(Sebuah catatan reflektif dari pengalaman mengikuti kapitel)
Oleh Frater M. Walterus BHK
Pada 9-12 April, Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus Provinsi Indonesia menyelenggarakan Kapitel Karya Provinsi Indonesia 2018. Ini merupakan kapitel provinsi terakhir sebelum struktur kongregasi yang baru dibentuk pada kapitel umum September 2018 nanti dengan membubarkan provinsi Indonesia. Ada yang melihat ini sebagai sebuah kemunduran, tetapi tidak sedikit yang mengakui kebijakan ini sebagai sebuah langkah dinamis agar kongregasi ini tetap servive di tengah dunia yang semakin berubah ini. Kongregasi perlu berpijak pada langkah-langkah adaptif agar tidak tergilas oleh perkembangan zaman. Juga harus realistis dengan kondisi riil angka keanggotaan kongregasi yang terus menurun dari tahun-tahun. Demikian kelompok pendukung memberi agurmentasi terhadap perubahan bentuk kepemimpinan kongregasi yang akan direalisasi dalam kepitel umum nanti. Catatan ini tidak bermaksud untuk menguraikan poin-poin silang pendapat tentang perubahan itu, tetapi saya ingin mengemukakan beberapa hal berangkat dari pengalaman saya sebagai salah seorang peserta kapitel.
Dalam kapitel yang dihadiri para peserta sidang kapitel yang terdiri dari anggota ex-offisio, kapitularis terpilih dan cadangan, undangan DPU, para overste dan para frater undangan khusus itu, saya hadir sebagai staf pembantu dengan tugas sebagai notulis. Saya garisbawahi, staf pembantu. Itulah posisi saya di antara para frater terbaik yang hadir atas nama anggota provinsi Indonesia itu. Terbaik karena mereka dipilih melalui mekanisme yang berlaku secara konstitusional.
Bagaikan setitik air di tengah lautan yang mahaluas, ia memang tak ada apa-apanya. Namun, lautan yang sangat luas itu akan berkurang tanpa kehadiran yang setitik itu. Seperti itulah analogi penyertaan saya dalam kapitel kali ini. Saya tidak mengatakan bahwa saya sangat penting, tetapi tanpa peran serta saya pelaksanaan kapitel akan merepotkan, minimal bagi penanggung jawab sekretariat. Saya sedang “menghitung” sebuah kontribusi kecil bagi pelaksanaan kegiatan penting tarekat ini. Walaupun demikian, bagi saya andil yang sekecil itu sangat berarti bagi diri saya secara pribadi. Berikut ini argumentasinya.
Ada begitu banyak frater di provinsi Indonesia, lalu kenapa saya yang dipilih? Itu berarti saya dianggap bisa dan faktanya saya sanggup membuktikan anggapan itu dengan menjalankan fungsi saya sebaik mungkin sesuai kemampuan yang saya miliki. Saya yakin kepercayaan yang diberikan kepada saya itu berangkat dari penilian subjektif bahwa saya bisa menulis dan juga berdasarkan pengalaman saya sebagai pembantu di sekretariat DPU.
Dalam catatan ini, saya ingin menyoroti soal kemampuan menulis. Memang benar, kongregasi telah membekali saya dengan studi lanjut di Perguruan Tinggi dalam bidang bahasa, tetapi berapa persen ilmu yang diperoleh di bangku kuliah bisa diterapkan dalam hidup karya? Hanya sebagian kecil, selebihnya butuh improvisasi sendiri dengan latihan yang terus-menerus. Itulah yang saya lakukan dalam dunia tulis-menulis. Saya bergaul dengan orang-orang yang suka menulis dan belajar bersama mereka. Saya membaca buku, artikel, atau catatan-catatan kecil yang memberi informasi penting bagi saya dalam belajar menulis. Hasilnya memang tidak luar biasa, tetapi cukup membuat diri saya dianggap ada dalam kepentingan bersama. Yang sesederhana ini saja sudah bisa membantu, apalagi yang memiliki kemampuan lebih, pasti akan sangat membantu lagi. Itu untuk direnungakan, terutama bagi teman-teman frater muda.
Poin kedua yang ingin saya ungkapkan yaitu mengenai pengalaman yang saya timba dari kegiatan enam tahunan itu. Saya adalah peserta yang paling muda berdasarkan usia kelahiran maupun usia hidup membiara. Artinya, pada momen itu saya berada di antara para senior yang tentunya memiliki seabrek pengalaman. Sambil menjalakan tugas, kesempatan itu saya gunakan untuk belajar. Saya belajar berkapitel dengan mekanisme dan tata caranya. Saya belajar memahami cara berpikir dan langkah solutif yang ditawarkan para frater terhadap suatu persoalan yang diangkat. Saya belajar memahami kongregasi ini secara lebih dekat dengan aneka progresivitas yang membanggakan di tengah kompleksitas masalah yang dimilikinya.
Sambil mencatat apa yang dibicarakan, saya mengidentifikasi dimanika yang sedang terjadi di dalam tubuh kongregasi ini. Saya melihat orang-orang tulus yang berbicara tentang cintanya terhadap kongregasi. Saya mendengar keluhan-keluhan mereka yang bekerja keras mengembangkan misi Allah melalui tugas perutusan yang dipercayakan. Saya seperti melihat hamparan kisah-kisah mahahebat tentang cita-cita pendiri yang mengalir deras di medan-medan karya para frater. Di sisi lain, saya tertantang untuk ikut memikirkan apa yang menjadi tangisan “ibu kongregasi” di tengah beragam “luka” yang menggerogotinya. Pada titik ini, saya merasa semakin bertumbuh dalam sense of belonging terhadap tarekat tercinta ini. Sebuah rumah bersama yang di dalamnya saya adalah seorang anak yang dikasihi dan mengasihi.
Oro-oro Dowo 58, Malang
13 April 2018 | Walter Arryano
13 April 2018 | Walter Arryano
#sangtenang