Friday, 27 March 2015

Sebuah Surat Cinta

Pengalamanku ini terjadi ketika saya masih sebagai siswa kelas 3 SMA. Sekolahku mengadakan retret yaitu suatu kegiatan pembinaan rohani bagi para siswa. Tujuan retret kali ini adalah sebagai momen yang tepat untuk merefleksi kembali perjalanan hidup kami sebagai siswa pada masa-masa yang telah kami lalui dan sekaligus sebagai persiapan menghadapi ujian akhir. Kami mengadakan retret kali ini di tepat yang sangat sunyi dan dingin, di sebuah rumah retret yang hening dan sangat mendukung kegiatan kami. Berbagai acara kami lakukan, seperti: berdoa, refleksi, renungan, mendengarkan pengarahan, sharing pengalaman, dan sebagainya. Kami mengikuti semua acara dengan sungguh-sungguh dan kusuk. Kami merasa senang dengan kegiatan rohani ini.
Saya mempunyai sebuah pengalaman menarik yang membuat saya selalu ingat hingga saat ini. Pada suatu ketika, pembimbing retret meminta kami membentuk beberapa kelompok kecil yang terdiri atas beberapa orang siswa dan salah seorang guru sebagai pendamping. Tugas kami adalah membuat surat cinta untuk orang tua kami masing-masing. Setelah itu kami membacakannya di hadapan teman-teman anggota kelompok. Surat yang memiliki kesan tersendiri akan dipilih oleh teman-teman anggota kelompok untuk dibacakan di hadapan seluruh peserta retret.
Saya terpilih mewakili kelompokku untuk membacakan suratku di hadapan seluruh peserta retret karena menurut mereka suratku memiliki kesan yang sedikit berbeda dengan yang lainnya. Kujalani tugasku dengan baik. Singkat cerita isi suratku membuat seisi ruangan riuh oleh karena isak tangis teman-temanku. Mereka menangis karena terharu mendengar isi suratku. Seluruh peserta retret, guru-guru pendamping dan pembimbing retret pun turut sedih karena isi suratku itu.
Suratku itu bagaikan tabir yang terbelah dan menyibak rahasia kisah hidupku selama ini. Siapa saya yang mereka kenal selama ini ternyata amat berbeda dengan siapa saya yang sesungguhnya. Mereka mengenalku sebagai seorang teman yang suka senyum, periang dan terkesan memiliki kisah hidup tanpa masalah. Ternyata mereka salah. Isi suratku menyadari teman-temanku bahwa perjalanan hidupku selama ini diwarnai berbagai rintangan dan tantangan, liku-liku dan kerikil tajam. Semua itu terjadi karena kepergian mamaku yang tak akan pernah kembali kepadaku selamanya.
Suratku itu kutulis di keheningan rumah retret dengan linangan air mata kesedihan. Pada awalnya saya bingung, kemana saya harus kirimkan suratku itu. Sesuai arahan pembimbing retret bahwa kami harus kirim ke orang tua masing-masing sedangkan saya tidak memiliki orang tua, mamaku sudah meninggal dunia dan bapakku sudah menikah lagi. Akhirnya saya memilih saudari sulungku sebagai orang yang berhak menerima suratku itu. Dialah pengganti orang tuaku. Dia bukan saja saudariku tetapi dia juga adalah bapak sekaligus mamaku. Suratku itu adalah kado retretku buatnya, sekaligus sebagai bentuk ucapan terima kasihku mewakili sanak saudaraku atas jasa-jasa dan pengorbanannya selama menjadi orang tua kami.
Comments
0 Comments