Selasa, 06 Juli 2004. Kala itu mentari pagi
bersinar terang. Cahaya kuning kemerah-merahan terpancar dari ufuk timur. Sang
penerang jagat raya baru saja meninggalkan peraduaannya. Tuhan mulai menyatakan
kemuliaan-Nya di awal hari. Alam raya bersorak gembira menyambut kasih ilahi.
Tak mau ketinggalan suasana di terminal tua kotaku. Ia seakan turut bergembira
bersama segenap
insan yang sibuk mengawali hari baru dalam berbagai suasana hati dengan beragam
aksi yang baru pula. Kesegaran udara pagi di terminal kebanggaan kotaku yang
terletak di ujung timur tanah kelahiranku itu seakan tak kuasa membendung
keceriaan tiap jiwa yang tengah menikmatinya.
Adalah seorang pemuda, usia paru baya yang baru saja
menyelesaikan pendidikan di bangku SMA beberapa bulan yang lalu. Keberadaannya
di sini, di terminal ini bersama saudari kecintaannya mungkin untuk yang
terakhir kalinya. Ia akan pergi menghadap DIA yang telah memanggilanya. DIA
yang telah mempesonai jiwanya. DIA yang telah mengetuk hatinya tuk meninggalkan
segalanya dan memilih jalan hidup yang lain, jalan bersama-Nya. Sejuta kata
bijak berupa petuah dan nasihat dibawanya serta sebagai bekal kehidupannya
kelak. Namun, dari semua itu ada satu yang paling berkesan yang tidak akan
dilupakannya yang didengarnya saat itu di tempat itu juga. Kata-kata itu keluar
dari kedalaman hati sang saudari, hati seorang ibu yang telah dijadikan mamanya
karena memang mamanya telah tiada ketika pemuda itu baru mulai belajar mengenal
hidup dan realitas kehidupan dengan seluk beluknya. Kata-kata itu demikian, “nak,
jangan lupakan kami berempat!”
Sederhana tetapi sarat dengan makna. Sangat menyentuh
hati. Kata-kata itu seakan merangkum seluruh isi petuahnya. Seluruh harapannya
akan saudara yang dikasihnya itu seakan sudah cukup diwakili dengan kata-kata
itu. Jangan lupakan kami berempat, saudara dan saudarimu yang telah berjalan
bersamamu menjejaki lorong-lorong kehidupan dengan tawa canda dan senda gurau,
kami yang telah berbagi kisah dalam suka maupun duka bersamamu, kami yang telah
berjuang bersamamu memerangi amukkan tantangan hidup semenjak kepergian mama
kita. Bawalah semua kisah kita sebagai bekal perjalananmu bersama DIA. Jangan
pernah merasa sendiri. Kami akan selalu mendukungmu melalui doa-doa kami.
Demikianlah kira-kira makna dari sederetan kata-kata itu buah permenungan
pemuda itu. Kata-kata itu diletakan di pundaknya sebagai hadiah terindah yang
akan dipersembahkannya kepada DIA yang telah memanggilnya. Berat rasanya ia
melangkahkan kaki meninggalkan saudari yang sangat dikasihinya itu. Tapi
cita-cita dan cintanya akan panggilan hidupnya terus mengobarkan semangatnya.
Akhirnya dengan diiringi deraian air mata, pemuda itu melangkah dengan gagah
tuk menemui DIA yang memanggilnya. “Saudariku, aku akan selalu ingat kamu
semua”, gumamnya dalam hati sebagai bentuk ketekadannya.
Aku adalah pemuda itu. Sejak kecil aku telah memiliki
cita-cita ingin menjadi seorang biarawan. Dan kini aku telah menggapai
cita-citaku itu. Aku telah mempersembahkan diriku kepada DIA yang telah memanggilku.
Aku telah menjadi seorang biarawan, anggota sebuah tarekat religius. Panggilan
Frater yang sangat kudambakan sejak kecil, kini telah disematkan di depan
namaku. Aku sangat bahagia dan menikmati pilihan hidupku. Semoga aku tetap
setia seumur hidupku dan di sepanjang usiaku aku tetap sebagai pengikut-Nya dan
selalu berjalan bersama DIA tanpa pernah meninggalkan mereka, sanak saudaraku.