Saturday, 31 December 2016

Kerahiman Kamar Pengakuan

Namaku Nuela, diambil dari Emanuela karena aku dilahirkan di bulan Desember. Bulan yang sungguh indah bagi segenap umat kristiani di seluruh dunia karena pada bulan ini Sang Imanuel, Allah beserta kita dilahirkan. Aku adalah pemilik wajah cantik dengan senyum manis yang memesona. Aku baik hati dan tipe pribadi yang setia. Kehadiranku selalu menyenangkan orang-orang di sekitarku. Demikian siapa aku menurut teman-temanku. Namun, pengalaman hidupku tidak secantik wajah yang kumiliki. Aku akan menceritakan kisah hidupku untuk membuktikan kebenaran pernyataanku itu.

Seperti yang sudah kukatakan bahwa aku memang memiliki wajah cantik. Hal ini membuat aku menjadi primadona di kampusku dulu. Aku menjadi rebutan cowok-cowok keren, kaya dan cerdas. Adalah si Rio yang beruntung. Cowok hitam manis berdarah Flores yang murah senyum itu berhasil memikat hatiku. Dia memanggilku choti, kata bahasa India yang berarti adik perempuan. Itu bukan berarti dia menganggapku sebagai adik perempuannya tetapi dengan panggilan itu dia merasa lebih dekat dan nyaman dalam menjalin relasi denganku sebagai pasangan kekasihnya. Begitulah latar belakang pemilihan kata choti sebagai panggilan kesayangannya untuk aku.

Tiga tahun berpacaran semenjak pertama kali kami dekat di awal-awal masa kuliah semester satu di sebuah kampus negeri ternama di kota Malang. Kemudian peristiwa itu terjadi. Sebuah kenyataan yang nanti-nantinya akan menjadi beban hidup yang amat berat untuk ditanggung. Aku dinyatakan positif hamil oleh karena kedekatan kami yang terlampau jauh. Rio memang sungguh mencintaiku. Apa pun keadaanku, dia bertanggung jawab. Selama aku hamil, Rio bersedia menemani dan melayani kebutuhanku sebagai ibu hamil. Rio sungguh berperan sebagai “suami” yang bertanggung jawab. Kami sepakat untuk tidak memberitahukan peristiwa itu kepada orang tua kami masing-masing dan merahasiakannya dari orang-orang terdekat hingga bayi itu dilahirkan. Kami berencana akan menitipkan anak kami di panti asuhan. Itu memang pilihan terberat bagi kami dan aku sebagai ibunya akan menanggung beban psikis yang sangat berat dalam hidupku. Tetapi kami harus melakukannya mengingat masa depan kami yang belum jelas dan kuliah kami juga yang masih tertahan di awal semester tujuh karena cuti.

Rio memang sungguh bertanggung jawab. Dia tetap menjagaku selama masa kehamilan anak kami. Uang bulanan yang dikirim orang tuanya, kami pakai bersama untuk kebutuhan kami termasuk biaya pemeriksaan rutinku sebagai ibu hamil dan biaya rumah kontrakan yang kami tempati.

Akhirnya, aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan normal setelah mengandungnya kira-kira sembilan bulan. Setelah bersama kami sekitar tiga bulan, bayi itu kami titipkan di salah satu panti asuhan terbaik di kota Malang. Kami mendatangi suster pengasuh panti asuhan untuk menitipkan bayi itu. Kami membicarakan dengan baik-baik duduk persoalan dan latar belakang keputusan kami. Suster memahami dan menerimanya. Semua berjalan sesuai rencana kami.

Selanjutnya kami mulai lagi hidup kami sebagai mahasiswa. Kami melajutkan lagi kuliah kami yang sempat tertunda dan memutuskan untuk menjaga jarak agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diharapkan. Kami tetap berkomunikasi dengan baik dan berpegang teguh dengan komitmen bersama itu. Kadang-kadang kami berdua berkunjung anak kami di panti asuhan. Kami bertahan dengan kesepakatan itu sampai diwisuda menjadi serjana. Setelah itu Rio kembali ke kampung halamannya sedangkan aku memutuskan untuk menetap di Malang. Keputusanku disetujui oleh kedua orang tuaku. Sebagai lulusan terbaik dari universitas terbaik, aku dengan mudah diterima untuk bekerja di sebuah sekolah swasta favorit di kota Malang sebagai guru BP sesuai ijasahku.

Di luar rutinitasku sebagai guru, aku terlibat secara aktif di perhimpunan para pemerhati panti asuhan yang aku gagas sendiri bersama teman-teman yang memiliki minat yang sama. Aku melakukan itu selain karena aku berminat dalam karya sosial semenjak kuliah dulu juga sebagai panggilan hati untuk menyelamatkan jiwaku, menebus kesalahan yang pernah kubuat terhadap anakku sendiri. Dengan begitu, aku juga secara langsung dapat mengikuti proses tumbuh kembang putraku. Dengan selalu mengunjungi, menyalurkan bantuan ke panti asuhan-panti asuhan termasuk panti asuhan dimana anakku tinggal, aku mempunyai kesempatan bertemu dan berkomunikasi dengannya, tanpa dia dan orang lain tahu bahwa akulah ibu kandungnya, kecuali suster pengasuhnya. Sesungguhnya batinku tersiksa menyimpan rahasia ini. Ingin kuselalu memeluknya setiap kali berkunjung tapi aku tidak ingin menciptakan kesan pilih kasih bagi anak-anak panti yang lain. Suster yang mengetahui rahasia ini memahami sungguh perasaanku sebagai seorang ibu. Kadang dia berusaha menciptakan momen agar aku bisa berdua bersama anakku. Dan saat itu adalah momen terindah bagiku. Aku ingin jujur mengatakan sebenarnya tetapi aku tidak ingin hal itu melukai hati anakku. Aku juga takut dia menolak aku sebagai ibunya. Dia masih terlalu kecil untuk memahami itu semua. Aku bertahan dengan kenyataan itu dan berjanji dengan diriku sendiri pada saatnya nanti rahasia ini harus diketahui anakku, entah bagaimana caranya.

Suatu hari tiba-tiba aku mendapat informasi dari suster pengasuh bahwa anakku tidak tinggal di panti asuhan lagi. Sebuah keluarga dermawan dari Blitar mengadopsinya. Saat itu usianya empat tahun, dia akan masuk TK di bawah asuhan orang tua barunya. Hatiku hancur, aku kehilangan kontak dengan anakku. Semangatku aktif di perhimpunan yang sudah berkembang bagus selama ini menjadi redup. Aku kehilangan gairah. Namun aku tidak boleh egois. Anakku butuh figur ayah-ibu untuk membesarkannya. Mengetahui dia berada pada orang yang tepat yang dapat memenuhi kerinduan psikisnya, itulah sedikit hiburan yang membuatku tetap bertahan di organisasi yang aku gagas ini.

Waktu terus berlalu. Anakku tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan memiliki karakter yang kuat. Rupanya gen kecerdasan yang dimiliki Rio, ayah kandungnya menurun pada anakku. Orang tua angkatnya merawat dia dengan baik selayaknya anak sendiri. Karena kecerdesan dan kepribadian yang dimilikinya dinilai mumpuni, orang tua angkat anakku mengijinkan dia masuk seminari. Anakku bercita-cita menjadi Pastor, seperti yang selalu kutanyai dulu ketika mengunjunginya di panti asuhan.

Singkat cerita, ketekunan, kecerdasan dan kesetiaannya pada pilihan hidupnya, anakku diperkenankan untuk menerima sakramen imamat. Anakku ditahbiskan menjadi seorang imam praja keuskupan Malang. Aku menyaksikan seluruh rangkaian perayaan tahbisan itu dengan mata kepalaku sendiri. Sedih dan terharu, bercampur menjadi satu. Aku sedih karena bukan aku, ibu kandungnya yang berdiri di sana, mendampinginya. Aku terharu karena putraku, darah daging buah relasi di luar nikah bersama Rio, anak dari orang tua yang tak bertanggung jawab seperti kami ini, hari ini mataku menyaksikan sendiri dia diurapi menjadi imam Allah dalam sebuah perayaan yang khusuk dan meriah. Aku juga bahagia karena dari rahim wanita berdosa ini, terlahir seorang imam yang akan menyelamatkan banyak jiwa yang dilayaninya kelak. Aku berdoa dalam hati, semoga anakku setia dengan imamatnya dan menjadi seorang gembala yang mencintai dan dicintai umatnya.

Dan di kedalaman hatiku, aku menangis, meratapi nasibku yang tersiksa oleh sebuah rahasia besar yang hingga kini belum mampu kuungkapkan secara jujur terhadap anakku. Untuk ke sekian kalinya aku berjanji, termasuk di hari pentahbisannya ini, aku juga berjanji bahwa pada saatnya aku akan mengungkapkan rahasia itu. Rahasia yang membebani hidupku bertahun-tahun, sejak anakku masih bayi hingga kini dia telah menjadi imam. Rahasia yang membuat hidupku serasa tak memiliki makna di hadirat Tuhan. Karena memiliki rahasia itu, sudah bertahun-tahun pula aku tak pernah sekalipun menyambut komuni kudus pada setiap perayaan Ekaristi. Aku memiliki dosa besar yang butuh kerahiman Allah untuk mengampuniku. Sebenarnya aku memiliki kesempatan untuk menerima sakramen pengampunan, namun semenjak aku tahu anakku masuk seminari dan ingin menjadi imam, aku memutuskan akan melakukan rekonsiliasi langsung dengannya. Dengan anakku yang kini sudah menjadi pastor di parokiku, rencana yang sudah kubuat bertahun-tahun itu menjadi lebih mungkin dan mudah kulakukan.

Momen itu pun datang. Seperti biasa, menjelang perayaan Natal akan selalu ada penerimaan sakramen tobat sebagai bentuk persiapan bagi umat kristiani untuk menyambut kelahiran Sang Imanuel. Kali ini aku sungguh-sungguh berniat mengakui dosaku langsung pada pastor yang juga putraku sendiri sekaligus mengungkapkan rahasia yang selama ini kusembunyikan. Aku melakukan itu bukan karena kebetulan anakku menjadi bapa pengakuan tetapi lebih karena aku sudah siap setelah bertahun-tahun mengumpulkan energi keberanian untuk hal itu apalagi saat ini anakku yang sudah dewasa dengan martabatnya sebagai imam Allah yang Maharahim, aku yakin anakku lebih siap mendengar pengakuanku. Anakku akan sangat bijaksana menyikapi masalah ini. Aku juga sudah siap dengan berbagai konsekuensi yang harus kuterima, apa pun itu.

Kamar pengakuan sesaat menjadi lengang. Aku tertunduk dan diam. Aku tergugu, tak kuasa mengangkat kepala. Pengakuan dosa atau lebih tepatnya pengungkapan secara jujur rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat itu berjalan lancar walau dadaku terasa sesak seperti ditindih beban berat. Aku menangis dan gemetar. Masih dalam posisi tertunduk. Sesaat aku mendengar suara sesegukan. Suara itu berasal dari orang yang ada di depanku. Sang gembala juga menangis. Mungkin dia marah, kecewa atau barangkali dia terharu bahagia karena bertemu dengan seseorang yang ternyata ibu kandungannya sendiri, begitu pikirku. Entahlah, aku sungguh tidak mengerti. Sang pastor tetap menuai tugasnya sebagai bapa pengakuanku saat itu. Dengan tenang dia menyuruhku mendoakan doa tobat sambil dia mendaraskan rumusan pengampunan dosa untuk memberi absolusi yang dikuasakan kepadanya sebagaimana dilakukan para bapa pengakuan pada umumnya. Semuanya berjalan seperti biasa hingga aku keluar dari kamar pengakuan untuk menjalani penitensi seperti yang diberikan sang gembala.

“Mama, sampaikan salamku untuk bapak”. Aku tidak salah dengar. Itu kata-kata dari mulut sang Pastor dari balik kamar pengakuan yang ditempatinya. Langkahku terhenti dan segera balik menghadap sumber suara itu untuk memastikan. Anakku memaafkan kami, orang tua kandungnya. Aku mendapati senyum pengampunan yang ikhlas di wajahnya. Plong. Beban berat yang selama bertahun-tahun lamanya menindih dadaku lenyap seketika. Aku menangis bahagia. Anakku memanggil aku “mama”, pertama kali dalam hidupku. Dan kata bapak dalam kalimatnya tadi menjadi tanda bahwa dia menerima aku dan Rio sebagai orang tua kandungnya. Ini sebuah sukacita besar bagiku dan tentu juga bagi Rio. Aku akan mengabarinya segera.

Natal tahun ini menjadi perayaan yang sungguh istimewa dalam hidupku. Aku menerima dua hadiah sekaligus, anakku memaafkanku dan aku pun bisa berdamai dengan rahasia yang selama ini menghatui hidupku. Aku sungguh mengalami belas kasih Allah melalui sakramen pengampunan yang kuterima melalui tangan terurapi, putraku sendiri. Aku akan mengingat selalu peristiwa ini sepanjang hidupku sebagai momen kerahiman kamar pengakuan. Aku semakin mengimani kerahiman Allah yang tanpa batas bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya.

SALAM DAMAI NATAL UNTUK ORANG-ORANG TERCINTA. Ini adalah kata-kata yang tertulis dalam kartu itu. Sebuah kartu Natal yang dikuterima dari koster parokiku. Di bawah tulisan itu terdapat tiga foto. Paling kiri adalah foto aku dan Rio, di bawahnya ada keterangan: Bapak dan Mama yang telah menghadirkan aku di dunia ini. Paling kanan adalah foto orang tua angkat anakku, diberi keterangan: Ayah dan Ibu yang telah menunjukkanku bagaimana menjalani hidup di dunia ini. Dan yang ketiga, berada di tengah-tengah adalah foto dengan keterangan: Oma, malaikatku yang cantik nan lemah lembut yang dengan sabar mengajariku bahwa Tuhan memberikan empat orang tua kepadaku bukan tanpa alasan. Melalui Oma itu semua upaya “pembebasan” aku dari belenggu rahasia yang kusembunyikan selama ini menemui akhir ceritanya. Beliau yang selalu mendampingi anakku untuk menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Semua rahasia masa kecil sejak dia diantar ke panti asuhan hingga diadopsi diceritakan secara jujur oleh sang Oma sambil terus mendukung anakku untuk memaafkan kami, orang tuanya. Proses itu adalah bagian dari penerimaan masa lalu yang harus dilakukan anakku dalam tahap-tahap formasi menjadi imam. Anakku melaluinya dengan baik hingga ia mengalami penerimaan yang sempurna. Sebuah bentuk penerimaan yang indah. Adalah Oma, suster pengasuh panti asuhan anakku dulu menjadi aktor di balik kisah ini semua termasuk yang memberikan fotoku bersama Rio kepada anakku.

Di bawah ketiga foto itu ada tanda tangan di atas nama, RD. Emanuel Mariano. Itu adalah nama anakku yang kini sudah menjadi seorang imam. Nama itu adalah gabungan dari nama baptis aku dan Rio. Dulu, ketika kami menyerahkan bayi Nuel ke panti asuhan, kami juga menyerahkan nama itu dengan pesan suatu ketika apabila Nuel akan dibaptis, gunakan nama itu jika dia dan orang tua angkatnya tidak keberatan. Kami berharap dengan dia memakai nama itu, itu berarti dia mau menerima dan mengakui kami sebagai orang tua kandungnya. Syukur kepada Tuhan, harapan kami akhirnya terpenuhi. Aku yakin semua itu merupakan rahmat yang diperoleh dari kemurahan kasih Tuhan yang tersimpul dalam kerahiman kamar pengakuan.
Readmore → Kerahiman Kamar Pengakuan

Saturday, 5 November 2016

Motto Kaul Kekal

Panggung Utama Syukuran Kaul Kekal
Sabtu, 28 Mei 2016, bertempat di Gereja Katedral St. Yosef Maumere, saya mengikrarkan kaul kekal dalam sebuah perayaan Ekaristi yang meriah. Saya mengucapkan janji setia untuk hidup sebagai seorang biarawan seumur hidup dalam kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Ayat kitab suci, Luk 1:13 yang berbunyi, “sebab engkau beroleh kasih karunia di hadapan Allah”, saya pilih menjadi motto kaul kekal saya. Pemilihan ayat tersebut terinspirasi oleh hasil refleksi dan permenungan pribadi saya.

Saya bersyukur atas anugerah panggilan hidup membiara yang saya terima. Saya percaya bahwa panggilan hidup yang sedang saya jalani saat ini adalah anugerah      istimewa yang diperoleh dari kemurahan kasih Tuhan. Dia sungguh mengasihi saya dan memilih saya menjadi perpanjangan tangan-Nya untuk menghadirkan wajah Allah yang penuh kasih kepada sesama di sekitar saya melalui teladan dana cara hidup serta karya pelayanan yang saya lakukan. Semua itu terlepas dari keadaan dir saya yang rapuh dan penuh dosa. Siapa pun diri saya dengan segala kekuatan dan kelemahan, dengan berbagai kelebihan dan kekurangan yang saya miliki, Tuhan telah memilih saya menjadi abdi-Nya sebab saya beroleh kasih karunia di hadapan Allah.

Saya mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua dan sanak keluarga, para saudara sepanggilan dan semua orang yang mendoakan dan mendukung panggilan hidup saya. Berkat Tuhan.

Frater M. Walterus Raja Oja BHK
Readmore → Motto Kaul Kekal

Friday, 30 September 2016

Seremoni Adat

Salah satu seremoni yang menjadi bagian dari rangkaian perayaan syukur kaul kekal saya beberapa waktu lalu adalah acara penjemputan oleh pihak keluarga. Keluarga menjemput saya di pastoran Paroki St. Maria Bunda Karmel Rajawawo, tempat saya menginap sehari sebelum perayaan syukur dilaksanakan. Acara ini dilakukan dengan latar belakang oleh alasan karena saya yang telah memilih hidup membiara, apalagi sudah berkaul kekal, saya sudah menjadi milik biara dimana saya bergabung. Saya bukan milik keluarga lagi. Oleh karena itu, ketika saya kembali untuk mengadakan acara besar di “rumah besar” dan tanah leluhur, saya perlu diterima kembali secara adat.

Selain itu, ada alasan lain yang lebih mendasar, berkaitan dengan budaya dan hukum perkawinan yang berlaku di daerah kami yaitu sistem perkawinan keluar bagi anak perempuan. Artinya setiap anak perempuan yang sudah bersuami akan pergi dari rumah orang tuanya untuk hidup bersama suami dalam lingkungan keluarga suami. Konsekuensinya adalah sang anak dan keturunannya tidak mendapatkan jatah warisan dari orang tuanya kecuali ada perjanjian di antara orang tua dan sanak saudaranya. Apabila sang anak bersama suami dan anak-anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya, mereka akan diterima sebagai tamu. Hukum adat ini juga berlaku bagi saya.

Dalam permenungan dan refleksi saya secara pribadi atas seluruh perjalanan hidup saya (kami) semenjak ibu meninggal dunia, dimana kami dibesarkan oleh nenek dan sanak keluarga ibu dan ibu juga meninggal di rumah orang tuanya, maka saya memutuskan agar syukuran kaul kekal saya dilakukan di “rumah besar”, rumah dimana ibu menitipkan kami saat kepergiannya. Tetapi karena secara adat saya bukan generasi sah rumah besar dan tanah leluhur dari pihak ibu, maka saya perlu melewati seremoni adat sebagai bentuk legitimasi bahwa saya boleh merayakan syukur itu di rumah besar dan tanah leluhur ibu. Proses penerimaan kembali secara sah menurut adat ini disebut dengan bhea, berupa rangkain kata dan ungkapan adat yang disampaikan secara langsung pada seremoni penyambutan. Secara harafia, bhea berarti menyapa, menegur atau menyambut dengan kata-kata.

Di bawah ini saya mencatat rangkaian kata bhea yang diucapkan pada waktu seremoni penjemputan saat itu. Tokoh yang didapuk sebagai penyampai bhea dalam acara tersebut adalah salah seorang sesepuh dalam keluarga besar ibu yang sungguh memahami perjalanan hidup saya. Kata-kata itu demikian:

Mai mbeja si, sea sawe
ke’embu ne’e weta ane,
ne’e ebe ‘ta ari ka’e.

O Ngga’e... Kau pati pawe.
Dewa... Kau ‘ta ngai sia, pati ‘ka ndeka ana Ria

Nua ne’e Weo, miu pera pawe, Ria ana jadi mbaze
Juma ne’e Gete, miu iwa senggo se, ne’e ebe sanua merhe
Miu kema sama ne’e Ria ana, mesu miu jodho, Ria sadha rheze wozo,
mesu miu tuke, embu Ria ‘mu jembu ‘ka ndetu

Toma baba ndoa, Isa ine ria, kau pemba pawe
Toma, kau äko iwa rhewo bhazo
Ine Isa ne’e öla Tina, miu bagi wi’a ‘ka ndeka dunia ne’e kami ndia
Ine e... mesu uzumu du ‘ka nutu, zimamu tika ‘ka Ia,
miu wezu ‘ka ebe ari ndia ndeka dunia

Oni e... ka’e ndoa, kau poro poa, zu kau mai,
kau nggae wa’ai tau pagha ebe ari, eze mbepu öra kau eru,
kau jaga pawe-pawe, taku ebe ari ozo mbepu, ebe ozo mbana nggae,
ndeka tiko za’e, ozo imu ozo iwa pati pawe

Embu... miu ‘ta wezu ‘ka, miu ‘ta pati ‘ka, miu ‘ta ti’i ‘ka
Ti’i miu iwa ‘ka wiki, miu so pati iwa zai.
Kami ono sama, miu pati ja si,
frate ana wai nuka ‘ka nua ‘ki, wai tama ‘ka manga
Ine nua ne’e baba oza, kami ono woso ne’e rhina kapa,
miu pio si, frate ana ‘wi tama
Frate nai ‘ka ndeka puu tangi, frate tika ‘ka ndeka tenda,
kai tama ‘ka ndeka sa’o ko nene Epu ne’e Pama.
Selu... Odja... mame ndoa,kami ono woso, miu ma’e si oka poja,
miu mai sesama si ne’e ate masa, Ria ana kema ‘ki wi iwa du da

Mai mbeja si kita, ine ame, rheze rheu wozo rhaze,
kita wi pongga ‘ka zamba, rupi ‘ka heko, Ria ana wi pao tau rhizi sa’o
Pongga si zamba, rupi si heko!

Berikut ini saya akan menguaraikan poin-poin apa saja yang diungkapan dalam kata-kata bhea di atas. Poin pertama, sebagaimana sebuah acara bersama dalam masyarakat pada umumnya, bhea diawali dengan mengajak semua komponen keluarga besar dan warga masyarakat untuk ikut dalam seremoni ini. Selanjutnya bersama keluarga besar yang hadir, sang penyampai mengajak semuanya untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas segala kebaikan dan anugerah yang telah diberikan kepada yubilaris, dalam hal ini saya.

Siapa pun saya dengan cerita masa kecil yang agak langka itu, saya tetap bagian dari keturunan nenek moyang bapak saya. Maka, selayaknya sumbangsih mereka melalui doa-doa dari tangan yang tak terlihat dan suara yang tak terdengar dari alam “sana” patut mendapat porsi untuk diapresiasi. Apresiasi selanjutnya tentu disampaikan kepada orang tua saya, bapak dan ibu bersama seorang ibu lagi dari perkawinan kedua bapak, yang keduanya kini telah kembali ke Rumah Bapa. Sesosok pribadi yang juga diangkat oleh penyampai bhea tersebut adalah kakak saya yang sulung. Bagaimana perannya sebagai “orang tua” bagi kami adik-adiknya dengan litani pengorbanan yang dilakoninya dalam hidupnya mendapat sorotan sang sesepuh melalui kata-katanya.

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa inti seremoni adat ini adalah mengesahkan kehadiran saya di “rumah besar” dalam rangka merayakan syukur kaul kekal, maka pada bagian ini sang penyampai bhea mengutarakan maksud itu. Beliau meminta kerelaan seluruh komponen “rumah besar” yang terdiri dari para leluhur, nenek moyang, tetua adat dan warga masyarakat dan khususnya kedua saudara ibu yang menjadi “pemimpin sah” di rumah besar kami agar mereka semua berkenan mengijinkan saya “masuk” atau “kembali” ke rumah besar untuk merayakan pesta syukuran tersebut. Melalui penyampaian ini yang selanjutnya saya diberi kalungan kain tenunan adat oleh perwakilan keluarga, maka saya telah sah menjadi bagian dari anggota rumah besar dan boleh melangsungkan pesta. Selanjutnya sang penyampai mengajak semua yang hadir dan menyaksikan seremoni itu untuk mengiringi saya menuju rumah besar. Arak-arakan diiringi dengan musik suling dan gendang. Di depan rumah saya mendapat siraman dengan air di kaki sebagai ucapan selamat memasuki rumah besar.

Secara pribadi saya sangat berkesan dengan seremoni tersebut. Perasaan sedih dan terharu sangat mendominasi. Saya sedih karena momen yang sangat bahagia dan istimewa ini tidak disaksikan oleh orang yang sangat saya sayangi, ibu saya. Saya merasa sangat kehilangan dan hati saya serasa sangat sedih ketika nama ibu disebut saat menyampaikan bhea. Saya juga merasa terharu akan peran serta seluruh anggota keluarga besar. Mereka menyambut saya secara meriah dengan tata cara adat yang begitu sakral. Gegap gempita suara musik suling dan gendang yang mengiringi saya dengan suguhan tarian penjemputan oleh sekelompok gadis remaja membuat senja itu begitu indah, agung dan tak terlupakan. Air mata saya tak kuasa dibendung. Tangisan oleh karena sedih dan terharu menyatu dengan suasana yang begitu syahdu. Kesan ini juga diungkapkan oleh seorang konfrater yang mendampingi saya bersama sang gembala, pastor paroki.

Berangkat dari pengalaman ini, saya berpendapat bahwa kesakralan tata cara adat sungguh memberi kekuatan. Keagungannya menjadi daya yang turut memberi andil bagi seseorang untuk setia. Saya merasa sangat bersyukur karena saya memiliki keluarga dan budaya yang berwibawa. Momen ini memberi saya kekuatan untuk menyongsong hari esok di perjalanan hidup panggilan saya. Saya merasa didukung oleh keluarga besar saya dalam menjalani pilihan hidup saya sebagai seorang biarawan, frater Bunda Hati Kudus. Hormat yang setinggi-tingginya dan limpahan terima kasih saya haturkan kepada seluruh anggota keluarga besar dan para leluhur yang dengan penuh cinta telah memberikan yang terbaik bagi saya.
Readmore → Seremoni Adat

Spiritualitas Kamar Makan

Salah satu aspek esensial dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) adalah adanya keinginan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya. Keinginan ini juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap pribadi normal secara naluriah selalu berusaha menjalin relasi dengan pribadi lain dalam kehidupannya sehari-hari. Konsekuensi perjalinan antar manusia tersebut terciptalah momen-momen yang memberi ruang setiap pribadi untuk berada bersama pribadi lain pada saat dan tempat tertentu. Maka terjadilah acara-acara bersama seperti perayaan bersama, diskusi, olahraga, berdoa, rekreasi, makan bersama, dan sebagainya.
Bagi kita yang menghayati hidup membiara, aspek ini merupakan salah satu poin penting yang perlu diperhatikan. Hidup bersama dengan orang lain terutama saudara sepanggilan adalah sebuah tuntutan. Ia menjadi salah satu aspek esensial dalam kehidupan kita selain hidup doa, hidup karya dan penghayatan kaul-kaul. Salah satu aktivitas penting dalam aspek hidup bersama di dalam biara adalah makan bersama.
Kesetian untuk membangun hidup membiara tidak terlepas dari kesetiaan kita pada momen-momen yang mendukungnya. Salah satu momen itu adalah makan bersama. Setiap komunitas biara, sama seperti rumah tangga pada umumnya selalu dilengkapi dengan kamar makan. Ini adalah fasilitas standar yang idealnya wajib ada di setiap komunitas biara.
Bagi kita para pelaku hidup bersama dalam biara, kamar makan adalah tempat kita bertemu, berbagi pengalaman, sharing gagasan, berdiskusi sambil menikmati makan bersama. Setiap anggota komunitas pasti sibuk dengan tugas dan tanggung jawab serta urusan pribadinya. Kita jarang bertemu karena waktu kita sebagian besar dihabiskan pada tempat pelayanan kita masing-masing. Oleh karena itu kamar makan dan makan bersama merupakan tempat dan kesempatan yang ideal untuk bertemu dan berbagi tentang banyak hal yang kita alami.
Kamar makan adalah ruang diskusi yang nyaman. Sambil menikmati santapan yang dihidangkan, setiap pribadi bisa berbagi ide atau gagasan untuk didiskusikan. Memberi tanggapan, mengajukan pertanyaan, menimpali dan mendiskusikannya secara lebih mendalam membuat kamar makan menjadi lebih “hidup”. Kita akan menuai fungsi ganda dari kamar makan, kebutuhan jasmaniah terpenuhi dan kesegaran intelektual kita tetap terjaga karena setiap diskusi yang dilakukan menuntut otak kita untuk terus bekerja.
Kamar makan juga bisa menjadi ruang “konseling”. Berbagai arahan, wejangan dan petuah bijak, saling mengingatkan dan mengoreksi bisa dilakukan di kamar makan. Yang yunior bisa belajar dari yang senior melalui cerita tentang kebijaksanaan hidup yang telah dilakoni sepanjang hidupnya. Yang senior bisa membuka diri untuk menerima realita bahwa zaman sudah maju, segala sesuatu sudah berubah dan kini menjadi “dunia”-nya para yunior. Semua hal itu bisa terjadi di kamar makan melalui komunikasi yang dialogis.
Melihat kemungkinan-kemungkinan yang telah diuraikan, kita dapat menyimpulkan bahwa selain sebagai tempat kita menyantap makanan jasmani, kamar makan juga menjadi tempat dimana kita bisa menimba berbagai poin spiritual yang dibutuhkan dalam hidup bersama kita. Hal sama kita bisa temukan dalam cerita kitab suci. Salah satunya adalah kisah Malam Perjamuan terakhir Yesus bersama para murid-Nya. Melalui peristiwa itu, kita bisa memaknai spritualitas kamar makan yang ditunjukkan oleh Yesus dan murid-murid-Nya. Ada dialog di antara mereka, ada tanggapan dan pertanyaan, ada sanggahan dan saling menimpali. Ada amanat tentang cinta kasih, pelayanan dan kerendahan hati, bahkan ada “curhat”tentang saat-saat terakhir Yesus bersama para murid sebelum kisah sengsara-Nya juga diungkapkan di kamar makan pada perjamuan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kamar makan adalah ruang spititualitas bagi mereka yang ada di dalamnya.
Tentu bukanlah hal mudah untuk mencapainya. Spiritualitas kamar makan berkaitan erat dengan membangun persaudaraan yang memang tidak selalu mudah bagi beberapa orang. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kita sulit membangun persaudaraan dalam komunitas. Hal-hal tersebut seperti yang ditulis oleh Paul Suparno, SJ dalam sebuah artikelnya, antara lain: Pertama, kita merasa tersakiti oleh teman sekomunitas dan merasa tidak mungkin lagi disembuhkan. Kedua, kita merasa tidak cocok dengan teman kita karena perbedaan watak dan sikap. Ketiga, kesombongan diri, dendam dan sikap diskriminasi yang kita miliki. Keempat, benci karena pernah direndahkan atau tidak didengarkan. Kelima, ingin menjadikan orang lain seperti diriku.
Hal-hal tersebut sangat mengganggu kehidupan bersama kita dalam biara. Kamar makan yang seharusnya menjadi ruang menghidupi semangat persaudaraan menjadi tempat yang tidak nyaman dan ingin dihindari. Beberapa anggota ada di kamar makan hanya karena sudah waktunya makan sebagaimana tercantum pada acara harian. Sekedar ada karena rutinitas dan ingin cepat-cepat pergi dari kamar makan bahkan ada yang berusaha mencari kesibukan untuk menghindari acara makan bersama. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap rendah hati, saling memberi dan menerima, saling menghargai dan saling mengasihi. Adanya keterbukaan untuk mau berbagi dan kerelaan untuk mau mendengarkan.
Kita perlu sadar bahwa dalam komunitas, kita tidak dapat memilih teman yang cocok; yang mudah membuka diri; atau yang memiliki kesukaan yang sama. Dalam perbedaan suku, karakter, latar belakang budaya, kita disatukan dalam sebuah komunitas. Tuhanlah yang telah memanggil dan menyatukan kita. Maka, yang perlu dikembangkan dalam diri kita adalah keterbukaan hati agar kasih Tuhan berkembang dalam diri kita, sehingga kita juga rela menerima dan mengasihi saudara-saudara kita sekomunitas apa adanya mereka. Dalam Injil, Yesus mengajak kita untuk menjadi sahabat-Nya. Itu berarti kita juga hendaknya menjadi sahabat bagi orang lain, bagi teman-teman sekomunitas karena mereka juga sahabat Yesus. 
Kita juga perlu membangun persaudaran di komunitas dengan mengembangkan afeksi dan perhatian kepada sesama saudara sekomunitas. Tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan di kamar makan seperti memberi ucapan, menyapa dan memberi perhatian adalah sangat penting karena melaluinya kita menjadikan saudara kita bernilai dan berharga bagi kita. Suasana komunitas terasa saling mendukung, akrab dan terbuka. Hal ini dapat membantu setiap anggota untuk berani membuka diri, jujur satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan semakin kuat. Setiap anggota dengan penuh gembira dan damai akan selalu berupaya menciptakan kehidupan bersama yang rukun. Dengan demikian, kamar makan menjadi tempat yang hangat untuk membagi persaudaraan dengan anggota yang lain, selain sebagai ruang diskusi atau ruang “konseling”seperti yang telah diuraikan di atas.
Readmore → Spiritualitas Kamar Makan

Wednesday, 31 August 2016

Menjadi Guru yang Berbelaskasih

Sebagai sebuah komunitas religius, kita ingin ikut ambil bagian dalam kerangka gerakan bersama Gereja secara universal untuk mengisi tahun Yubileum Kerahiman Ilahi. Seperti yang sudah kita ketahui, Bapa Suci Paus Fransiskus melalui bulla yang berjudul Misericordiae Vultus atau Wajah Kerahiman telah menetapkan tahun Yubileum Kerahiman Ilahi yang dibuka pada 8 Desember 2015, pada Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda, sampai nanti akan ditutup pada 20 November 2016, pada Hari Raya Kristus Raja Semeta Alam. Tema tahun kerahiman ilahi ini adalah “Bermurah hati seperti Bapa.” Tujuannya sangat jelas yaitu sebagai undangan untuk mengikuti teladan Bapa yang murah hati yang meminta kita tidak menghakimi atau menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas.
Berangkat dari gagasan tersebut, melalui ulasan ini saya ingin mengajak kita semua, khususnya yang terpanggil menjadi seorang pendidik untuk merenungkan apa hubungan spirit tahun kerahiman ilahi dengan kerahiman seorang guru.

Sebuah kisah inspiratif yang dikutip dari sebuah laman web dengan alamat http://pijar.net/kisah-inspiratif-guru-bijaksana-yang-merubah-murid-bodoh-menjadi-pintar/ di bawah ini akan mengantar kita untuk merenungkan gagasan tersebut:

Guru Bijaksana
Yang Merubah Murid Bodoh Menjadi Pintar

Ada seorang guru pengganti memasuki ruangan kelas di sebuah Sekolah Dasar. Guru itu akan menggantikan guru kelas yang sedang cuti sampai akhir semester ini. Ia memulai pembelajaran di kelas itu. Ketika ia bertanya pada seorang murid laki-laki yang duduk di bangku depan, ia bingung karena tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Murid-murid lain tertawa tanpa sebab.
Karena sudah kenyang dengan pengalaman mengajar, ia paham betul, pastilah ada sesuatu yang ditertawakan oleh anak-anak di kelas itu pada diri anak laki-laki yang ditanya olehnya tadi. Setelah diselidiki ternyata anak laki-laki itu dikenal sebagai murid yang paling bodoh di kelas itu. Teman-temannya begitu meremehkan dia sehingga sering mengolok-olok dan mentertawakannya.
Suatu hari seusai pelajaran ia memanggil murid yang dianggap bodoh itu setelah seluruh teman-temannya pulang. Ia berkata sambil memberikan secarik kertas, “hafalkan baik-baik bait-bait syair yang ada di kertas ini, harus hafal betul dan ingat jangan engkau beritahukan kepada teman-temanmu, siapapun!”
Murid itu mengangguk patuh. Seminggu kemudian, guru menyampaikan pelajaran baru di kelas itu. Ia menulis syair di papan tulis, menerangkannya dan membacakannya berulang-ulang, setelah itu ia berkata,“nah sekarang siapa yang hafal bait-bait syair ini?” Dia bertanya sambil perlahan ia menghapus tulisan syair itu di papan tulis. Tak seorang murid pun mengangkat tangan kecuali murid yang dikenal bodoh oleh teman-temannya itu. Perlahan, malu-malu ia berdiri dan menghafalkan bait-bait syair itu. Hafalan yang lancar sekali. Teman-temannya yang biasa mengolok-olok dan mentertawakan dia, semua terkejut dan terdiam. Guru itu memujinya dan menyuruh teman-temannya untuk bertepuk tangan menghormatinya.
Demikianlah berulang kali guru pengganti ini memberikan kertas hafalan-hafalan kepada si murid bodoh itu. Tertawaan dan cemoohan teman-temannya kini berubah menjadi kekaguman padanya. Hal ini mendorong perubahan besar pada jiwa si murid itu. Ia mulai percaya diri dan meyakini bahwa dia tidaklah bodoh. Ia merasa mampu untuk bersaing dengan teman-teman sekelasnya. Perubahan ini mendorongnya untuk semangat dan bersungguh-sungguh belajar di semua mata pelajaran.
Ketika ujian akhir tiba, murid ini berhasil lulus untuk setiap mata pelajaran dengan nilai yang sangat memuaskan. Mantan si murid bodoh itu kini sedang mengejar gelar doktor di sebuah universitas ternama di kotanya. Kisah ini dia tulis di sebuah koran sebagai pujian untuk gurunya dan sebagai doa agar gurunya itu beroleh pahala dari Tuhan oleh karena kebaikan dan jasa-jasanya.

Penggalan kisah inspiratif ini memberi catatan kepada kita, bahwa ada dua figur guru: yang pertama adalah figur guru yang membuka jalan kebaikan dan menutup jalan keburukan. Guru seperti ini akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya. Dia tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya. Sementara figur guru yang kedua adalah guru yang membuka jalan keburukan, menutup jalan kebaikan. Guru seperti ini akan selalu memutuskan harapan dan cita-cita. Ia selalu menebar duri dan kerikil di jalan yang akan dilalui murid-muridnya berupa pesimisme, putus asa, curiga, buruk sangka, dan berbagai hal yang memadamkan semangat para muridnya.

Dalam hubungannya dengan profesi guru, Bapa pendiri kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman pernah berkata demikian: Saya memerlukan frater-frater yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya pendidikan dan pembentukan kaum muda. Saya memerlukan biarawan-biarawan yang rajin, yang unggul dalam kebijaksaan dan kepandaian, dijiwai oleh suatu itikat yang murni dan dipenuhi oleh cinta kasih dalam secara total untuk tugas yang diberikan oleh pembesar kepada mereka. Saya membutuhkan pria yang sanggup menanamkan pada murid-murid yang dipercayakan kepada mereka, kebenaran-kebenaran utama ajaran agama dan moral Katolik, dan dengan perantaraan mereka, mengajar bagaimana kebenaran-kebenaran itu harus dipraktekkan dalam segala segi kehidupan. Singkatnya, saya membutuhkan guru-guru yang rajin, yang sanggup membentuk akhlak beragama. Guru-rugu yang mampu membantu murid-murid itu, agar mencapai kebahagiaan sementara dan abadi sehingga hati dan budi mereka diresapi oleh sikap iman, harapan dan cinta kasih.” Secara sederhana, amanat sang Pendiri di atas dapat dikatakan bahwa beliau memerlukan frater, biarawan, dan guru dengan seabrek kualifikasi dan potensi yang harus dimiliki.

Dalam kenyataannya, kita mendengar cerita yang dituturkan para pendahulu, bahwa ada sejumlah frater yang hebat pada masanya. Frater yang sungguh menguasai bidangnya. Frater yang sungguh menjadi seorang guru yang bijaksana, disiplin, pandai, rajin dan mengispirasi. Ada frater yang begitu mengasihi anak didiknya. Penuh gembira mendidik, membimbing, menemani murid-murid yang dipercayakan kepada mereka. Mereka tidak kasar, tidak pukul, tidak menghakimi tetapi dengan sabar dan penuh dedikasi memberi kasih dan perhatian demi tumbuh kembang dan kesuksesan anak didiknya. Mereka sungguh menjadi frater, biarawan dan guru yang mampu menerjemahkan amanat pendiri dalam hidup dan tugas perutusan yang diembannya. Karya pelayanan dan cara hidup mereka menjadi kisah inspiratif bagi begitu banyak orang yang pernah mereka didik dan mereka dikenal dan dikenang hingga kini.

Namun, kita juga perlu dengan jujur mengakui bahwa di antara cerita kehebatan para frater itu, ada juga sosok frater yang menakutkan, ada frater yang tidak disiplin, keras, tempramental, tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi anak-anak didiknya, mereka dikenang sebagai frater, biarawan dan seorang guru yang kasar dan suka tempeleng. Jadi mereka diingat karena kerasnya bukan karena kebaikannya.

Mungkin kita pernah membaca, mendengar atau bahkan kita sendiri melihat dan mengalaminya. Pada zaman ini, pendidikan di sekolah-sekolah Katolik mengalami penurunan baik mutu atau kualitas maupun jumlah murid. Dari urain berbagai buku, tulisan atau pemaparan lisan, kita menemukan ada berbagai faktor yang mendasari problematika itu, di antaranya: SDM guru dan staf pendidikan, strategi manajemen, sarana dan prasarana, sumber dana, sistem kurikulum dan program pemerintah, sistem pembelajaran, persaingan antar sekolah, peran masyarakat dan partisipasi instansi terkait dan sebagainya. Namun, ada tuntutan yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan Katolik bahwa sekolah Katolik jangan pernah menanggalkan nuansa katoliksitasnya. Jangan pernah menghilangkan tradisi mengajarkan nilai-nilai kristiani terhadap peserta didik dalam seluruh aktivitas kelas walaupun agama dan kepercayaannya berbeda. Sekolah Katolik harus tegas tetapi dengan landasan budaya kasih. Sekolah Katolik harus menjadi garda terdepan dalam mencapai apa yang menjadi hakekat pendidikan, yaitu mengubah yang kasar menjadi halus, mengubah yang kotor menjadi bersih, mengubah yang bodoh menjadi pintar dan berakhlak, dan menjadikan seorang pribadi menjadi manusia yang beradab. Ketegasan dan kasih inilah yang meninggalkan kesan-kesan untuk sebagian besar alumni yang pernah bersekolah di sekolah Katolik bahwa pendidikan itu telah memanusiakan mereka.

Orang tua tentu saja mengharapkan anaknya supaya menjadi pribadi yang seimbang antara rohani dan jasmani. Pertimbangan ini membawa akibat logis, bagaimana memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Memilih sekolah Katolik yang baik dan bermutu adalah ideal bagi keluarga-keluarga Katolik karena sekolah seperti ini pasti tidak hanya akan memperhatikan kualitas pendidikan duniawi, tetapi juga memperhatikan perkembangan iman anak. Kalau anak tidak beriman pastilah akan menjadi anak yang sombong, walaupun pandai. Selanjutnya anak seperti itu tidak pernah akan bersyukur karena dia merasa bahwa apa yang ada pada dirinya adalah miliknya sendiri. Ia menjadi sulit menghargai orang lain.

Itulah tantangan sekaligus peluang bagi sekolah-sekolah Katolik untuk hadir di masyarakat demi memenuhi kerinduan dan harapan orang tua. Para frater yang berkarya di sekolah, bapak-ibu guru dan staf kependidikan bekerja keras mengelola sekolah-sekolah itu. Bagaimana mereka berusaha untuk tidak meninggalkan aura Kekatolikan dengan mengajarkan iman Katolik di sekolah, mereka berusaha mewartakan nilai-nilai kristiani melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah, mereka berusaha tegas tetapi tetap dengan landasan budaya kasih. Demikianlah mereka menjadi guru dan pendidik yang mampu menghadirkan wajah Gereja di lembaga pendidikan. Wajah Gereja yang adalah wajah Allah sendiri, wajah yang memerdekakan dan membebaskan anak-anak dari belenggu kebodohan, dari penderitaan akan kemiskinan kasih dan perhatian dan dari kegalauan oleh karena tekanan degradasi nilai dan akhlak mulia. Wajah Allah yang tidak menghakimi tetapi penuh belas kasih dan pengampunan yang tanpa batas.

Kita bersyukur karena di tengah hiruk-pikuk dunia ini khususnya di medan pelayanan di bidang pendidikan oleh karena berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapinya, Allah hadir dengan wajah kerahiman-Nya yang membebaskan. Spirit kehadiran Allah di tahun kerahiman ilahi yang ditetapkan Bapa Suci yaitu murah hati seperti Bapa yang memberi kasih dan pengampunan yang tanpa batas menjadi roh yang menggerakan para frater yang berkarya di sekolah bersama bapa-ibu guru untuk memperlihatkan wajah-wajah guru yang berbelaskasih, yang senantiasa membuka jalan kebaikan untuk menutup jalan keburukan; yang akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya; yang tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya, sebagaimana digambarkan melalui sosok guru inspiratif dalam cerita di atas. Dengan berpedoman pada landasan spiritualitas tahun kerahiman ilahi ini juga, mereka terdorong untuk menjadi guru-guru yang berbelaskasih yang mampu menerjemahkan anamat Bapa pendiri kongregasi Frater BHK melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah.

Bagi mereka yang dalam kapasitasnya sebagai skate holder, pemilik dan pemangku kepentingan bagi sekolah-sekolah itu, mereka berperan penting bagi tumbuh kembang dan kelangsungan hidup sekolah-sekolah tersebut. Mereka bertanggung jawab sebagai penjamin mutu sekolah-sekolah itu melalui berbagai aturan dan kebijakan yang dibuat. Kiranya rahmat tahun kerahiman ilahi ini memampukan mereka untuk hadir sebagai tokoh dengan wajah yang penuh rahim untuk menggambarkan hatinya yang peduli atas semua hal yang terjadi di lembaga pendidikan. Tindakan nyata Sang Guru dan Tuhan kita, Yesus Kristus yang membasuh kaki para murid-Nya, semoga menjadi inspirasi dan suri teladan bagi mereka dalam menjadi guru, frater, dan biarawan yang berspiritualitas pelayan. Tentu sesuai dengan tanggung jawab, tugas perutusan dan dalam kapasitasnya masing-masing. Mari kita menjadi guru yang berbelaskasih dengan menghayati spiritualitas tahun kerahiman ilahi di medan pelayanan kita masing-masing. Kita perlu mulai dengan menjadi guru yang berbelaskasih bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang berkarya bersama kita dan selanjutnya bagi mereka yang dipercayakan kepada kita. Semoga teladan Sang Guru dan Tuhan kita, amanat pendiri dan spirit tahun kerahiman ilahi menjadi roh yang menjiwai cara hidup dan karya pelayanan kita. Amin.
Readmore → Menjadi Guru yang Berbelaskasih

Monday, 29 August 2016

Pulang

Senyaman apa pun kau berada di tempat orang, tidak akan bisa menggantikan kehangatan rumahmu sendiri. Seberapa pun jauhnya kau pergi, rumahmu  akan selalu “memanggil”mu pulang. Rumah adalah api yang mengobarkan jiwamu, nafas yang menyambung nyawamu. Rumah adalah hidupmu sendiri. Oleh karena itu, perjalanan kembali ke rumah adalah perjalanan pulang menuju sumber kehidupan. Ia menjadi momen yang paling indah dan dirindukan. Tulisan di bawah ini adalah catatan sharing pengalaman saya tentang perjalanan pulang ke rumah. Saya tertarik untuk menulisnnya oleh karena pengalaman langka yang saya alami.
Tahun 2016 ini, sesuai aturan kongregasi, saya mendapat jatah liburan selama dua minggu tidak termasuk waktu perjalanan. Liburan kali ini terasa istimewa karena saya mengisinya dengan perayaan syukur kaul kekal saya bersama keluarga besar. Jauh-jauh hari saya sudah merencanakannya. Jadual cuti saya berlangsung sejak 27 Juni 2016 berangkat dari Malang, tempat tugas saya sekarang hingga 14 Juli 2016 saya kembali lagi ke tempat saya berdomisili itu.
Senin, 27 Juni 2016 pagi, bersama seorang frater, saya berangkat dari Malang menuju Bandara Internasional Juanda Surabaya. Menurut schedule, pesawat yang akan saya tumpangi menuju Denpasar, Bali berangkat pada 10.15 WIB. Pada 12.00 WIB lewat, pesawat baru bisa berangkat. Itu berarti, kurang lebih 2 jam saya mengalami delay. Pada saat melakukan urusan administrasi bagi kami, penumpang transit, ketika itu saya baru tahu bahwa pesawat yang seharusnya akan membawa saya pada 12.50 WITA menuju Ende, sudah take off. Saya bersama kakak dan seorang suster ketinggalan pesawat. Petugas berusah memberi penjelasan dan meminta maaf atas keterlambatan ini dengan berbagai argumen yang mendasarinya. Apa pun alasan yang disampaikan, kami meresponnya dengan marah. Kami merasa kacewa dengan maskapai penerbangan itu karena kami bertiga ditinggalkan bukan karena kesalahan kami. Kami yang memiliki tiket langsung (connect) dari Surabaya menuju Ende. Berbagai upaya komunikasi telah kami lakukan tetapi tetap saja hari itu, kami tidak bisa diberangkatkan ke tempat tujuan. Kami terpaksa menginap di Denpasar, Bali dengan fasilitas perjalanan dan akomodasi ditanggung pihak maskapai. 
Pukul 09.30 WITA, kami check out dari hotel dan diantar ke bandara. Urusan check in kami lakukan sebelum waktunya mengingat kami adalah penumpang “khusus” karena peristiwa kemarin itu. Petugas mengurusi dengan baik dan cepat. Sebelum menuju ruang tunggu, kami mampir makan siang di rumah makan sekitar bandara.
Perjalanan nyaman dan aman kami tempuh selama 1 jam dan 30 menit menuju Bandara Komodo, Labuan Bajo. Masalah lain lagi terjadi di tempat ini. Biasanya para penumpang yang menuju Ende tidak turun menuju ruang tunggu, tetap berada dalam pesawat selama 30 menit sambil menunggu para penumpang naik pesawat yang sama menuju Kupang. Namun, kali ini kami harus turun menuju ke terminal (ruang tunggu) setelah mendapat informasi dari seorang pramugari bahwa pesawat belum bisa langsung menuju Ende karena cuaca buruk. Sekitar 1 jam kami berada dalam gedung terminal.
“Welcome to Ende”, kata saya berbasa-basi dengan seorang penumpang warga negara asing yang dibalasnya dengan senyum manis kepunyaannya sembari berkata “thank you”. Gapura selamat datang di Bandara Haji Hasan Aroebusman menyambut kedatangan para penumpang pesawat. Saya sudah tiba di Ende, kota kelahiran saya dengan sehat dan selamat tepat pukul 17.10 WITA setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dari Labuan Bajo.
Perjalanan selanjutnya bersama seorang sanak kekuarga yang menjemput, saya menuju biara frateran St. Aloysius, Ndao Ende. Ini adalah satu-satunya komunitas frater Bunda Hati Kudus di kota yang menjadi tempat sang proklamator kemerdekaan, Soekarno merenungkan kelima butir Pancasila semasa pengasingannya di tempat ini. Saya hanya mampir sebentar untuk memohon pamit pada salah seorang frater anggota komunitas bahwa saya langsung menuju ke kampung.
Pukul 18.00 WITA, kami berangkat. Perjalanan yang seharusnya membutuhkan waktu sekitar hanya 1 jam menuju pusat paroki, tempat saya akan menginap selama semalam terpaksa menjadi sekitar 4 jam lamanya karena terjadi masalah dengan kendaraan yang saya tumpangi. Roda belakang sebelah kiri pecah. Dalam situasi alam yang sudah gelap masalah itu harus segera diatasi, menggatinya dengan roda serep yang memang selalu dibawa. Masalah belum selesai di situ. Setelah berjalan sekitar 50-an meter, mobil tidak bisa bergerak maju karena tertahan tanah berlumpur pada posisi jalan miring. Kemudian mesinnya mati. Rupanya kendaraan ini bermasalah pada accu-nya yang berakibat tidak bisa dinyalakan lagi. Berbagai upaya coba diusahakan dengan bantuan saudara yang rumahnya berada di sekitar lokasi. Juga sanak keluarga yang sudah ada di pusat paroki, turun membantu. Mereka datang dengan mobil pick up dan dum track. Masalah yang kami alami bisa teratasi berkat bantuan mereka. Mobil yang kami pakai itu akhirnya ditarik menggunakan dum track lalu dititipkan di kampung terdekat. Selanjutnya kami menuju ke pusat paroki menggunakan mobil pick up.
Sekitar pukul 22.00 Wita, kami tiba di pastoran yang disambut romo paroki, seorang frater yang sedang menjadi tahun orientasi pastoral (TOP) dan keluarga. Saya menginap di pusat paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo ini selama semalam. Besoknya, 29 Juni 2016, pada pukul 15.00 akan dijemput oleh keluarga menuju kampung halaman saya, namanya Kekadori. Acara penjemputan dilakukan secara adat dengan iringan musik suling dan gendang (alat musik daerah). Romo paroki bersama frater M. Christoforus BHK ikut ambil bagian untuk mendampingi saya. Rangkaian acara ini adalah bagian dari perayaan syukur kaul kekal saya yang dilaksanakan pada 30 Juni 2016 di kampung Kekadori.
Catatan perjalanan ini saya tulis di pastoran dengan view kota Ende yang mengapit Laut Sawu dan Pulau Ende dipandang dari belakang kamar tidur saya. Saya menulisnya untuk mengisi waktu kosong sebelum seremoni penjemputan dilakukan. Saat ini di Rajawawo pukul 13.00, 29 Juni 2016. ***

Agenda utama momen pulang saya kali ini adalah untuk merayakan syukuran bersama keluarga atas kaul kekal saya yang sudah dilaksanakan pada 28 Mei 2016 di Maumere. Demikian pula seorang suster yang ikut ditinggal pesawat bersama saya di Denpasar, Bali ternyata juga mempunyai agenda utama liburannya sama seperti saya. Pada 26 Juni 2016, beliau merayakan pesta perak hidup membiara dalam kongregasinya di kota Malang. Momen pulangnya kali ini akan dimanfaatkan untuk merayakan syukuran bersama keluarga atas 25 tahun hidup membiara yang telah dijalaninya dalam kongregasinya itu. Perayaan syukur dilaksanakan pada 30 Juni 2016, sama seperti saya. Kami merayakan syukur pada waktu bersamaan di tempat yang berbeda. Sebuah kebetulan yang terduga.
Seharusnya pada 28 Juni 2016 saya menginap di biara frateran BHK Ndao-Ende, tetapi karena ditinggal pesawat, saya terpaksa harus tertahan di Denpasar, Bali dan menginap di hotel mewah. Saya mengakui, ini pengalaman istimewa dan langka. Saya mendapat kesempatan belajar hal baru tentang mekanisme check in-check out dan tata cara menginap di tempat umum. Hal lainnya adalah apabila saya jadi menginap di biara, itu berarti saya akan sendiri di sana karena para frater saat itu sedang mengikuti retret tahunan. Bisa dibayangkan, seorang diri di biara se-gede itu.
Mobil yang saya tumpangi dari bandara menuju kampung mengalami kemacetan di tanah ulayat nenek moyang. Menurut tetua adat rumah besar, peristiwa itu merupakan “ucapan” selamat datang dari mereka yang sudah berdiam di alam “sana”. Juga mengingatkan saya agar tidak lupa mendoakan keselamatan arwah mereka. Saya mengakui bahwa selama ini saya tidak pernah ingat akan hal ini bahkan berziarah ke tempat peristirahatan terakhir mereka belum sekalipun saya melakukannya.
Ada peristiwa alam yang jarang sekali terjadi di kampung kami. Menurut pengakuan tetua adat rumah besar yang diamini beberapa sanak famili, peristiwa langka itu baru terjadi tiga kali di tiga generasi berbeda. Yang pertama terjadi pada generasi kakek-nenek, sesaat sebelum kakek (bapak dari ibu) menghembuskan nafas terakhir. Peristiwa kedua terjadi persis yang pertama, yaitu saat sebelum salah seorang saudara ibu menghembuskan nafas terakhir. Ini kejadian pada generasi orang tua. Sedangkan peristiwa ketiga terjadi pada generasi saya atau generasi anak. Pada 29 Juni 2016 pagi, secara tiba-tiba angin ribut bertiup sangat kencang seperti badai dan berlangsung hanya sesaat. Peristiwa alam ini terjadi sama persis dengan kejadian pada dua generasi sebelumnya. Saya sendiri menyaksikan kejadian alam ini pada generasi saya ketika saya berada di pastoran, sedang membuat catatan perjalanan pulang saya ini. Angin ribut merupakan peristiwa alam biasa. Namun menjadi tidak biasa karena terjadi pada momen-momen langka. Menurut pengakuan anggota rumah besar, kejadian ini menjadi tanda “kedatangan” para leluhur untuk ikut ambil bagian dalam perayaraan syukur ini, tentu kehadirannya dengan tata cara mereka. Mungkin ini hanyalah buah “refleksi adat” tetapi saya percaya bahwa kuasa Yang Mahatinggi mampu melakukannya, membiarkan para leluhur berkonspirasi dengan alam untuk menyatakan “kehadiran” mereka.
Tidak hanya itu, campur tangan leluhur dalam penyelenggaraan perayaan syukur ini sungguh nyata. Saat pengerjaan panggung mencapai tahap finishing, sehari sebelum hari H, hujan lebat disertai angin kencang melanda kampung kami. Keluarga bersama warga sangat kuatir, apakah perayaan akan bisa berjalan dalam suasana alam seperti itu. Di sinilah para leluhur mengambil alih. Mereka berkonspirasi lagi dengan alam untuk melancarkan acara. Berbagai seremoni adat dilakukan, diantaranya: memberi makan kepada nenek moyang, nyekar dan berdoa di pusara mereka sampai melemparkan pakaian yang pernah saya pakai ke atap rumah. Semua aktivitas budaya ini dilakukan dengan satu intensi mohon partisipasi dan dukungan para leluhur bagi kesuksesan perayaan.
Dan hasilnya sungguh menakjubkan. Cahaya mentari pertama yang menerangi kampung halaman pada hari penyelenggaraan perayaan syukuran itu sungguh luar biasa, terang-benderang dan cerah-ceria. Tanpa segumpal awan pun hari itu sang mentari melintasi cakrawala di atas panggung acara dari terbit hingga terbenamnya. Acara berjalan khusuk, tenang penuh khidmat, lancar dan meriah.
Saya sangat bersyukur karena terlahir sebagai bagian dari gererasi para leluhur saya yang sangat luar biasa. Ungkapan ini saya terisnpirasi dari kata-kata Om saya (saudara mama yang menjadi penanggung jawab utama perayaan itu), dalam suatu kesempatan beliau pernah mengatakan bahwa beliau sudah bersumpah di kubur kakek, bahwa apa pun keadaan alam pada hari H, itu menjadi ukuran kehebatan para leluhur. Kalau mereka tidak “memberi” hari yang cerah untuk kelancaran acara, semua cerita tentang kewibawaan dan nama besar mereka di masa lalu tidak lain hanyalah kisah omong kosong. Saya sempat menangis terharu saat mendengarkan penuturan ini dengan melihat kenyataan yang ada. Ternyata saya sangat dicintai oleh nenek moyang saya yang telah tiada. Mereka sangat medukung pilihan hidup saya.
Saya merasakan hal ini sejak pertama kali masuk kampung dan diterima secara adat. Alunan musik suling dan gendang dan sapaan adat sungguh menyentuh hati. Saya tidak bisa menahan tangis. Air mata kesedihan karena tidak ada seorang ibu yang mendampingi ayah untuk menyaksikan momen istimewa saya ini, air mata karena merasa terharu oleh antusias anggota keluarga besar dan masyarakat yang menyambut kedatangan saya dan air mata kebahagiaan karena merasa diterima dan diakui secara adat yang sakral sebagai bagian dari generasi leluhur yang sangat luar biasa ini. Saya percaya karena mereka sungguh mengasihi saya, mereka mampu bekerjasama dengan alam untuk membersembahkan hari yang indah demi kelancaran dan kesuksesan perayaan syukur kaul kekal saya. Sekali lagi, ini hanyalah “refleksi adat” tanpa mengabaikan kuasa Sang Ilahi yang mengatur dan mengendalikan alam semesta ini.
Saya menulis refleksi atas pengalaman pulang saya kali ini di sini, di rumah Oro Oro Dowo 58 Malang, tempat tinggal saya saat ini. Waktu kini tepat pukul 12.00 WIB, pada 29 Agustus 2016. Saya menulis ini untuk mengenang kembali peristiwa penyambutan secara adat saat memasuki kampung halaman dan perayaan syukuran kaul kekal saya tepat dua bulan yang lalu.
Readmore → Pulang