SMAK Katolik Frateran. Itulah nama sekolahku yang kupilih
sebagai tempat menuntut ilmu pada jenjang menengah atas. Sebuah sekolah swasta
Katolik yang cukup terkenal di kota kelahiranku. Dia terkenal karena mutunya,
fasilitasnya, kedisiplinan dan output yang dihasilkan oleh sekolah itu. Dan
yang paling penting adalah sekolahku itu dikelola oleh sebuah lembaga religius
dari
Gereja Katolik. Mereka adalah sekelompok biarawan yang
memiliki kemapuan lebih dalam mengelola lembaga pendidikan.
Saya sangat bangga
menjadi salah seorang siswa di sekolah ini. Kesempatan menjadi salah seorang
siswa di sekolah favorit ini tidak membuatku sombong, tetapi justru membuatku
tetap rendah hati dan semakin tekun dalam studiku. Ketekunanku membuahkan hasil
yang cukup memuaskan. Pada kelas 1 triwulan pertama saya meraih pringkat ke-2
di kelas dan masuk dalam kategori 10 besar seangkatan. Karena peringkat inilah,
salah terpilih menjadi salah seorang siswa berprestasi dan masuk kelas unggul.
Entah karena pertimbangan apa, pada kelas ini teman-teman
memilihku menjadi ketua kelas. Tugasku mejadi ketua kelas pada kelas ini tidak
terlalu sulit karena teman-temanku adalah orang-orang cerdas baik secara
intelektual maupun secara emosional dan mereka mudah untuk diajak kerja sama.
Suatu ketika di sekolahku ada kegiatan kerja bakti
membersihkan kelas masing-masing. Saya pun mengarahkan teman-temanku untuk
membersihkan kelas kami. Pekerjaan pun selesai pada waktunya. Kepala sekolahku
yang adalah seorang Frater berjalan dari kelas ke kelas untuk memeriksa hasil
kerja kami. Dari hasil pengamatannya kelas kami adalah yang paling kotor. Hal
ini membuat guru wali kelas kami menjadi gerah. Dia merasa malu pada kepala
sekolah dan rekan-rekan gurunya dan ia menjadi sangat marah kepada kami. Karena
masalah itu, kami semua mendapat hukuman. Kami dipukul dihadapan teman-teman
dari kelas lain. Saya sebagi ketua kelas mendapat “jatah” lebih banyak dari
teman-teman yang lain. Dari pengalaman ini, kami tidak merasa sakit hati atau
dendam tetapi justru kami diarahkan agar lebih teliti dan bertanggung jawab
dalam bekerja.
Pada kesempatan lain, pengalaman yang sama kembali
terjadi. Namun, kali ini ketua kelas menjadi korbannya. Suatu kali ketika guru
wali kelas kami hendak memasuki kelas, beliau mendapati suasana kelas kami yang
sangat ribut. Sebagai ketua kelas, saya diminta pertanggungjawaban. Saya
mendapatkan hukuman push up sebanyak 20 kali. Hal ini karena wali kelas kami
adalah guru olahraga. Akibat dari hukuman itu, kedua lengan dan badan saya
menjadi sangat sakit. Sekali lagi saya tidak dendam tetapi saya dilatih agar
lebih bertanggung jawab dalam menjadi seorang pemimpin. Kedua hukuman itu
selalu kuingat hingga saat ini, lebih-lebih ketika kuberjumpa dengan mantan
wali kelasku itu. Itulah sepenggal kisah masa SMAku yang tak akan kulupankan.