Salah satu aspek esensial dari kehidupan manusia sebagai
makhluk sosial (homo socius) adalah adanya keinginan untuk selalu berinteraksi
dengan sesamanya. Keinginan ini juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap
pribadi normal secara naluriah selalu berusaha menjalin relasi dengan pribadi
lain dalam kehidupannya sehari-hari. Konsekuensi perjalinan antar manusia
tersebut terciptalah momen-momen yang memberi ruang setiap pribadi untuk berada
bersama pribadi lain pada saat dan tempat tertentu. Maka terjadilah acara-acara
bersama seperti perayaan bersama, diskusi, olahraga, berdoa, rekreasi, makan
bersama, dan sebagainya.
Bagi kita yang menghayati hidup membiara, aspek ini
merupakan salah satu poin penting yang perlu diperhatikan. Hidup bersama dengan
orang lain terutama saudara sepanggilan adalah sebuah tuntutan. Ia menjadi
salah satu aspek esensial dalam kehidupan kita selain hidup doa, hidup karya
dan penghayatan kaul-kaul. Salah satu aktivitas penting dalam aspek hidup
bersama di dalam biara adalah makan bersama.
Kesetian untuk membangun hidup membiara tidak terlepas
dari kesetiaan kita pada momen-momen yang mendukungnya. Salah satu momen itu
adalah makan bersama. Setiap komunitas biara, sama seperti rumah tangga pada
umumnya selalu dilengkapi dengan kamar makan. Ini adalah fasilitas standar yang
idealnya wajib ada di setiap komunitas biara.
Bagi kita para pelaku hidup bersama dalam biara, kamar
makan adalah tempat kita bertemu, berbagi pengalaman, sharing gagasan, berdiskusi sambil menikmati makan bersama. Setiap
anggota komunitas pasti sibuk dengan tugas dan tanggung jawab serta urusan
pribadinya. Kita jarang bertemu karena waktu kita sebagian besar dihabiskan
pada tempat pelayanan kita masing-masing. Oleh karena itu kamar makan dan makan
bersama merupakan tempat dan kesempatan yang ideal untuk bertemu dan berbagi
tentang banyak hal yang kita alami.
Kamar makan adalah ruang diskusi yang nyaman. Sambil
menikmati santapan yang dihidangkan, setiap pribadi bisa berbagi ide atau
gagasan untuk didiskusikan. Memberi tanggapan, mengajukan pertanyaan, menimpali
dan mendiskusikannya secara lebih mendalam membuat kamar makan menjadi lebih
“hidup”. Kita akan menuai fungsi ganda dari kamar makan, kebutuhan jasmaniah
terpenuhi dan kesegaran intelektual kita tetap terjaga karena setiap diskusi
yang dilakukan menuntut otak kita untuk terus bekerja.
Kamar makan juga bisa menjadi ruang “konseling”. Berbagai
arahan, wejangan dan petuah bijak, saling mengingatkan dan mengoreksi bisa
dilakukan di kamar makan. Yang yunior bisa belajar dari yang senior melalui
cerita tentang kebijaksanaan hidup yang telah dilakoni sepanjang hidupnya. Yang
senior bisa membuka diri untuk menerima realita bahwa zaman sudah maju, segala
sesuatu sudah berubah dan kini menjadi “dunia”-nya para yunior. Semua hal itu
bisa terjadi di kamar makan melalui komunikasi yang dialogis.
Melihat kemungkinan-kemungkinan yang telah diuraikan,
kita dapat menyimpulkan bahwa selain sebagai tempat kita menyantap makanan
jasmani, kamar makan juga menjadi tempat dimana kita bisa menimba berbagai poin
spiritual yang dibutuhkan dalam hidup bersama kita. Hal sama kita bisa temukan
dalam cerita kitab suci. Salah satunya adalah kisah Malam Perjamuan terakhir
Yesus bersama para murid-Nya. Melalui peristiwa itu, kita bisa memaknai
spritualitas kamar makan yang ditunjukkan oleh Yesus dan murid-murid-Nya. Ada
dialog di antara mereka, ada tanggapan dan pertanyaan, ada sanggahan dan saling
menimpali. Ada amanat tentang cinta kasih, pelayanan dan kerendahan hati,
bahkan ada “curhat”tentang saat-saat terakhir Yesus bersama para murid sebelum
kisah sengsara-Nya juga diungkapkan di kamar makan pada perjamuan itu. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa kamar makan adalah ruang spititualitas bagi
mereka yang ada di dalamnya.
Tentu bukanlah hal mudah untuk mencapainya. Spiritualitas
kamar makan berkaitan erat dengan membangun persaudaraan yang memang tidak
selalu mudah bagi beberapa orang. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kita
sulit membangun persaudaraan dalam komunitas. Hal-hal tersebut seperti yang
ditulis oleh Paul Suparno, SJ dalam sebuah artikelnya, antara lain: Pertama, kita merasa tersakiti oleh
teman sekomunitas dan merasa tidak mungkin lagi disembuhkan. Kedua, kita merasa tidak cocok dengan
teman kita karena perbedaan watak dan sikap. Ketiga, kesombongan diri, dendam dan sikap diskriminasi yang kita
miliki. Keempat, benci karena pernah direndahkan
atau tidak didengarkan. Kelima, ingin
menjadikan orang lain seperti diriku.
Hal-hal tersebut sangat mengganggu kehidupan bersama kita
dalam biara. Kamar makan yang seharusnya menjadi ruang menghidupi semangat
persaudaraan menjadi tempat yang tidak nyaman dan ingin dihindari. Beberapa
anggota ada di kamar makan hanya karena sudah waktunya makan sebagaimana
tercantum pada acara harian. Sekedar ada karena rutinitas dan ingin cepat-cepat
pergi dari kamar makan bahkan ada yang berusaha mencari kesibukan untuk
menghindari acara makan bersama. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap rendah hati,
saling memberi dan menerima, saling menghargai dan saling mengasihi. Adanya
keterbukaan untuk mau berbagi dan kerelaan untuk mau mendengarkan.
Kita perlu sadar bahwa dalam komunitas, kita tidak dapat
memilih teman yang cocok; yang mudah membuka diri; atau yang memiliki kesukaan
yang sama. Dalam perbedaan suku, karakter, latar belakang budaya, kita
disatukan dalam sebuah komunitas. Tuhanlah yang telah memanggil dan menyatukan
kita. Maka, yang perlu dikembangkan dalam diri kita adalah keterbukaan hati
agar kasih Tuhan berkembang dalam diri kita, sehingga kita juga rela menerima
dan mengasihi saudara-saudara kita sekomunitas apa adanya mereka. Dalam Injil,
Yesus mengajak kita untuk menjadi sahabat-Nya. Itu berarti kita juga hendaknya
menjadi sahabat bagi orang lain, bagi teman-teman sekomunitas karena mereka
juga sahabat Yesus.
Kita juga perlu membangun persaudaran di komunitas
dengan mengembangkan afeksi dan perhatian kepada sesama saudara sekomunitas.
Tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan di kamar makan seperti memberi ucapan,
menyapa dan memberi perhatian adalah sangat penting karena melaluinya kita
menjadikan saudara kita bernilai dan berharga bagi kita. Suasana komunitas
terasa saling mendukung, akrab dan terbuka. Hal ini dapat membantu setiap
anggota untuk berani membuka diri, jujur satu dengan yang lain dan semangat
persaudaraan semakin kuat. Setiap anggota dengan penuh gembira dan damai akan selalu
berupaya menciptakan kehidupan bersama yang rukun. Dengan demikian, kamar makan
menjadi tempat yang hangat untuk membagi persaudaraan dengan anggota yang lain,
selain sebagai ruang diskusi atau ruang “konseling”seperti yang telah diuraikan
di atas.