Thursday, 13 July 2017

Sang Guru dan Warisannya

Bersama pak Eka Budianta
Tiba-tiba dia memelukku dan menangis setelah mendengar informasi itu dari mulutku sendiri. Sebuah kabar berita yang membuatnya sedih tentang gurunya. Bukan tanpa alasan dia menangis. Guru yang amat dicintainya, yang sangat berjasa dalam hidupnya itu ternyata telah tiada. Seorang guru yang oleh karena kelembutan hatinya berhasil mengembalikan dia pada kehangatan kasih sayang orang tuanya dulu, ternyata 10 tahun lalu telah kembali ke Rumah Bapa di surga.
Siang itu, udara dingin membungkus kota Malang. Semburat mentari lenyap di balik langit mendung yang menyelimuti. Berboncengan dengan sepeda motor tua, kami meluncur ke salah satu sudut kota. HODIE MIHI, CRAS TIBI. Gapura selamat datang bertuliskan frasa Latin yang berarti “hari ini saya, besok kamu” yang terpampang indah di pintu masuk menyapa kami dengan syaduh. Kami memasuki sebuah area yang tenang dan sunyi, kompleks pemakaman para frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (frater BHK) yang terletak di pinggir kota. Di situ berderet rapi sejumlah kubur para pendahuluku. Satu di antara kubur-kubur itu adalah gurunya, Fr. M. Florentinus, BHK. Seorang biarawan berdarah Solor kelahiran Waiwerang, Adonara, Flores Timur.
“Frater, ini saya, Eka. Saya masih ingat dengan baik bagaimana frater dulu dengan setia membimbing saya menjadi Katolik. Frater tentu masih ingat juga, saya pernah minggat dari rumah karena berselisih paham dengan orang tua lantaran saya memilih keyakinan berbeda dengan mereka, penganut Kristen Jawi yang taat. Sebuah keputusan kekanak-kanakan seorang Eka remaja yang hampir saja mengorbankan masa depan sendiri. Seandainya tidak ada frater waktu itu, saya tidak akan menjadi seperti ini.” Tangisannya pecah. Mulutnya membungkam, menghentikan rapalan unek-uneknya. Seorang pengarang dan penyair hebat dan terkenal di negeri ini yang beberapa jam sebelumnya hadir sebagai nara sumber pada workshop pentigraf di sebuah kampus Katolik di kota Malang itu tergugu. “Frater, terima kasih atas teladan hidup yang hebat ini. Hari ini dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan betapa luar biasanya cinta seorang guru yang termaktub indah di sanubari sang anak didik. Rest in peace, konfraterku,” nyanyian jiwaku mengapresiasi. Setitik kristal bening luruh dan pecah di atas pusaranya. Itulah air mata haru di dalam rasa banggaku.  
Malang, 10 Juli 2017
Walter Arryano
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment