Monday, 19 January 2015

Pilihan Hidupku

Selasa, 06 Juli 2004. Kala itu mentari pagi bersinar terang. Cahaya kuning kemerah-merahan terpancar dari ufuk timur. Sang penerang jagat raya baru saja meninggalkan peraduaannya. Tuhan mulai menyatakan kemuliaan-Nya di awal hari. Alam raya bersorak gembira menyambut kasih ilahi. Tak mau ketinggalan suasana di terminal tua kotaku. Ia seakan turut bergembira bersama segenap insan yang sibuk mengawali hari baru dalam berbagai suasana hati dengan beragam aksi yang baru pula. Kesegaran udara pagi di terminal kebanggaan kotaku yang terletak di ujung timur tanah kelahiranku itu seakan tak kuasa membendung keceriaan tiap jiwa yang tengah menikmatinya.
Adalah seorang pemuda, usia paru baya yang baru saja menyelesaikan pendidikan di bangku SMA beberapa bulan yang lalu. Keberadaannya di sini, di terminal ini bersama saudari kecintaannya mungkin untuk yang terakhir kalinya. Ia akan pergi menghadap DIA yang telah memanggilanya. DIA yang telah mempesonai jiwanya. DIA yang telah mengetuk hatinya tuk meninggalkan segalanya dan memilih jalan hidup yang lain, jalan bersama-Nya. Sejuta kata bijak berupa petuah dan nasihat dibawanya serta sebagai bekal kehidupannya kelak. Namun, dari semua itu ada satu yang paling berkesan yang tidak akan dilupakannya yang didengarnya saat itu di tempat itu juga. Kata-kata itu keluar dari kedalaman hati sang saudari, hati seorang ibu yang telah dijadikan mamanya karena memang mamanya telah tiada ketika pemuda itu baru mulai belajar mengenal hidup dan realitas kehidupan dengan seluk beluknya. Kata-kata itu demikian, “nak, jangan lupakan kami berempat!”
Sederhana tetapi sarat dengan makna. Sangat menyentuh hati. Kata-kata itu seakan merangkum seluruh isi petuahnya. Seluruh harapannya akan saudara yang dikasihnya itu seakan sudah cukup diwakili dengan kata-kata itu. Jangan lupakan kami berempat, saudara dan saudarimu yang telah berjalan bersamamu menjejaki lorong-lorong kehidupan dengan tawa canda dan senda gurau, kami yang telah berbagi kisah dalam suka maupun duka bersamamu, kami yang telah berjuang bersamamu memerangi amukkan tantangan hidup semenjak kepergian mama kita. Bawalah semua kisah kita sebagai bekal perjalananmu bersama DIA. Jangan pernah merasa sendiri. Kami akan selalu mendukungmu melalui doa-doa kami. Demikianlah kira-kira makna dari sederetan kata-kata itu buah permenungan pemuda itu. Kata-kata itu diletakan di pundaknya sebagai hadiah terindah yang akan dipersembahkannya kepada DIA yang telah memanggilnya. Berat rasanya ia melangkahkan kaki meninggalkan saudari yang sangat dikasihinya itu. Tapi cita-cita dan cintanya akan panggilan hidupnya terus mengobarkan semangatnya. Akhirnya dengan diiringi deraian air mata, pemuda itu melangkah dengan gagah tuk menemui DIA yang memanggilnya. “Saudariku, aku akan selalu ingat kamu semua”, gumamnya dalam hati sebagai bentuk ketekadannya.
Aku adalah pemuda itu. Sejak kecil aku telah memiliki cita-cita ingin menjadi seorang biarawan. Dan kini aku telah menggapai cita-citaku itu. Aku telah mempersembahkan diriku kepada DIA yang telah memanggilku. Aku telah menjadi seorang biarawan, anggota sebuah tarekat religius. Panggilan Frater yang sangat kudambakan sejak kecil, kini telah disematkan di depan namaku. Aku sangat bahagia dan menikmati pilihan hidupku. Semoga aku tetap setia seumur hidupku dan di sepanjang usiaku aku tetap sebagai pengikut-Nya dan selalu berjalan bersama DIA tanpa pernah meninggalkan mereka, sanak saudaraku.
Comments
0 Comments