Bersama pak Eka Budianta |
Tiba-tiba dia memelukku dan menangis setelah
mendengar informasi itu dari mulutku sendiri. Sebuah kabar berita yang
membuatnya sedih tentang gurunya. Bukan tanpa alasan dia menangis. Guru yang
amat dicintainya, yang sangat berjasa dalam hidupnya itu ternyata telah tiada.
Seorang guru yang oleh karena kelembutan hatinya berhasil mengembalikan dia
pada kehangatan kasih sayang orang tuanya dulu, ternyata 10 tahun lalu telah
kembali ke Rumah Bapa di surga.
Siang itu, udara dingin membungkus kota Malang.
Semburat mentari lenyap di balik langit mendung yang menyelimuti. Berboncengan
dengan sepeda motor tua, kami meluncur ke salah satu sudut kota. HODIE MIHI, CRAS TIBI. Gapura selamat
datang bertuliskan frasa Latin yang berarti “hari ini saya, besok kamu” yang
terpampang indah di pintu masuk menyapa kami dengan syaduh. Kami memasuki
sebuah area yang tenang dan sunyi, kompleks pemakaman para frater Kongregasi
Frater Bunda Hati Kudus (frater BHK) yang terletak di pinggir kota. Di situ berderet
rapi sejumlah kubur para pendahuluku. Satu di antara kubur-kubur itu adalah gurunya,
Fr. M. Florentinus, BHK. Seorang biarawan berdarah Solor kelahiran Waiwerang,
Adonara, Flores Timur.
“Frater, ini saya, Eka. Saya masih ingat dengan
baik bagaimana frater dulu dengan setia membimbing saya menjadi Katolik. Frater
tentu masih ingat juga, saya pernah minggat
dari rumah karena berselisih paham dengan orang tua lantaran saya memilih keyakinan
berbeda dengan mereka, penganut Kristen Jawi yang taat. Sebuah keputusan
kekanak-kanakan seorang Eka remaja yang hampir saja mengorbankan masa depan
sendiri. Seandainya tidak ada frater waktu itu, saya tidak akan menjadi seperti
ini.” Tangisannya pecah. Mulutnya membungkam, menghentikan rapalan
unek-uneknya. Seorang pengarang dan penyair hebat dan terkenal di negeri ini
yang beberapa jam sebelumnya hadir sebagai nara sumber pada workshop pentigraf
di sebuah kampus Katolik di kota Malang itu tergugu. “Frater, terima kasih atas
teladan hidup yang hebat ini. Hari ini dengan mata kepalaku sendiri, aku
menyaksikan betapa luar biasanya cinta seorang guru yang termaktub indah di
sanubari sang anak didik. Rest in peace,
konfraterku,” nyanyian jiwaku mengapresiasi. Setitik kristal bening luruh dan
pecah di atas pusaranya. Itulah air mata haru di dalam rasa banggaku.
Malang, 10 Juli 2017
Walter Arryano