Sebuah Catatan Reflektif
Beberapa waktu lalu dalam satu Whatsapp Group yang saya ikuti, ramai dengan obrolan yang seru.
Beberapa member grup tersebut
membagikan pengalamannya tentang menulis. Ada yang sudah mulai menulis sejak
masih di Sekolah Dasar dan menerbitkan buku sendiri atau diterbitkan di majalah
maupun surat kabar lain. Menurut saya, ini sangat luar biasa. Sebuah pengalaman
menulis yang sangat berbeda dengan yang saya miliki. Itulah sebabnya saya
menyimak obrolan itu dengan saksama secara diam-diam. Saya tidak berani
menyela, menyeletuk, atau semacamnya karena saya tidak memiliki kapasitas untuk
melakukan itu. Ada rasa kecil yang menyiutkan nyali lantaran saya tidak
memiliki sesuatu dalam hal menulis untuk dibagikan. Saya masih sangat awam.
Pada suatu hari di bulan Februari 2018, seorang teman di
facebook mem-posting sebuah catatan
yang berjudul INSPIRASI di grup FB Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Poin
yang ingin disampaikan dalam tulisan reflektif itu mengenai menulis sebagai suatu
bentuk membagi inspirasi yang oleh penulis mengakuinya sebagai pemberian Yang
Mahakuasa. Menulis berarti membagi inspirasi yang ditimba dari Tuhan, demikian
sekiranya saya boleh memberi kesimpulannya.
Setelah menyimak obrolan di grup WA dan membaca tulisan
seorang teman ini, saya lalu tergerak hati untuk berbagi satu hal kecil tentang
menulis berdasarkan pengalaman saya. Apa yang menjadi judul catatan saya ini,
MENULIS UNTUK KESEMBUHAN, itulah yang ingin saya bagikan melalui ulasan
sederhana ini.
Pada masa Prapaskah sekitar 13 tahun lalu, saya membangun
sebuah kebiasaan yang nantinya akan sangat membantu saya dalam belajar menulis.
Kebiasaan baik ini bermula atas arahan Frater Magister (Pemimpin Novisiat)
kepada kami, para Frater Novis untuk membuat suatu bentuk laku tapa dalam
rangka mengisi masa retret agung itu.
Membaca adalah pilihan saya. Saya menggunakan waktu
istirahat siang selama setengah jam setiap hari untuk menjalankan aksi mati
raga itu. Bahan bacaan saya adalah koran, pada artikel-artikel yang menulis
tentang sepak bola. Cukup masuk akal karena hobi saya memang di bidang itu.
Selain itu juga, cerpen-cerpen yang diterbitkan setiap Minggu oleh koran itu
dan Majalah Hidup adalah bacaan favorit saya.
Bermula dari situ, semakin hari saya semakin menikmati
habituasi ini. Saya semakin tertarik dengan membaca. Bahan bacaannya juga
kemudian berkembang ke buku-buku yang dipinjam di perpustakaan dengan bahan
bacaan yang lebih berat dan saya serap semampu otak saya. Tentu selain
materi-materi pembinaan (pendidikan) bagi calon Frater.
Kebiasaan membaca ini berdampak positif bagi saya dalam hal
menulis buku harian yang menjadi kewajiban bagi kami para pemula hidup bakti.
Bahasanya runtut, teratur, dan memiliki perbendaharaan kata yang mumpuni,
demikian para formator memberi catatan tentang tulisan-tulisan saya di buku
harian maupun terhadap renungan-renungan yang saya bawakan. Itulah pengaruh
budaya membaca bagi pengalaman awal saya dalam belajar menulis.
Desember 2006 menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya
dalam hubungannya dengan belajar menulis. Untuk pertama kalinya cerpen tulisan
saya dimuat pada majalah internal Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, OIKOS.
Ide cerpen itu terinspirasi dari cerpen yang pernah saya tulis karena ada tugas
yang diberikan guru Bahasa Indonesia waktu di SMA dan menjadi satu-satunya
tulisan saya yang pernah nongkrong di
mading sekolah.
Cerpen yang berjudul "SELAMAT NATAL SAHABAT" itu
membuat penasaran bagi teman-teman Frater Novis terutama karena nama tokoh
dalam cerita itu adalah seorang gadis yang dikenal baik oleh teman-teman
seangkatan. Beberapa teman dari kongregasi suster yang sempat membaca tulisan
pertama saya itu juga bertanya-tanya tentang siapa gadis itu. Rupanya mereka
juga ikut terhanyut dalam genangan imajinasi rekaan saya itu. Hal inilah yang
kemudian membuat saya semakin bersemangat dalam menulis, khususnya cerpen.
Setelah menyelesaikan masa pembinaan di Novisiat dan berkaul
sementara, saya mendapat tugas perutusan pertama sebagai Frater Yunior di
Frateran Podor, Larantuka, Flores Timur, NTT. Di komunitas ini, saya diberi
tanggung jawab untuk membantu tiga unit kerja. Salah satunya adalah menjadi
asisten Bapak asrama SMA Frateran. Berada di antara anak-anak remaja ini, saya
mendapat inspirasi untuk menulis. Namun sayangnya, selama setahun di biara yang
terletak di ujung timur pulau Flores itu, saya hanya mampu menulis satu cerpen
saja.
Tahun berikutnya saya dipindahkan ke Kupang. Di kota karang,
ibu kota provinsi NTT ini, saya memiliki pengalaman menarik yang masih saya
ingat sampai hari ini. Cerpen-cerpen tulisan saya beberapa kali dibaca dan
diperdengarkan oleh sebuah stasiun radio swasta di kota kasih itu. Saya merasa
begitu gembira oleh pengalaman itu dan termotivasi untuk menulis.
Menarik kalau saya kembali mengingat ke masa-masa itu. Ada
sebuah cerpen yang berjudul "SEBUAH KISAH DI HARI VALENTINE” yang
menceritakan tentang pengalaman pribadi seorang biarawan. Dalam cerpen itu,
saya menulis tentang bagaimana seorang frater muda yang bergulat dengan dua pilihan
hidup, membiara atau berkeluarga; antara cinta dan panggilan. Cerpen itu
menjadi menarik karena saya jiplak dari pengalaman pergulatan saya sendiri.
Setahun kemudian, saat saya pindah tugas di Malang, tepatnya
pada tahun 2009 dan saya sudah mulai menggunakan media sosial - facebook, saya mem-posting cerpen itu di kolom Notes
- satu bagian laman yang disediakan facebook.
Dari sekian banyak komentar yang diberikan oleh mereka yang membaca cerpen itu,
ada satu yang begitu berkesan bagi saya. "Tidak semua orang biara yang
saya kenal, yang berani mengungkapkan pengalaman pergulatannya di media sosial
seperti ini," begitulah komentarnya. Saya menjawab saja bahwa dengan
berbagi seperti ini, saya ingin bebas dari pergulatan hidup yang kemudian saya
memahaminya sebagai bagian proses penyembuhan itu. Melalui cerita sederhana
ini, mungkin ada teman-teman saya yang terinspirasi. Begitu, lebih lanjut saya
memberi argumentasi. Padahal itu baru satu pergulatan yang wajar dialami oleh
seorang religius muda yang masih labil seperti saya. Masih ada banyak yang
tersimpan di arsip-arsip pengalaman hidup saya. Dengan menulis, setidaknya saya
memiliki jalan keluar dari kemelut jiwa yang selama ini menghambat pertumbuhan
hidup saya. Kepada Yang Mahakuasa, saya memohon rahmat-Nya untuk membantu saya.
Mulai saat itu, tekad saya bulat, saya akan memulai proses ini, menulis untuk
kesembuhan.
Pada 28 Oktober 1987, ibu saya pulang ke pangkuan Bapa. Ibu
meninggalkan seorang suami, ayah saya bersama kelima anaknya termasuk saya.
Waktu itu usia saya baru 3 tahun, 6 bulan, 8 hari. (Silakan dihitung sendiri,
kalau mau tahu kapan saya lahir). Peristiwa kematian sebagaimana dialami oleh
semua orang merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan. Kami juga merasakan
hal yang sama. Hanya saja karena masih seorang anak kecil, saya tidak terlalu
merasakannya. Mungkin karena saya belum tahu.
Ayah rupanya sulit menerima kepergian ibu yang terlalu cepat
itu. Karena itu, ayah lalu memutuskan merantau ke Malaysia. Beberapa tahun ayah
hidup di negeri jiran, kemudian kembali ke Indonesia dan menetap lama di Batam.
Ayah baru kembali ke kampung waktu saya sudah kelas 5 SD dan hendak menerima
Komuni Pertama.
Bertahun-tahun, kami hidup tanpa orang tua. Bisa dibayangkan
betapa beratnya hidup tanpa orang-orang terkasih, ibu sudah meninggal, ayah
pergi merantau. Merasa kehilangan, sedih, dan tanpa pegangan hidup menjadi
kemelut hati yang mewarnai hari-hari hidup kami. Sejak saat itu benih-benih ‘luka’ mulai
mengganggu jiwa kecil saya. Beruntung masih ada sanak keluarga ibu yang
memperhatikan dan memperbolehkan kami menjadi bagian dari rumah tangga mereka.
Kami hidup bersama dan bertumbuh atas belas kasih keluarga besar ibu.
Kakak saya yang sulung, seorang perempuan mengambil alih
peran ayah dan ibu dan menjadi ‘orang tua’ bagi kami adik-adiknya. Ketika ibu
meninggal kakak saya ini masih seorang gadis kecil yang mulai meremaja. Ia baru
lulus SD dan memutuskan berhenti sekolah demi nasib dan masa depan kami,
keempat adiknya. Saya menulis sebuah cerpen yang berjudul “DARA TITISAN BUNDA”
dipersembahkan khusus kepadanya. Dalam cerpen itu, saya mengurai bagaimana
sebuah pengorbanan yang dibangun di atas landasan cinta oleh sang kakak yang
telah menjadi segalanya bagi kami, adik-adiknya.
Melihat perjuangan dan pengorbanan kakak membesarkan dan
menyekolahkan kami, saya mulai mengerti apa itu hidup tanpa orang tua; apa itu
kehilangan. Jiwa anak-anak yang hidup dalam diri saya mulai protes. Teman-teman
saya begitu bebas bermain, tetapi saya harus bekerja! Hidup ini terasa tidak
adil! Perasaan iri terhadap mereka yang memiliki orang tua mulai menggerogoti
jiwa saya. Hari demi hari, benih-benih luka itu terus mendera batin dan jiwa
saya.
Setelah lulus SMA, saya memutuskan masuk biara. Ayah dan
kakak sulung mendukung saya. Namun, tidak dengan kakak yang ketiga. Kakak
perempuan yang terlahir persis sebelum saya itu keberatan dengan pilihan hidup
saya. Alasannya karena saya anak laki-laki pertama di rumah dan yang lebih diandalkan
sebagai penerus keluarga dibandingkan dengan adik bungsu kami yang laki-laki.
Kakak yang terkenal cerdas dan kritis ini tidak terima jika keputusan saya
masuk biara tanpa sepengetahuannya yang waktu itu tidak ada di rumah karena ada
kegiatan kampus. Saat dia kembali, saya sudah diterima di sebuah biara di kota
Maumere, Flores. Saya menulis tentangnya dalam sebuah cerpen yang berjudul
“PEREMPUAN YANG MENYERUPAI IBU”.
Saya memilih Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus untuk
bergabung. Ini biara yang anggotanya dipanggil “frater”, non tertahbis (frater
kekal). Tiga tahun saya bersekolah di SMA Frateran Ndao Ende, sebuah sekolah
favorit yang dikelola para frater BHK. Dari sana saya mengenal kongregasi ini
dan memutuskan bergabung setelah sebelumnya (kelas 3 SMP), saya dinyatakan
tidak lolos seleksi masuk seminari menengah.
Selama menjalani masa-masa pembinaan (pendidikan) di lembaga
religius ini, saya dibantu banyak hal untuk menemukan diri. Melalui refleksi
dan pendampingan, saya diarahkan untuk merangkai kembali serpihan-serpihan
kisah masa lalu yang tercerai-berai terutama karena pengalaman ditinggalkan itu
menjadi sebuah mosaik yang utuh bernama diri saya yang berharga di mata-Nya.
Saya belajar memaafkan, menerima, dan memeluk masa lalu dengan luka-luka batin
yang turut menemaninya sebagai karya rahmat Allah dalam menempa dan membentuk
diri saya. Dalam dunia psiko-spiritual, proses ini disebut dengan pengolahan
hidup rohani.
Pada akhirnya saya bersyukur atas semua pengalaman luka yang
saya alami terutama di masa-masa awal pertumbuhan saya. Bahkan di suatu titik
refleksi yang mendalam, saya dengan bebas mengatakan bahwa KEPERGIAN IBU SAYA
ADALAH HADIAH TERINDAH BAGI JALAN HIDUP SAYA. Saya menulis tentang pengalaman
ini dalam sebuah cerpen yang berjudul "PEREMPUAN PEMBAWA RINDU DARI
SURGA" yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini.
Tentang ayah yang dulu di masa-masa sulit, kami sering
protes karena keputusannya pergi merantau meninggalkan kami yang baru saja
ditinggal ibu untuk selamanya, saya juga menulis sebuah cerpen. Untuk lelaki
yang diberi anugerah kesabaran istimewa itu, saya menulis sebuah cerpen dengan
judul "AYAH, PEMILIK CINTA YANG HAMPIR DILUPAKAN”. Dalam tulisan itu saya
menguraikan bagaimana cara ayah mendidik saya, anak lelakinya yang menjadi
tumpuan harapannya. Melalui cerpen yang ditulis berdasarkan hasil refleksi itu,
saya menulis, "Mungkin ayah saya adalah lelaki yang paling baik, sampai
Tuhan mengajari dia cara untuk mendidik saya." Jadi, kepergian ayah ke
tempat rantauan itu bukan untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai orang
tua, tetapi karena ayah mau mempersiapkan diri saya untuk kelak saya menjadi
pribadi yang tangguh di jalan hidup saya.
Pada 28 Mei 2016 lalu, bersama dua teman angkatan yang
tersisa, saya mengikrarkan Kaul Kekal di Gereja Katedral St. Yosep Maumere,
Flores. Saya menulis 'yang tersisa' karena memang demikian adanya. Dari 17
pemuda yang pada awalnya memutuskan untuk bergabung dalam Kongregasi Frater
BHK, tinggal kami bertiga yang sampai berkaul kekal. Syukur kepada Allah. Dalam
refleksi, saya berkesimpulan, kami adalah orang-orang yang paling dikasihi
Tuhan. Itu sebabnya, saya memilih satu kalimat yang diucapkan Malaikat Gabriel
kepada Bunda Maria, "Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan
Allah" (Luk 1:30) sebagai moto Kaul Kekal saya.
Saya merenungkan kembali perjalanan hidup saya yang walaupun
penuh dengan liku-liku beronak duri, tetapi Tuhan senantiasa menjaga. Dia
memanggil ibu saya pulang kepada-Nya ketika saya masih kecil, bertahun-tahun
kami hidup luntang-lantung tanpa orang tua, ternyata semua itu adalah bagian
dari rencana-Nya. Dia menyiapkan perjalanan hidup saya bahkan sejak saya sama
sekali belum memahami apa itu kehidupan. Saya sungguh dikasihi-Nya. Saya
memperoleh kasih karunia di hadapan Allah.
Tidak mudah untuk sampai ke titik ini. Butuh perjuangan
bertahun-tahun untuk mengolah dan menerimanya sebagai bagian dari karya
rahmat-Nya. Kongregasi melalui para formator entah di rumah pembinaan maupun di
komunitas-komunitas yang pernah saya tempati berandil besar dalam proses
penyembuhan ini. Secara pribadi saya mengapresiasi diri terutama atas
perjuangan saya menerima pengalaman-pengalaman itu dan dituangkan dalam
tulisan. Saya berbagi kisah perjalanan hidup saya dengan para frater melalui
cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah internal kongregasi. Buahnya, para
konfrater semakin mengenal saya dengan kisah hidup yang sesungguhnya dan saya
disembuhkan.
Puncaknya pada 30 Juni 2016 lalu, di hadapan ratusan anggota
keluarga besar yang turut hadir memeriahkan perayaan syukur Kaul Kekal saya di
Rajawawo, Ende, Flores, kampung halaman saya, saya mengungkapkan perasaan
syukur yang luar biasa. Kepada mereka, saya katakan bahwa saat ini saya adalah
orang yang paling berbahagia walaupun untuk mencapainya, butuh perjuangan yang
tidak mudah.
12 Cerpen yang terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen ini
mengalir dari pergulatan dan refleksi perjalanan hidup saya. Beberapa di
antaranya merupakan rekaan imajinatif yang terinspirasi dari situasi sekitar
dan pengalaman membangun relasi dengan sesama. Terima kasih kepada semua yang
berkenan membacanya. Harapan saya, melalui tulisan-tulisan sederhana ini, ada
yang terdorong untuk mengungkapkan pergulatan hidupnya dengan menulis. Saya
tidak mengerti teori tentang hubungan menulis dan penyembuhan luka batin,
tetapi pengalaman hidup saya sudah jelas membenarkan judul ulasan sederhana
ini, saya menulis untuk kesembuhan. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima
kasih untuk setiap ‘telinga yang mau mendengarkan’ curahan hati saya. []
†Berkat
Tuhan.
| Oro-oro Dowo 58 - Malang | Agustus 2018 |
Walter Arryano
Walter Arryano
sang tenang