Aku anak miskin yang tinggal di sebuah desa terluar dekat perbatasan
dengan negara tetangga. Banyak orang menyebutnya dengan tapal batas. Aku tidak
terlalu paham dengan sebutan itu. Lagi pula apa pun namanya, tidak ada
pengaruhnya dengan nasib hidupku sebagai anak miskin di desa ini.
“Anak-anak, ini adalah bendera negara kita, Indonesia!” Dengan tegas,
ibu guru berkata pada suatu siang di sekolahku sambil menunjukkan dua potong
kain yang dijahit sambung, berwarna merah dan putih. Bu guru honorer yang telah
puluhan tahun mengabdi itu selanjutnya menjelaskan bahwa kami harus menghormati
bendera itu. Ia sangat berharga seperti nyawa kami. Ia harus dijaga sebagaimana
kami menjaga diri kami. Bu guru berapi-api menghidupi semangat nasionalisme dalam
jiwa kami, anak didiknya. Aku adalah murid yang paling antusias di siang yang
terik itu.
Suatu kali setelah dua ahad berlalu semenjak pelajaran yang membahas
tentang bendera negara itu, aku dan beberapa anak desa sebayaku menyeberang ke
wilayah negeri jiran untuk berdagang sebagaimana yang biasa kami lakukan pada
setiap akhir pekan di hari libur sekolah. Pada sebuah lapak, aku melihat
seorang penjual menghamparkan dagangannya di atas kain yang warnanya sama
persis dengan bendera di depan kelasku. Aku mendekat. Kujelaskan kepada bapak
itu agar ia tidak boleh menggunakannya seperti itu. Panjang lebar kuuraikan
keberatanku dengan berbagai alasan, tetapi si penjual bersikeras. Darah dalam
jiwa kecilku mendidih. Aku marah dan merasa terhina tetapi aku tak berdaya.
Otakku lalu berpikir cepat, mencari solusi. “Pakcik, boleh tak aku tukar sama
kain itu?” Masih dengan nafas terengah-engah, aku menawarkan jalan keluar
sambil menyerahkan selembar kain sarung yang baru kubeli menggunakan uang hasil
daganganku. Dia terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Transaksi berlangsung
cepat. Persoalan selesai. Dalam perjalanan pulang, kupeluk erat potongan kain
yang sudah kuketahui sebagai bendera tanah airku itu. Hatiku berkobar-kobar. Api
cinta tanah air menggelora dalam jiwaku. “Walaupun aku anak desa miskin yang
nanti akan dimarahi ayah karena uang di kantongku tinggal separuh, tetapi kau
harus diperlakukan sebagaimana mestinya,” kataku dalam diam kepada sambungan
dua potong kain berwarna merah dan putih yang sekarang kudekap erat di dadaku.
Malang, Agustus 2017
sang tenang