lebih lanjut saya memberi argumentasi. Padahal itu baru satu pergulatan yang wajar dialami oleh seorang religius muda yang masih labil seperti saya. Masih ada banyak yang tersimpan di arsip-arsip pengalaman hidup saya. Dengan menulis, setidaknya saya memiliki jalan keluar dari kemelut jiwa yang selama ini menghambat pertumbuhan hidup saya. Kepada Yang Mahakuasa, saya memohon rahmat-Nya untuk membantu saya. Mulai saat itu, tekad saya bulat, saya akan memulai proses ini, menulis untuk kesembuhan.
Pada 28 Oktober 1987, ibu saya pulang ke pangkuan Bapa. Ibu meninggalkan seorang suami, ayah saya bersama kelima anaknya termasuk saya. Waktu itu usia saya baru 3 tahun, 6 bulan, 8 hari. (Silakan dihitung sendiri, kalau mau tahu kapan saya lahir). Peristiwa kematian sebagaimana dialami oleh semua orang merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan. Kami juga merasakan hal yang sama. Hanya saja karena masih seorang anak kecil, saya tidak terlalu merasakannya. Mungkin karena saya belum tahu.
Ayah rupanya sulit menerima kepergian ibu yang terlalu cepat itu. Karena itu, ayah lalu memutuskan merantau ke Malaysia. Beberapa tahun ayah hidup di negeri jiran, kemudian kembali ke Indonesia dan menetap lama di Batam. Ayah baru kembali ke kampung waktu saya sudah kelas 5 SD dan hendak menerima Komuni Pertama.
Bertahun-tahun, kami hidup tanpa orang tua. Bisa dibayangkan betapa beratnya hidup tanpa orang-orang terkasih, ibu sudah meninggal, ayah pergi merantau. Merasa kehilangan, sedih, dan tanpa pegangan hidup menjadi kemelut hati yang mewarnai hari-hari hidup kami. Sejak saat itu benih-benih luka mulai mengganggu jiwa kecil saya. Beruntung masih ada sanak keluarga ibu yang memperhatikan dan memperbolehkan kami menjadi bagian dari rumah tangga mereka. Kami hidup bersama dan bertumbuh atas belas kasih keluarga besar ibu.
Kakak saya yang sulung, seorang perempuan mengambil alih peran ayah dan ibu dan menjadi ‘orang tua’ bagi kami adik-adiknya. Ketika ibu meninggal kakak saya ini masih seorang gadis kecil yang mulai meremaja. Ia baru lulus SD dan memutuskan berhenti sekolah demi nasib dan masa depan kami, keempat adiknya. Saya menulis sebuah cerpen yang berjudul “DARA TITISAN BUNDA” dipersembahkan khusus kepadanya. Dalam cerpen itu, saya mengurai bagaimana sebuah pengorbanan yang dibangun di atas landasan cinta oleh sang kakak yang telah menjadi segalanya bagi kami, adik-adiknya.
Melihat perjuangan dan pengorbanan kakak membesarkan dan menyekolahkan kami, saya mulai mengerti apa itu hidup tanpa orang tua; apa itu kehilangan. Jiwa anak-anak yang hidup dalam diri saya mulai protes. Teman-teman saya begitu bebas bermain, tetapi saya harus bekerja! Hidup ini terasa tidak adil! Perasaan iri terhadap mereka yang memiliki orang tua mulai menggerogoti jiwa saya. Hari demi hari, benih-benih luka itu terus mendera batin dan jiwa saya.
Setelah lulus SMA, saya memutuskan masuk biara. Ayah dan kakak sulung mendukung saya. Namun, tidak dengan kakak yang ketiga. Kakak perempuan yang terlahir persis sebelum saya itu keberatan dengan pilihan hidup saya. Alasannya karena saya anak laki-laki pertama di rumah dan yang lebih diandalkan sebagai penerus keluarga dibandingkan dengan adik bungsu kami yang laki-laki. Kakak yang terkenal cerdas dan kritis ini tidak terima jika keputusan saya masuk biara tanpa sepengetahuannya yang waktu itu tidak ada di rumah karena ada kegiatan kampus. Saat dia kembali, saya sudah diterima di sebuah biara di kota Maumere, Flores. Saya menulis tentangnya dalam sebuah cerpen yang berjudul “PEREMPUAN YANG MENYERUPAI IBU”.
Saya memilih Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus untuk bergabung. Ini biara yang anggotanya dipanggil “frater”, non tertahbis (frater kekal). Tiga tahun saya bersekolah di SMA Frateran Ndao Ende, sebuah sekolah favorit yang dikelola para frater BHK. Dari sana saya mengenal kongregasi ini dan memutuskan bergabung setelah sebelumnya (kelas 3 SMP), saya dinyatakan tidak lolos seleksi masuk seminari menengah.
Selama menjalani masa-masa pembinaan (pendidikan) di lembaga religius ini, saya dibantu banyak hal untuk menemukan diri. Melalui refleksi dan pendampingan, saya diarahkan untuk merangkai kembali serpihan-serpihan kisah masa lalu yang tercerai-berai terutama karena pengalaman ditinggalkan itu menjadi sebuah mosaik yang utuh bernama diri saya yang berharga di mata-Nya. Saya belajar memaafkan, menerima, dan memeluk masa lalu dengan luka-luka batin yang turut menemaninya sebagai karya rahmat Allah dalam menempa dan membentuk diri saya. Dalam dunia psiko-spiritual, proses ini disebut dengan pengolahan hidup rohani.
Pada akhirnya saya bersyukur atas semua pengalaman luka yang saya alami terutama di masa-masa awal pertumbuhan saya. Bahkan di suatu titik refleksi yang mendalam, saya dengan bebas mengatakan bahwa KEPERGIAN IBU SAYA ADALAH HADIAH TERINDAH BAGI JALAN HIDUP SAYA. Saya menulis tentang pengalaman ini dalam sebuah cerpen yang berjudul "PEREMPUAN PEMBAWA RINDU DARI SURGA" yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini.
Tentang ayah yang dulu di masa-masa sulit, kami sering protes karena keputusannya pergi merantau meninggalkan kami yang baru saja ditinggal ibu untuk selamanya, saya juga menulis sebuah cerpen. Untuk lelaki yang diberi anugerah kesabaran istimewa itu, saya menulis sebuah cerpen dengan judul "AYAH, PEMILIK CINTA YANG HAMPIR DILUPAKAN”. Dalam tulisan itu saya menguraikan bagaimana cara ayah mendidik saya, anak lelakinya yang menjadi tumpuan harapannya. Melalui cerpen yang ditulis berdasarkan hasil refleksi itu, saya menulis, "Mungkin ayah saya adalah lelaki yang paling baik, sampai Tuhan mengajari dia cara untuk mendidik saya." Jadi, kepergian ayah ke tempat rantauan itu bukan untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai orang tua, tetapi karena ayah mau mempersiapkan diri saya untuk kelak saya menjadi pribadi yang tangguh di jalan hidup saya.
Pada 28 Mei 2016 lalu, bersama dua teman angkatan yang tersisa, saya mengikrarkan Kaul Kekal di Gereja Katedral St. Yosep Maumere, Flores. Saya menulis 'yang tersisa' karena memang demikian adanya. Dari 17 pemuda yang pada awalnya memutuskan untuk bergabung dalam Kongregasi Frater BHK, tinggal kami bertiga yang sampai berkaul kekal. Syukur kepada Allah. Dalam refleksi, saya berkesimpulan, kami adalah orang-orang yang paling dikasihi Tuhan. Itu sebabnya, saya memilih satu kalimat yang diucapkan Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, "Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah" (Luk 1:30) sebagai moto Kaul Kekal saya.
Saya merenungkan kembali perjalanan hidup saya yang walaupun penuh dengan liku-liku beronak duri, tetapi Tuhan senantiasa menjaga. Dia memanggil ibu saya pulang kepada-Nya ketika saya masih kecil, bertahun-tahun kami hidup luntang-lantung tanpa orang tua, ternyata semua itu adalah bagian dari rencana-Nya. Dia menyiapkan perjalanan hidup saya bahkan sejak saya sama sekali belum memahami apa itu kehidupan. Saya sungguh dikasihi-Nya. Saya memperoleh kasih karunia di hadapan Allah.
Tidak mudah untuk sampai ke titik ini. Butuh perjuangan bertahun-tahun untuk mengolah dan menerimanya sebagai bagian dari karya rahmat-Nya. Kongregasi melalui para formator entah di rumah pembinaan maupun di komunitas-komunitas yang pernah saya tempati berandil besar dalam proses penyembuhan ini. Secara pribadi saya mengapresiasi diri terutama atas perjuangan saya menerima pengalaman-pengalaman itu dan dituangkan dalam tulisan. Saya berbagi kisah perjalanan hidup saya dengan para frater melalui cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah internal kongregasi. Buahnya, para konfrater semakin mengenal saya dengan kisah hidup yang sesungguhnya dan saya disembuhkan.
Puncaknya pada 30 Juni 2016 lalu, di hadapan ratusan anggota keluarga besar yang turut hadir memeriahkan perayaan syukur Kaul Kekal saya di Rajawawo, Ende, Flores, kampung halaman saya, saya mengungkapkan perasaan syukur yang luar biasa. Kepada mereka, saya katakan bahwa saat ini saya adalah orang yang paling berbahagia walaupun untuk mencapainya, butuh perjuangan yang tidak mudah.
12 Cerpen yang terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen ini mengalir dari pergulatan dan refleksi perjalanan hidup saya. Beberapa di antaranya merupakan rekaan imajinatif yang terinspirasi dari situasi sekitar dan pengalaman membangun relasi dengan sesama. Terima kasih kepada semua yang berkenan membacanya. Harapan saya, melalui tulisan-tulisan sederhana ini, ada yang terdorong untuk mengungkapkan pergulatan hidupnya dengan menulis. Saya tidak mengerti teori tentang hubungan menulis dan penyembuhan luka batin, tetapi pengalaman hidup saya sudah jelas membenarkan judul ulasan sederhana ini, saya menulis untuk kesembuhan. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih untuk setiap ‘telinga yang mau mendengarkan’ curahan hati saya. [] 
†Berkat Tuhan.

| Oro-oro Dowo 58 - Malang | Agustus 2018 |
Walter Arryano
sang tenang
Readmore → MENULIS UNTUK KESEMBUHAN

Tuesday, 18 September 2018

EMPATI

Menurut KBBI, empati berarti keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Dalam bahasa sederhana, empati berarti ikut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Empati berarti turut serta dalam suasana hati sesama.

Seseorang yang memiliki sikap empati tentu saja karena dia memiliki kualitas diri yang mendukungnya. Dia bisa tertawa, terharu, menangis, ataupun terluka bersama orang lain, tentu karena dia memiliki perasaan. Dia mampu mendengarkan orang lain karena dia adalah seorang pendengar yang baik. Dia cepat tegerak hati terhadap kesulitan orang lain karena dia adalah pribadi yang peduli. Dia tanggap terhadap kebutuhan sesamanya karena dia memiliki kepekaan. Di atas segalanya, seseorang yang mampu berempati adalah dia yang di dalam dirinya ada kasih. Kasih telah merajai dirinya.

Kualitas diri seperti inilah yang menggerakkan hati Sang Kasih untuk menghidupkan kembali seorang pemuda. Putra tunggal janda dari Nain itu dibangkitkan oleh karena belas kasihan-Nya. Kasihlah yang mendorong-Nya untuk berempati. Suatu sikap batin yang berbuah dahsyat. Dengan demikian, kasih yang melandasi sikap empati itu menghidupkan. Itulah kekuatannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita berjumpa dengan banyak orang yang menuntut perhatian kita. Ada orang sakit, menderita, atau sesama yang tertekan hidupnya oleh karena aneka persoalan hidup. Berbekal semangat empati, kita bisa hadir sebagai sesama bagi mereka. Spiritualitas empati menghadirkan berita gembira bagi sesama. Untuk itu marilah kita menjadi agen-agen pembawa sikap empati dalam hidup sehari-hari. Kita akan berjumpa dengan semakin banyak orang yang penuh gembira menjalani hidupnya. Sikap empati yang kita berikan menggembirakan orang lain.

 Walter Arryano, BHK | 18.09.2018
Readmore → EMPATI

Saturday, 23 June 2018

SANTO WALTERUS

(Sebuah Catatan Reflektif - Remah-Remah Retret 2018)
Foto bersama setelah Retret 2018 Frater BHK
“Saudara Arianus, mulai sekarang namamu menjadi Frater Walterus,” kata Bapa Uskup Keuskupan Malang, Mgr. HJS. Pandoyoputro, O.Carm yang mempersembahkan misa penjubahan waktu itu kepada saya. Peristiwa itu terjadi pada 12 Juli 2005, tiga belas tahun lalu. Artinya sudah lebih dari sepuluh tahun saya tidak menyadari arti nama itu bagi perjalanan hidup saya sebagai seorang Frater Bunda Hati Kudus. Padahal dulu saya memiliki alasan memilih Walterus sebagai nama biara saya. Hingga hari ini, ketika romo pembimbing retret mengembalikan penyadaran itu dalam diri, saya seperti baru bertemu kembali dengan sosok pemilik nama yang menjadi inspirasi hidup saya itu.
Frater Walterus V. J. van Hoesel adalah seorang frater Belanda. Dia memiliki banyak kecocokan dengan diri saya sebagai pribadi maupun tentang latar belakang keluarga. Sepenggal profil hidupnya yang saya baca pada buku kenangan bagi para frater pendahulu itu, sudah cukup memberi inspirasi kepada saya untuk memilih namanya sebagai nama biara saya.
“Saya yakin dia sekarang sudah bahagia di surga dan menjadi orang kudus yang selalu mendoakan saya!” Di pojok rohani, dalam kesempatan refleksi pribadi, saya tergerak untuk membatinkan kalimat itu. Sebuah ungkapan hati berdasarkan kesadaran baru terhadap arti sebuah nama. Saya merenungkan sosok yang tak saya sadari selama ini sebagai santo pelindung saya. Keyakinan itu berdasarkan alasan bahwa selama ini secara personal maupun kongregasional, saya (kita) selalu mendoakan keselamatan bagi semua saudara sekongregasi yang telah berpulang. Frater Walterus telah berkumpul dan berbahagia bersama Bapa Pendiri dan para frater yang lain dalam kediaman abadi di surga. Saya sungguh yakin, maka di penghujung permenungan hari itu, saya berkata, “Santo Walterus, doakanlah saya!”
Saudara ...
Apa yang paling membahagiakan selain memiliki keyakinan bahwa di pintu kemah abadi berdirilah seseorang yang menunggu kedatangan kita? Saya percaya, ketika saatnya tiba, frater Walterus menunggu saya di pintu surga dengan tangan terbuka dan siap menyambut kedatangan saya. Keyakinan itu mengajak saya mulai hari ini untuk selalu berdoa melalui perantaraan dan di bawah perlindungan frater (santo) Walterus.
Apabila inspirasi ini menjadi gerakan bersama kita secara kongregasional, berapa banyak santo yang terlahir dari rahim Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Mungkin ada yang memberi argumentasi bahwa para santo ini tidak diakui oleh Gereja. Bagi saya, apalah artinya pengakuan jika secara pribadi saya berkeyakinan bahwa saya memiliki seorang santo dari saudara setarekat yang senantiasa melindungi dan mendoakan saya dari surga!
Keyakinan ini membawa dampak yang lebih luas bagi persekutuan. Betapa banyak orang kudus BHK yang mengalirkan rahmat dari surga untuk perziarahan kongregasi ini dalam menjalankan tugas perutusannya. Mereka sangat berperan bagi perjalanan kongregasi sampai hari ini. Tentu saja selain orang-orang kudus yang dipilih oleh kongregasi sejak semula bersama sanak keluarga para frater yang telah berbahagia di surga. Mereka adalah Gereja Mulia BHK yang menjadi pendoa dan pelindung kongregasi bersama Para Kudus Allah. Pada titik ini, saya boleh mengungkapkan satu kalimat yang terinspirasi dari gagasan refleksi retret tahun ini, “Hidup dalam kelimpahan rahmat-Mu yang mengalir dari surga, itulah hidup yang sedang kujalani hari ini, ya Tuhan.”   

| Walter Arryano |
|Rumah Retret Andreas Fey, Malang, 23.06.2018 |
#sangtenang
Readmore → SANTO WALTERUS

Saturday, 16 June 2018

SPIRITUALITAS MERASUL BERBASIS LITERASI

(frater, mantan frater, dan calon mantan frater menulis buku)


“Hidup dalam tiga paragraf ternyata menyenangkan. Melalui pentigraf mereka bukan hanya menjawab rangsangan kreativitas dan puitika, namun juga berbagi pengalaman hidup.” Demikian tulis Tengsoe Tjahjono, pendiri Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias (KPKDG) dalam kata pengantar buku ini.

Gagasan itu juga senada dengan misi yang diusung para penulis buku karya bersama ini. Menulis tidak melulu sebagai perkerjaan untuk keabadian sebagaimana kata Pramoedya Ananta Toer. Menulis juga merupakan aktivitas membagi inspirasi yang ditimba dari pengalaman hidup pribadi. Melalui karya sederhana Kitab Pentigraf PEREMPUAN BERMATA KOSONG dan 99 Cerita Lainnya ini, para penulis ingin berbagi hasil permenungan dan refleksi dari berbagai peristiwa hidup yang mereka alami.

99 adalah angka yang unik, hasil kelipatan 3 dari 33. Buku fiksi ini berisi 99 pentigraf (cerpen tiga paragraf) yang ditulis oleh 3 orang, masing-masing menulis 33 pentigraf. Tambah satu lagi pentigraf yang ditulis bersama-sama. 75 kata di paragraf pertama oleh mantan frater, 75 kata di paragraf kedua oleh frater, dan 75 kata di paragraf terakhir oleh calon mantan frater. Ketiga penulis itu adalah sebagai berikut.

Penulis pertama adalah Walter Arryano yang merupakan nama pena dari Frater M. Walterus BHK. Seorang biarawan anggota Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus kelahiran Ende, Flores, 20 April 1984. Penyuka literasi yang saat ini berdomisili di Malang, Jawa Timur ini adalah seorang guru, pengajar bidang studi Bahasa Inggris di sebuah Sekolah Dasar milik kongregasinya di pusat kota Malang. Membangun peradaban kasih melalui budaya literasi adalah spiritualitas hidup yang menjiwai setiap rangkaian kata yang ditulisnya.

Penulis kedua adalah Werenfridus Taseseb, lahir pada 25 April 1988 di Desa Naip, Soe, Timor Tengah Selatan, NTT. Weren pernah bergabung dalam Ordo Saudara Dina Konventual Indonesia (2008-2017). Kini ia bekerja sebagai karyawan swasta di Asrama Putra St. Fransiskus Assisi, Kabanjahe, Medan, Sumatera Utara. Untuk mengembangkan salah satu hobinya, ia aktif menulis. Buku karya perdananya adalah antologi puisi Silent Love (Titisan Batin Anak Indonesia, 2017). Baginya, menulis adalah salah satu cara mensyukuri hidup serta belajar mendekati kesempurnaan.

Sementara penulis ketiga adalah Agustinus Indradi, lahir di Purworejo, Donomulyo, Malang Selatan, 4 April 1966. Pak Agus, demikian ia dipanggil adalah seorang dosen pengampu MK Bahasa Indonesia pada Unika Widya Karya Malang dan menyelesaikan pendiddikan S1, S2, dan S3 di IKIP Malang/Universitas Negeri Malang. Dalam tim menulis bersama ini, ia menyematkan predikat “mantan calon frater” pada dirinya karena ketika kecil dulu pernah terlintas keinginan untuk masuk biara. Dosen yang juga saat ini aktif memberikan pelatihan dan motivasi ini, saat kuliah S1 sempat membuat kumpulan puisi Surat buat Tuhan dan mengadakan Pameran Mandiri Puisi dan Cerpen. Beberapa buku karyanya terbit di Dioma, Tiga Serangkai, Grasindo, MNC, dan Erlangga.

Apapun predikatnya, kata kuncinya adalah "frater" yang berarti saudara. Karya ini bermula dari relasi persaudaraan yang dibangun oleh hobi yang sama, MENULIS. Mereka "bertemu" di dunia maya dalam "rumah bersama" KOMUNITAS PENULIS KATOLIK DEO GRATIAS dan mengambil bagian dalam proyek menulis beberapa buku karya bersama komunitas facebook tersebut. Kemudian mereka berinisiatif membagi inspirasi melalui karya tulis ini. Melalui buku kumpulan pentigraf ini mereka berharap agar para pembaca terinspirasi dan diberkati oleh karya kerasulan berbasis literasi yang mereka persembahkan ini. Salam literasi. DEO GRATIAS.

Oro-oro Dowo 58, Malang
16 Juni 2018 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → SPIRITUALITAS MERASUL BERBASIS LITERASI

Saturday, 21 April 2018

SYUKUR, TERIMA KASIH, MINTA MAAF, DAN DOAKAN!

(Sebuah catatan reflektif tentang perayaan hari ulang tahun)

Pada Jumat, 20 April 2018, usia hidup saya di dunia ini genap 34 tahun. Untuk memaknai momen itu, saya membuat catatan sederhana dari hasil permenungan saya tentang perayaan hari ulang tahun kelahiran. Catatan singkat berikut ini berangkat dari empat kata kunci yang saya renungkan di hari istimewa itu, yaitu syukur, terima kasih, minta maaf, dan doakan.

SYUKUR Merayakan hari ulang tahun seyogyanya adalah kita merayakan syukur. Mengapa demikian? Karena napas kehidupan adalah anugerah istimewa dari Tuhan bagi setiap manusia. Tanpa itu, kita adalah benda mati tak bernyawa. Untuk itu, momen ulang tahun seharusnya menjadi saat bagi kita untuk merayakan syukur.

Bagi saya, ucapan syukur yang dirayakan pada hari ulang tahun ini tentu yang pertama bagi Tuhan, atas kemurahan anugerah-Nya yang masih memberi saya hidup sampai hari ini. Kedua, saya juga bersyukur atas rahmat panggilan hidup membiara yang saya terima dari Tuhan. Atas rahmat itulah, pada setiap kali merayakan hari ulang tahun selama ini, saya selalu didoakan. Secara kongregasional, para frater di komunitas-komunitas mendoakan saya. Sanak keluarga, para sahabat, dan kenalan juga turut mendoakan saya dengan harapan-harapan yang terbaik bagi hidup saya selanjutnya.

Ini adalah upah dari pilihan hidup saya di jalan panggilan-Nya. Saya katakan demikian, karena tradisi merayakan hari ulang tahun tidak pernah saya alami waktu masih di rumah. Selama belasan tahun sebelum masuk biara, saya sulit memastikan apakah dulu saya sadar bahwa setiap 20 April itu adalah hari ulang tahun saya. Saya tidak yakin. Maka wajarlah bila kebiasaan merayakan hari ulang tahun yang selalu dilakukan di biara membuat saya merasa sangat bersyukur. Karena saya merasa begitu istimewa.

TERIMA KASIH
Sebagaimana pada momen-momen istimewa lainnya, seperti kelahiran, kelulusan, wisuda, pernikahan, dan sebagainya, pada hari ulang tahun kita mendapatkan perhatian khusus dari orang-orang terdekat. Selain mendapatkan ucapan selamat dan hadiah, kita juga dipestakan. Pada momen ini, kita diayubahagiakan dan menjadi fokus perhatian.

Di dalam biara, hal seperti ini merupakan suatu kelaziman. Sejak 2004 menjadi penghuni biara, hampir setiap tahunnya saya dipestakan. Para frater, rekan kerja, dan kenalan berkumpul untuk bergembira dan makan bersama. Kadang saya berpikir, apa nilai tambahnya dari perayaan itu, bukankah itu hanya membuang-buang waktu, tenaga, dan anggaran untuk menyiapkan makanan dan lain-lainnya. Apalagi dengan tugas saya sebagai pengurus rumah tangga, bagaimana mungkin saya menyiapkan macam-macam untuk memestakan diri saya sendiri.

Namun, poinnya bukan di situ. Merayakan hari ulang tahun juga merupakan saat yang tepat untuk memperat ikatan persaudaraan di antara konfrater. Setiap hari para frater sibuk dengan tugasnya masing-masing. Bertemu dan berkumpul bersama di hari ulang tahun seorang anggota memberi peluang untuk membangun spirit persaudaraan. Di momen itu kita mendapat perhatian istimewa dari para saudara, tentu selain doa-doa dan harapan-harapan yang diungkapkan secara pribadi maupun bersama-sama. Untuk ini, ucapan terima kasih adalah keniscayaan. Ucapan terima kasih yang terlahir dari kedalaman hati yang tulus kiranya penting diungkapkan sebagai bentuk apresiasi yubilaris bagi setiap bentuk perhatian yang diterimanya.

MINTA MAAF
Sebagai manusia kita tak bisa terlepas dari kealpaan. Kita adalah manusia yang tidak sempurna. Setiap kita pernah melakukan kekeliruan, entah melalui kata-kata maupun perbuatan. Oleh karena itu, kita wajib melakukan rekonsiliasi agar keutuhan hidup bersama tetap terjaga.
Di dalam hidup membiara, keragaman anggota merupakan sesuatu yang lumrah. Di dalamnya berkumpul orang-orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Hal inilah yang kemudian berpotensi menciptakan konflik. Gesekan-gesekan antar anggota di dalam biara merupakan hal yang normal dan wajar terjadi. Namun, jalan keluar atau pemecahan masalah menjadi usaha bersama yang harus dilakukan demi terciptanya komunitas persaudaraan yang penuh kasih.

Menurut saya, momen merayakan hari ulang tahun bisa menjadi waktu yang ideal untuk tujuan ini. Anggota yang berpesta perlu dengan rendah hati mengakui kekurangannya di hadapan para saudara. Mungkin dalam kehidupannya sehari-hari, melalui tutur kata dan tindakannya yang tidak patut, dia telah menjadi batu sandungan bagi yang lain. Dalam kesempatan ini baiklah dia menyampaikan permohonan maafnya. Tentu kita membutuhkan sikap rendah hati dan kejujuran sebagai landasan untuk mewujudkan tujuan ini. Langkah ini perlu dilakukan sebagai bentuk pembaruan diri. Kita mengevaluasi diri sambil memikirkan apa saja yang akan dilakukan sebagai upaya pembenahan pada hari-hari selanjutnya.

DOAKANDoa adalah sumber kekuatan bagi setiap orang beriman. Melalui doa, orang membangun relasi yang dekat dengan Tuhan. Sebagai sebuah persekutuan orang beriman, kita perlu saling mendoakan. Sudah pasti orang yang dirayakan ulang tahunnya didoakan secara khusus dengan harapan-harapan yang terbaik bagi dirinya. Ini adalah bentuk perhatian rohani bagi saudara yang berpesta.

Namun, perjalanan hidup tidak terbatas pada momen hari ulang tahun. Masih ada hari esok dengan seabrek tugas dan tangung jawab serta tantangan-tantangan yang harus dihadapi. Oleh karena itu, pada momen ini baiklah juga kita dengan rendah hati meminta dukungan dari para saudara untuk mendoakan kita. Mengharapkan doa-doa dari sesama anggota berarti kita mempercayakan diri kita kepada uluran tangan persekutuan. Dengan demikian kita akan maju bersama dalam semangat persaudaraan yang saling menumbuhkan.

Oro-oro Dowo 58, Malang
21 April 2018 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → SYUKUR, TERIMA KASIH, MINTA MAAF, DAN DOAKAN!

Friday, 13 April 2018

KISAH SEORANG ANAK YANG SEDANG BERTUMBUH

(Sebuah catatan reflektif dari pengalaman mengikuti kapitel)
Oleh Frater M. Walterus BHK

Pada 9-12 April, Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia menyelenggarakan Kapitel Karya Provinsi Indonesia 2018. Ini merupakan kapitel provinsi terakhir sebelum struktur kongregasi yang baru dibentuk pada kapitel umum September 2018 nanti dengan membubarkan provinsi Indonesia. Ada yang melihat ini sebagai sebuah kemunduran, tetapi tidak sedikit yang mengakui kebijakan ini sebagai sebuah langkah dinamis agar kongregasi ini tetap servive di tengah dunia yang semakin berubah ini. Kongregasi perlu berpijak pada langkah-langkah adaptif agar tidak tergilas oleh perkembangan zaman. Juga harus realistis dengan kondisi riil angka keanggotaan kongregasi yang terus menurun dari tahun-tahun. Demikian kelompok pendukung memberi agurmentasi terhadap perubahan bentuk kepemimpinan kongregasi yang akan direalisasi dalam kepitel umum nanti. Catatan ini tidak bermaksud untuk menguraikan poin-poin silang pendapat tentang perubahan itu, tetapi saya ingin mengemukakan beberapa hal berangkat dari pengalaman saya sebagai salah seorang peserta kapitel.

Dalam kapitel yang dihadiri para peserta sidang kapitel yang terdiri dari anggota ex-offisio, kapitularis terpilih dan cadangan, undangan DPU, para overste dan para frater undangan khusus itu, saya hadir sebagai staf pembantu dengan tugas sebagai notulis. Saya garisbawahi, staf pembantu. Itulah posisi saya di antara para frater terbaik yang hadir atas nama anggota provinsi Indonesia itu. Terbaik karena mereka dipilih melalui mekanisme yang berlaku secara konstitusional.

Bagaikan setitik air di tengah lautan yang mahaluas, ia memang tak ada apa-apanya. Namun, lautan yang sangat luas itu akan berkurang tanpa kehadiran yang setitik itu. Seperti itulah analogi penyertaan saya dalam kapitel kali ini. Saya tidak mengatakan bahwa saya sangat penting, tetapi tanpa peran serta saya pelaksanaan kapitel akan merepotkan, minimal bagi penanggung jawab sekretariat. Saya sedang “menghitung” sebuah kontribusi kecil bagi pelaksanaan kegiatan penting tarekat ini. Walaupun demikian, bagi saya andil yang sekecil itu sangat berarti bagi diri saya secara pribadi. Berikut ini argumentasinya.

Ada begitu banyak frater di provinsi Indonesia, lalu kenapa saya yang dipilih? Itu berarti saya dianggap bisa dan faktanya saya sanggup membuktikan anggapan itu dengan menjalankan fungsi saya sebaik mungkin sesuai kemampuan yang saya miliki. Saya yakin kepercayaan yang diberikan kepada saya itu berangkat dari penilian subjektif bahwa saya bisa menulis dan juga berdasarkan pengalaman saya sebagai pembantu di sekretariat DPU.

Dalam catatan ini, saya ingin menyoroti soal kemampuan menulis. Memang benar, kongregasi telah membekali saya dengan studi lanjut di Perguruan Tinggi dalam bidang bahasa, tetapi berapa persen ilmu yang diperoleh di bangku kuliah bisa diterapkan dalam hidup karya? Hanya sebagian kecil, selebihnya butuh improvisasi sendiri dengan latihan yang terus-menerus. Itulah yang saya lakukan dalam dunia tulis-menulis. Saya bergaul dengan orang-orang yang suka menulis dan belajar bersama mereka. Saya membaca buku, artikel, atau catatan-catatan kecil yang memberi informasi penting bagi saya dalam belajar menulis. Hasilnya memang tidak luar biasa, tetapi cukup membuat diri saya dianggap ada dalam kepentingan bersama. Yang sesederhana ini saja sudah bisa membantu, apalagi yang memiliki kemampuan lebih, pasti akan sangat membantu lagi. Itu untuk direnungakan, terutama bagi teman-teman frater muda.

Poin kedua yang ingin saya ungkapkan yaitu mengenai pengalaman yang saya timba dari kegiatan enam tahunan itu. Saya adalah peserta yang paling muda berdasarkan usia kelahiran maupun usia hidup membiara. Artinya, pada momen itu saya berada di antara para senior yang tentunya memiliki seabrek pengalaman. Sambil menjalakan tugas, kesempatan itu saya gunakan untuk belajar. Saya belajar berkapitel dengan mekanisme dan tata caranya. Saya belajar memahami cara berpikir dan langkah solutif yang ditawarkan para frater terhadap suatu persoalan yang diangkat. Saya  belajar memahami kongregasi ini secara lebih dekat dengan aneka progresivitas yang membanggakan di tengah kompleksitas masalah yang dimilikinya.

Sambil mencatat apa yang dibicarakan, saya mengidentifikasi dimanika yang sedang terjadi di dalam tubuh kongregasi ini. Saya melihat orang-orang tulus yang berbicara tentang cintanya terhadap kongregasi. Saya mendengar keluhan-keluhan mereka yang bekerja keras mengembangkan misi Allah melalui tugas perutusan yang dipercayakan. Saya seperti melihat hamparan kisah-kisah mahahebat tentang cita-cita pendiri yang mengalir deras di medan-medan karya para frater. Di sisi lain, saya tertantang untuk ikut memikirkan apa yang menjadi tangisan “ibu kongregasi” di tengah beragam “luka” yang menggerogotinya. Pada titik ini, saya merasa semakin bertumbuh dalam sense of belonging terhadap tarekat tercinta ini. Sebuah rumah bersama yang di dalamnya saya adalah seorang anak yang dikasihi dan mengasihi.

Oro-oro Dowo 58, Malang
13 April 2018 | Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → KISAH SEORANG ANAK YANG SEDANG BERTUMBUH

Monday, 26 March 2018

MEMBICARAKAN IDENTITAS MELALUI TULISAN

Saya kira Anda pernah berpikir bahwa dengan menulis sebenarnya Anda sedang mengungkapkan jati diri Anda sendiri. Siapa diri Anda dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sadar atau tidak, tergambar dalam karya tulis yang Anda hasilkan.
Saya masih ingat, saat menjalani masa pembinaan menjadi frater dulu, para formator beberapa kesempatan meminta kami untuk menulis. Ini bukan bagian dari latihan menulis, tetapi sebenarnya mereka ingin mengenal kepribadian kami masing-masing melalui tulisan yang dihasilkan. Dari situ, selanjutnya kami diarahkan. Artinya, setelah mengetahui siapa diri kami melalui tulisan tadi, selanjutnya mereka menemukan arah ke mana masing-masing kami akan didampingi. Tentu saja para formator ini memahami dan memiliki kompetensi dalam bidang itu.
Dalam dunia psiko-spiritual (yang saya pahami hanya sedikit), ada beberapa metode yang digunakan untuk mengenal kepribadian seseorang. Di antaranya melalui simbol, menggambar, mewarnai, dan menulis. Suatu kali saya menggambar sebuah pemandangan di laut. Di sana ada perahu kecil di tengah lautan yang luas dengan sebuah daratan yang menjadi tujuan perahu itu berlayar.
Perahu itu adalah simbol diri saya yang sedang berjalan. Sebagaimana manusia pada umumnya, kita adalah para peziarah (homo viator) yang sedang berjalan menuju keabadian. Saya melalui pilihan hidup yang sedang saya jalani saat ini adalah bagian dari perziarahan itu. Di tengah laut (jalan) kadang-kadang saya menjumpai ombak yang menciutkan nyali, ada hujan badai dan sengatan matahari, dan ada juga makhluk-makhluk laut yang mengerikan. Itulah aneka tantangan dengan beragam wujud dan tingkat kekuatan yang mengganggu perjalanan hidup saya. Saya bersyukur karena ada banyak orang yang berjalan bersama saya. Mereka adalah orang tua, para formator, konfraters, rekan-rekan kerja, dan tentu saja Dia Sang Pemanggil. Mereka berjalan bersama saya melalui dukungan, doa, dan bentuk-bentuk perhatian lainnya.
Suatu kali saya memilih kertas putih sebagai simbol diri saya. Lalu saya menulis dengan mengambil posisi sebagai sang kertas yang sedang bercerita. Menarik ketika kita mampu masuk ke dalam dunia kertas dan secara jujur mengatakan tentang dirinya. Melalui metode ini sebenarnya kita dibawa masuk ke dalam dunia diri kita yang sesungguhnya. Itu juga merupakan pengalaman saya.
"Mereka yang lancar menulis tentang simbolnya dan tidak membuang banyak kertas karena dianggap salah, merekalah orang-orang yang cukup mengenal dirinya." Saya ingat itu kata-kata pembina saya. Tentang menulis simbol kertas putih tadi, saya ingat ada dua kertas yang saya gunakan, yang pertama kertas buraman berisi coretan awal, yang kedua adalah kertas bersih berisi tulisan saya yang sudah jadi setelah melalui proses editing versi saya yang dulu. Sekali lagi, ini pengalaman saya. Lalu apa hubungannya dengan judul tulisan saya ini?
Belakangan ini, kita menemukan aneka karya tulis yang berserakan di lapak media sosial pribadi maupun grup-grup yang diikuti. Ada bermacam-macam bentuk tulisan oleh beragam penulis dengan latar belakang yang bervariasi pula. Sadar atau tidak, melalui karya tulis tersebut, kita sebenarnya sedang menceritakan siapa diri kita kepada para pembaca. Maksud saya, ini tidak hanya tentang mengaktualisasikan diri, tetapi kita sedang membicarakan kepada orang lain tentang kepribadian kita yang lebih dipengaruhi oleh dorongan alam bawah sadar. Ingat, ada teori yang mengatakan bahwa seorang pribadi normal dikendalikan oleh 80 % alam bawah sadar dan 20 % alam sadar.
Dengan demikian, melalui tulisan yang dibagikan, kita sebenarnya bisa mengenal kepribadian penulisnya. Saya menulis beberapa contoh berikut ini. Ada tulisan yang terlihat rapi, terartur, serta konstruksi idenya mengalir secara runtut. Ini pasti karya tulis dari mereka yang hidupnya "jelas" dan teratur, tidak mbulet. Kita pernah membaca tulisan yang walaupun sederhana, tetapi ditulis dengan baik, menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar berdasarkan EYD. Tulisan tersebut dihasilkan oleh mereka yang dalam hidupnya tidak tertarik untuk menyusahkan orang lain. Dia adalah orang yang sederhana dalam kata dan tindakannya, tetapi menyenangkan bagi orang lain. Soal konsistensi, tak jarang kita membaca tulisan-tulisan yang tidak konsisten. Misalnya dalam satu tulisan, ada yang mulanya dia menulis "saya", tetapi di bagian lain dia menggunakan "kami". Ini hanya satu contoh kecil. Namun, si penulis mungkin tidak sadar bahwa dia sedang memperkenalkan dirinya yang kurang (tidak) konsisten.
Masih banyak contoh lain yang bisa ditulis di sini. Pada intinya, kita akan dibawa kepada pengenalan akan kepribadian penulis melalui tulisannya. Gagasan saya ini mungkin ada teorinya, saya tidak tahu, tetapi saya hanya ingin membagikan apa yang pernah saya pahami. Argumen ini dilatarbelakangi oleh pengalaman saya sendiri sebagaimana yang sudah saya utarakan di atas. Saya tidak bermaksud menyinggung atau mengevaluasi siapapun. Ini murni sharing gagasan yang bersumber dari pengalaman pribadi. Saya kira, ide ini baik juga kalau digunakan untuk mengenal teman (sahabat) yang selama ini kita jalin melalui jembatan maya di bawah kendali kedua jempol jari tangan kita masing-masing. Salam literasi. †Deo Gratias.
Readmore → MEMBICARAKAN IDENTITAS MELALUI TULISAN

Saturday, 10 February 2018

KONEKTIVITAS

“Keterhubungan adalah energi yang hadir ketika orang-orang merasa dilihat, didengarkan, dan dihargai; ketika mereka bisa memberi dan menerima tanpa menghakimi; dan ketika mereka mendapatkan kekuatan dari relasi.” Romo Iwan dengan lugas menjelaskan. Uraian singkat salah satu poin dari materi retret pada konferensi pertama itu menyadarkan diriku.
Aku adalah pengguna media sosial dan teknologi informasi yang aktif. Selama ini aku menghabiskan lebih banyak waktu untuk membangun keterhubungan dengan warganet daripada bertatap muka secara nyata dengan mereka. Benar bahwa komunikasi yang dibangun itu membantu banyak mereka yang ingin berbagi beban dan pergulatan hidupnya denganku. Tetapi uraian itu, uraian Romo pembimbing retret itu menyadarkan aku.
“Saya kira, sosial media dan alat-alat komunikasi bisa menjadi pengganti keterhubungan apabila disalahgunakan,” batinku berpendapat.

Malang, 24 Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → KONEKTIVITAS

Friday, 2 February 2018

SEPASANG BENIH AWAL DI LADANG MISI

Malam itu, perasaanku tak karuan. Di malam hari kedua Februari 1928 itu, aku takut dan gelisah sampai sulit tidur. Perayaan malam perutusan yang dihadiri sesama saudaraku berlangsung meriah, namun tak kuasa mengusir gundah di hatiku. Suhu kamarku terasa hangat berkat penghangat ruangan yang bekerja sepanjang waktu. Di luar, udara terasa dingin menusuk tulang. Titik-titik salju sisa musim dingin masih menempel di daun-daun dan reranting cemara. "Ayah, inilah konsekuensi pilihan hidupku. Tapi aku akan mampu menjalaninya sebagaimana janjiku pada ibu saat aku meninggalkan rumah dulu!" Aku berkata pada diriku sendiri. Di sisi jendela yang sengaja kubuka aku menerawang. Di depan mataku hamparan lampu malam indah dipandang. Gedung-gedung megah pencakar langit terlihat kokoh membingkai kota. Daerah yang temasuk dalam wilayah Utara itu tak pernah mati oleh geliat penghuninya.
"Pada kota ini jejak rinduku akan kutinggalkan," gumamku. Aku menakar seberapa besar rasa itu akan kutanggung tatkala jarak memisahkan aku dengan tanah kelahiranku yang telah berjasa menumbuhkan semangat hidupku. Iya, jiwa jejakaku digelorakan di tanah ini. Itu juga yang mendorong nyali lelakiku menyala dan mantap menjawab "Ya" pada tugas perutusan yang besok lusa akan membawa ragaku pergi jauh, mengarungi samudera, menyeberangi lautan menuju sebuah daerah yang hanya kutahu melalui peta tua di dinding perpustakaan.
"Aku adalah pemuda yang menyukai petualangan. Bukankah itu membanggakan? Bahwa di usiaku yang masih hijau, 32 tahun, aku telah mendapatkan kepercayaan yang besar ini!" Aku menguatkan diriku. Ada rasa gembira dan bangga karena generasi mendatang akan mengenang malam ini sebagai malam Misi yang salah seorang tokoh di dalamnya ada namaku. Walaupun ada rasa sedih karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta, tanah air, dan rekan-rekan sepanggilan, namun kata-kata hiburan itu kemudian menjadi obat penenang yang membawa diriku ke dunia mimpi. Kuakhiri malam perpisahan itu dalam antusiasme yang menyelimuti lelapku.
Jan Pieterzoon Coen terlihat kokoh bersandar di dermaga. Empat hari setelah malam perutusan, kami meninggalkan Utrecht menuju Genua menggunakan kereta api. Sebelumnya, Uskup Agung Utrecht, Mgr. van de Wetering mempersembahkan Misa mulia dan berkat apostoliknya kepada kami di kapel Rumah Induk. Dalam perayaan itu Mgr. Wetering juga memberi kami salib Misi. Bagiku yang masih sangat muda ini, perhatian dan dukungan moril Yang Mulia sungguh menguatkan.
Dari pelabuhan di wilayah Selatan itu, perjalanan ke negeri Timur jauh yang memakan waktu berminggu-minggu dimulai. Saat sirene kapal terdengar menggetarkan, riuh hatiku yang beberapa malam sebelumnya telah redah, kini bergemuruh. Jantungku berdebar kencang. Resahku kembali membuncah. Ini pertama kali aku bepergian dengan moda transportasi laut. Kapal besar yang gagah perkasa dan siap menantang lautan luas itu akan membawaku ke negeri jauh di ufuk timur. "Ayah-ibu, doakan anakmu!" Batinku berteriak meminta pertolongan dari rumah. Kepada langit kutengadahkan kepala. Sejurus kemudian, rapalan doa permohonan mengalir deras bagai air di dinding jurang. Aku meminta perlindungan-Nya. Aku memohon penyertaan para penghuni surga bagi perjalanan Misi yang mendebarkan ini. Jangkar dinaikan, tali-tali dilepaskan, kapal segera berangkat. Lambaian tangan mengiringi piasan buih ombak di moncong kapal. Deru mesinnya menambah gemuruh hujan sedih di hatiku. Detik itu tercatat dalam sejarah hidupku, untuk pertama kalinya aku pergi ke negeri jauh di selasar samudera. Aku meninggalkan ayah-ibu, rekan-rekan sepanggilan, dan tentu saja negeri yang sangat kucintai itu untuk mengawali petualanganku sebagai seorang misionaris muda.
"Tuhan, ke tempat inikah, Engkau mengutusku?" Tanyaku agak protes dalam nada tak bersuara kala pijakan kaki pertama kali kujejaki di tanah Misi pada 4 Maret di tahun itu. Terbayang berbagai macam kesulitan yang akan kuhadapi pada hari-hari yang akan datang di tanah asing ini. Bahasa, budaya, makanan, dan adaptasi lingkungan, hanya beberapa di antaranya. Jiwa mudaku agak goyah. Hatiku kembali gaduh. Negeriku telah kutinggalkan beribu-ribu mil di ujung barat. Kecemasan turut membelenggu jiwaku.
Welkom, broer!” Mgr. Clemens van der Pas, O.Carm, Perfek Apostolik pertama Malang menyambut kami di sisi stasiun kereta api Malang, 11 hari setelah kapal penumpang yang membawa kami dari Negeri Belanda membuang sauh di Batavia. Pemilik suara teduh itu menyalami kami dengan hangat. Sapaan dan senyumannya menenangkan. Sesaat aku merasa berada di negeri sendiri. Bersama sang Gembala dan para Imam Karmelit yang terlebih dahulu diutus ke negeri Hindia Belanda ini, aku mulai menata ruang rasaku.
Dewan Pimpinan Umum di bawah nahkoda frater Stanislaus Glaudemans memutuskan komposisi yang apik bagi kedua misionaris awal, aku dan frater Gregorius Goedhart. Beliau yang diutus menjadi misionaris saat berusia 63 tahun itu adalah seorang konfrater yang sifat manusiawi, tindakan, dan jalan hidupnya serba istimewa dan agung. Kata "Goedhart" pada namanya yang berarti "baik hati", arti itu betul-betul melekat pada dirinya. Dia adalah pribadi yang lemah lembut. Pilihan Dewan Pusat bagi peletak dasar kongregasi di Indonesia ini merupakan sepasang misionaris yang serasi. Aku, Wilfridus Weling, frater muda dengan semangat yang berapi-api perlu didampingi oleh seorang senior dan pemimpin yang matang dalam pertimbangan dan tindakan seperti frater yang memilih nama sama dengan nama Rumah Induk kita di Utrecht itu. Deus Providebit! Aku ingat semangat itu sebagaimana yang diteladankan Bapa Pendiri dan ketiga frater pertama di masa-masa sulit pada awal berdirinya kongregasi. Mereka selalu mempercayakan kesulitan mereka pada Penyelenggaraan Ilahi, biarlah Dia yang akan mencukupinya. "Bersama-Nya, kami akan belajar bagaimana menjadi bagian dari orang-orang sini," batinku bertekad.

|Frater M. Walterus Raja Oja, BHK|Malang, 01.01.2018|
sang tenang
Readmore → SEPASANG BENIH AWAL DI LADANG MISI

Wednesday, 31 January 2018

ROH SEBUAH TULISAN

Menulis dengan pengalaman hidup sebagai sumber inspirasi ternyata lebih banyak "berbicara". Sesederhana apapun pengalaman itu. Asal diracik dengan pilihan kalimat dan sentuhan diksi yang enak dinikmati.

Menulis karya sastra seperti cerpen yang cenderung lebih ke arah rekayasa imajinasi (ada juga yang diangkat dari pengalaman pribadi), apakah kurang "berbicara"?

Dalam hal ini, refleksi (baca: pemaknaan) mengambil peran penting. Sebuah karya imajinatif terasa lebih hidup karena melewati jalur refleksi. Demikian seseorang memberi argumentasinya.

Namun, bagi saya, pembaca juga berperan penting dalam menghidupkan suatu karya tulis. Hanya pembaca dengan kapasitas tertentu yang mampu merasakan adanya roh dalam sebuah tulisan. Artinya, tulisan terasa hidup karena dibaca oleh "orang hidup" juga.

Malang, 20.12.17
#sangtenang
Readmore → ROH SEBUAH TULISAN

ALASAN MERASA BAHAGIA

Bunda,  kau dan malaikat kecilmu menjadi alasan kenapa aku selalu jatuh cinta dan tersenyum bahagia. (Tiny Parera)

Semua tulisan dengan bahasa indah adalah puisi. Karena itu bagi saya, caption yang ditulis di atas gambar ini adalah puisi. Saya tertarik untuk mengulasnya karena gambar beserta caption-nya itu memberikan saya inspirasi demikian: Kita tahu bahwa alasan bagi hampir semua mereka yang memilih jalur profesi sebagai para medis karena mereka adalah para pencinta kehidupan. Mereka pro life. Penulis yang adalah seorang bidan merupakan salah satu di antaranya. Oleh karena itu, tidak heran dia menulis ungkapan hatinya berangkat dari realitas panggilan hidupnya. Tak jarang, penulis di hari-hari aktivitasnya bergelut dengan aneka rasa tidak enak: was-was, cemas, takut, sedih, kecewa, marah, dan sebagainya. Maka, ungkapan "selalu jatuh cinta dan tersenyum bahagia" atas suatu kehidupan baru, itu suatu keniscayaan.

Seorang guru merasa bahagia karena muridnya yang tertinggal dalam berbagai aspek merengkuh kesuksesan di akhir masa sekolah; Seorang pengajar iman penuh sukacita menyaksikan umatnya mengalami pembaruan hidup; Seorang petani merasa gembira karena limpahan panenannya memberi harapan hidup bagi orang lain; Seorang ibu mengucurkan air mata bahagia saat menyaksikan kehidupan rumah tangganya yang penuh cinta dalam keterbatasan;  Seorang dokter berderai air mata haru menyaksikan senyum mekar di wajah pasiennya yang baru sembuh dari kanker yang hampir saja merenggut nyawa; Wajah seorang penulis bercahaya ketika karyanya memberi inspirasi banyak orang; dan masih banyak lagi jenis pekerjaan beserta alasannya mengapa selalu ada "jatuh cinta dan tersenyum bahagia" yang mereka rasakan.

Pertanyaan untuk kita, adakah "jatuh cinta dan tersenyum bahagia" yang mengalir dari profesi yang sedang kita jalani saat ini? Bersama rerumputan yang bergoyang dan bening butir hujan di ujung daunnya, mari kita menemukan jawabannya.

Malang, 13.12.17
#sangtenang
Readmore → ALASAN MERASA BAHAGIA

Tuesday, 16 January 2018

BERSYUKUR DAN BERGEMBIRA BERSAMA MENUJU SEKOLAH UNGGUL DAN BERKARAKTER

PERAYAAN 50 TAHUN
SD KATOLIK MARDI WIYATA 1 MALANG

SDK Mardi Wiyata 1 Malang didirikan pada 1 Januari 1968. Tahun ini bertepatan dengan 90 tahun Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus berkarya di Indonesia, sekolah yang terletak di Jln. Jaksa Agung Suprapto 21 ini genap berusia 50 tahun. Perayaan 50 tahun tersebut semestinya dilaksanakan pada 1 Januari 2018, tetapi karena hari itu masih dalam masa liburan Natal, maka pelaksanaannya dilangsungkan pada Sabtu, 13 Januari 2018. Inti perayaan hari ulang tahun sekolah itu tertuju pada nuansa “bersyukur dan bergembira bersama” yang bermuara pada sekolah yang unggul dan berkarakter.

Perayaan syukur diawali dengan Misa Kudus yang dipimpin oleh Rm. Fransiscus Aryodiwarno, Pr. Dalam kotbahnya, Imam Keuskupan Malang ini menekankan soal pentingnya ucapan syukur atas rahmat istimewa ini. “50 tahun adalah usia emas. Selama rentang waktu setengah abad ini, sekolah telah meluluskan ribuan murid yang kini telah dan sedang berpastisipasi dalam pelayanan kepada masyarakat, gereja, dan negara. Untuk itu ucapan syukur layak dihaturkan kepada Allah yang telah menyelenggarakan karya hebat ini,” katanya. Perayaan Ekaristi berlangsung khusyuk, dimeriahkan oleh kelompok paduan suara anak-anak yang bergabung dalam kegiatan bina vocalia. Anak-anak yang ikut dalam kegiatan ekstrakurikuler menari juga ikut menyemarakan Misa Kudus dengan membawakan tarian pengantar bahan persembahan.

Setelah Misa Kudus, perayaan dilanjutkan dengan berbagai penampilan peserta didik di sekolah tersebut, di antaranya: paduan suara, tarian daerah, tarian kreasi, modern dance, band, dan karate. Berbagai penampilan ini adalah hasil dari kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti anak-anak selama ini. Mereka berkesempatan menunjukkan kebolehannya berkat ketekunan yang dilakukan selama ini sambil bergembira bersama merayakan hari ulang tahun sekolah.

Hadir dalam perayaan itu, para frater BHK dari beberapa komunitas di Malang, orang tua murid, bapak-ibu guru dan pegawai, beserta seluruh peserta didik sekolah tersebut. Fr. M. Simon, BHK mewakili para frater dalam sambutannya, beliau menekankan perihal pendidikan karakter. “Selaras dengan program revolusi mental yang dicanangkan pemerintah, lembaga pendidikan ini dengan caranya telah menterjemahkan dalam seluruh kegiatan di sekolah. Para frater mengapresiasi kerja keras bapak-ibu dalam meneruskan nilai-nilai dan spiritualitas kongregasi kepada para peserta didik. Pendidikan karakter adalah hal yang penting bagi generasi zaman ini terutama nilai-nilai kristiani yang menjadi kekhasan Lembaga Pendidikan Katolik,” tegasnya. Sementara itu, Fr. M. Christoforus, BHK yang hadir atas nama Yayasan Mardi Wiyata Sub Perwakilan Malang dalam sambutannya memberi penegasan tentang filosofi pendidikan yang pada hakekatnya menumbuhkan semangat. “Orang bijak mengatakan, pendidikan itu seperti melemparkan bola api ke bumi. Artinya, pendidikan harus memberi semangat, menumbuhkah harapan, dan semangat yang membara bagi anak didik,” tegasnya.

Ada yang berbeda dari perayaan kali ini yaitu keterlibatan orang tua murid. Sekolah berinisiatif mengundang seluruh orang tua untuk bergembira bersama di hari jadinya yang ke-50 tahun itu. Selain ikut ambil bagian dalam Misa Syukur, para orang tua juga berkesempatan menyaksikan penampilan-penampilan putra-putrinya. Semua yang hadir ikut bersyukur dan bergembira bersama warga sekolah. Rangkaian acara syukuran itu diakhiri dengan makan siang bersama yang dikoordinir oleh bapak-ibu yang bergabung dalam peguyuban kelas. “Suksesnya acara ini terselenggara berkat kerja sama semua pihak, terutama orang tua murid dan bapak-ibu anggota peguyuban kelas. Untuk itu, kami mengucapkan banyak terima kasih. Kami selalu berharap agar kebersamaan ini tetap terjalin untuk kegiatan-kegiatan yang akan datang terutama dalam rangka memajukan sekolah kita ini.” Demikian apresiasi yang disampaikan bapak Edik Joko Yuhono, S.Pd, kepala SDK Mardi Wiyata 1 Malang.

Malang, 16 Januari 2018
fr. Walter
Readmore → BERSYUKUR DAN BERGEMBIRA BERSAMA MENUJU SEKOLAH UNGGUL DAN BERKARAKTER

Thursday, 11 January 2018

PERMAINAN MASA KECIL

di pinggir sungai
anak-anak bermain
mengejar capung

***
Haiku ini saya tulis berdasarkan pengalaman masa kecilku. Kami dulu waktu air leding belum masuk kampung, biasanya kami ke sungai untuk mandi dan mengambil air untuk kebutuhan rumah tangga, seperti masak, minum, mencuci peralatan dapur, dll.
Bagi kami anak-anak, sungai adalah arena permainan yang menyenangkan. Selain bermain-main dengan air yang tentunya sangat bersih, jernih, dan alami, capung juga menjadi mainan kami. Kami mengejar dan menangkap capung. Di bagian ekor capung yang tertangkap, kami selipkan sepucuk tanaman air yang saya tidak tahu namanya, lalu capung itu diterbangkan lagi.
Melihat capung terbang sambil membawa potongan daun di ekornya, itu adalah hiburan yang cukup mewah bagi kami, anak-anak kampung. Mungkin jenis permainan itu, bagi kids zaman now sudah berubah wujud menjadi salah satu game keren di gawainya.
Betul, bahwa permainan masa kecilku itu menyakiti capung yang waktu kecil dulu, saya tidak pernah menyadarinya, tetapi bagaimana kami dekat dengan alam dan menjadikan apa yang ada sebagai media permainan yang sederhana tapi menggembirakan, saya kira itu poinnya. Karena itulah, sungai bagi kami adalah tempat kami menikmati hiburan gratis yang disediakan sang Pencipta.
Poin kedua yang ingin saya kemukakan di sini adalah soal orisinalitas. Sebuah karya, apapun itu, kalau dikerjakan dengan menggunakan hati yang bagi saya menjadi sumber yang orisinil itu berasal, hasilnya akan menggunggah dan menggetarkan.
Hal yang sama juga soal pengalaman pribadi yang menjadi latar belakang sebuah karya. Itu sungguh menginspirasi orang lain. Asal itu memang sungguh menjadi suatu niatan untuk dibagikan kepada sesama. Karena pada hakikatnya, setiap pribadi adalah hadiah bagi sesamanya. Suatu pemberian diri yang tidak pernah habis dibagi.
Untuk itu, mari berkarya dengan hati. Inspirasi sudah disediakan di alam semesta ini oleh Sang Ada yang telah mengadakan sejak dunia dijadikan.

Januari 2018
Walter Arryano
#sangtenang
Readmore → PERMAINAN MASA KECIL