“…kumencintaimu
lebih dari apapun
meskipun
tiada satu orang pun yang tahu
kumencintaimu
sedalam-dalam hatiku
meskipun
engkau hanya kekasih gelapku…”
Walkman kecil hadiah terakhir dari sahabatku terus
memperdengarkan syair-syair indah karya group band Ungu. Bersama sang vokalis
handalnya Pasha, para personil Ungu dengan penuh penghayatan mendendangkan hits
favoritnya yang pernah mendominasi belantika musik di bumi Nusantara ini.
Kala itu malam kian larut. Suasana tak bersahabat terus
menggerogoti kalbuku yang sedang gundah gulana. Aku seorang diri, duduk
terpekur merenung rasa yang sedang hidup di alam sanubariku. Tak seorang pun
tahu bahwa syair lagu yang setia menemani kesunyian malamku itu telah membawa
alam pikiranku kembali ke memori masa lalu tentang kisah cintaku bersama Elina,
gadis pujaan hatiku. Di tengah kegundahan malam itu kucoba merangkai kembali
puing-puing cinta yang masih tersisa dalam hatiku yang telah lama kujadikan
sebagai kenangan indah yang pernah ada dalam sejarah hidupku. Inilah serpihan
kenangan indah yang berhasil kurangkum di kesunyian malam itu.
Elina adalah satu-satunya wanita dambaan hatiku ketika
aku mulai mengenal cinta. Kala itu kami masih di bangku sekolah menengah
pertama. Mungkin pertama kali aku mengalami jatuh cinta ketika aku mengenalnya.
“Elina is my first love”. Apa pun kulakukan hanya dengan satu tujuan agar aku
dapat menggapai cintanya untuk selamanya.
Hari-hari kulalui bersamanya dengan rasa cinta yang terus
bergelora. Hal ini terjadi karena kami saling mencintai. Rasanya tak ada
sesuatu pun yang bisa memisahkan kami. Aku mencintainya bukan karena
kecantikannya semata. Tetapi ada hal lain yang lebih indah yang terpatri di
balik tubuh moleknya. Ia mempunyai sejumlah mutiara yang tidak dimiliki oleh
wanita manapun di planet ini. Elina adalah segalanya bagiku. Hal inilah yang
mendorongku untuk senantiasa menghidupi amanat Sang Guru Cinta yang pernah
berpetuah demikian : “Jangan biarkan wanita merasa dicintai karena kecantikannya,
tetapi buatlah dia merasa cantik karena dicintai”. Aku pun merasa hidupku kian
sempurna dengan kehadirannya yang selalu ada untukku.
Namun,
ternyata anggapanku salah. Ternyata aku dan Elina adalah dua insan yang pernah
diberi ruang dan waktu untuk bertemu dan dihadiahi anugerah cinta oleh Yang
Empunya cinta untuk saling mencintai tetapi bukan untuk saling memiliki. Itu
terbukti dengan pilihan hidup yang sedang kami jalani hingga saat ini.
Selepas kami mengakhiri masa pendidikan kami di bangku
SMA, semenjak itu pula kami mengawali masa-masa perpisahan kami. Saat-saat
indah dalam perziarahan cinta kami : tawa-canda, bersenda gurau, berbagi kisah
suka-duka hidup kami terpaksa kami akhiri dalam sebuah perpisahan yang menyayat
hati. Sulit…..memang! Tapi itulah realita yang harus kami terima, maknai dan
jalani sebagai bagian dari sejarah hidup kami masing-masing. Tentu selalu dalam
bimbingan Karya Roh yang menjadi sumber kekuatan jiwa kami.
Akhirnya, aku harus pergi meninggalkan Elina untuk
sesuatu yang luhur. Sesuatu yang mulia di hadapan Tuhan dan para pengikut-Nya.
Mungkin bagi generasi di era kontemporer ini menganggap bahwa tindakanku adalah
hal terbodoh yang pernah kulakukan. Tetapi tidaklah demikian bagi Elina
kekasihku. Ia begitu bangga karena aku yang kelak akan menjadi mantan
kekasihnya dipilih Tuhan secara istimewa untuk menjadi Pekerja di Ladang-Nya.
Sungguh sebuah ketulusan cinta yang tak mampu ditakar
oleh apapun. Bahkan seorang bijak kelas wahid pun tak kuasa menguraikannya
dalam goresan syair indahnya. Ketulusan cinta Elina buatku tetaplah menjadi
sebuah misteri tak terselami. Dia adalah sesosok wanita sederhana yang sempurna
hampir setara dengan kesempurnaan wanita Nazareth yang pernah menjadi Bunda
Ilahi. Keikhlasannya mengijinkan aku hidup di balik balutan jubah putih,
membuktikan bahwa ia sungguh menyayangiku. Walau pada awalnya ia tak rela aku
memilih jalan ini karena ia tak ingin aku pergi dari kehidupannya, tetapi
karena cita-cita dan panggilan dari orang yang sangat dicintainya ia pun
merelakan juga. Hal inilah yang membuat aku kuat dalam menghayati pilihan
hidupku karena aku merasa didukung oleh orang yang kukasihi.
Hari terus berlalu, waktu kian berganti. Aku pun setia
menapaki lorong-lorong perjalanan panggilan hidupku. Tak jarang kutemui
kerikil-kerikil tajam dan onak duri yang setia menemaniku dalam petualanganku
menemui Dia yang memanggilku. Aku setia pada pilihanku bukan karena aku ingin
membalas jasa orang tuaku, bukan pula karena aku ingin membahagiakan
Elina-kekasihku, tetapi hidup membiara adalah pilihan dan cita-citaku sejak
kecil.
Akhirnya waktu pun mengantarku ke penghujung masa
pembinaan dasar sebagai novis di sebuah tarekat religius. Dan setelah
mengikrarkan kaul pertama aku ditempatkan di sebuah komunitas biara milik
tarekatku. Di sana aku diberi kepercayaan oleh pimpinanku sebagai pendamping
para generasi muda. Bagiku tugas ini adalah sesuatu yang paling membahagiakan.
Aku bahagia karena bisa hadir dan ada di tengah-tengah mereka, para kawula
muda. Berusaha masuk dan terlibat dalam dunia mereka tanpa harus terbawa arus
zaman mereka, itulah perjuangan dan cita-citaku. Pepatah klasik yang
mengatakan: “ikut arus tanpa harus terbawa arus” adalah peganganku dalam
mendampingi mereka. Dan sebagai pendamping, kadang aku hadir sebagai teman
curhat, teman sharing untuk membagi kisah hidup, rekan kerja atau bahkan kadang
aku hadir sebagai musuh bagi mereka. Aku sungguh menikmati tugas pelayananku.
Dan hal ini merupakan sebuah pengalaman yang membuatku merasa bahagia dengan
pilihan hidupku.
Di sana pula aku mengenal orang muda dengan segala
persoalannya. Sebuah pengalaman yang pernah kualami di kala predikatku masih
sebagai seorang pelajar SMA sama seperti mereka yang sedang menggebu-gebu
mencari jati dirinya: terlibat dalam tawuran, demo kecil-kecilan ala orang
muda, mabuk, merokok dan sebagainya. Dan ketika persoalan-persoalan itu kembali
kujumpai di kalangan orang muda yang ada di sekitarku, aku pun kadang hanya
berguman, “mereka seperti aku dulu”. Menurutku fenomena ini adalah sesuatu yang
lumrah; kisah lama yang tak pernah baru karena tidak ada titik akhir yang
jelas. Mungkin aku pesimis dalam hal ini, tapi itulah realita hidup generasi
zaman ini.
Dan karena kedekatanku dengan kehidupan orang muda,
selain persoalan-persoalan itu ada kenangan masa-masa indah di bangku sekolahku
mulai terbongkar helai demi helai. Aku diingatkan kembali pada saat-saat
romantis di bangku SMA. Kisah cintaku bersama Elina-wanita pujaan hatiku itu
seakan terkuak kembali bersama guratan asmara yang kian bergelora di nadi-nadi
belia binaanku. “First love never die”, ya… aku ingat ungkapan itu. Dan kini
jawabannya ada di lubuk hatiku yang paling dalam. Elina yang telah sekian lama
pergi dari kehidupanku akhirnya hadir lagi. Cintaku yang telah bertahun-tahun
pergi kini telah kembali dalam pelukanku dan mulai merajut kembali benang
asmara yang selama ini diputusi oleh panggilan hidupku. Namun, wujudnya sedikit
berbeda. Kehadiran Elina saat ini diwakili oleh seseorang yang kuberi nama “kekasih
gelap”. Sengaja kuberi namanya seperti itu karena aku masih sadar akan
keberadaanku sebagai orang pilihan Tuhan yang tak tega membiarkan panggilan
hidupku yang selama ini kuperjuangkan harus dikaburi eksistensinya oleh karena
kehadirannya. Aku mencintainya karena pada batas normal aku adalah sorang lelaki
yang ingin mencintai dan dicintai seorang wanita. Tetapi cintaku pada kekasih
gelapku hanyalah sebatas SIMPATI alias simpan di dalam hati karena di kedalaman
hatiku sosok wanita sempurna yang bernama Elina masih bersemi bagaikan mutiara
yang terbentang di tengah laut yang mahaluas dan terpendam di tengah laut yang
mahadalam.
Benar kata orang bijak: “seindah apa pun huruf terukir,
dapatkah ia bermakna apabila tak ada jedah? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada
spasi? Bukankah manusia baru bisa bergerak jika ada jarak dan saling mencintai
bila ada ruang?” Ternyata, ruang dan waktu tak mampu memisahkan kami. Walaupun
kami tak bersua dalam kurung waktu yang lama dengan jarak yang jauh, namun kami
tetap satu dalam ikatan cinta sejati. Suatu bentuk cinta yang ikhlas, jujur dan
tidak harus saling memiliki. Kami berjanji untuk saling mendoakan dan saling
mendukung pilihan hidup kami masing-masing. Ketulusan cinta yang telah kami
mulai semenjak usia kami baru beranjak remaja kan tetap dipelihara hingga di
penghujung usia. Walaupun kami tidak akan pernah menyatu dalam ikatan
sehidup-semati, namun cinta kami tak pernah berakhir sampai kapanpun dan
dimanapun. Akulah arjuna yang rusuknya telah terpotong buat seorang dara
bernama Elina.
“…ku tahu ku
takkan s’lalu ada untukmu
di
saat engkau merindukan diriku
ku
tahu ku takkan bisa memberimu
waktu yang panjang dalam hidupku
yakinlah bahwa engkau adalah cintaku
yang ku cari s’lama ini dalam hidupku
dan hanya padamu ku berikan sisa cintaku
yang panjang dalam hidupku…”
Dengan berakhirnya lagu “Kekasih Gelapnya” Ungu aku pun
mengakhiri rangkuman kisah masa laluku. Kumatikan walkman kesayanganku itu
sembari menyerahkan diriku sepenuhnya pada penguasa ranjang di kekelaman malam
itu. Aku pun terlelap dalam tidur dan berharap dalam tidurku aku menemui dia
yang telah kunobatkan sebagai cinta sejatiku. Akan kukatakan semua yang telah
kualami malam itu kepadanya agar kami sama-sama merasakannya walaupun semuanya
hanyalah mimpi yang sampai kapan pun tetaplah sebuah mimpi.
Ujung Timur Nusa Bunga, Juli 2008
buat
seseorang yang kusayangi
walter
odja arryano