Salah satu seremoni yang menjadi bagian dari rangkaian perayaan syukur kaul
kekal saya beberapa waktu lalu adalah acara penjemputan oleh pihak keluarga.
Keluarga menjemput saya di pastoran Paroki St. Maria Bunda Karmel Rajawawo,
tempat saya menginap sehari sebelum perayaan syukur dilaksanakan. Acara ini
dilakukan dengan latar belakang oleh alasan karena saya yang telah memilih
hidup membiara, apalagi sudah berkaul kekal, saya sudah menjadi milik biara
dimana saya bergabung. Saya bukan milik keluarga lagi. Oleh karena itu, ketika
saya kembali untuk mengadakan acara besar di “rumah besar” dan tanah leluhur, saya perlu diterima kembali secara
adat.
Selain itu, ada alasan lain yang lebih mendasar, berkaitan dengan budaya
dan hukum perkawinan yang berlaku di daerah kami yaitu sistem perkawinan keluar
bagi anak perempuan. Artinya setiap anak perempuan yang sudah bersuami akan
pergi dari rumah orang tuanya untuk hidup bersama suami dalam lingkungan
keluarga suami. Konsekuensinya adalah sang anak dan keturunannya tidak
mendapatkan jatah warisan dari orang tuanya kecuali ada perjanjian di antara
orang tua dan sanak saudaranya. Apabila sang anak bersama suami dan
anak-anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya, mereka akan diterima sebagai
tamu. Hukum adat ini juga berlaku bagi saya.
Dalam permenungan dan refleksi saya secara pribadi atas seluruh perjalanan
hidup saya (kami) semenjak ibu meninggal dunia, dimana kami dibesarkan oleh
nenek dan sanak keluarga ibu dan ibu juga meninggal di rumah orang tuanya, maka
saya memutuskan agar syukuran kaul kekal saya dilakukan di “rumah besar”, rumah
dimana ibu menitipkan kami saat kepergiannya. Tetapi karena secara adat saya
bukan generasi sah rumah besar dan tanah leluhur dari pihak ibu, maka saya
perlu melewati seremoni adat sebagai bentuk legitimasi bahwa saya boleh
merayakan syukur itu di rumah besar dan tanah leluhur ibu. Proses penerimaan
kembali secara sah menurut adat ini disebut dengan bhea, berupa rangkain kata dan ungkapan adat yang disampaikan
secara langsung pada seremoni penyambutan. Secara harafia, bhea berarti menyapa, menegur atau menyambut dengan kata-kata.
Di bawah ini saya mencatat rangkaian kata bhea yang diucapkan pada waktu seremoni penjemputan saat itu. Tokoh
yang didapuk sebagai penyampai bhea dalam
acara tersebut adalah salah seorang sesepuh dalam keluarga besar ibu yang
sungguh memahami perjalanan hidup saya. Kata-kata itu demikian:
Mai mbeja si, sea sawe
ke’embu ne’e weta ane,
ne’e ebe ‘ta ari ka’e.
O Ngga’e... Kau pati pawe.
Dewa... Kau ‘ta ngai sia, pati ‘ka
ndeka ana Ria
Nua ne’e Weo, miu pera pawe,
Ria ana jadi mbaze
Juma ne’e Gete, miu iwa senggo
se, ne’e ebe sanua merhe
Miu kema sama ne’e Ria ana,
mesu miu jodho, Ria sadha rheze wozo,
mesu miu tuke, embu Ria ‘mu
jembu ‘ka ndetu
Toma baba ndoa, Isa ine ria, kau
pemba pawe
Toma, kau äko iwa rhewo bhazo
Ine Isa ne’e öla Tina, miu bagi
wi’a ‘ka ndeka dunia ne’e kami ndia
Ine e... mesu uzumu du ‘ka
nutu, zimamu tika ‘ka Ia,
miu wezu ‘ka ebe ari ndia ndeka
dunia
Oni e... ka’e ndoa, kau poro
poa, zu kau mai,
kau nggae wa’ai tau pagha ebe
ari, eze mbepu öra kau eru,
kau jaga pawe-pawe, taku ebe
ari ozo mbepu, ebe ozo mbana nggae,
ndeka tiko za’e, ozo imu ozo
iwa pati pawe
Embu... miu ‘ta wezu ‘ka, miu
‘ta pati ‘ka, miu ‘ta ti’i ‘ka
Ti’i miu iwa ‘ka wiki, miu so
pati iwa zai.
Kami ono sama, miu pati ja si,
frate ana wai nuka ‘ka nua ‘ki,
wai tama ‘ka manga
Ine nua ne’e baba oza, kami ono
woso ne’e rhina kapa,
miu pio si, frate ana ‘wi tama
Frate nai ‘ka ndeka puu tangi,
frate tika ‘ka ndeka tenda,
kai tama ‘ka ndeka sa’o ko nene
Epu ne’e Pama.
Selu... Odja... mame ndoa,kami
ono woso, miu ma’e si oka poja,
miu mai sesama si ne’e ate
masa, Ria ana kema ‘ki wi iwa du da
Mai mbeja si kita, ine ame,
rheze rheu wozo rhaze,
kita wi pongga ‘ka zamba, rupi
‘ka heko, Ria ana wi pao tau rhizi sa’o
Pongga si zamba, rupi si heko!
Berikut ini saya akan menguaraikan poin-poin apa saja yang diungkapan dalam
kata-kata bhea di atas. Poin pertama,
sebagaimana sebuah acara bersama dalam masyarakat pada umumnya, bhea diawali dengan mengajak semua
komponen keluarga besar dan warga masyarakat untuk ikut dalam seremoni ini.
Selanjutnya bersama keluarga besar yang hadir, sang penyampai mengajak semuanya
untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas segala kebaikan dan anugerah yang
telah diberikan kepada yubilaris, dalam hal ini saya.
Siapa pun saya dengan cerita masa kecil yang agak langka itu, saya tetap bagian
dari keturunan nenek moyang bapak saya. Maka, selayaknya sumbangsih mereka
melalui doa-doa dari tangan yang tak terlihat dan suara yang tak terdengar dari
alam “sana” patut mendapat porsi untuk diapresiasi. Apresiasi selanjutnya tentu
disampaikan kepada orang tua saya, bapak dan ibu bersama seorang ibu lagi dari
perkawinan kedua bapak, yang keduanya kini telah kembali ke Rumah Bapa. Sesosok
pribadi yang juga diangkat oleh penyampai bhea
tersebut adalah kakak saya yang sulung. Bagaimana perannya sebagai “orang tua”
bagi kami adik-adiknya dengan litani pengorbanan yang dilakoninya dalam
hidupnya mendapat sorotan sang sesepuh melalui kata-katanya.
Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa inti seremoni adat ini adalah
mengesahkan kehadiran saya di “rumah besar” dalam rangka merayakan syukur kaul
kekal, maka pada bagian ini sang penyampai bhea
mengutarakan maksud itu. Beliau meminta kerelaan seluruh komponen “rumah besar”
yang terdiri dari para leluhur, nenek moyang, tetua adat dan warga masyarakat
dan khususnya kedua saudara ibu yang menjadi “pemimpin sah” di rumah besar kami
agar mereka semua berkenan mengijinkan saya “masuk” atau “kembali” ke rumah
besar untuk merayakan pesta syukuran tersebut. Melalui penyampaian ini yang
selanjutnya saya diberi kalungan kain tenunan adat oleh perwakilan keluarga,
maka saya telah sah menjadi bagian dari anggota rumah besar dan boleh
melangsungkan pesta. Selanjutnya sang penyampai mengajak semua yang hadir dan
menyaksikan seremoni itu untuk mengiringi saya menuju rumah besar. Arak-arakan
diiringi dengan musik suling dan gendang. Di depan rumah saya mendapat siraman
dengan air di kaki sebagai ucapan selamat memasuki rumah besar.
Secara pribadi saya sangat berkesan dengan seremoni tersebut. Perasaan
sedih dan terharu sangat mendominasi. Saya sedih karena momen yang sangat
bahagia dan istimewa ini tidak disaksikan oleh orang yang sangat saya sayangi,
ibu saya. Saya merasa sangat kehilangan dan hati saya serasa sangat sedih
ketika nama ibu disebut saat menyampaikan bhea.
Saya juga merasa terharu akan peran serta seluruh anggota keluarga besar.
Mereka menyambut saya secara meriah dengan tata cara adat yang begitu sakral.
Gegap gempita suara musik suling dan gendang yang mengiringi saya dengan
suguhan tarian penjemputan oleh sekelompok gadis remaja membuat senja itu
begitu indah, agung dan tak terlupakan. Air mata saya tak kuasa dibendung.
Tangisan oleh karena sedih dan terharu menyatu dengan suasana yang begitu
syahdu. Kesan ini juga diungkapkan oleh seorang konfrater yang mendampingi saya
bersama sang gembala, pastor paroki.
Berangkat dari pengalaman ini, saya berpendapat bahwa
kesakralan tata cara adat sungguh memberi kekuatan. Keagungannya menjadi daya
yang turut memberi andil bagi seseorang untuk setia. Saya merasa sangat
bersyukur karena saya memiliki keluarga dan budaya yang berwibawa. Momen ini
memberi saya kekuatan untuk menyongsong hari esok di perjalanan hidup panggilan
saya. Saya merasa didukung oleh keluarga besar saya dalam menjalani pilihan
hidup saya sebagai seorang biarawan, frater Bunda Hati Kudus. Hormat yang
setinggi-tingginya dan limpahan terima kasih saya haturkan kepada seluruh
anggota keluarga besar dan para leluhur yang dengan penuh cinta telah
memberikan yang terbaik bagi saya.