Kala itu hari mulai senja. Cahaya kuning
kemerahan-merahan mulai tertampak di ufuk barat. Sang surya hendak kembali ke
peraduannya setelah sehari penuh menyinari jaga raya ini. Burung-burung
berterbangan kembali ke sarangnya. Alam pantai di senja itu handak bercerita
bahwa malam segera tiba. Di sekitar pantai itu terbentanglah sebuah dermaga tua,
dermaga satu-satunya yang ada di kota itu. Ia berdiri tegak, kokoh dan tetap
tegar menahan hempasan ombak yang saban hari terus menerjang, mendebarkan
jantung tiap insan yang doyan mengakhiri harinya di atas dermaga tua itu.
Adalah di sana di salah satu ujung dermaga tua itu,
duduklah sepasang orang muda yang sedang asyik bercinta. Mereka adalah Arry dan
Susan, sepasang kekasih yang saling mencintai. Keduanya telah mulai merajut
benang asmara ketika mereka mulai menyabet predikat sebagai pelajar SMA tahun
pertama di sebuah sekolah swasta favorit di kota itu. Aksi dan ekspresi
bercinta yang ditunjukkan keduanya senja itu memberi kesan kepada semua mata
yang memandang, bahwa mereka adalah dua sejoli yang kompak dan romantis.
Senja itu adalah moment yang paling indah sekaligus saat
yang paling menyedihkan bagi keduanya sepanjang perjalanan cinta mereka; suatu
kesempatan yang paling berarti dan merupakan moment terakhir kebersamaan mereka
karena pada pukul 22.00 malam itu, Arry akan berangkat untuk melanjutkan
pendidikannya demi menggapai cita-cita, menembur harapan masa kecilnya.
Di tengah kemesraan berpadu bayu senja dan indahnya
pemandangan pantai kala itu, Arry mencoba mengutarakan tujuan utama perjumpaan
mereka sore itu melalui sebuah pertanyaan sederhana tapi sarat tujuan : “Susan,
apakah kamu masih mencintaiku?” Sekejap Susan tersentak kaget dan sejuta
tanya pun terlintas di alam pikirannya menanggapi pertanyaan Arry. Tetapi Arry
terus bertanya sampai pada akhirnya dia pun menjawabnya. “Ya...!!!???”.
Susan dengan terpaksa memberikan jawaban singkat yang seharusnya tidak perlu
karena hubungan mereka masih sangat kompak dan saling mencintai seperti
sediakala. Arry pun bingung hendak bertanya apa lagi karena pertanyaan yang
membantunya untuk menyampaikan maksud kebersamaan mereka sore itu ditanggapi
Susan dengan penuh keheranan. Namun, dengan modal kegentelan seorang lelaki
Arry pun berani mengatakan yang sesungguhnya. “Susan, aku tahu kamu masih mencintaiku, demikian pun aku
masih sangat mencintaimu. Kau dan aku dilahirkan oleh karena cinta yang telah
bersemi dalam diri kedua orang tua kita masing-masing. Karena dengan cinta pula
kita dibesarkan yang pada akhirnya kita bermuara pada kesempatan pengenalan
akan cinta. Semua itu karena cinta-Nya. Dia telah membuat kita mengenal cinta
dan mempertemukan kita untuk boleh saling mencintai. Aku bersyukur atas
anuregerah ini. Namun, ada satu hal yang perlu kita sadari bersama bahwa cinta
kita harus sejalan dengan cita-cita dan panggilan hidup kita masing-masing
seturut rencana-Nya. Kau dan aku diciptakan untuk saling mencintai tapi bukan
untuk saling memiliki. Aku merasa terpanggil untuk hidup membiara di bawah
naungan Sang Bunda: Maria Bunda Hati Kudus dan aku ingin menjadi bagian dari
himpunan orang-orang yang mengikuti jejak Puteranya. Inilah jalan hidupku. Aku
tidak salah memilih. Susan…di sinilah batas cinta kita. Aku tak bermaksud
mengecewakanmu tetapi aku hanya ingin menyadarimu bahwa semua ini adalah
realita hidup yang harus kita terima, maknai dan kita sikapi dengan bijak dan
penuh keyakinan dalam bimbingan karya rahmat-Nya. Biarlah saat-saat indah yang
pernah kita jejaki bersama dalam kisah cinta kita selama ini menjadi kenangan
indah yang pernah ada dalam sejarah hidup kita masing-masing. Sayang…ijinkanlah
aku!” Arry tak
sanggup lagi meneruskan pembicaraannya. Kesedihan yang mendalam telah mengatup
kedua bibirnya. Lalu dengan tegar sambil merangkul kekasihnya, Arry berkata
lagi untuk kedua kalinya, “sayang......ijinkanlah aku.......aku sangat
mencintaimu.....tetapi aku harus memilih jalan ini”. Sesaat Arry memandang
wajah Susan, didapatinya tetesan-tetesan bening membasahi pipi Susan. Ia
menangis, meratapi kisah cintanya yang akan terlerai oleh panggilan hidup Arry
kekasihnya. Arry pun menyadari bahwa ia telah membuat wanita yang sangat ia
sayangi harus menanggung kekecewaan. Ia pun berusaha menenangkan kekasihnya,
namun sia-sia. Susan terus-menerus menujukkan rasa kecewanya melalui tangisan
yang makin menjadi-jadi. Mereka melewati saat-saat yang paling menyedihkan itu
selama beberapa jam, hingga malam menjemput dan memaksa keduanya kembali ke
rumah masing-masing tanpa ada akhir pembicaraan yang jelas.
Weker kecil hadiah ulang tahun yang diberikan orang tua
buat Arry sebagai “penitensi” dari kemalasannya, kini jarum pendeknya berada
tepat pada angka 9. Waktu menunjukkan tepat pukul 21.00. Satu jam lagi Arry
akan pergi meninggalkan orangtua, sanak saudara dan seluruh anggota keluarganya
serta Susan, gadis pujaan hatinya untuk menjalani hidup sebagai seorang Frater.
Ia pun bergegas menyiapkan barang-barang bawaannya. Berselang beberapa menit
kemudian dari kejauhan remang-remang lampu KM Mentari Nusantara sudah mulai
tertampak dan setelah berpamitan dengan seluruh anggota keluarganya, Arry pun
bergegas ke pelabuhan yang tepat berada di depan rumahnya. Setengah jam
kemudian, bersandarlah kapal di dermaga kebanggaan masyarakat kota kelahiran
Arry. Ia pun bersiap-siap untuk menumpanginya. Tiba-tiba ia mendengar
rintihan-rintihan histeris yang tepat berada di belakangnya. Susan, gadis
kecintaannya itu membututinya. Ia seakan tak merelakan kepergian Arry
kekasihnya. Namun, Arry tetap pada pendirian dan cita-citanya. Rintihannya
semakin bertambah ketika salah seorang ABK membuat suatu kode bahwa kapal akan
segera berlayar. Kala itu juga sambil memeluk Arry, sederetan kata terakhir pun
terucap dari bibir mungilnya sebagai bukti bahwa ia merelakan Arry masuk biara.
“Kak, selamat jalan....selamat menjalani panggilan hidupmu. Semoga cita-cita
luhurmu dapat tercapai. Aku kan selalu setia bersamamu dalam setiap doa-doaku.
Selamat jalan sayang....aku sangat mencintaimu....”. Ketika itu juga dengan
penuh kasih Arry merangkul kekasihnya, menciumnya dan mengungkapkan kata-kata
terakhirnya untuk Susan. “Sayang, selamat tinggal…hilangkan rasa sedih dan
kecewa yang ada dalam hatimu…yakinlah bahwa ketulusan cinta kita takkan sirna
selamanya. Aku kan tetap mencintaimu kapan dan dimanapun, walaupun kita tak
pernah menyatu. Ingat….cinta tak selamanya harus memiliki!” Arry pun
menumpangi kapal itu dan segera berlayar membawa serta segenggam harapan dari
keluarga dan Susan kekasihnya.
Hari berganti hari, bulan dan tahun pun berganti. Waktu
terus bergulir. Arry pun setia menjalani hidupnya sebagai seorang biarawan di
sebuah tarekat religius. Namun, saat-saat indah bersama Susan masih selalu
terbayang dalam angan-angannya di kala kesepian menghimpit jiwanya. Sebuah
pengalaman menarik yang sulit dilupakannya adalah saat merayakan Natal bersama
Susan di sebuah dusun kecil dua tahun terakhir sebelum ia masuk biara. Kini
telah beberapa tahun ia hidup di biara dan sudah kesekian kalinya merayakan
hari lahirnya Sang Juruselamat tanpa ada Susan di sampingnya. Maka, untuk
mengenang kisah itu, ia pun mengirimkan selembar kartu Natal untuk Susan yang
telah menjadi mantan kekasihnya dengan goresan rangkaian kata-kata ini :
“Susan sahabatku yang terkasih, telah sekian tahun kita berpisah dan telah
kesekian kalinya aku merayakan Natal tanpa kehadiranmu. Kenangan indah saat
kita berbahagia bersama Sang Bayi yang dilahirkan di palungan itu sampai saat
ini masih setia menemani hari-hariku. Seakan-akan aku tak sanggup mengahadapi
semuanya ini. Ingin aku kembali kepadamu untuk meneruskan kembali cinta yang
pernah kita jalani dulu. Tapi rasanya itu bukanlah pilihanku. Bersama lajunya
sang waktu, ku terus berusaha menyadari diri bahwa mendampingimu dalam hidup
berkeluarga bukanlah panggilan hidupku. Aku telah dipilih Tuhan untuk menjadi
“pekerja” di Kebun Anggur-Nya dan inilah jalan hidupku. Dulu aku pernah berkata
kepadamu, bila Tuhan menutup pintu hatiku untuk memilikimu, Dia pasti akan
membuka jendela rumah-Nya, membiarkan aku masuk dan mengalami kasih-Nya sebagai
orang pilihan-Nya. Beginilah kisah cinta kita yang tak selamanya harus
memiliki….. Selamat Natal Sahabatku……!!
aku yang selalu merindukanmu
wallteruz
Novisiat, Desember 2006
Untuk sahabat-sahabatku yang
pernah HADIR dan BERSEMI dalam PERASAANKU
walter
odja arryano