Monday, 19 January 2015

Suster Millane

“Maaf, bapak ini pak Sadimin kan?”
“Iyah sus, kok suster udah tau nama bapak?”
“Bapak kenal Melani, karyawati susteran yang dulu pernah bekerja di sini?”
“Hemmm, yang suaminya orang NTT itu yah, sus?
“Iyah, aku puterinya, pak…”
“Haa??”
Pengalaman pertama perjumpaanku dengan pak Sadimin siang itu terus menghantui pikiranku. Aku jadi rindu pada ibuku. Aku mengambil HP dan mencari nomor dengan nama kontaknya, “mama sayang”, nama dan nomor HP ibuku.
“Mah, mama tau tadi siang aku ketemu siapa?
“Bagaimana mama tau, kamu jauh di sana sementara mama di sini, mangnya kamu ketemu dengan siapa?”
“Aku ketemu pak Sadimin, mah, sopir susteran yang pernah mama ceritakan sama aku. Mama masih ingat pak Sadimin kan? ehemm ehemmm…”
“Hahaha, itu masa lalu mama, jangan diungkit-ungkit lagi ah, mama malu…”
***
Pak Sadimin adalah seorang laki-laki yang tidak asing dalam kehidupan ibuku. Pria yang penuh dedikasi itu pernah menaruh hati pada ibuku. Beliau adalah sopir susteran tempat ibuku dulu pernah mengabdi. Pak Sadimin jatuh cinta pada ibuku lantaran mereka sering bersama. Mengabdi pada satu lembaga yang sama memungkinkan mereka sering beradu pandang yang bermuara pada sebuah rasa penuh gelora bernama cinta. Namum sayangnya, cinta pak Sadimin pada ibuku bagaikan pungguk merindukan bulan. Kalangan muda menyebutnya dengan “cinta bertepuk sebelah tangan”.
Ternyata ibuku sudah memiliki tambatan hatinya. Seorang laki-laki yang dikenalnya dalam suatu kegiatan Orang Muda Katolik (OMK), seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kota seberang adalah orangnya. Dialah pujaan hati ibuku, pria kekar “berambut timor” yang kelak akan menjadi mantan kekasihnya dan ayahku.
Keputusan ibuku lebih memilih ayah dari pada pak Sadimin dilatarbelakangi alasan logis karena ayah saat itu adalah seorang mahasiswa calon guru. Ibu berharap kelak ayah memiliki profesi yang tetap dan mumpuni sebagai penyangga biduk rumah tangga keluarga kami. Menurutku harapan ibu wajar dan tidak berlebihan, bahwa seorang istri mendambakan sang suami yang mampu menafkahi kehidupan keluarganya.
Cerita seputar masa pacaran antara ayah dengan ibuku sungguh indah dan menarik untuk dikenang. Jarak yang memisahkan membuat mereka pandai-pandai mengatur waktu untuk melepas rindu. Ayahku sering telat saat mengunjungi ibuku karena jalanan macet dan jarak yang cukup jauh. Ketika sampai di asrama tempat tinggal ibu, jam kunjung asrama sudah lewat. Ayah kadang-kadang kecewa karena tidak bisa menemui ibu. Ungtungnya penjaga loket arsama adalah teman baik ibu sehingga ayah dibolehkan masuk menjumpai ibu walau hanya sebentar. Aksi negosiasi ibu bersama temannya kadang diketahui suster pimpinan asrama yang berbuntut mereka dimarahi. Walaupun demikian ibu sangat menikmati relasinya dengan ayahku karena memang ibuku mencintai ayah sebagaimana ayah juga mencintainya.
Jika tidak ada waktu karena kesibukan masing-masing, surat menjadi satu-satunya media yang bisa mengomunikasikan segala rasa yang mereka alami. Maklum mereka hidup di era “jadul” dimana, HP atau alat komunikasi lainnya menjadi barang mewah, mahal dan langka. Ibuku berkisah, pernah suatu kesempatan ibu mendapat surat dari ayah. Setelah dibaca, isi surat ayah membuat ibu jadi bingung. Hal-hal yang dikatakan dalam surat itu tidak ada hubungannya dengan ibu atau pun tetang relasi mereka. Sempat terpikir bahwa ayah sengaja melakukan itu hanya untuk bercanda. Namun, ayah tidak biasa melakukan seperti itu sebelumnya. Lalu apa maksud dari surat itu? Ibu jadi semakin bingung. Di tengah kebingungannya itu, ibu mencoba menceritakan pada teman dekatnya. Akhirnya kebingungan ibu menemui jawabannya. Ternyata surat ayah salah alamat. Surat yang dikirimi ayah untuk ibu saat ini ada di Melani, teman seasrama ibu yang juga sedang bingung ikhwal surat yang diterimanya juga dari pacarnya. Begitulah konsekuensinya kalau dua Melani tinggal seasrama dan juga memiliki pacar yang sama namanya. (wkwkwkwkwk)
Selepas kuliah, ayah membawa ibu dan menikahinya di tempat kelahiran ayah. Ibu meninggalkan orang tuanya untuk mendampingi suaminya membangun bahtera rumah tangga di sebuah kota kecil di pulau Timor, NTT. Dari hasil perkawinan mereka, Tuhan menganugerahi tiga orang buah hati untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka, kakakku perempuan, adikku laki-laki dan aku. Kami hidup sederhana dan penuh damai sebagai keluarga kecil yang berlandaskan iman Katolik. Ayahku seorang PNS yang bekerja di Dinas Pendidikan sedangkan ibuku jadi nyonya rumah yang mengurusi rumah tangga kami.
***
“Bunda, aku ingin ayahku sembuh dan jika Tuhan mengabulkan doaku ini, aku akan mempersembahkan hidupku untuk Tuhan”. Saban hari aku bertelut, bersimbah peluh dan air mata. Aku bersimpuh bakti di bawah kaki sang Bunda, memohon dengan perantaraannya agar kemurahan Tuhan berkarya menyembuhkan ayahku. Ayahku menderita penyakit aneh yang tidak bisa didiagnosis secara medis. Langkah alternative pun ditempuh, namun tak kujung sembuh. Ayahku sangat menderita. Tubuh kekar nan gagah itu terkulai lemah tak berdaya di pembaringan lantaran sakit penyakit yang menggerogotinya. Aku sedih, ibuku pilu, kakak dan adikku tak kuasa menahan tangis. Kami serasa kehilangan fondasi penyangga hidup. Suami ibuku, ayah kami yg adalah sang pemimpin, imam dan nahkoda biduk rumah tangga kami begitu rapuh seakan berada di ambang harapan. Aku tak kuasa membayangkan jika cerita hidup ayahku harus segera diberi tanda titik hanya karena penyakit itu. Aku masih sangat membutuhkan ayahku untuk mendampingi ibuku dan menemani kami anak-anaknya dalam mengarungi perziarahan hidup ini. Aku juga sangat menyayangi ayahku.
Di tengah kekalutan itu, aku teringat akan pesan ayah tentang kekuatan kuasa Ilahi. Kekuatan yang menjadi sumber pengharapan di kala sakit menggerogoti tubuh dan beban derita menghimpit jiwa. Ayah selalu berpesan demikian sebagai bekal iman bagi kami putera-puterinya. Berbekal petuah ayah ini, aku bangkit dari situasi kalut keluargaku untuk memohon pertolongan Tuhan. Aku bertekad menyelamatkan ayahku walau hidupku menjadi taruhannya.  Aku berdoa setiap hari kepada Tuhan melalui perantaraan Bunda-Nya. Dan karena cintaku pada ayah, aku sertakan sebuah janji kepada Tuhan dalam doaku sebagai “jaminan” bahwa aku akan mempersembahkan hidupku menjadi pekerja di kebun anggur-Nya asal Dia mau menyembuhkan ayahku.
***
“Balok, kapan pulang libur? Ayah rindu”. HP ku bergetar. Ada sms dari ayahku. Ayah memanggil aku “balok” sebagai panggilan kesayangannya untuk menggambarkan kepribadianku yang memang keras seperti balok sebagaimana dirinya. Aku dan ayah sama-sama berwatak keras. Ibuku bilang, aku adalah foto copy-nya ayah.
Sudah tiga tahun aku berada di tanah Jawa. Belum sekali pun aku berlibur ke rumah. Oleh karena itu ayah menjadi sangat rindu padaku. Aku pun demikian. “Heiii ayah, apa kabar? Ayah sehat kan? Tahun depan aku dapat jatah cuti, yah, jadi aku bisa berlibur ke rumah. Aku juga rindu ayah.” Aku berharap bahwa kata “jatah cuti” yang tertulis dalam sms-ku tidak membuat ayah meminta penjelasan lebih lanjut karena kalau dicermati, mana ada istilah jatah cuti bagi seorang mahasiswi, yang ada hanya dipaksa cuti karena satu dan lain hal.
Aku dan ibu merahasiakan sesuatu dari ayah. Setahu ayah, aku kuliah di salah satu Akademi Keperawatan di kota Malang. Kami merahasiakan hal ini karena ayahku tidak setuju kalau aku masuk biara untuk menjadi seorang biarawati. Ayah hanya ingin aku menjadi seorang perawat. Tetapi ternyata aku saat ini telah menjadi seorang suster. Aku mengabdikan hidupku sebagai seorang biarawati di sebuah kongregasi di kota bunga, Malang.
Aku bertemu para suster yang diceritakan ibuku, termasuk pak Sadimin. Ada seorang suster begitu terharu setelah mengetahui bahwa aku adalah puteri Melani, seorang gadis muda yang dulu pernah mengabdi di susteran ini yang bertugas mengurusi jubah-jubah para suster. Suster ini terharu karena dialah yang membimbing ibu belajar tentang iman Katolik sebelum ibu dibaptis menjadi penganut agama Katolik dan menikah dengan ayahku. Demikian pun pak Sadimin. Beliau sangat kaget setelah aku memperkenalkan diri sebagai puteri dari wanita cantik yang dulu pernah mejadi pujaan hati pak sopir yang setia melayani para suster itu.
***
Ayah memelukku. Erat sekali. Dalam kehangatan pelukan itu, aku merasa sangat bahagia. Si balok, puteri ayah yang keras kepala itu, kini adalah seorang suster. Aku sudah tumbuh dewasa. Busana biara, jubah putih bermantol biru yang membaluti tubuhku membuat aku tampak lebih anggun dari ibu. Begitulah kata adikku. Pelukan ayah adalah tanda bahwa ayahku telah menerima dan merestui pilihan hidupku sebagai biarawati bukan seorang perawat seperti yang dikehendakinya dulu.
Empat tahun aku berada jauh dari mereka, orang-orang yang aku sayangi, ayah dan ibu serta kakak dan adikku. Kini aku berada lagi di tengah-tengah mereka, orang-orang yang menyayangiku sebagai bagian dari darah daging mereka. Kerinduanku terbayar, kebahagiaanku memuncak. “Terima kasih Tuhan”, syukurku dalam diam.
Suasana rumah di liburan pertamaku tak jauh berbeda dengan empat tahun lalu sewaktu aku pergi meninggalkannya. Masih ada sesosok patung Bunda Maria di sudut itu. Wanita suci nan mulia berwajah teduh yang kala itu menjadi tempat aku mencurahkan kesedihan mendalamku lantaran penderitaan yang dialami ayahku. Bersama dia dan dihadapannya aku berbagi sedih sembari menghunjukkan seuntain nada pinta, memohon pertolongan Puteranya. Masih segar dalam ingatanku akan sebuah janji yang pernah kuucapkan melalui perantaraannya. Dan kini aku bertelut lagi di hadapannya sebagai seorang suster yang telah menepati janji itu. Tak terasa bola mataku sembap dan air mataku pun mengalir tak tertahankan. Aku menangis karena terharu akan cinta Tuhan yang begitu besar terhadap keluargaku. “Terima kasih Bunda, kasihmu akan kukenang hingga di penghujung usiaku, namamu akan selalu hidup di batinku dan nanti akan kuucapkan di saat ajalku. Sampaikan rasa syukur berlimpahku pada puteramu, Tuhanku”. Hanya kata-kata itu yang kurasa pantas untuk diucapkan.
“Ayah bangga padamu, nak. Ayah hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pengorbananmu untuk menyelamatkan ayah. Ayah berjanji akan selalu mendoakan panggilan hidupmu”. Suara ayah tiba-tiba terdengar lirih di belakangku. Aku bangkit dan memeluk ayahku. Tubuh itu sudah ringkih, kurus dan terbungkuk, namun cintanya masih utuh dan menghangatkan. Aku sangat menyayanginya.
Bukti cintaku pada Tuhan dan keluargaku terutama ayahku kuabadikan dalam sebuah kata yang kupilih menjadi nama biaraku, Millane, Sr. Marie Millane. Sebuah kata dari bahasa Portugis yang bermakna the biggest wisdom of love, kebijaksanaan terbesar dari cinta. Begitulah aku menerjemahkannya sesuai seleraku. Kata itu akan selalu mengingatkanku pada cinta, cinta ayah kepada ibu dan anak-anaknya, cinta yang penuh bijaksana dari Tuhan yang telah memanggilku dengan cara-Nya dan tentu cintaku, cinta si balok kepada ayahnya.

Kepanjen 14 Surabaya, Maret 2014

Didedikasikan untuk si balok,
terima kasih untuk sharing pengalaman panggilanmu yang telah menginspirasiku.

  Walter Odja Arryano, BHK
Comments
0 Comments