Saturday, 26 August 2017

Nasionalisme Anak Desa

Aku anak miskin yang tinggal di sebuah desa terluar dekat perbatasan dengan negara tetangga. Banyak orang menyebutnya dengan tapal batas. Aku tidak terlalu paham dengan sebutan itu. Lagi pula apa pun namanya, tidak ada pengaruhnya dengan nasib hidupku sebagai anak miskin di desa ini.
“Anak-anak, ini adalah bendera negara kita, Indonesia!” Dengan tegas, ibu guru berkata pada suatu siang di sekolahku sambil menunjukkan dua potong kain yang dijahit sambung, berwarna merah dan putih. Bu guru honorer yang telah puluhan tahun mengabdi itu selanjutnya menjelaskan bahwa kami harus menghormati bendera itu. Ia sangat berharga seperti nyawa kami. Ia harus dijaga sebagaimana kami menjaga diri kami. Bu guru berapi-api menghidupi semangat nasionalisme dalam jiwa kami, anak didiknya. Aku adalah murid yang paling antusias di siang yang terik itu.
Suatu kali setelah dua ahad berlalu semenjak pelajaran yang membahas tentang bendera negara itu, aku dan beberapa anak desa sebayaku menyeberang ke wilayah negeri jiran untuk berdagang sebagaimana yang biasa kami lakukan pada setiap akhir pekan di hari libur sekolah. Pada sebuah lapak, aku melihat seorang penjual menghamparkan dagangannya di atas kain yang warnanya sama persis dengan bendera di depan kelasku. Aku mendekat. Kujelaskan kepada bapak itu agar ia tidak boleh menggunakannya seperti itu. Panjang lebar kuuraikan keberatanku dengan berbagai alasan, tetapi si penjual bersikeras. Darah dalam jiwa kecilku mendidih. Aku marah dan merasa terhina tetapi aku tak berdaya. Otakku lalu berpikir cepat, mencari solusi. “Pakcik, boleh tak aku tukar sama kain itu?” Masih dengan nafas terengah-engah, aku menawarkan jalan keluar sambil menyerahkan selembar kain sarung yang baru kubeli menggunakan uang hasil daganganku. Dia terlihat berpikir sejenak, kemudian mengangguk. Transaksi berlangsung cepat. Persoalan selesai. Dalam perjalanan pulang, kupeluk erat potongan kain yang sudah kuketahui sebagai bendera tanah airku itu. Hatiku berkobar-kobar. Api cinta tanah air menggelora dalam jiwaku. “Walaupun aku anak desa miskin yang nanti akan dimarahi ayah karena uang di kantongku tinggal separuh, tetapi kau harus diperlakukan sebagaimana mestinya,” kataku dalam diam kepada sambungan dua potong kain berwarna merah dan putih yang sekarang kudekap erat di dadaku.

Malang, Agustus 2017
sang tenang
Readmore → Nasionalisme Anak Desa

Monday, 21 August 2017

In Memoriam Frater M. Amatus, BHK

Dari tanah Nagi, ujung Timur Nusa Bunga
Engkau datang memenuhi panggilan-Nya
Meninggalkan sanak famili dan Lewotana
Untuk mengabdi Tuhan dan sesama


Hidupmu adalah hadiah bagi kami
Engkau adalah teladan kesetiaan
Engkau adalah contoh ketekunan
Kerja keras, keberanian, dan kedisiplinan adalah warisanmu
Engkau menunjukkannya melalui kesaksian hidupmu
Menjadi frater yang baik dalam perkataan dan perbuatan 
telah engkau buktikan sepanjang 58 tahun hidupmu
dalam kongregasi kita
Engkau adalah anugerah bagi persekutuan ini

Frater,
Bagaikan sang fajar yang merangkak naik
menuju puncak angkasa selepas menyingsing
Lalu beranjak turun ke batas senja
Demikian hidupmu kini telah sampai di titik itu
Sebuah simpul kehidupan yang ke sanalah 
seluruh umat manusia berziarah
Engkau telah sampai di garis finis

Frater,
Senjamu sudah tiba
Perjuanganmu telah usai
Tidur panjangmu sudah dimulai
Ke dalam ribaan kasih Bapa
Kami mengantarmu kembali
Kepada-Nya engkau akan pergi

Pulanglah, frater
Tidurlah, saudaraku
Nikmati kedamaian kekalmu
Bersama Allah dan Para Kudus-Nya

Bersama Maria Bunda Hati Kudus
kami menyertakan bersulur-sulur untaian doa
sebagai bekal bagi perjalanan abadimu
Di atas pusaramu beribu pinta kami unjukkan
Agar engkau tenang di sisi-Nya
Selamat jalan, frater
Beristirahatlah dalam damai, saudaraku
Jadilah pendoa bagi kami dan persekutuan kita. 
***




Malang, 21 08 2017
sang tenang
Readmore → In Memoriam Frater M. Amatus, BHK

Saturday, 19 August 2017

MEMELUK KEGELAPAN

“Kamu tidak perlu menceritakannya. Itu sudah menjadi rahasiamu. Biarlah kamu sendiri saja yang tahu,” kata aku yang satu. Tetapi aku yang lain membantah, “Kamu harus cerita! Tujuannya bukan hanya untuk diketahui orang lain tapi lebih dari itu. Dengan bercerita, kamu bisa menerima pengelaman kegelapanmu itu. Tentu itu membuatmu tidak nyaman, malu atau kamu akan ditolak oleh teman-temanmu tetapi dengan bercerita kamu akan berdamai dengannya. Kamu akan sembuh. Jadi, berceritalah!”
Sepanjang malam aku bergulat dengan diriku sendiri. Kedua aku yang ada dalam diriku terus bergejolak, mempertahankan argumennya masing-masing. Hingga lelah membawaku dalam tidur yang tidak nyaman.
Pagi itu, setelah malam yang berat kulewati, aku akhirnya bisa memilih berpihak pada salah satu aku. “Ketika masih remaja, aku pernah jatuh cinta kepada seseorang. Setelah sekian lama memendam perasaan itu, suatu saat aku menemukan keberanian untuk menyatakannya. Tetapi hal yang tidak kuharapkan terjadi padaku. Aku ditolak bahkan dihina olehnya. Aku merasa malu dan patah hati. Pengalaman cinta pertama yang buruk itu sangat berpengaruh bagi diriku yang sekarang ini, terutama dalam hal orientasi seksual.” Serentak teman-temanku bertepuk tangan, memberi dukungan. Rasanya plong. Ketakutanku sirna. Bukan penolakan yang kualami tetapi aku mendapatkan rangkulan persaudaraan. Aku diterima apa adanya diriku.  Sesaat aku menyadari satu sisi diriku yang suka berada dalam zona nyaman menghilang entah ke mana. Adu gagasan telah usai. Pergulatanku telah berakhir. Tinggalah satu sisi diriku yang lain. Kurangkul akuku yang ini dengan cinta yang hangat sebagaimana aku merangkul diriku apa adanya. Diriku yang memiliki orientasi ketertarikan yang tidak lazim.
***
Untukmu yang telah berbagi persaudaraan denganku
sang tenang
Readmore → MEMELUK KEGELAPAN

Thursday, 17 August 2017

IBU PERTIWI

Beribu sulur jingga
Merekah di langit timur
Semburat mentari merona
Fajar 17 Agustus 2017 menyingsing


Ibu,
Ini harimu
Hari ketika kami merayakan ulang tahun kelahiranmu
Sang Merah Putih kami kibarkan
Indonesia Raya kami kumandangkan
Pekik kemerdekaan kami lantangkan memenuhi langit negeri
Untukmu ibu, kami bersorak-sorai


72 tahun usiamu kini
Penjajahan dan penindasan telah berlalu
Perang dan kesengsaraan telah usai
Tinggalah perjuangan dan kerja keras kami membangunmu


Ibu,
Ketika kemiskinan dan kebodohan menyakitimu
Ketika sakit dan terlantar melukaimu
Ketika korupsi dan intoleransi menguasaimu
Teguh kami berdiri di sini
Untuk menghapus air matamu
Memerangi dukacitamu
Menjaga nyawamu.


Ibu,
Di bawah kibaran sang Merah Putih kami memohon
Pada ribaanmu kami meminta
Jagailah kami, anak-anakmu
Lindungilah kami, putera-puterimu
Berkatilah tanah tumpah darahmu
Ridailah segala perjuangan kami
Agar majulah bangsa ini
Makmurlah negeri ini
Jayalah Indonesia sejahtera!


Merdeka!
Merdeka!
Merdeka!











Malang, 17 08 2017
sang tenang

Readmore → IBU PERTIWI

Sunday, 6 August 2017

Jawaban yang Diharapkan

“Anak-anak, kalian tahu binatang kecoak, kan?” Tanya seorang frater, guru agama di sebuah SD, mengawali pengajarannya suatu hari. Anak-anak menjawab “iya” sambil mengangguk, merespon pertanyaan sang guru. Kemudian dia melanjutkan pertanyaannya, “apa yang kalian lakukan apabila kalian melihat kecoak dalam posisi badannya terbuka, kakinya bergerak-gerak berusaha membalikkan badannya?”
Pertanyaan kedua dari frater muda itu mereduksi semangat anak-anak yang selalu antusias dengan pelajaran guru berjubah putih ini. Apa hubungannya? Sebagian anak kelihatan tidak tertarik. Demi pelajaran agar tetap berjalan, anak-anak menjawab saja sesuai pengalaman masing-masing. Ada yang lari terbirit-birit, berteriak ketakutan karena fobia terhadap binatang itu. Ada yang cuek saja. Ada pula yang menendang atau menginjaknya. Tak ada satu pun jawaban yang diharapkan. Apakah memang demikian ataukah ada yang belum berani mengungkapkannya. Sang frater meneruskan pelajaran.
Waktu istirahat. Tiba-tiba di salah satu pojok sekolah rusuh. Terdengar suara jeritan seorang anak puteri. Rani, anak pendiam itu ternyata fobia terhadap kecoak. Ia berteriak ketakutan karena tak sengaja berdiri tepat di sebelah seekor kecoak yang menggerak-gerakkan kaki, berusaha membalikkan badannya. Sejurus kemudian, Rian, seorang anak lelaki yang paling antusias dalam pelajaran agama tadi tampil menyelamatkan binatang itu sebelum anak lain membunuhnya. “Ooo…, jadi kamu mau jadi santo sama seperti cerita frater tadi di kelas, yah?” Goda seorang temannya. “Cieeee, calon santo nih!” Sambung yang lain ikut menggoda. “Sebelum frater bercerita tentang santo pencinta binatang itu, aku sudah mempunyai kebiasaan seperti ini. Ayahku selalu bilang, semua yang ada di dunia ini adalah ciptaan Tuhan yang harus dihargai. Kita tidak boleh sembarang membunuhnya. Apa pun itu bahkan terhadap seekor kecoak yang kotor, jijik dan berbau busuk ini,” katanya tegas membungkam mulut teman-temannya. Percakapan itu disaksikan oleh sang frater, guru agama tadi. Matanya seketika bercahaya. “Ternyata ada muridku yang memiliki jawaban sesuai harapanku,” gumamnya bangga.
  
Malang, Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → Jawaban yang Diharapkan

HARTA

Gavriel nama panggilannya. Dia adalah seorang anak yang cerdas dan kritis walaupun masih berusia anak-anak, tujuh tahun. Dia dilahirkan dalam sebuah keluarga yang kaya raya. Mereka memiliki sebuah rumah yang mewah, beberapa buah mobil berkelas dan masih banyak barang mewah lainnya termasuk sejumlah perhiasan bernilai tinggi milik ibunya.
Pada suatu hari, Gavriel bersama kedua orang tuanya akan melakukan sebuah perjalanan wisata. Mereka akan berekreasi ke luar kota untuk menghabiskan waktu weekend di sebuah penginapan super lux dengan view yang menawan. Itu adalah momen langka bagi Gavriel yang sering kali ditinggal kedua orang tuanya bekerja.
“Ma, kenapa mama harus cemas begitu? Di rumah kita kan ada bibi? Bibi itu orang jujur, ma. Bibi bisa menjaga rumah ini dengan baik selama kita pergi termasuk perhiasan-perhiasan mewah milik mama itu,” kata Gavriel berusaha menenangkan ibunya. “Tentu tidak sayang! Mama nggak percaya sama bibi,” tegas ibunya. “Tapi ma, kenapa mama selalu menitipkan aku sama bibi setiap hari tanpa merasa cemas sedikit pun?” tanya Gavriel sembari berlalu, meninggalkan ibunya yang seketika itu bungkam oleh pertanyaan kritis putera semata wayangnya.

Malang, Juli 2017
 Walter Arryano
Readmore → HARTA

Saturday, 5 August 2017

SANG TENANG

Seperti saat ini, ketika purnama ke tujuh tersenyum menyapaku, “selamat malam, sahabat.” Lalu dia bertanya, “apa yang kau lakukan di sini?” Aku menjawab, “lihatlah!” Sambil jemariku terus menari-nari, bermain, dan berlari bersama pena yang tengah berbicara di atas berlarik-larik kertas putih. “Aku sedang mengurai makna di balik senyum manismu, yang mekar dalam lekukakan wajah ayumu, sobat.” Sang rembulan tersipu. Ia jengah atas kejujuran puja pujiku.
Itulah seulas kisahku malam ini setelah senja terakhir di tanah leluhur. Sebuah cerita yang kurajut bersama sang rembulan di bawah temarannya. Ia akan menjadi tenunan kisah yang akan menyelimuti hari-hariku sebagai sang peziarah, pencari keabadian.
Aku tahu, dunia ini berisik. Semesta ini riuh rendah. Hari-hari adalah kebisingan. Tetapi alam raya dan segala ciptaan pemberian-Nya adalah milikku. Aku mampu hadir sebagai rekan yang hebat. Karena aku adalah pemuja keheningan. Kesunyian adalah hidupku. Kesendirian adalah nafasku. Ketenangan adalah jiwaku. Ruang refleksi adalah rumahku. Alam raya adalah sumber inspirasiku. Dan menemukan makna di balik setiap pengalaman hidup adalah kebijaksanaanku. Walau hiruk pikuk dunia adalah lahan gersang bagi si pemuja keheningan seperti diriku, tetapi aku mampu memeluknya. Karena aku terlahir sebagai sang tenang yang terus berenang di tengah dunia yang gundah gulana.

Malang, Agustus 2017
Walter Arryano
Readmore → SANG TENANG

Thursday, 3 August 2017

BERKAT DI BALIK KERAPUHAN

“Andre, terima kasih banyak yah. Kamu adalah sahabatku yang terbaik. Kamu sabar mendengarkan cerita-ceritaku tentang masa lalu yang kelam itu. Tidak pernah sekalipun kamu menyela apalagi menghakimiku. Sekarang aku merasa lebih tenang, plong, dan bebas dari tekanan pengalaman memalukan itu. Terima kasih banyak yah.” Aku mengangguk, merespon apresiasi tulus Rani, teman baikku atas kesetiaan aku menjadi sahabatnya dalam berbagi kisah.
Udara sejuk menyelimuti kami di senja yang elok itu. Beberapa buah gazebo menghampar santun, memenuhi taman dengan jarak kira-kira 10 meter memisahkan satu dengan yang lainnya. Pada sebuah gazebo di sudut taman doa itu, duduklah dengan takzim sepasang sahabat, aku dan Rani. Kami menghabiskan senja berdua untuk berbagi cerita hidup yang selama ini membebani batin kami masing-masing.
“Andre, kamu tahu aku adalah orang yang agak tertutup. Sebenarnya aku tidak berani membuka aibku itu kepada siapa pun termasuk kamu yang selama ini sudah kupercayai. Tetapi karena kamu telah memulainya, aku sepertinya memiliki keberanian. Kamu memberi aku energi positif untuk membuka diri. Kebebasanmu dalam berbagi pengalaman masa lalumu membangkitkan keberanianku untuk menceritakan apa yang selama ini kututup rapat-rapat. Terima kasih banyak yah.” Seulas senyum termanis yang kumiliki, tulus kurekahkan kepadanya. Saat itu juga hati dan pikiranku kompak mengamini sebuah kalimat hebat yang dikatakan Romo pembimbing retret pada konferensi siang tadi, “hanya ketika kita mengenali kegelapan diri, kita mampu hadir bersama kegelapan orang lain.” Sesaat aku menyadari berkat-Nya di balik kerapuhanku. Batinku bercahaya. Dalam diam seuntai nada syukur kunaikan kehadirat-Nya.

Malang, 03 Agustus 2017
Walter Arryano
Readmore → BERKAT DI BALIK KERAPUHAN

Wednesday, 2 August 2017

Kompas

Malam beranjak menjemput pagi. Semburat mentari merona di ufuk timur. Selaksa jingga yang indah di hari yang baru. Jalanan riuh oleh deru kendaraan bermotor. Kehidupan kota Surabaya mulai bergeliat. Kesibukan ada di mana-mana. Kemacetan apalagi. Sudah menjadi pemandangan lazim yang tak pernah absen di kota metropolitan itu saban hari.
Kuhidupkan motor tua milik kakekku yang kupinjam. Hari itu aku hendak ke sebuah rumah sakit yang terletak di jantung kota untuk menjenguk seorang saudara yang dirawat di sana. “Celaka! Motor ini bisa ngadat di tengah jalan,” kataku cemas setelah mataku menangkap sesuatu pada speedometer-nya. Jarum penunjuk bahan bakar berada tepat di garis merah. Itu berarti bensin motor ini sebentar lagi tandas dan mesinnya akan mati.
“Mas, nggak muat lagi ini. Satu botol aja sudah penuh tangkinya”, kata penjual bensin yang menjajakan bahan bakar itu di pinggir jalan. Sesaat aku menyadari sesuatu. Kuserahkan sejumlah uang pembayaran untuk sebotol bensin sembari membatalkan sebotol yang lain yang tidak jadi kubeli lantaran tangkinya sudah full. Motor kuhidupkan, perjalanan kulanjutkan lagi. “Seandainya motor tua ini adalah diriku, bahkan baru sepersepuluh dari masa hidupku yang kujalani di dunia ini, aku sudah tersesat,” bisikku dalam diam sembari menatap dengan kagum motor tua itu yang dengan gagah membawaku, meliuk-liuk membelah jalanan kota walau sebagian onderdilnya tidak berfungsi.
Malang, 02 Agustus 2017
 Walter Arryano
Readmore → Kompas

Tuesday, 1 August 2017

Lelaki Pemuja Pagi

Sepasang pipit memadu kasih, bergelantungan, menari dan bernyanyi riang. Memisahkan diri dari sekawanan sahabat yang berkicau senang, menggemakan serunai, membahana di dedahanan cemara. Sekuncup mawar merah merekah, memesonai nian. Nyiur melambai, bersenandung ria sebuah melodi cinta. Pucuk-pucuk putih menguncup di dedaunan kopi, menyebarkan aroma harum pemanja indera. Sekawanan lebah pengisap madu menghambur, memuja sang bidadari di singgasana bebunga, lantas malu-malu mulai mencumbui. Seekor kupu-kupu cantik melambai-lambai, mengepak-ngepakkan sayapnya. Tersenyum ramah ia menyapa, “hai, kawan.”
Itulah sang pagi. Segenggam pagi yang murni di hamparan asri. Semburat mentari merona di ufuk timur, memancarkan beribu sulur jingga yang menawan. Langit bersih, tiada awan-gemawan. Selaksa embun bergelayut di padang rerumputan. Semilir angin membasuh tubuh, menyegarkan jiwa sang pemuja.
Itulah pagiku yang indah. Di sudut taman aku terpana.

Malang, 01 Agustus 2017
Walter Arryano
Readmore → Lelaki Pemuja Pagi