Monday, 19 January 2015

Frater adalah Calon Suamiku

Sidodadi. Itu adalah nama sebuah distrik kecil yang terletak di Malang Selatan. Penduduknya didominasi oleh warga Muslim dan penduduk yang beragama Katolik sekitar 50 keluarga. Warga Sidodadi pada umumya bermata pencaharian sebagai petani tetapi ada juga yang bekerja sebagai peternak. Berdasarkan struktur gerejawi, Sidodadi adalah sebuah Stasi dari Paroki Lodalem. Jarak dari pusat Paroki ke Sidodadi kira-kira 2 KM.
Saya pernah berada di sana selama 2 minggu. Saya tinggal di sebuah keluarga kecil yang sederhana. Keberadaan saya di sana dalam rangka menimba pengalaman bersama keluarga ini. Saya ingin mengenal dan mengalamani situasi kehidupan harian keluarga kecil ini secara langsung (live in).
Kedua orang tua angkatku adalah petani. Mereka memiliki dua lahan pertanian yang sangat besar. Mereka juga memiliki beberapa ekor sapi piaraan. Berternak sapi adalah pekerjaan sambilan mereka. Orang tua angkatku memiliki 3 orang anak. Anak pertama dan anak bungsu adalah perempuan dan anak kedua adalah laki-laki. Pada saat itu ketiganya belum menikah. Mereka baik-baik dan sangat familiar. Baru saja beberapa hari saya berada di sana, mereka telah menganggapku sebagai saudara mereka sendiri. Setiap hari kami pergi ke kebun bersama-sama.
Saya sangat senang menikmati hari-hariku bersama keluarga baruku ini. Ada begitu banyak pengalaman yang kualami bersama mereka. Bagaimana menjaga keharmonisan relasi dan mampu beradaptasi dengan semua anggota keluarga adalah keharusanku sebagai anggota baru dalam keluarga ini.
Suatu malam, ketika kami sedang menonton TV, ibu menceritakan pengalamannya kepada kami. Ada seorang ibu yaitu tetangganya bertanya kepadanya, siapakah saya? Apakah saya adalah calon suami puteri pertamanya? Kami semua merespon cerita ibu dengan tertawa. Suasana rumah menjadi sangat ramai karena tertawaan kami. “Mam, kalau mereka tanya lagi katakan iya, Frater adalah calon suamiku”, kata saudari angkatku yang adalah puteri pertama ibu. Itu berarti gadis itu menyukaiku, hehehe…
Readmore → Frater adalah Calon Suamiku

Suster Millane

“Maaf, bapak ini pak Sadimin kan?”
“Iyah sus, kok suster udah tau nama bapak?”
“Bapak kenal Melani, karyawati susteran yang dulu pernah bekerja di sini?”
“Hemmm, yang suaminya orang NTT itu yah, sus?
“Iyah, aku puterinya, pak…”
“Haa??”
Pengalaman pertama perjumpaanku dengan pak Sadimin siang itu terus menghantui pikiranku. Aku jadi rindu pada ibuku. Aku mengambil HP dan mencari nomor dengan nama kontaknya, “mama sayang”, nama dan nomor HP ibuku.
“Mah, mama tau tadi siang aku ketemu siapa?
“Bagaimana mama tau, kamu jauh di sana sementara mama di sini, mangnya kamu ketemu dengan siapa?”
“Aku ketemu pak Sadimin, mah, sopir susteran yang pernah mama ceritakan sama aku. Mama masih ingat pak Sadimin kan? ehemm ehemmm…”
“Hahaha, itu masa lalu mama, jangan diungkit-ungkit lagi ah, mama malu…”
***
Pak Sadimin adalah seorang laki-laki yang tidak asing dalam kehidupan ibuku. Pria yang penuh dedikasi itu pernah menaruh hati pada ibuku. Beliau adalah sopir susteran tempat ibuku dulu pernah mengabdi. Pak Sadimin jatuh cinta pada ibuku lantaran mereka sering bersama. Mengabdi pada satu lembaga yang sama memungkinkan mereka sering beradu pandang yang bermuara pada sebuah rasa penuh gelora bernama cinta. Namum sayangnya, cinta pak Sadimin pada ibuku bagaikan pungguk merindukan bulan. Kalangan muda menyebutnya dengan “cinta bertepuk sebelah tangan”.
Ternyata ibuku sudah memiliki tambatan hatinya. Seorang laki-laki yang dikenalnya dalam suatu kegiatan Orang Muda Katolik (OMK), seorang mahasiswa yang sedang menuntut ilmu di kota seberang adalah orangnya. Dialah pujaan hati ibuku, pria kekar “berambut timor” yang kelak akan menjadi mantan kekasihnya dan ayahku.
Keputusan ibuku lebih memilih ayah dari pada pak Sadimin dilatarbelakangi alasan logis karena ayah saat itu adalah seorang mahasiswa calon guru. Ibu berharap kelak ayah memiliki profesi yang tetap dan mumpuni sebagai penyangga biduk rumah tangga keluarga kami. Menurutku harapan ibu wajar dan tidak berlebihan, bahwa seorang istri mendambakan sang suami yang mampu menafkahi kehidupan keluarganya.
Cerita seputar masa pacaran antara ayah dengan ibuku sungguh indah dan menarik untuk dikenang. Jarak yang memisahkan membuat mereka pandai-pandai mengatur waktu untuk melepas rindu. Ayahku sering telat saat mengunjungi ibuku karena jalanan macet dan jarak yang cukup jauh. Ketika sampai di asrama tempat tinggal ibu, jam kunjung asrama sudah lewat. Ayah kadang-kadang kecewa karena tidak bisa menemui ibu. Ungtungnya penjaga loket arsama adalah teman baik ibu sehingga ayah dibolehkan masuk menjumpai ibu walau hanya sebentar. Aksi negosiasi ibu bersama temannya kadang diketahui suster pimpinan asrama yang berbuntut mereka dimarahi. Walaupun demikian ibu sangat menikmati relasinya dengan ayahku karena memang ibuku mencintai ayah sebagaimana ayah juga mencintainya.
Jika tidak ada waktu karena kesibukan masing-masing, surat menjadi satu-satunya media yang bisa mengomunikasikan segala rasa yang mereka alami. Maklum mereka hidup di era “jadul” dimana, HP atau alat komunikasi lainnya menjadi barang mewah, mahal dan langka. Ibuku berkisah, pernah suatu kesempatan ibu mendapat surat dari ayah. Setelah dibaca, isi surat ayah membuat ibu jadi bingung. Hal-hal yang dikatakan dalam surat itu tidak ada hubungannya dengan ibu atau pun tetang relasi mereka. Sempat terpikir bahwa ayah sengaja melakukan itu hanya untuk bercanda. Namun, ayah tidak biasa melakukan seperti itu sebelumnya. Lalu apa maksud dari surat itu? Ibu jadi semakin bingung. Di tengah kebingungannya itu, ibu mencoba menceritakan pada teman dekatnya. Akhirnya kebingungan ibu menemui jawabannya. Ternyata surat ayah salah alamat. Surat yang dikirimi ayah untuk ibu saat ini ada di Melani, teman seasrama ibu yang juga sedang bingung ikhwal surat yang diterimanya juga dari pacarnya. Begitulah konsekuensinya kalau dua Melani tinggal seasrama dan juga memiliki pacar yang sama namanya. (wkwkwkwkwk)
Selepas kuliah, ayah membawa ibu dan menikahinya di tempat kelahiran ayah. Ibu meninggalkan orang tuanya untuk mendampingi suaminya membangun bahtera rumah tangga di sebuah kota kecil di pulau Timor, NTT. Dari hasil perkawinan mereka, Tuhan menganugerahi tiga orang buah hati untuk melengkapi kebahagiaan rumah tangga mereka, kakakku perempuan, adikku laki-laki dan aku. Kami hidup sederhana dan penuh damai sebagai keluarga kecil yang berlandaskan iman Katolik. Ayahku seorang PNS yang bekerja di Dinas Pendidikan sedangkan ibuku jadi nyonya rumah yang mengurusi rumah tangga kami.
***
“Bunda, aku ingin ayahku sembuh dan jika Tuhan mengabulkan doaku ini, aku akan mempersembahkan hidupku untuk Tuhan”. Saban hari aku bertelut, bersimbah peluh dan air mata. Aku bersimpuh bakti di bawah kaki sang Bunda, memohon dengan perantaraannya agar kemurahan Tuhan berkarya menyembuhkan ayahku. Ayahku menderita penyakit aneh yang tidak bisa didiagnosis secara medis. Langkah alternative pun ditempuh, namun tak kujung sembuh. Ayahku sangat menderita. Tubuh kekar nan gagah itu terkulai lemah tak berdaya di pembaringan lantaran sakit penyakit yang menggerogotinya. Aku sedih, ibuku pilu, kakak dan adikku tak kuasa menahan tangis. Kami serasa kehilangan fondasi penyangga hidup. Suami ibuku, ayah kami yg adalah sang pemimpin, imam dan nahkoda biduk rumah tangga kami begitu rapuh seakan berada di ambang harapan. Aku tak kuasa membayangkan jika cerita hidup ayahku harus segera diberi tanda titik hanya karena penyakit itu. Aku masih sangat membutuhkan ayahku untuk mendampingi ibuku dan menemani kami anak-anaknya dalam mengarungi perziarahan hidup ini. Aku juga sangat menyayangi ayahku.
Di tengah kekalutan itu, aku teringat akan pesan ayah tentang kekuatan kuasa Ilahi. Kekuatan yang menjadi sumber pengharapan di kala sakit menggerogoti tubuh dan beban derita menghimpit jiwa. Ayah selalu berpesan demikian sebagai bekal iman bagi kami putera-puterinya. Berbekal petuah ayah ini, aku bangkit dari situasi kalut keluargaku untuk memohon pertolongan Tuhan. Aku bertekad menyelamatkan ayahku walau hidupku menjadi taruhannya.  Aku berdoa setiap hari kepada Tuhan melalui perantaraan Bunda-Nya. Dan karena cintaku pada ayah, aku sertakan sebuah janji kepada Tuhan dalam doaku sebagai “jaminan” bahwa aku akan mempersembahkan hidupku menjadi pekerja di kebun anggur-Nya asal Dia mau menyembuhkan ayahku.
***
“Balok, kapan pulang libur? Ayah rindu”. HP ku bergetar. Ada sms dari ayahku. Ayah memanggil aku “balok” sebagai panggilan kesayangannya untuk menggambarkan kepribadianku yang memang keras seperti balok sebagaimana dirinya. Aku dan ayah sama-sama berwatak keras. Ibuku bilang, aku adalah foto copy-nya ayah.
Sudah tiga tahun aku berada di tanah Jawa. Belum sekali pun aku berlibur ke rumah. Oleh karena itu ayah menjadi sangat rindu padaku. Aku pun demikian. “Heiii ayah, apa kabar? Ayah sehat kan? Tahun depan aku dapat jatah cuti, yah, jadi aku bisa berlibur ke rumah. Aku juga rindu ayah.” Aku berharap bahwa kata “jatah cuti” yang tertulis dalam sms-ku tidak membuat ayah meminta penjelasan lebih lanjut karena kalau dicermati, mana ada istilah jatah cuti bagi seorang mahasiswi, yang ada hanya dipaksa cuti karena satu dan lain hal.
Aku dan ibu merahasiakan sesuatu dari ayah. Setahu ayah, aku kuliah di salah satu Akademi Keperawatan di kota Malang. Kami merahasiakan hal ini karena ayahku tidak setuju kalau aku masuk biara untuk menjadi seorang biarawati. Ayah hanya ingin aku menjadi seorang perawat. Tetapi ternyata aku saat ini telah menjadi seorang suster. Aku mengabdikan hidupku sebagai seorang biarawati di sebuah kongregasi di kota bunga, Malang.
Aku bertemu para suster yang diceritakan ibuku, termasuk pak Sadimin. Ada seorang suster begitu terharu setelah mengetahui bahwa aku adalah puteri Melani, seorang gadis muda yang dulu pernah mengabdi di susteran ini yang bertugas mengurusi jubah-jubah para suster. Suster ini terharu karena dialah yang membimbing ibu belajar tentang iman Katolik sebelum ibu dibaptis menjadi penganut agama Katolik dan menikah dengan ayahku. Demikian pun pak Sadimin. Beliau sangat kaget setelah aku memperkenalkan diri sebagai puteri dari wanita cantik yang dulu pernah mejadi pujaan hati pak sopir yang setia melayani para suster itu.
***
Ayah memelukku. Erat sekali. Dalam kehangatan pelukan itu, aku merasa sangat bahagia. Si balok, puteri ayah yang keras kepala itu, kini adalah seorang suster. Aku sudah tumbuh dewasa. Busana biara, jubah putih bermantol biru yang membaluti tubuhku membuat aku tampak lebih anggun dari ibu. Begitulah kata adikku. Pelukan ayah adalah tanda bahwa ayahku telah menerima dan merestui pilihan hidupku sebagai biarawati bukan seorang perawat seperti yang dikehendakinya dulu.
Empat tahun aku berada jauh dari mereka, orang-orang yang aku sayangi, ayah dan ibu serta kakak dan adikku. Kini aku berada lagi di tengah-tengah mereka, orang-orang yang menyayangiku sebagai bagian dari darah daging mereka. Kerinduanku terbayar, kebahagiaanku memuncak. “Terima kasih Tuhan”, syukurku dalam diam.
Suasana rumah di liburan pertamaku tak jauh berbeda dengan empat tahun lalu sewaktu aku pergi meninggalkannya. Masih ada sesosok patung Bunda Maria di sudut itu. Wanita suci nan mulia berwajah teduh yang kala itu menjadi tempat aku mencurahkan kesedihan mendalamku lantaran penderitaan yang dialami ayahku. Bersama dia dan dihadapannya aku berbagi sedih sembari menghunjukkan seuntain nada pinta, memohon pertolongan Puteranya. Masih segar dalam ingatanku akan sebuah janji yang pernah kuucapkan melalui perantaraannya. Dan kini aku bertelut lagi di hadapannya sebagai seorang suster yang telah menepati janji itu. Tak terasa bola mataku sembap dan air mataku pun mengalir tak tertahankan. Aku menangis karena terharu akan cinta Tuhan yang begitu besar terhadap keluargaku. “Terima kasih Bunda, kasihmu akan kukenang hingga di penghujung usiaku, namamu akan selalu hidup di batinku dan nanti akan kuucapkan di saat ajalku. Sampaikan rasa syukur berlimpahku pada puteramu, Tuhanku”. Hanya kata-kata itu yang kurasa pantas untuk diucapkan.
“Ayah bangga padamu, nak. Ayah hanya bisa mengucapkan terima kasih atas pengorbananmu untuk menyelamatkan ayah. Ayah berjanji akan selalu mendoakan panggilan hidupmu”. Suara ayah tiba-tiba terdengar lirih di belakangku. Aku bangkit dan memeluk ayahku. Tubuh itu sudah ringkih, kurus dan terbungkuk, namun cintanya masih utuh dan menghangatkan. Aku sangat menyayanginya.
Bukti cintaku pada Tuhan dan keluargaku terutama ayahku kuabadikan dalam sebuah kata yang kupilih menjadi nama biaraku, Millane, Sr. Marie Millane. Sebuah kata dari bahasa Portugis yang bermakna the biggest wisdom of love, kebijaksanaan terbesar dari cinta. Begitulah aku menerjemahkannya sesuai seleraku. Kata itu akan selalu mengingatkanku pada cinta, cinta ayah kepada ibu dan anak-anaknya, cinta yang penuh bijaksana dari Tuhan yang telah memanggilku dengan cara-Nya dan tentu cintaku, cinta si balok kepada ayahnya.

Kepanjen 14 Surabaya, Maret 2014

Didedikasikan untuk si balok,
terima kasih untuk sharing pengalaman panggilanmu yang telah menginspirasiku.

  Walter Odja Arryano, BHK
Readmore → Suster Millane

Panggilah Aku, FRATER

Sejak mengenal Estyn, cewek yang dikenalnya melalui HP itu, tingkah laku Ryan akhir-akhir ini semakin berubah. Ia kelihatannya semakin cerah, riang, bersemangat dan kadang-kadang tersenyum sendiri. Ternyata Ryan telah jatuh cinta pada wanita itu. Awal perkenalan mereka terbilang amat sederhana. Semuanya bermula dari keinginan Estyn untuk berkenalan dengan sesosok pribadi yang bernama asli Ryan itu. Ryan adalah seorang Frater yang memiliki nama biara Fr. Aryano. Frater ini memiliki kepribadian yang cukup menarik. Demikianlah kesan spontan yang pernah terucap dari para kawula muda yang didampinginya. Ia adalah seorang Frater muda yang baik hati, murah senyum, dekat dan akrab dengan orang muda serta memiliki sejumlah bakat. Bagi para remaja putri yang didampinginya, Fr Aryano adalah seorang Frater yang bisa dijadikan teman curhat, teman sharing, seorang kakak yang baik dan penuh pengertian. Oleh karena itu,  banyak di antara mereka yang mengidolakannya. Sehingga sebagai bentuk keakrabannya mereka pun menyapanya tidak hanya dengan Frater saja tapi ada embel-embelnya seperti: Fr. Ganteng, Fr. Keren, Fr. Manis, Fr. Imut dan sebagainya.
Osni adalah salah seorang dari antara mereka yang mengidolakan Fr. Aryano. Ia menyapa Frater ini dengan sapaan akrabnya “Fr. Ganteng”. Osni adalah sepupu kandung Estyn, wanita yang ingin berkenalan dengan Ryan atau Fr. Aryano itu. Pada suatu waktu, ketika hendak mengadakan suatu panggilan ke salah seorang temannya, tanpa disengaja terbacalah oleh Estyn sebuah nama yang tertera pada HP milik Osni yang dipinjamnya saat itu. Nama itu adalah “Fr. Ganteng” lengkap dengan nomor HP-nya. Nama itulah yang membuat Estyn penasaran dan ia berniat untuk berkenalan dengan pemilik nama itu. Niatnya pun diawalinya dengan menanyakan beberapa hal tentang orang itu pada sepupunya. Osni menceritakan apa adanya sesuai dengan apa yang ia ketahui tentang Frater idolanya itu.
Sejumlah informasi tentang Ryan yang diperoleh Estyn dari sepupunya itu membuat ia semakin penasaran. Maka dengan berdalih ingin menjadi sahabat barunya, Estyn pun ingin berkenalan langsung dengan Ryan. Tetapi karena tempat tinggal mereka yang berjauhan, maka jalan satu-satunya yang paling efektif dan efesien untuk berkenalan yaitu dengan menggunakan HP dan seperti yang biasa dilakukan oleh banyak orang jika ingin berkenalan dengan orang lain melalui HP pertama-tama adalah melalukan panggilan “missed call” sambil menunggu reaksi balik dari nomor yang dituju. Estyn pun melakukannya. Ternyata aksinya menuai keberhasilan. Ryan menanggapi panggilan “missed call” dari pemilik nomor yang tak dikenalnya sore itu. “Met sore, maaf ni dgn siapa ya?” Demikian sederetan kata-kata yang dalam dunia per-HP-an diberi nama SMS (Short  Massage Service) itu terbaca terbaca pada layar ponsel milik Estyn. Dan pengirimnya adalah Ryan. “Met sore jg, aku cewek, namanya Estyn, tinggal di Malang. Maukah kamu jd shbt baruku?” Estyn membalas SMS itu dengan perkenalan singkat identitasnya.
SMS demi SMS sore itu membuat keduanya mengenal satu sama lain. Estyn mengenal Ryan yang adalah seorang Frater dengan nama biara Fr. Aryano. Ia pernah menjadi pendamping kaum muda di sebuah Asrama Frateran di tanah Nagi selama satu tahun sebelum ia dipindahkan ke Kupang, komunitas barunya yang ia tempati hingga saat ini. Di asrama yang dihuni sejumlah pelajar putra-putri itu ternyata Osni, sepupu kandung Estyn adalah salah seorang di antaranya. Dari pihak Ryan, ia mengenal ternyata Estyn adalah sepupu kandung Osni, seorang anak asrama putri yang pernah dekat dan akrab dengannya. Dari ceritanyalah Estyn mengenal Ryan atau Fr. Aryano dan mengetahui nomor HP-nya. Kini Estyn telah menjadi seorang guru muda di sebuah Sekolah Dasar di kampung halamannya setelah beberapa tahun yang lalu menyelesaikan studinya di sebuah perguruan tinggi di kota Malang.
Berawal dari perkenalan singkat inilah, dua insan ini menjadi sepasang sahabat yang akrab walaupun mereka belum pernah bersua muka. Saking akrabnya Estyn pun menjadikan Ryan sebagai teman curhatnya apalagi mengetahui bahwa Ryan adalah seorang biarawan yang baginya sangat cocok dijadikan sebagai tempat curahan hatinya. Ia pun memanggil Ryan dengan sapaan No, sebagaimana yang lazim dipakai di daerahnya untuk menyapa kaum Adam secara akrab dan santun.
SMS dan telepon silih berganti mengisi kesepian hari-hari sepasang sahabat baru ini. Bebagai topik pun tak terlewatkan dari bahan obrolan mereka, mulai dari pengalaman di bangku sekolah, teman-teman, hoby, pekerjaan sampai kisah asmara kedua pasangan masing-masing.
Sebuah opini klasik yang telah sekian lama sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa perasaan cinta itu berawal dari pengalaman indera penglihatan (mata) lalu turun menyusup ke kedalaman relung hati yang terdalam kemudian terpancar kembali keluar diri menuju pribadi lain dengan sejulah perasaan yang diwakili sebuah perasaan yang bernama naksir. Ternyata argumen itu kini telah digeser keberadaannya. Kemajuan alat komunikasi telah mengaburkan eksistensinya. Ternyata perasaan cinta tak selamanya berawal dari pengalaman indera penglihatan tapi juga bermula dari sepasang organ tubuh manusia yang bernama telinga. Alat indera yang berperan sebagai indera pendengaran ini ternyata turut memberi andil dalam kisah awal perjalanan romantisme percintaan sepasang anak manusia dalam merajut benang asmara.
Demikianlah yang terjadi pada Estyn dan Ryan. Suara lembut dan indah yang dimiliki Estyn ternyata mampu meluluhlantakan ketegaran hati seorang Frater bernama Aryano. Komitmennya untuk tetap setia pada panggilannya seakan tercabik oleh karena suara itu. Akhirnya ia pun jatuh dan tenggelam dalam danau asmara yang pemiliknya adal seorang dara muda dari tanah Nagi bernama Estyn. Ryan jatuh cinta padanya. Estyn pun mengalami hal yang sama. Suara jejaka muda yang saban waktu terus menemani hari-hari sepinya itu ternyata mampu membuatnya tak berdaya. Akhirnya ia pun bertekuk lutut dan jatuh terkuali dalam pelukan pemilik suara itu. Estyn tertambak panah asmara  dan ia pun jatuh cinta pada Ryan.
Waktu terus bergulir, saat terus berganti. Seperti yang lazim dialami para darah mudah yang tengah terbakar api asmara, kedua musafir muda ini pun demikian. Bagi mereka berenang dalam lautan asmara untuk menikmati obrolan romantis adalah momen yang dinanti-nanti saban hari. Jarak, ruang dan waktu tak kuasa menepis romantisme percintaan mereka. Estyn yang berdomisili di ujung timur Nusa Bunga dan Ryan yang melalang buana di atas hamparan batu karang di Kota Kasih; jarak yang sejauh itu tidak menjadi masalah bagi mereka untuk membangun komitmen saling setia satu sama lain. Kesetiaan cinta mereka mampu dijembatani hanya dengan segenggam alat komunikasi yang dalam dunianya diberi nama handphone. Alat inilah yang menjadi sarana paling efektif bagi mereka tuk melepaskan rasa rindunya. Bagi mereka melewatkan saat dan menghabiskan waktu berjam-jam di samping produk yang dilahirkan di era post modern ini menjadi saat yang paling menyenangkan karena keduanya bisa mendengar dan memperdengarkan suara indahnya masing-masing untuk si dia yang dicintainya di pulau seberang. Alat ini pulalah yang menjadi perekat jalinan cinta mereka. Ia bagaikan cincin pertunangan yang menjadi saksi bisu ketulusan cinta kedua insan yang sedang dimabuk asmara ini.
Hari itu tanggal 14 Februari. Pada tanggal yang sama di tahun 269 M seorang Pastor dari Gereja Katolik yang bernama Valentinus dipenggal kepalanya demi mempertahankan eksistensi sebuah cinta sejati. Sang pahlawan cinta ini menghembuskan nafas terakhirnya di balik terali besi. Ia gugur sebagai pejuang kasih sayang yang semasa hidupnya dengan elegan menampilkan sesosok pribadi yang menegaskan bahwa arti sebuah cinta sejati mesti disokong dan kekuatannya tak kuasa dicederai oleh apa dan siapa pun. Oleh karena pengorbanannya inilah Pastor Valentinus dikenang sepanjang masa oleh segenap umat manusia di seluruh dunia. Maka jadilah setiap tanggal 14 Februari diperingati sebagai hari kasih sayang atau Valentine Day.
Bagi Ryan dan Estyn tanggal 14 Februari waktu itu merupakan hari valentine pertama sepanjang perjalan cinta mereka. Bagi banyak orang khususnya kaum muda hari ini adalah momen yang paling ditunggu-tinggu saban tahun. Pada hari ini mereka dapat mengekspresikan rasa kasih sayang kepada orang yang dicintainya dalam berbagai aksi : memberikan hadiah, merayakannya secara bersama-sama atau pergi berduaan ke tempat-tempat yang berhawa eksostis dan bernuansa romantis. Singkatnya di hari yang dikenal sebagai hari kasih sayang oleh umat manusia sejagat ini merupakan hari yang paling indah di antara 365 hari dalam tahun Masehi.
Namun, tidaklah demikian bagi Ryan. Di hari kasih sayang ini, ia harus menghadapi peristiwa yang tidak pernah didugai sebelumnya. Pada hari ini ia harus berhadapan dengan realita hidup yang terpaksa dialaminya belum pada waktunya. Valentine day yang menjadi hari penuh dengan kasih sayang berubah menjadi hari yang penuh dengan duka nestapa. Sepanjang hari ke empatbelas di bulan Februari itu telah menjadi hari kelabu yang diwarnai kemelut yang mengharu birukan sanubari. Bagi Ryan 14 Februari adalah detik terakhir masa hidupnya di dunia ini. Bagaimana tidak? Hari valentine telah merampas dan merenggut kebahagiaannya. Estyn yang selama ini telah dinobatkannya menjadi belahan jiwa dan cinta sejatinya kini harus meringkuk dalam pelukkan laki-laki lain. Harapannya untuk mendapatkan cinta Estyn kini pupus. Ryan patah hati. Mungkin bagi segelintir orang yang berada di luar konteks ini akan mempertanyakan kualitas pilihan hidup yang sedang dijalani Fr. Aryano saat ini. Bagaimana mungkin, seorang Frater bisa patah hati? Perlu disadari bahwa di dalam pribadi Fr. Aryano masih ada sesosok pribadi yang bernama Ryan yang dalam pribadi insaninya ia masih memiliki kebutuhan ragawi manusianya yaitu mencintai dan dicintai oleh seorang wanita. Ryan adalah seorang manusia laki-laki normal yang dalam dirinya dilengkapi sejumlah kebutuhan jasmani maupun rohani. Pengalaman patah hati yang dialaminya adalah bukti bahwa kekuatan cinta yang belasan abad silam diperjuangkan sang pahlawan cinta, Pastor Valentinus hingga kini di era kontemporer yang doyan mendewakan kenikmatan-kenikmatan semu ini, ia masih layak diperjuanhkan. Kekuatan cinta menjadi milik siapa saja dari berbagai usia dan beragam profesi manusia yang pernah terlahir di planet ini. Fr. Aryano adalah salah seorang dari sekian banyak orang pilihan Allah yang memiliki pengalaman ini. Baginya pengalaman ini adalah “salib” yang harus dipikulnya dalam perjalanan hidup menemui DIA yang telah memanggilnya.
Dan untuk mengakhiri semua cerita indah tentang cintanya bersama Estyn, Ryan pun menulis sehelai surat untuk Estyn yang akan menjadi mantan kekasihnya yang kini cintanya telah tertambat di bilik hati pemuda lain. Isi suratnya itu adalah sebagai berikut:
Estyn cintaku,
Sejak awal kita berkenalan aku langsung mengalami sesuatu yang tak lazin dalam alam perasaanku. Kau pun mengalami hal yang sama. Mungkin orang akan berkata bahwa kita adalah manusia-manusia yang menjadi korban kemajuan teknologi saat ini. Tapi kita tak peduli. Yang terpenting bagi kita adalah kita sama-sama memiliki rasa itu. Dan walaupun relasi persahabatan kita hanya mampu dijembatani oleh segenggam alat teknologi yang bernama HP, tapi kita cukup bahagia dengan semua itu. Suara indah yang saban waktu terus kita perdengarkan mampu membawa kita ke kedalaman inti perasaan manusiawi kita. Kau dan aku telah melewati koridor persahabatan yang ketika tiba saatnya memaksa kita berhenti pada suatu titik muara. Dan pada titik itulah kita tak kuasa lagi meneruskan relasi itu. Kau dan aku pun sepakat tuk mengubah predikat relasi kita dari sepasang sahabat menjadi sepasang kekasih. Sejak saat itu kau adalah kekasihku dan aku adalah cintamu. Semua itu terjadi karena kita telah memiki rasa yang sama yaitu cinta. Aku mencintaimu dan kau pun sebaliknya. Bagimu rasa itu kini telah menjadi cerita lama yang kau namakan nostalgia. Karena kau telah memiliki pujaan hatimu pengganti diriku. Namun, tidaklah demikian bagiku. Aku adalah Ryan yang pada jalur kehidupan masa lalumu pernah menjadi seseorang yang kau sebut sebagai sahabat dan kekasihmu. Aku adalah Ryan yang sedari dulu sangat menyayangi dan mencintaimu. Dan rasa itu hingga kini tak pernah berubah. Kau tetaplah menjadi wanita yang sangat kucintai sampai detik ini dan mungkin hingga di penghunjung usiaku. Karena sejak rasa itu hadir dalam relung sanubariku aku telah berjanji tak akan menduakan cintaku dengan mencintai wanita lain selain dirimu kecuali aku berpaling darimu tuk menggapai cinta suciku yaitu panggilan hidupku. Aku yakin bahwa di kedalaman inti perasaanmu nama Ryan yang juga kau kenal sebagai Fr. Aryano masih terlukis indah berhiaskan mutiara cinta yang dulu pernah kau berikan padaku. Tetapi aku tak pernah memaksakan bahwa nama itu harus dan tetap ada dalam dirimu. Biarkan dia berlalu bersama perasaanmu yang kini telah menjadi sebuah kenangan.
Estyn cintaku,
Di hari yang penuh kilau gemerlap oleh mekaran mawar yang oleh para pemuja cinta menjadikannya sebagai simbol cinta ini, mengapa kau nodai dengan ketegaan hatimu yang dengan congkak mencampakkan perasaanku? Mengapa di hari yang dibingkai mawar  kasih sayang ini, kau kaluti dengan kemelut perasaanmu yang kian gundah gulana?  Apakah aku yang adalah seorang Frater bersalah jika memilih untuk mencintai wanita sepertimu? Dimanakah cinta dan kasih sayang yang dulu pernah kau perdengarkan di telingaku? Apakah semua rasa yang telah kita rajuti bersama ketika kau masih bersanding denganku selama ini harus sirna oleh setitik cinta yang kau dapati dari pemuda pilihan itu….
Estyn cintaku,
Sampai detik ini pun aku belum bisa menerima kenyataan ini. Aku belum sanggup menghadapi kenyataan bahwa aku harus kehilangan dirimu. Bukan karena aku tak setia lagi pada komitmenku dulu untuk tetap berjuang mempertahankan kesucian panggilan hidupku, tetapi kehadiranmu dalam menapaki jalan hidupku yang adalah semangat dan kekuatanku, mengapa aku harus kehilangan semua itu sebelum waktunya. Aku masih membutuhkanmu tuk menemaniku melewati liku-liku jalanku yang penuh dengan onak dan duri. Aku merasa dikuatkan karena pilihan hidupku didukung oleh orang yang sangat kucintai. Sejak awal kita berkenalan aku telah menyadari bahwa pada saatnya nanti aku akan kehingan dirimu, karena kau harus pergi dari kehidupanku untuk mendampingi seorang laki-laki yang menjadi suamimu. Tapi bukan sekarang, ketika dukungan dan cintamu yang adalah kekuatanku masih sangat kubutuhkan. Namun, jika semua ini adalah keputusan yang bisa membuamu bahagia, kumohon perkenankan aku untuk boleh mencintai dirimu dan memahat namamu di lubuk hatiku untuk selamanya walaupun kita tak pernah menyatu untuk saling memiliki. Karena cinta tak selamanya harus memiliki. Dan mulai saat ini lupakan dan hapuslah nama Ryan dari kehidupanmu dan gantilah dia dengan Fr. Aryano. Terimalah aku sebagai seorang biarawan dan… panggilah aku FRATER!!!

cerita ini dijiplak dari catatan harianku
sebuah kisah nyata

  Bukit Oesapa Kota Kasih (Kupang),
14 Februari 2009

walter odja arryano





Readmore → Panggilah Aku, FRATER

Cinta Sejati

“…kumencintaimu lebih dari apapun
     meskipun tiada satu orang pun yang tahu
     kumencintaimu sedalam-dalam hatiku
     meskipun engkau hanya kekasih gelapku…”
Walkman kecil hadiah terakhir dari sahabatku terus memperdengarkan syair-syair indah karya group band Ungu. Bersama sang vokalis handalnya Pasha, para personil Ungu dengan penuh penghayatan mendendangkan hits favoritnya yang pernah mendominasi belantika musik di bumi Nusantara ini.
Kala itu malam kian larut. Suasana tak bersahabat terus menggerogoti kalbuku yang sedang gundah gulana. Aku seorang diri, duduk terpekur merenung rasa yang sedang hidup di alam sanubariku. Tak seorang pun tahu bahwa syair lagu yang setia menemani kesunyian malamku itu telah membawa alam pikiranku kembali ke memori masa lalu tentang kisah cintaku bersama Elina, gadis pujaan hatiku. Di tengah kegundahan malam itu kucoba merangkai kembali puing-puing cinta yang masih tersisa dalam hatiku yang telah lama kujadikan sebagai kenangan indah yang pernah ada dalam sejarah hidupku. Inilah serpihan kenangan indah yang berhasil kurangkum di kesunyian malam itu.
Elina adalah satu-satunya wanita dambaan hatiku ketika aku mulai mengenal cinta. Kala itu kami masih di bangku sekolah menengah pertama. Mungkin pertama kali aku mengalami jatuh cinta ketika aku mengenalnya. “Elina is my first love”. Apa pun kulakukan hanya dengan satu tujuan agar aku dapat menggapai cintanya untuk selamanya.
Hari-hari kulalui bersamanya dengan rasa cinta yang terus bergelora. Hal ini terjadi karena kami saling mencintai. Rasanya tak ada sesuatu pun yang bisa memisahkan kami. Aku mencintainya bukan karena kecantikannya semata. Tetapi ada hal lain yang lebih indah yang terpatri di balik tubuh moleknya. Ia mempunyai sejumlah mutiara yang tidak dimiliki oleh wanita manapun di planet ini. Elina adalah segalanya bagiku. Hal inilah yang mendorongku untuk senantiasa menghidupi amanat Sang Guru Cinta yang pernah berpetuah demikian : “Jangan biarkan wanita merasa dicintai karena kecantikannya, tetapi buatlah dia merasa cantik karena dicintai”. Aku pun merasa hidupku kian sempurna dengan kehadirannya yang selalu ada untukku. Namun, ternyata anggapanku salah. Ternyata aku dan Elina adalah dua insan yang pernah diberi ruang dan waktu untuk bertemu dan dihadiahi anugerah cinta oleh Yang Empunya cinta untuk saling mencintai tetapi bukan untuk saling memiliki. Itu terbukti dengan pilihan hidup yang sedang kami jalani hingga saat ini.
Selepas kami mengakhiri masa pendidikan kami di bangku SMA, semenjak itu pula kami mengawali masa-masa perpisahan kami. Saat-saat indah dalam perziarahan cinta kami : tawa-canda, bersenda gurau, berbagi kisah suka-duka hidup kami terpaksa kami akhiri dalam sebuah perpisahan yang menyayat hati. Sulit…..memang! Tapi itulah realita yang harus kami terima, maknai dan jalani sebagai bagian dari sejarah hidup kami masing-masing. Tentu selalu dalam bimbingan Karya Roh yang menjadi sumber kekuatan jiwa kami.
Akhirnya, aku harus pergi meninggalkan Elina untuk sesuatu yang luhur. Sesuatu yang mulia di hadapan Tuhan dan para pengikut-Nya. Mungkin bagi generasi di era kontemporer ini menganggap bahwa tindakanku adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Tetapi tidaklah demikian bagi Elina kekasihku. Ia begitu bangga karena aku yang kelak akan menjadi mantan kekasihnya dipilih Tuhan secara istimewa untuk menjadi Pekerja di Ladang-Nya.
Sungguh sebuah ketulusan cinta yang tak mampu ditakar oleh apapun. Bahkan seorang bijak kelas wahid pun tak kuasa menguraikannya dalam goresan syair indahnya. Ketulusan cinta Elina buatku tetaplah menjadi sebuah misteri tak terselami. Dia adalah sesosok wanita sederhana yang sempurna hampir setara dengan kesempurnaan wanita Nazareth yang pernah menjadi Bunda Ilahi. Keikhlasannya mengijinkan aku hidup di balik balutan jubah putih, membuktikan bahwa ia sungguh menyayangiku. Walau pada awalnya ia tak rela aku memilih jalan ini karena ia tak ingin aku pergi dari kehidupannya, tetapi karena cita-cita dan panggilan dari orang yang sangat dicintainya ia pun merelakan juga. Hal inilah yang membuat aku kuat dalam menghayati pilihan hidupku karena aku merasa didukung oleh orang yang kukasihi.
Hari terus berlalu, waktu kian berganti. Aku pun setia menapaki lorong-lorong perjalanan panggilan hidupku. Tak jarang kutemui kerikil-kerikil tajam dan onak duri yang setia menemaniku dalam petualanganku menemui Dia yang memanggilku. Aku setia pada pilihanku bukan karena aku ingin membalas jasa orang tuaku, bukan pula karena aku ingin membahagiakan Elina-kekasihku, tetapi hidup membiara adalah pilihan dan cita-citaku sejak kecil.
Akhirnya waktu pun mengantarku ke penghujung masa pembinaan dasar sebagai novis di sebuah tarekat religius. Dan setelah mengikrarkan kaul pertama aku ditempatkan di sebuah komunitas biara milik tarekatku. Di sana aku diberi kepercayaan oleh pimpinanku sebagai pendamping para generasi muda. Bagiku tugas ini adalah sesuatu yang paling membahagiakan. Aku bahagia karena bisa hadir dan ada di tengah-tengah mereka, para kawula muda. Berusaha masuk dan terlibat dalam dunia mereka tanpa harus terbawa arus zaman mereka, itulah perjuangan dan cita-citaku. Pepatah klasik yang mengatakan: “ikut arus tanpa harus terbawa arus” adalah peganganku dalam mendampingi mereka. Dan sebagai pendamping, kadang aku hadir sebagai teman curhat, teman sharing untuk membagi kisah hidup, rekan kerja atau bahkan kadang aku hadir sebagai musuh bagi mereka. Aku sungguh menikmati tugas pelayananku. Dan hal ini merupakan sebuah pengalaman yang membuatku merasa bahagia dengan pilihan hidupku.
Di sana pula aku mengenal orang muda dengan segala persoalannya. Sebuah pengalaman yang pernah kualami di kala predikatku masih sebagai seorang pelajar SMA sama seperti mereka yang sedang menggebu-gebu mencari jati dirinya: terlibat dalam tawuran, demo kecil-kecilan ala orang muda, mabuk, merokok dan sebagainya. Dan ketika persoalan-persoalan itu kembali kujumpai di kalangan orang muda yang ada di sekitarku, aku pun kadang hanya berguman, “mereka seperti aku dulu”. Menurutku fenomena ini adalah sesuatu yang lumrah; kisah lama yang tak pernah baru karena tidak ada titik akhir yang jelas. Mungkin aku pesimis dalam hal ini, tapi itulah realita hidup generasi zaman ini.
Dan karena kedekatanku dengan kehidupan orang muda, selain persoalan-persoalan itu ada kenangan masa-masa indah di bangku sekolahku mulai terbongkar helai demi helai. Aku diingatkan kembali pada saat-saat romantis di bangku SMA. Kisah cintaku bersama Elina-wanita pujaan hatiku itu seakan terkuak kembali bersama guratan asmara yang kian bergelora di nadi-nadi belia binaanku. “First love never die”, ya… aku ingat ungkapan itu. Dan kini jawabannya ada di lubuk hatiku yang paling dalam. Elina yang telah sekian lama pergi dari kehidupanku akhirnya hadir lagi. Cintaku yang telah bertahun-tahun pergi kini telah kembali dalam pelukanku dan mulai merajut kembali benang asmara yang selama ini diputusi oleh panggilan hidupku. Namun, wujudnya sedikit berbeda. Kehadiran Elina saat ini diwakili oleh seseorang yang kuberi nama “kekasih gelap”. Sengaja kuberi namanya seperti itu karena aku masih sadar akan keberadaanku sebagai orang pilihan Tuhan yang tak tega membiarkan panggilan hidupku yang selama ini kuperjuangkan harus dikaburi eksistensinya oleh karena kehadirannya. Aku mencintainya karena pada batas normal aku adalah sorang lelaki yang ingin mencintai dan dicintai seorang wanita. Tetapi cintaku pada kekasih gelapku hanyalah sebatas SIMPATI alias simpan di dalam hati karena di kedalaman hatiku sosok wanita sempurna yang bernama Elina masih bersemi bagaikan mutiara yang terbentang di tengah laut yang mahaluas dan terpendam di tengah laut yang mahadalam.
Benar kata orang bijak: “seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ia bermakna apabila tak ada jedah? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi? Bukankah manusia baru bisa bergerak jika ada jarak dan saling mencintai bila ada ruang?” Ternyata, ruang dan waktu tak mampu memisahkan kami. Walaupun kami tak bersua dalam kurung waktu yang lama dengan jarak yang jauh, namun kami tetap satu dalam ikatan cinta sejati. Suatu bentuk cinta yang ikhlas, jujur dan tidak harus saling memiliki. Kami berjanji untuk saling mendoakan dan saling mendukung pilihan hidup kami masing-masing. Ketulusan cinta yang telah kami mulai semenjak usia kami baru beranjak remaja kan tetap dipelihara hingga di penghujung usia. Walaupun kami tidak akan pernah menyatu dalam ikatan sehidup-semati, namun cinta kami tak pernah berakhir sampai kapanpun dan dimanapun. Akulah arjuna yang rusuknya telah terpotong buat seorang dara bernama Elina.
“…ku tahu ku takkan s’lalu ada untukmu
     di saat engkau merindukan diriku
     ku tahu ku takkan bisa memberimu
     waktu yang panjang dalam hidupku
     yakinlah bahwa engkau adalah cintaku
     yang ku cari s’lama ini dalam hidupku
     dan hanya padamu ku berikan sisa cintaku
     yang panjang dalam hidupku…”
Dengan berakhirnya lagu “Kekasih Gelapnya” Ungu aku pun mengakhiri rangkuman kisah masa laluku. Kumatikan walkman kesayanganku itu sembari menyerahkan diriku sepenuhnya pada penguasa ranjang di kekelaman malam itu. Aku pun terlelap dalam tidur dan berharap dalam tidurku aku menemui dia yang telah kunobatkan sebagai cinta sejatiku. Akan kukatakan semua yang telah kualami malam itu kepadanya agar kami sama-sama merasakannya walaupun semuanya hanyalah mimpi yang sampai kapan pun tetaplah sebuah mimpi.

Ujung Timur Nusa Bunga, Juli 2008
buat seseorang yang kusayangi

 walter odja arryano
Readmore → Cinta Sejati