Saturday, 10 November 2018

MENULIS UNTUK KESEMBUHAN

Sebuah Catatan Reflektif


Beberapa waktu lalu dalam satu Whatsapp Group yang saya ikuti, ramai dengan obrolan yang seru. Beberapa member grup tersebut membagikan pengalamannya tentang menulis. Ada yang sudah mulai menulis sejak masih di Sekolah Dasar dan menerbitkan buku sendiri atau diterbitkan di majalah maupun surat kabar lain. Menurut saya, ini sangat luar biasa. Sebuah pengalaman menulis yang sangat berbeda dengan yang saya miliki. Itulah sebabnya saya menyimak obrolan itu dengan saksama secara diam-diam. Saya tidak berani menyela, menyeletuk, atau semacamnya karena saya tidak memiliki kapasitas untuk melakukan itu. Ada rasa kecil yang menyiutkan nyali lantaran saya tidak memiliki sesuatu dalam hal menulis untuk dibagikan. Saya masih sangat awam.
Pada suatu hari di bulan Februari 2018, seorang teman di facebook mem-posting sebuah catatan yang berjudul INSPIRASI di grup FB Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias. Poin yang ingin disampaikan dalam tulisan reflektif itu mengenai menulis sebagai suatu bentuk membagi inspirasi yang oleh penulis mengakuinya sebagai pemberian Yang Mahakuasa. Menulis berarti membagi inspirasi yang ditimba dari Tuhan, demikian sekiranya saya boleh memberi kesimpulannya.
Setelah menyimak obrolan di grup WA dan membaca tulisan seorang teman ini, saya lalu tergerak hati untuk berbagi satu hal kecil tentang menulis berdasarkan pengalaman saya. Apa yang menjadi judul catatan saya ini, MENULIS UNTUK KESEMBUHAN, itulah yang ingin saya bagikan melalui ulasan sederhana ini.
Pada masa Prapaskah sekitar 13 tahun lalu, saya membangun sebuah kebiasaan yang nantinya akan sangat membantu saya dalam belajar menulis. Kebiasaan baik ini bermula atas arahan Frater Magister (Pemimpin Novisiat) kepada kami, para Frater Novis untuk membuat suatu bentuk laku tapa dalam rangka mengisi masa retret agung itu.
Membaca adalah pilihan saya. Saya menggunakan waktu istirahat siang selama setengah jam setiap hari untuk menjalankan aksi mati raga itu. Bahan bacaan saya adalah koran, pada artikel-artikel yang menulis tentang sepak bola. Cukup masuk akal karena hobi saya memang di bidang itu. Selain itu juga, cerpen-cerpen yang diterbitkan setiap Minggu oleh koran itu dan Majalah Hidup adalah bacaan favorit saya.
Bermula dari situ, semakin hari saya semakin menikmati habituasi ini. Saya semakin tertarik dengan membaca. Bahan bacaannya juga kemudian berkembang ke buku-buku yang dipinjam di perpustakaan dengan bahan bacaan yang lebih berat dan saya serap semampu otak saya. Tentu selain materi-materi pembinaan (pendidikan) bagi calon Frater.
Kebiasaan membaca ini berdampak positif bagi saya dalam hal menulis buku harian yang menjadi kewajiban bagi kami para pemula hidup bakti. Bahasanya runtut, teratur, dan memiliki perbendaharaan kata yang mumpuni, demikian para formator memberi catatan tentang tulisan-tulisan saya di buku harian maupun terhadap renungan-renungan yang saya bawakan. Itulah pengaruh budaya membaca bagi pengalaman awal saya dalam belajar menulis.
Desember 2006 menjadi momen yang tidak terlupakan bagi saya dalam hubungannya dengan belajar menulis. Untuk pertama kalinya cerpen tulisan saya dimuat pada majalah internal Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, OIKOS. Ide cerpen itu terinspirasi dari cerpen yang pernah saya tulis karena ada tugas yang diberikan guru Bahasa Indonesia waktu di SMA dan menjadi satu-satunya tulisan saya yang pernah nongkrong di mading sekolah.
Cerpen yang berjudul "SELAMAT NATAL SAHABAT" itu membuat penasaran bagi teman-teman Frater Novis terutama karena nama tokoh dalam cerita itu adalah seorang gadis yang dikenal baik oleh teman-teman seangkatan. Beberapa teman dari kongregasi suster yang sempat membaca tulisan pertama saya itu juga bertanya-tanya tentang siapa gadis itu. Rupanya mereka juga ikut terhanyut dalam genangan imajinasi rekaan saya itu. Hal inilah yang kemudian membuat saya semakin bersemangat dalam menulis, khususnya cerpen.
Setelah menyelesaikan masa pembinaan di Novisiat dan berkaul sementara, saya mendapat tugas perutusan pertama sebagai Frater Yunior di Frateran Podor, Larantuka, Flores Timur, NTT. Di komunitas ini, saya diberi tanggung jawab untuk membantu tiga unit kerja. Salah satunya adalah menjadi asisten Bapak asrama SMA Frateran. Berada di antara anak-anak remaja ini, saya mendapat inspirasi untuk menulis. Namun sayangnya, selama setahun di biara yang terletak di ujung timur pulau Flores itu, saya hanya mampu menulis satu cerpen saja.
Tahun berikutnya saya dipindahkan ke Kupang. Di kota karang, ibu kota provinsi NTT ini, saya memiliki pengalaman menarik yang masih saya ingat sampai hari ini. Cerpen-cerpen tulisan saya beberapa kali dibaca dan diperdengarkan oleh sebuah stasiun radio swasta di kota kasih itu. Saya merasa begitu gembira oleh pengalaman itu dan termotivasi untuk menulis.
Menarik kalau saya kembali mengingat ke masa-masa itu. Ada sebuah cerpen yang berjudul "SEBUAH KISAH DI HARI VALENTINE” yang menceritakan tentang pengalaman pribadi seorang biarawan. Dalam cerpen itu, saya menulis tentang bagaimana seorang frater muda yang bergulat dengan dua pilihan hidup, membiara atau berkeluarga; antara cinta dan panggilan. Cerpen itu menjadi menarik karena saya jiplak dari pengalaman pergulatan saya sendiri.
Setahun kemudian, saat saya pindah tugas di Malang, tepatnya pada tahun 2009 dan saya sudah mulai menggunakan media sosial - facebook, saya mem-posting cerpen itu di kolom Notes - satu bagian laman yang disediakan facebook. Dari sekian banyak komentar yang diberikan oleh mereka yang membaca cerpen itu, ada satu yang begitu berkesan bagi saya. "Tidak semua orang biara yang saya kenal, yang berani mengungkapkan pengalaman pergulatannya di media sosial seperti ini," begitulah komentarnya. Saya menjawab saja bahwa dengan berbagi seperti ini, saya ingin bebas dari pergulatan hidup yang kemudian saya memahaminya sebagai bagian proses penyembuhan itu. Melalui cerita sederhana ini, mungkin ada teman-teman saya yang terinspirasi. Begitu, lebih lanjut saya memberi argumentasi. Padahal itu baru satu pergulatan yang wajar dialami oleh seorang religius muda yang masih labil seperti saya. Masih ada banyak yang tersimpan di arsip-arsip pengalaman hidup saya. Dengan menulis, setidaknya saya memiliki jalan keluar dari kemelut jiwa yang selama ini menghambat pertumbuhan hidup saya. Kepada Yang Mahakuasa, saya memohon rahmat-Nya untuk membantu saya. Mulai saat itu, tekad saya bulat, saya akan memulai proses ini, menulis untuk kesembuhan.
Pada 28 Oktober 1987, ibu saya pulang ke pangkuan Bapa. Ibu meninggalkan seorang suami, ayah saya bersama kelima anaknya termasuk saya. Waktu itu usia saya baru 3 tahun, 6 bulan, 8 hari. (Silakan dihitung sendiri, kalau mau tahu kapan saya lahir). Peristiwa kematian sebagaimana dialami oleh semua orang merupakan pengalaman yang sangat menyedihkan. Kami juga merasakan hal yang sama. Hanya saja karena masih seorang anak kecil, saya tidak terlalu merasakannya. Mungkin karena saya belum tahu.
Ayah rupanya sulit menerima kepergian ibu yang terlalu cepat itu. Karena itu, ayah lalu memutuskan merantau ke Malaysia. Beberapa tahun ayah hidup di negeri jiran, kemudian kembali ke Indonesia dan menetap lama di Batam. Ayah baru kembali ke kampung waktu saya sudah kelas 5 SD dan hendak menerima Komuni Pertama.
Bertahun-tahun, kami hidup tanpa orang tua. Bisa dibayangkan betapa beratnya hidup tanpa orang-orang terkasih, ibu sudah meninggal, ayah pergi merantau. Merasa kehilangan, sedih, dan tanpa pegangan hidup menjadi kemelut hati yang mewarnai hari-hari hidup kami. Sejak saat itu benih-benih luka mulai mengganggu jiwa kecil saya. Beruntung masih ada sanak keluarga ibu yang memperhatikan dan memperbolehkan kami menjadi bagian dari rumah tangga mereka. Kami hidup bersama dan bertumbuh atas belas kasih keluarga besar ibu.
Kakak saya yang sulung, seorang perempuan mengambil alih peran ayah dan ibu dan menjadi ‘orang tua’ bagi kami adik-adiknya. Ketika ibu meninggal kakak saya ini masih seorang gadis kecil yang mulai meremaja. Ia baru lulus SD dan memutuskan berhenti sekolah demi nasib dan masa depan kami, keempat adiknya. Saya menulis sebuah cerpen yang berjudul “DARA TITISAN BUNDA” dipersembahkan khusus kepadanya. Dalam cerpen itu, saya mengurai bagaimana sebuah pengorbanan yang dibangun di atas landasan cinta oleh sang kakak yang telah menjadi segalanya bagi kami, adik-adiknya.
Melihat perjuangan dan pengorbanan kakak membesarkan dan menyekolahkan kami, saya mulai mengerti apa itu hidup tanpa orang tua; apa itu kehilangan. Jiwa anak-anak yang hidup dalam diri saya mulai protes. Teman-teman saya begitu bebas bermain, tetapi saya harus bekerja! Hidup ini terasa tidak adil! Perasaan iri terhadap mereka yang memiliki orang tua mulai menggerogoti jiwa saya. Hari demi hari, benih-benih luka itu terus mendera batin dan jiwa saya.
Setelah lulus SMA, saya memutuskan masuk biara. Ayah dan kakak sulung mendukung saya. Namun, tidak dengan kakak yang ketiga. Kakak perempuan yang terlahir persis sebelum saya itu keberatan dengan pilihan hidup saya. Alasannya karena saya anak laki-laki pertama di rumah dan yang lebih diandalkan sebagai penerus keluarga dibandingkan dengan adik bungsu kami yang laki-laki. Kakak yang terkenal cerdas dan kritis ini tidak terima jika keputusan saya masuk biara tanpa sepengetahuannya yang waktu itu tidak ada di rumah karena ada kegiatan kampus. Saat dia kembali, saya sudah diterima di sebuah biara di kota Maumere, Flores. Saya menulis tentangnya dalam sebuah cerpen yang berjudul “PEREMPUAN YANG MENYERUPAI IBU”.
Saya memilih Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus untuk bergabung. Ini biara yang anggotanya dipanggil “frater”, non tertahbis (frater kekal). Tiga tahun saya bersekolah di SMA Frateran Ndao Ende, sebuah sekolah favorit yang dikelola para frater BHK. Dari sana saya mengenal kongregasi ini dan memutuskan bergabung setelah sebelumnya (kelas 3 SMP), saya dinyatakan tidak lolos seleksi masuk seminari menengah.
Selama menjalani masa-masa pembinaan (pendidikan) di lembaga religius ini, saya dibantu banyak hal untuk menemukan diri. Melalui refleksi dan pendampingan, saya diarahkan untuk merangkai kembali serpihan-serpihan kisah masa lalu yang tercerai-berai terutama karena pengalaman ditinggalkan itu menjadi sebuah mosaik yang utuh bernama diri saya yang berharga di mata-Nya. Saya belajar memaafkan, menerima, dan memeluk masa lalu dengan luka-luka batin yang turut menemaninya sebagai karya rahmat Allah dalam menempa dan membentuk diri saya. Dalam dunia psiko-spiritual, proses ini disebut dengan pengolahan hidup rohani.
Pada akhirnya saya bersyukur atas semua pengalaman luka yang saya alami terutama di masa-masa awal pertumbuhan saya. Bahkan di suatu titik refleksi yang mendalam, saya dengan bebas mengatakan bahwa KEPERGIAN IBU SAYA ADALAH HADIAH TERINDAH BAGI JALAN HIDUP SAYA. Saya menulis tentang pengalaman ini dalam sebuah cerpen yang berjudul "PEREMPUAN PEMBAWA RINDU DARI SURGA" yang menjadi judul buku kumpulan cerpen ini.
Tentang ayah yang dulu di masa-masa sulit, kami sering protes karena keputusannya pergi merantau meninggalkan kami yang baru saja ditinggal ibu untuk selamanya, saya juga menulis sebuah cerpen. Untuk lelaki yang diberi anugerah kesabaran istimewa itu, saya menulis sebuah cerpen dengan judul "AYAH, PEMILIK CINTA YANG HAMPIR DILUPAKAN”. Dalam tulisan itu saya menguraikan bagaimana cara ayah mendidik saya, anak lelakinya yang menjadi tumpuan harapannya. Melalui cerpen yang ditulis berdasarkan hasil refleksi itu, saya menulis, "Mungkin ayah saya adalah lelaki yang paling baik, sampai Tuhan mengajari dia cara untuk mendidik saya." Jadi, kepergian ayah ke tempat rantauan itu bukan untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai orang tua, tetapi karena ayah mau mempersiapkan diri saya untuk kelak saya menjadi pribadi yang tangguh di jalan hidup saya.
Pada 28 Mei 2016 lalu, bersama dua teman angkatan yang tersisa, saya mengikrarkan Kaul Kekal di Gereja Katedral St. Yosep Maumere, Flores. Saya menulis 'yang tersisa' karena memang demikian adanya. Dari 17 pemuda yang pada awalnya memutuskan untuk bergabung dalam Kongregasi Frater BHK, tinggal kami bertiga yang sampai berkaul kekal. Syukur kepada Allah. Dalam refleksi, saya berkesimpulan, kami adalah orang-orang yang paling dikasihi Tuhan. Itu sebabnya, saya memilih satu kalimat yang diucapkan Malaikat Gabriel kepada Bunda Maria, "Sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah" (Luk 1:30) sebagai moto Kaul Kekal saya.
Saya merenungkan kembali perjalanan hidup saya yang walaupun penuh dengan liku-liku beronak duri, tetapi Tuhan senantiasa menjaga. Dia memanggil ibu saya pulang kepada-Nya ketika saya masih kecil, bertahun-tahun kami hidup luntang-lantung tanpa orang tua, ternyata semua itu adalah bagian dari rencana-Nya. Dia menyiapkan perjalanan hidup saya bahkan sejak saya sama sekali belum memahami apa itu kehidupan. Saya sungguh dikasihi-Nya. Saya memperoleh kasih karunia di hadapan Allah.
Tidak mudah untuk sampai ke titik ini. Butuh perjuangan bertahun-tahun untuk mengolah dan menerimanya sebagai bagian dari karya rahmat-Nya. Kongregasi melalui para formator entah di rumah pembinaan maupun di komunitas-komunitas yang pernah saya tempati berandil besar dalam proses penyembuhan ini. Secara pribadi saya mengapresiasi diri terutama atas perjuangan saya menerima pengalaman-pengalaman itu dan dituangkan dalam tulisan. Saya berbagi kisah perjalanan hidup saya dengan para frater melalui cerpen-cerpen yang dimuat dalam majalah internal kongregasi. Buahnya, para konfrater semakin mengenal saya dengan kisah hidup yang sesungguhnya dan saya disembuhkan.
Puncaknya pada 30 Juni 2016 lalu, di hadapan ratusan anggota keluarga besar yang turut hadir memeriahkan perayaan syukur Kaul Kekal saya di Rajawawo, Ende, Flores, kampung halaman saya, saya mengungkapkan perasaan syukur yang luar biasa. Kepada mereka, saya katakan bahwa saat ini saya adalah orang yang paling berbahagia walaupun untuk mencapainya, butuh perjuangan yang tidak mudah.
12 Cerpen yang terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen ini mengalir dari pergulatan dan refleksi perjalanan hidup saya. Beberapa di antaranya merupakan rekaan imajinatif yang terinspirasi dari situasi sekitar dan pengalaman membangun relasi dengan sesama. Terima kasih kepada semua yang berkenan membacanya. Harapan saya, melalui tulisan-tulisan sederhana ini, ada yang terdorong untuk mengungkapkan pergulatan hidupnya dengan menulis. Saya tidak mengerti teori tentang hubungan menulis dan penyembuhan luka batin, tetapi pengalaman hidup saya sudah jelas membenarkan judul ulasan sederhana ini, saya menulis untuk kesembuhan. Sekali lagi saya mengucapkan banyak terima kasih untuk setiap ‘telinga yang mau mendengarkan’ curahan hati saya. [] 
†Berkat Tuhan.

| Oro-oro Dowo 58 - Malang | Agustus 2018 |
Walter Arryano
sang tenang

1 comment: