“Iyah sus, kok suster udah tau nama bapak?”
“Bapak kenal Melani, karyawati susteran yang
dulu pernah bekerja di sini?”
“Hemmm, yang suaminya orang NTT itu yah, sus?
“Iyah, aku puterinya, pak…”
“Haa??”
Pengalaman
pertama perjumpaanku dengan pak Sadimin siang itu terus menghantui pikiranku.
Aku jadi rindu pada ibuku. Aku mengambil HP dan mencari nomor dengan nama
kontaknya, “mama sayang”, nama dan nomor HP ibuku.
“Mah, mama tau tadi siang aku ketemu siapa?
“Bagaimana mama tau, kamu jauh di sana
sementara mama di sini, mangnya kamu ketemu dengan siapa?”
“Aku ketemu pak Sadimin, mah, sopir susteran
yang pernah mama ceritakan sama aku. Mama masih ingat pak Sadimin kan? ehemm
ehemmm…”
“Hahaha, itu masa lalu mama, jangan
diungkit-ungkit lagi ah, mama malu…”
***
Pak
Sadimin adalah seorang laki-laki yang tidak asing dalam kehidupan ibuku. Pria
yang penuh dedikasi itu pernah menaruh hati pada ibuku. Beliau adalah sopir
susteran tempat ibuku dulu pernah mengabdi. Pak Sadimin jatuh cinta pada ibuku
lantaran mereka sering bersama. Mengabdi pada satu lembaga yang sama
memungkinkan mereka sering beradu pandang yang bermuara pada sebuah rasa penuh
gelora bernama cinta. Namum sayangnya, cinta pak Sadimin pada ibuku bagaikan
pungguk merindukan bulan. Kalangan muda menyebutnya dengan “cinta bertepuk
sebelah tangan”.
Ternyata
ibuku sudah memiliki tambatan hatinya. Seorang laki-laki yang dikenalnya dalam
suatu kegiatan Orang Muda Katolik (OMK), seorang mahasiswa yang sedang menuntut
ilmu di kota seberang adalah orangnya. Dialah pujaan hati ibuku, pria kekar
“berambut timor” yang kelak akan menjadi mantan kekasihnya dan ayahku.
Keputusan
ibuku lebih memilih ayah dari pada pak Sadimin dilatarbelakangi alasan logis
karena ayah saat itu adalah seorang mahasiswa calon guru. Ibu berharap kelak
ayah memiliki profesi yang tetap dan mumpuni sebagai penyangga biduk rumah
tangga keluarga kami. Menurutku harapan ibu wajar dan tidak berlebihan, bahwa
seorang istri mendambakan sang suami yang mampu menafkahi kehidupan
keluarganya.
Cerita
seputar masa pacaran antara ayah dengan ibuku sungguh indah dan menarik untuk
dikenang. Jarak yang memisahkan membuat mereka pandai-pandai mengatur waktu
untuk melepas rindu. Ayahku sering telat saat mengunjungi ibuku karena jalanan
macet dan jarak yang cukup jauh. Ketika sampai di asrama tempat tinggal ibu,
jam kunjung asrama sudah lewat. Ayah kadang-kadang kecewa karena tidak bisa
menemui ibu. Ungtungnya penjaga loket arsama adalah teman baik ibu sehingga
ayah dibolehkan masuk menjumpai ibu walau hanya sebentar. Aksi negosiasi ibu
bersama temannya kadang diketahui suster pimpinan asrama yang berbuntut mereka
dimarahi. Walaupun demikian ibu sangat menikmati relasinya dengan ayahku karena
memang ibuku mencintai ayah sebagaimana ayah juga mencintainya.
Jika
tidak ada waktu karena kesibukan masing-masing, surat menjadi satu-satunya
media yang bisa mengomunikasikan segala rasa yang mereka alami. Maklum mereka
hidup di era “jadul” dimana, HP atau alat komunikasi lainnya menjadi barang
mewah, mahal dan langka. Ibuku berkisah, pernah suatu kesempatan ibu mendapat
surat dari ayah. Setelah dibaca, isi surat ayah membuat ibu jadi bingung.
Hal-hal yang dikatakan dalam surat itu tidak ada hubungannya dengan ibu atau pun
tetang relasi mereka. Sempat terpikir bahwa ayah sengaja melakukan itu hanya
untuk bercanda. Namun, ayah tidak biasa melakukan seperti itu sebelumnya. Lalu
apa maksud dari surat itu? Ibu jadi semakin bingung. Di tengah kebingungannya
itu, ibu mencoba menceritakan pada teman dekatnya. Akhirnya kebingungan ibu
menemui jawabannya. Ternyata surat ayah salah alamat. Surat yang dikirimi ayah
untuk ibu saat ini ada di Melani, teman seasrama ibu yang juga sedang bingung
ikhwal surat yang diterimanya juga dari pacarnya. Begitulah konsekuensinya
kalau dua Melani tinggal seasrama dan juga memiliki pacar yang sama namanya.
(wkwkwkwkwk)
Selepas
kuliah, ayah membawa ibu dan menikahinya di tempat kelahiran ayah. Ibu
meninggalkan orang tuanya untuk mendampingi suaminya membangun bahtera rumah
tangga di sebuah kota kecil di pulau Timor, NTT. Dari hasil perkawinan mereka,
Tuhan menganugerahi tiga orang buah hati untuk melengkapi kebahagiaan rumah
tangga mereka, kakakku perempuan, adikku laki-laki dan aku. Kami hidup
sederhana dan penuh damai sebagai keluarga kecil yang berlandaskan iman
Katolik. Ayahku seorang PNS yang bekerja di Dinas Pendidikan sedangkan ibuku
jadi nyonya rumah yang mengurusi rumah tangga kami.
***
“Bunda,
aku ingin ayahku sembuh dan jika Tuhan mengabulkan doaku ini, aku akan
mempersembahkan hidupku untuk Tuhan”. Saban hari aku bertelut, bersimbah peluh
dan air mata. Aku bersimpuh bakti di bawah kaki sang Bunda, memohon dengan
perantaraannya agar kemurahan Tuhan berkarya menyembuhkan ayahku. Ayahku
menderita penyakit aneh yang tidak bisa didiagnosis secara medis. Langkah
alternative pun ditempuh, namun tak kujung sembuh. Ayahku sangat menderita.
Tubuh kekar nan gagah itu terkulai lemah tak berdaya di pembaringan lantaran
sakit penyakit yang menggerogotinya. Aku sedih, ibuku pilu, kakak dan adikku
tak kuasa menahan tangis. Kami serasa kehilangan fondasi penyangga hidup. Suami
ibuku, ayah kami yg adalah sang pemimpin, imam dan nahkoda biduk rumah tangga
kami begitu rapuh seakan berada di ambang harapan. Aku tak kuasa membayangkan
jika cerita hidup ayahku harus segera diberi tanda titik hanya karena penyakit
itu. Aku masih sangat membutuhkan ayahku untuk mendampingi ibuku dan menemani
kami anak-anaknya dalam mengarungi perziarahan hidup ini. Aku juga sangat
menyayangi ayahku.
Di
tengah kekalutan itu, aku teringat akan pesan ayah tentang kekuatan kuasa
Ilahi. Kekuatan yang menjadi sumber pengharapan di kala sakit menggerogoti
tubuh dan beban derita menghimpit jiwa. Ayah selalu berpesan demikian sebagai
bekal iman bagi kami putera-puterinya. Berbekal petuah ayah ini, aku bangkit
dari situasi kalut keluargaku untuk memohon pertolongan Tuhan. Aku bertekad
menyelamatkan ayahku walau hidupku menjadi taruhannya. Aku berdoa setiap
hari kepada Tuhan melalui perantaraan Bunda-Nya. Dan karena cintaku pada ayah,
aku sertakan sebuah janji kepada Tuhan dalam doaku sebagai “jaminan” bahwa aku
akan mempersembahkan hidupku menjadi pekerja di kebun anggur-Nya asal Dia mau
menyembuhkan ayahku.
***
“Balok,
kapan pulang libur? Ayah rindu”. HP ku bergetar. Ada sms dari ayahku. Ayah
memanggil aku “balok” sebagai panggilan kesayangannya untuk menggambarkan
kepribadianku yang memang keras seperti balok sebagaimana dirinya. Aku dan ayah
sama-sama berwatak keras. Ibuku bilang, aku adalah foto copy-nya ayah.
Sudah
tiga tahun aku berada di tanah Jawa. Belum sekali pun aku berlibur ke rumah.
Oleh karena itu ayah menjadi sangat rindu padaku. Aku pun demikian. “Heiii
ayah, apa kabar? Ayah sehat kan? Tahun depan aku dapat jatah cuti, yah, jadi
aku bisa berlibur ke rumah. Aku juga rindu ayah.” Aku berharap bahwa kata
“jatah cuti” yang tertulis dalam sms-ku tidak membuat ayah meminta penjelasan
lebih lanjut karena kalau dicermati, mana ada istilah jatah cuti bagi seorang
mahasiswi, yang ada hanya dipaksa cuti karena satu dan lain hal.
Aku
dan ibu merahasiakan sesuatu dari ayah. Setahu ayah, aku kuliah di salah satu
Akademi Keperawatan di kota Malang. Kami merahasiakan hal ini karena ayahku
tidak setuju kalau aku masuk biara untuk menjadi seorang biarawati. Ayah hanya
ingin aku menjadi seorang perawat. Tetapi ternyata aku saat ini telah menjadi
seorang suster. Aku mengabdikan hidupku sebagai seorang biarawati di sebuah
kongregasi di kota bunga, Malang.
Aku
bertemu para suster yang diceritakan ibuku, termasuk pak Sadimin. Ada seorang
suster begitu terharu setelah mengetahui bahwa aku adalah puteri Melani,
seorang gadis muda yang dulu pernah mengabdi di susteran ini yang bertugas
mengurusi jubah-jubah para suster. Suster ini terharu karena dialah yang
membimbing ibu belajar tentang iman Katolik sebelum ibu dibaptis menjadi
penganut agama Katolik dan menikah dengan ayahku. Demikian pun pak Sadimin.
Beliau sangat kaget setelah aku memperkenalkan diri sebagai puteri dari wanita
cantik yang dulu pernah mejadi pujaan hati pak sopir yang setia melayani para
suster itu.
***
Ayah
memelukku. Erat sekali. Dalam kehangatan pelukan itu, aku merasa sangat
bahagia. Si balok, puteri ayah yang keras kepala itu, kini adalah seorang suster.
Aku sudah tumbuh dewasa. Busana biara, jubah putih bermantol biru yang
membaluti tubuhku membuat aku tampak lebih anggun dari ibu. Begitulah kata
adikku. Pelukan ayah adalah tanda bahwa ayahku telah menerima dan merestui
pilihan hidupku sebagai biarawati bukan seorang perawat seperti yang
dikehendakinya dulu.
Empat
tahun aku berada jauh dari mereka, orang-orang yang aku sayangi, ayah dan ibu
serta kakak dan adikku. Kini aku berada lagi di tengah-tengah mereka,
orang-orang yang menyayangiku sebagai bagian dari darah daging mereka.
Kerinduanku terbayar, kebahagiaanku memuncak. “Terima kasih Tuhan”, syukurku
dalam diam.
Suasana
rumah di liburan pertamaku tak jauh berbeda dengan empat tahun lalu sewaktu aku
pergi meninggalkannya. Masih ada sesosok patung Bunda Maria di sudut itu.
Wanita suci nan mulia berwajah teduh yang kala itu menjadi tempat aku
mencurahkan kesedihan mendalamku lantaran penderitaan yang dialami ayahku.
Bersama dia dan dihadapannya aku berbagi sedih sembari menghunjukkan seuntain
nada pinta, memohon pertolongan Puteranya. Masih segar dalam ingatanku akan
sebuah janji yang pernah kuucapkan melalui perantaraannya. Dan kini aku
bertelut lagi di hadapannya sebagai seorang suster yang telah menepati janji
itu. Tak terasa bola mataku sembap dan air mataku pun mengalir tak tertahankan.
Aku menangis karena terharu akan cinta Tuhan yang begitu besar terhadap
keluargaku. “Terima kasih Bunda, kasihmu akan kukenang hingga di penghujung
usiaku, namamu akan selalu hidup di batinku dan nanti akan kuucapkan di saat
ajalku. Sampaikan rasa syukur berlimpahku pada puteramu, Tuhanku”. Hanya
kata-kata itu yang kurasa pantas untuk diucapkan.
“Ayah
bangga padamu, nak. Ayah hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pengorbananmu
untuk menyelamatkan ayah. Ayah berjanji akan selalu mendoakan panggilan
hidupmu”. Suara ayah tiba-tiba terdengar lirih di belakangku. Aku bangkit dan
memeluk ayahku. Tubuh itu sudah ringkih, kurus dan terbungkuk, namun cintanya
masih utuh dan menghangatkan. Aku sangat menyayanginya.
Bukti
cintaku pada Tuhan dan keluargaku terutama ayahku kuabadikan dalam sebuah kata
yang kupilih menjadi nama biaraku, Millane, Sr. Marie Millane. Sebuah kata dari
bahasa Portugis yang bermakna the biggest wisdom of love, kebijaksanaan
terbesar dari cinta. Begitulah aku menerjemahkannya sesuai seleraku. Kata itu
akan selalu mengingatkanku pada cinta, cinta ayah kepada ibu dan anak-anaknya,
cinta yang penuh bijaksana dari Tuhan yang telah memanggilku dengan cara-Nya
dan tentu cintaku, cinta si balok kepada ayahnya.
Kepanjen 14 Surabaya, Maret 2014
Didedikasikan
untuk si balok,
terima
kasih untuk sharing pengalaman panggilanmu yang telah menginspirasiku.
Walter
Odja Arryano, BHK