Sambil menyentuh bahuku, dia mengungkapkan
kata-kata hebat itu, “Nak, seorang pengarang harus mencintai bahasa.” Kata-katanya itu untuk memberi penegasan
setelah satu per satu dia menyebut nama ilmiah (Latin) setiap tanaman yang ada
di sekitar kami. Saat itu kami berada di dalam area peristirahatan terakhir
yang di antaranya terdapat sebuah pusara mantan gurunya. Pada siang yang
lengang itu, aku menemaninya berziarah ke pemakaman itu.
“Oh my God...,
ternyata orang ini adalah orang hebat! Bahkan ketika aku belum menyentuh dunia,
dia telah menjadi penulis hebat yang produktif dan terkenal di tanah air ini
hingga ke manca negara. Ada ribuan cerpen,
buku, puisi yang telah dihasilkannya. Beberapa karyanya bahkan telah diterjemahkan
dalam berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Mandarin, Jerman, Belanda,
dan Finlandia. Selain menulis karya sastra, dia juga banyak menulis tentang
masalah lingkungan, pariwisata, pendidikan, masalah sosial-politik, dan
sebagainya.” Aku terperangah. Satu artikel saja sudah cukup jelas. Tulisan
tentang biografinya yang kubaca pada sore harinya di internet dengan gamblang
memberi informasi tentang siapa dirinya.
Masih dalam suasana kaget, seluruh perjalanan kami siang tadi seakan
diputar kembali dalam ruang pikiranku. Saat perkenalan pertama di depan toilet
kampus, tempat diselenggarakan workshop
tentang menulis yang salah seorang pembicara adalah dirinya. Saat aku
menemaninya berziarah ke pusara mantan gurunya yang dipungkasi dengan petuah
kata-kata hebat itu. Dan poin lain yang menjadi asal muasal, pemicu
keterkejutanku adalah seorang penulis terkenal yang tentu memiliki banyak uang
memilih naik angkot untuk berpergian dengan berbagai konsekuensi yang akan
dihadapinya, seperti gerah, penuh sesak dengan penumpang, perjalanannya lambat
dan tidak pasti. Dia seharusnya bisa menggunakan moda transportasi yang lebih
baik, misalnya taxi atau semacamnya. Dan aku seharusnya tidak meninggalkan dia
sendiri di sudut jalanan itu. Penyesalanku mengubah rasa kagetku menjadi rasa
bersalah. Namun, hal itu tak kuasa menahan jiwaku untuk mengidungkan nada
syukur, “Oh Tuhan, terima kasih atas teladan hidup yang hebat ini.”
Malang, Juli 2017
Walter
Arryano