Saturday, 22 July 2017

LELAKI PEMILIK MATA INDAH

Namaku Maria. Aku berasal dari sebuah kota perdagangan bernama Magdala. Aku adalah perempuan terkenal. Bukan karena kepandaian, cara hidup, dan kesalehanku, tetapi aku terkenal berkat kemolekan tubuh yang kumiliki. Aku adalah seorang petualang cinta yang berkelana dari satu lelaki ke lelaki lain untuk menjajakan keindahan tubuhku.
Hingga hari itu tiba. Hari ternahas dalam hidupku. Aku tertangkap basah sedang menjalani “profesi” kelam itu. Aku kedapatan berzinah. Menurut hukum yang berlaku, warisan nenek moyangku, aku harus dilempari batu. Tetapi Lelaki itu menyelamatkanku. Dialah yang membebaskan aku dari ancaman maut itu hanya dengan sebuah kalimat pendek. Sederetan kata-kata penuh wibawa yang mampu membuat sekelompok orang batal merajamiku dan pergi satu per satu, mulai dari yang tertua. Siapa Lelaki ini, yang memiliki nyali hebat, bisa menghadapi kekejaman para pemimpin agamaku hanya dengan sepotong kata-kata yang aku sungguh belum mengerti?
Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Lelaki itu berkata kepadaku. Dia mengatakannya dengan tulus. Cahaya pengampunan merona di wajah Lelaki itu. Tatapan yang lembut, indah, dan penuh belas kasih itu membuat aku tak berdaya. Aku jatuh cinta pada Lelaki itu. Mulai saat itu, hidupku berpaling. Aku merasa dilahirkan kembali menjadi manusia baru, meninggalkan jejak-jejak kekelaman masa laluku. Hidupku berubah total, dari seorang perempuan jalanan menjadi wanita saleh yang selalu mengikuti kemana pun Lelaki itu pergi. Bahkan di sepajang jalan pengorbanan sampai akhir hayat, di bawah kaki salib Lelaki itu, aku terus mengikuti dan berada di sana menyaksikan penderitaan yang mahahebat itu dengan mata kepalaku sendiri. Kecintaanku pada Lelaki itu berbuah manis. Aku menjadi wanita pertama yang melihat Dia di hari kebangkitan-Nya. Pengalaman apa yang paling menggembirakan dari seorang mantan perempuan pendosa selain menjadi orang pertama yang melihat Tuhan yang bangkit?

Malang, 22 Juli 2017
Pada Pesta Santa Maria Magdalena
Walter Arryano
Readmore → LELAKI PEMILIK MATA INDAH

Thursday, 20 July 2017

SEBUAH KALIMAT YANG INDAH

Ini hari pertama masuk sekolah setelah hampir sebulan liburan panjang akhir tahun pelajaran. Anak-anak dengan wajah gembira dan langkah gagah memasuki halaman sekolah. Rona sumringah mereka menyambut adik-adik, murid baru yang lucu-lucu dan imut-imut. Senang bertemu lagi dengan teman-teman lama yang sudah lama tak bersua.
Pada hari keempat di tahun ajaran baru itu, kelas 4B ada pelajaran bahasa Inggris. Pak guru mengajak anak-anak di pertemuan pertama ini untuk menulis 10 kata yang berkaitan dengan liburan. Lalu membuat kalimat sederhana menggunakan kata-kata itu. Misalnya, On my holiday, I went to Yogyakarta to visit my grandparents. Anak-anak antusias. Rupanya materi pembelajaran tersebut mengakomodasi cerita hebat tentang momen liburan mereka tahun ini.
Namanya Natalia. Seorang anak puteri yang agak pendiam dan kurang percaya diri. Sepertinya dia tidak tertarik dengan tema pelajaran itu. Ekspresi wajahnya datar. Tatapannya redup, kurang antusias. Pak guru mendekat, bilang satu dua kalimat dukungan. Dia mengenal anak itu dengan baik. Ada “sesuatu” yang sudah dipahaminya tentang muridnya yang satu itu. I spent all my times on holiday with my parents at our sweet home. Itu adalah kalimat indah buatan Natalia. Bukan hanya dalam susunan kata yang teratur dan benar menurut grammar tapi realita di balik kalimat hebat itu. Mata pak guru berkaca sesaat setelah suara lantang penuh bangga terlontar dari mulut Natalia. Kalimat hebat itu mengudara, memenuhi sudut-sudut ruang kelas 4B. Sebuah kalimat indah dari seorang anak panti asuhan.

Malang, 20 Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → SEBUAH KALIMAT YANG INDAH

Sunday, 16 July 2017

Merpati

“Kak, maaf yah, aku baru bisa jujur sekarang, setelah dia benar-benar pergi dari sini.” Itu adalah informasi terkini tentang dirimu yang kuterima dari temanmu sekomunitas setelah dua tahun lalu terakhir kali kita berkomunikasi. Sebuah kabar mengejutkan di hari ulang tahunmu yang ke-32.
Masih segar dalam ingatanku, 11 tahun lalu, ketika kita memulai perjuangan kita di jalan panggilan ini. Kala itu kau berjanji kepadaku bahwa kita akan saling mendukung dan saling mendoakan agar setia kita pada-Nya abadi selamanya. Kau juga tentu masih ingat dengan simbol “pondok” yang menjadi milikku sebagaimana “merpati” kepunyaanmu. Entah sebuah kebetulan atau apalah namanya, aku tidak tahu. Yang aku tahu, ada banyak kecocokan di antara kita. Jadilah kau dan aku sepasang sahabat yang karib dan teman berbagi yang menyenangkan bagai seekor merpati cantik yang selalu nyaman dalam lindungan pondoknya.
Merpati dalam kata-kata ungkapan memang tak pernah ingkar jadi tetapi bagiku, kau adalah si merpati yang sudah mengikat di lain janji. Mungkin itu yang disebut dengan janji kehidupan yang lebih baik dan membahagiakanmu. Apa pun itu, kau telah memilih yang terbaik, merpati. Terbanglah, merpati! Selamat melanjutkan sisa hidupmu bersama dia yang telah kau pilih untuk disetiai. Doaku selalu bersamamu. Sebagaimana 11 tahun lalu hatiku berikrar, "aku dan DIA menyayangimu", hari ini setelah waktu 11 tahun itu, hati yang sama ini berjanji bahwa aku dan DIA mengasihimu dan dirinya.  Berdoalah selalu untuk setiaku pada-Nya dan demi senyum yang selalu menyertai setiap pelayananku.

Malang, 16 Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → Merpati

Friday, 14 July 2017

Bersahaja

Sambil menyentuh bahuku, dia mengungkapkan kata-kata hebat itu, “Nak, seorang pengarang harus mencintai bahasa.”  Kata-katanya itu untuk memberi penegasan setelah satu per satu dia menyebut nama ilmiah (Latin) setiap tanaman yang ada di sekitar kami. Saat itu kami berada di dalam area peristirahatan terakhir yang di antaranya terdapat sebuah pusara mantan gurunya. Pada siang yang lengang itu, aku menemaninya berziarah ke pemakaman itu.
Oh my God..., ternyata orang ini adalah orang hebat! Bahkan ketika aku belum menyentuh dunia, dia telah menjadi penulis hebat yang produktif dan terkenal di tanah air ini hingga ke manca negara. Ada ribuan cerpen, buku, puisi yang telah dihasilkannya. Beberapa karyanya bahkan telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa asing, antara lain Inggris, Mandarin, Jerman, Belanda, dan Finlandia. Selain menulis karya sastra, dia juga banyak menulis tentang masalah lingkungan, pariwisata, pendidikan, masalah sosial-politik, dan sebagainya.” Aku terperangah. Satu artikel saja sudah cukup jelas. Tulisan tentang biografinya yang kubaca pada sore harinya di internet dengan gamblang memberi informasi tentang siapa dirinya.
Masih dalam suasana kaget, seluruh perjalanan kami siang tadi seakan diputar kembali dalam ruang pikiranku. Saat perkenalan pertama di depan toilet kampus, tempat diselenggarakan workshop tentang menulis yang salah seorang pembicara adalah dirinya. Saat aku menemaninya berziarah ke pusara mantan gurunya yang dipungkasi dengan petuah kata-kata hebat itu. Dan poin lain yang menjadi asal muasal, pemicu keterkejutanku adalah seorang penulis terkenal yang tentu memiliki banyak uang memilih naik angkot untuk berpergian dengan berbagai konsekuensi yang akan dihadapinya, seperti gerah, penuh sesak dengan penumpang, perjalanannya lambat dan tidak pasti. Dia seharusnya bisa menggunakan moda transportasi yang lebih baik, misalnya taxi atau semacamnya. Dan aku seharusnya tidak meninggalkan dia sendiri di sudut jalanan itu. Penyesalanku mengubah rasa kagetku menjadi rasa bersalah. Namun, hal itu tak kuasa menahan jiwaku untuk mengidungkan nada syukur, “Oh Tuhan, terima kasih atas teladan hidup yang hebat ini.”
Malang, Juli 2017
 Walter Arryano
Readmore → Bersahaja

Thursday, 13 July 2017

Sang Guru dan Warisannya

Bersama pak Eka Budianta
Tiba-tiba dia memelukku dan menangis setelah mendengar informasi itu dari mulutku sendiri. Sebuah kabar berita yang membuatnya sedih tentang gurunya. Bukan tanpa alasan dia menangis. Guru yang amat dicintainya, yang sangat berjasa dalam hidupnya itu ternyata telah tiada. Seorang guru yang oleh karena kelembutan hatinya berhasil mengembalikan dia pada kehangatan kasih sayang orang tuanya dulu, ternyata 10 tahun lalu telah kembali ke Rumah Bapa di surga.
Siang itu, udara dingin membungkus kota Malang. Semburat mentari lenyap di balik langit mendung yang menyelimuti. Berboncengan dengan sepeda motor tua, kami meluncur ke salah satu sudut kota. HODIE MIHI, CRAS TIBI. Gapura selamat datang bertuliskan frasa Latin yang berarti “hari ini saya, besok kamu” yang terpampang indah di pintu masuk menyapa kami dengan syaduh. Kami memasuki sebuah area yang tenang dan sunyi, kompleks pemakaman para frater Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus (frater BHK) yang terletak di pinggir kota. Di situ berderet rapi sejumlah kubur para pendahuluku. Satu di antara kubur-kubur itu adalah gurunya, Fr. M. Florentinus, BHK. Seorang biarawan berdarah Solor kelahiran Waiwerang, Adonara, Flores Timur.
“Frater, ini saya, Eka. Saya masih ingat dengan baik bagaimana frater dulu dengan setia membimbing saya menjadi Katolik. Frater tentu masih ingat juga, saya pernah minggat dari rumah karena berselisih paham dengan orang tua lantaran saya memilih keyakinan berbeda dengan mereka, penganut Kristen Jawi yang taat. Sebuah keputusan kekanak-kanakan seorang Eka remaja yang hampir saja mengorbankan masa depan sendiri. Seandainya tidak ada frater waktu itu, saya tidak akan menjadi seperti ini.” Tangisannya pecah. Mulutnya membungkam, menghentikan rapalan unek-uneknya. Seorang pengarang dan penyair hebat dan terkenal di negeri ini yang beberapa jam sebelumnya hadir sebagai nara sumber pada workshop pentigraf di sebuah kampus Katolik di kota Malang itu tergugu. “Frater, terima kasih atas teladan hidup yang hebat ini. Hari ini dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan betapa luar biasanya cinta seorang guru yang termaktub indah di sanubari sang anak didik. Rest in peace, konfraterku,” nyanyian jiwaku mengapresiasi. Setitik kristal bening luruh dan pecah di atas pusaranya. Itulah air mata haru di dalam rasa banggaku.  
Malang, 10 Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → Sang Guru dan Warisannya

Wednesday, 12 July 2017

Panggilan Hidup dalam Tiga Dimensi Waktu

foto: Postulat Frater BHK, Maumere 2016
12 Juli 2005, dua belas tahun lalu, 9 pemuda dengan mantap melangkah ke depan altar Tuhan, menyerahkan diri untuk dikuduskan bagi-Nya. Seremoni penakdisan itu ditandai dengan mengenakan busana biara, jubah putih sebagai simbol masuk dalam hidup baru, dunia kehidupan membiara sembari melepaskan manusia lama. Dua tahun kemudian, 12 Juli 2007, 5 frater dari 9 pemuda itu maju ke depan altar Tuhan, mengikat diri kepada-Nya melalui pengikraran tri prasetia sementara, kaul perdana. Kira-kira sembilan tahun setelah itu, tepatnya pada 28 Mei 2016, 3 frater yang “tersisa” sekali lagi menghadap ke altar Tuhan yang terakhir kalinya. Mereka mempersembahkan diri seutuhnya seumur hidup, mengucapkan tri prasetia kekal.
Hari ini, setelah dua belas tahun lalu itu, kami masih berdiri tegak di jalan ini, jalan hidup yang telah kami mulai sejak dua belas tahun yang lalu itu. Kami memilih dan bertahan di jalan panggilan ini bukan karena kekuatan dan kehebatan kami, tetapi semata-mata karena kasih setia Tuhan. Dialah yang memanggil kami, Dia pulalah yang memelihara panggilan hidup kami.
Bagaimana dengan akhir perziarahan hidup panggilan ini? Itu adalah rahasia Tuan yang empunya tuaian. Bahwa panggilan hidup manusia itu adalah misteri, memang demikian adanya. Namun, hanya satu yang menjadi keyakinanku bahwa apa yang Tuhan telah mulai dalam hidupku, Dia pulalah yang akan mengakhirinya.

Malang, 12 Juli 2017
Walter Arryano
Readmore → Panggilan Hidup dalam Tiga Dimensi Waktu