Friday, 27 March 2015

Sepenggal Kisah di Bangku SMA

SMAK Katolik Frateran. Itulah nama sekolahku yang kupilih sebagai tempat menuntut ilmu pada jenjang menengah atas. Sebuah sekolah swasta Katolik yang cukup terkenal di kota kelahiranku. Dia terkenal karena mutunya, fasilitasnya, kedisiplinan dan output yang dihasilkan oleh sekolah itu. Dan yang paling penting adalah sekolahku itu dikelola oleh sebuah lembaga religius dari
Gereja Katolik. Mereka adalah sekelompok biarawan yang memiliki kemapuan lebih dalam mengelola lembaga pendidikan. Saya sangat bangga menjadi salah seorang siswa di sekolah ini. Kesempatan menjadi salah seorang siswa di sekolah favorit ini tidak membuatku sombong, tetapi justru membuatku tetap rendah hati dan semakin tekun dalam studiku. Ketekunanku membuahkan hasil yang cukup memuaskan. Pada kelas 1 triwulan pertama saya meraih pringkat ke-2 di kelas dan masuk dalam kategori 10 besar seangkatan. Karena peringkat inilah, salah terpilih menjadi salah seorang siswa berprestasi dan masuk kelas unggul.
Entah karena pertimbangan apa, pada kelas ini teman-teman memilihku menjadi ketua kelas. Tugasku mejadi ketua kelas pada kelas ini tidak terlalu sulit karena teman-temanku adalah orang-orang cerdas baik secara intelektual maupun secara emosional dan mereka mudah untuk diajak kerja sama.
Suatu ketika di sekolahku ada kegiatan kerja bakti membersihkan kelas masing-masing. Saya pun mengarahkan teman-temanku untuk membersihkan kelas kami. Pekerjaan pun selesai pada waktunya. Kepala sekolahku yang adalah seorang Frater berjalan dari kelas ke kelas untuk memeriksa hasil kerja kami. Dari hasil pengamatannya kelas kami adalah yang paling kotor. Hal ini membuat guru wali kelas kami menjadi gerah. Dia merasa malu pada kepala sekolah dan rekan-rekan gurunya dan ia menjadi sangat marah kepada kami. Karena masalah itu, kami semua mendapat hukuman. Kami dipukul dihadapan teman-teman dari kelas lain. Saya sebagi ketua kelas mendapat “jatah” lebih banyak dari teman-teman yang lain. Dari pengalaman ini, kami tidak merasa sakit hati atau dendam tetapi justru kami diarahkan agar lebih teliti dan bertanggung jawab dalam bekerja.
Pada kesempatan lain, pengalaman yang sama kembali terjadi. Namun, kali ini ketua kelas menjadi korbannya. Suatu kali ketika guru wali kelas kami hendak memasuki kelas, beliau mendapati suasana kelas kami yang sangat ribut. Sebagai ketua kelas, saya diminta pertanggungjawaban. Saya mendapatkan hukuman push up sebanyak 20 kali. Hal ini karena wali kelas kami adalah guru olahraga. Akibat dari hukuman itu, kedua lengan dan badan saya menjadi sangat sakit. Sekali lagi saya tidak dendam tetapi saya dilatih agar lebih bertanggung jawab dalam menjadi seorang pemimpin. Kedua hukuman itu selalu kuingat hingga saat ini, lebih-lebih ketika kuberjumpa dengan mantan wali kelasku itu. Itulah sepenggal kisah masa SMAku yang tak akan kulupankan.

Comments
0 Comments