Pengalamanku ini terjadi ketika saya masih sebagai siswa
kelas 3 SMA. Sekolahku mengadakan retret yaitu suatu kegiatan pembinaan rohani
bagi para siswa. Tujuan retret kali ini adalah sebagai momen yang tepat untuk
merefleksi kembali perjalanan hidup kami sebagai siswa pada masa-masa yang
telah kami lalui dan sekaligus sebagai persiapan menghadapi ujian akhir. Kami
mengadakan retret kali ini di tepat yang sangat sunyi dan dingin, di sebuah
rumah retret yang hening dan sangat mendukung kegiatan kami. Berbagai acara
kami lakukan, seperti: berdoa, refleksi, renungan, mendengarkan pengarahan,
sharing pengalaman, dan sebagainya. Kami mengikuti semua acara dengan
sungguh-sungguh dan kusuk. Kami merasa senang dengan kegiatan rohani ini.
Saya mempunyai sebuah pengalaman menarik yang membuat
saya selalu ingat hingga saat ini. Pada suatu ketika, pembimbing retret meminta
kami membentuk beberapa kelompok kecil yang terdiri atas beberapa orang siswa
dan salah seorang guru sebagai pendamping. Tugas kami adalah membuat surat
cinta untuk orang tua kami masing-masing. Setelah itu kami membacakannya di hadapan
teman-teman anggota kelompok. Surat yang memiliki kesan tersendiri akan dipilih
oleh teman-teman anggota kelompok untuk dibacakan di hadapan seluruh peserta
retret.
Saya terpilih mewakili kelompokku untuk membacakan
suratku di hadapan seluruh peserta retret karena menurut mereka suratku
memiliki kesan yang sedikit berbeda dengan yang lainnya. Kujalani tugasku
dengan baik. Singkat cerita isi suratku membuat seisi ruangan riuh oleh karena
isak tangis teman-temanku. Mereka menangis karena terharu mendengar isi
suratku. Seluruh peserta retret, guru-guru pendamping dan pembimbing retret pun
turut sedih karena isi suratku itu.
Suratku itu bagaikan tabir yang terbelah dan menyibak
rahasia kisah hidupku selama ini. Siapa saya yang mereka kenal selama ini ternyata
amat berbeda dengan siapa saya yang sesungguhnya. Mereka mengenalku sebagai
seorang teman yang suka senyum, periang dan terkesan memiliki kisah hidup tanpa
masalah. Ternyata mereka salah. Isi suratku menyadari teman-temanku bahwa
perjalanan hidupku selama ini diwarnai berbagai rintangan dan tantangan,
liku-liku dan kerikil tajam. Semua itu terjadi karena kepergian mamaku yang tak
akan pernah kembali kepadaku selamanya.
Suratku itu kutulis di keheningan rumah retret dengan
linangan air mata kesedihan. Pada awalnya saya bingung, kemana saya harus
kirimkan suratku itu. Sesuai arahan pembimbing retret bahwa kami harus kirim ke
orang tua masing-masing sedangkan saya tidak memiliki orang tua, mamaku sudah
meninggal dunia dan bapakku sudah menikah lagi. Akhirnya saya memilih saudari
sulungku sebagai orang yang berhak menerima suratku itu. Dialah pengganti orang
tuaku. Dia bukan saja saudariku tetapi dia juga adalah bapak sekaligus mamaku.
Suratku itu adalah kado retretku buatnya, sekaligus sebagai bentuk ucapan
terima kasihku mewakili sanak saudaraku atas jasa-jasa dan pengorbanannya
selama menjadi orang tua kami.