Friday, 14 July 2017

Bersahaja

Sambil menyentuh bahuku, dia mengungkapkan kata-kata hebat itu, “Nak, seorang pengarang harus mencintai bahasa.”  Kata-katanya itu untuk memberi penegasan setelah satu per satu dia menyebut nama ilmiah (Latin) setiap tanaman yang ada di sekitar kami. Saat itu kami berada di dalam area peristirahatan terakhir yang di antaranya terdapat sebuah pusara mantan gurunya. Pada siang yang lengang itu, aku menemaninya berziarah ke pemakaman itu.
Oh my God..., ternyata orang ini adalah orang hebat! Bahkan ketika aku belum menyentuh dunia, dia telah menjadi penulis hebat yang produktif dan terkenal di tanah air ini hingga ke manca negara. Ada ribuan cerpen, buku, puisi yang telah dihasilkannya. Beberapa karyanya bahkan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Mandarin, Jerman, Belanda, dan Finlandia. Selain menulis karya sastra, dia juga banyak menulis tentang masalah lingkungan, pariwisata, pendidikan, masalah sosial-politik, dan sebagainya.” Aku terperangah. Satu artikel saja sudah cukup jelas. Tulisan tentang biografinya yang kubaca pada sore harinya di internet dengan gamblang memberi informasi tentang siapa dirinya.
Masih dalam suasana kaget, seluruh perjalanan kami siang tadi seakan diputar kembali dalam ruang pikiranku. Saat perkenalan pertama di depan toilet kampus, tempat diselenggarakan workshop tentang menulis yang salah seorang pembicara adalah dirinya. Saat aku menemaninya berziarah ke pusara mantan gurunya yang dipungkasi dengan petuah kata-kata hebat itu. Dan poin lain yang menjadi asal muasal, pemicu keterkejutanku adalah seorang penulis terkenal yang tentu memiliki banyak uang memilih naik angkot untuk berpergian dengan berbagai konsekuensi yang akan dihadapinya, seperti gerah, penuh sesak dengan penumpang, perjalanannya lambat dan tidak pasti. Dia seharusnya bisa menggunakan moda transportasi yang lebih baik, misalnya taxi atau semacamnya. Dan aku seharusnya tidak meninggalkan dia sendiri di sudut jalanan itu. Penyesalanku mengubah rasa kagetku menjadi rasa bersalah. Namun, hal itu tak kuasa menahan jiwaku untuk mengidungkan nada syukur, “Oh Tuhan, terima kasih atas teladan hidup yang hebat ini.”
Malang, Juli 2017
 Walter Arryano
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment