Wednesday, 31 August 2016

Menjadi Guru yang Berbelaskasih

Sebagai sebuah komunitas religius, kita ingin ikut ambil bagian dalam kerangka gerakan bersama Gereja secara universal untuk mengisi tahun Yubileum Kerahiman Ilahi. Seperti yang sudah kita ketahui, Bapa Suci Paus Fransiskus melalui bulla yang berjudul Misericordiae Vultus atau Wajah Kerahiman telah menetapkan tahun Yubileum Kerahiman Ilahi yang dibuka pada 8 Desember 2015, pada Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda, sampai nanti akan ditutup pada 20 November 2016, pada Hari Raya Kristus Raja Semeta Alam. Tema tahun kerahiman ilahi ini adalah “Bermurah hati seperti Bapa.” Tujuannya sangat jelas yaitu sebagai undangan untuk mengikuti teladan Bapa yang murah hati yang meminta kita tidak menghakimi atau menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas.
Berangkat dari gagasan tersebut, melalui ulasan ini saya ingin mengajak kita semua, khususnya yang terpanggil menjadi seorang pendidik untuk merenungkan apa hubungan spirit tahun kerahiman ilahi dengan kerahiman seorang guru.

Sebuah kisah inspiratif yang dikutip dari sebuah laman web dengan alamat http://pijar.net/kisah-inspiratif-guru-bijaksana-yang-merubah-murid-bodoh-menjadi-pintar/ di bawah ini akan mengantar kita untuk merenungkan gagasan tersebut:

Guru Bijaksana
Yang Merubah Murid Bodoh Menjadi Pintar

Ada seorang guru pengganti memasuki ruangan kelas di sebuah Sekolah Dasar. Guru itu akan menggantikan guru kelas yang sedang cuti sampai akhir semester ini. Ia memulai pembelajaran di kelas itu. Ketika ia bertanya pada seorang murid laki-laki yang duduk di bangku depan, ia bingung karena tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Murid-murid lain tertawa tanpa sebab.
Karena sudah kenyang dengan pengalaman mengajar, ia paham betul, pastilah ada sesuatu yang ditertawakan oleh anak-anak di kelas itu pada diri anak laki-laki yang ditanya olehnya tadi. Setelah diselidiki ternyata anak laki-laki itu dikenal sebagai murid yang paling bodoh di kelas itu. Teman-temannya begitu meremehkan dia sehingga sering mengolok-olok dan mentertawakannya.
Suatu hari seusai pelajaran ia memanggil murid yang dianggap bodoh itu setelah seluruh teman-temannya pulang. Ia berkata sambil memberikan secarik kertas, “hafalkan baik-baik bait-bait syair yang ada di kertas ini, harus hafal betul dan ingat jangan engkau beritahukan kepada teman-temanmu, siapapun!”
Murid itu mengangguk patuh. Seminggu kemudian, guru menyampaikan pelajaran baru di kelas itu. Ia menulis syair di papan tulis, menerangkannya dan membacakannya berulang-ulang, setelah itu ia berkata,“nah sekarang siapa yang hafal bait-bait syair ini?” Dia bertanya sambil perlahan ia menghapus tulisan syair itu di papan tulis. Tak seorang murid pun mengangkat tangan kecuali murid yang dikenal bodoh oleh teman-temannya itu. Perlahan, malu-malu ia berdiri dan menghafalkan bait-bait syair itu. Hafalan yang lancar sekali. Teman-temannya yang biasa mengolok-olok dan mentertawakan dia, semua terkejut dan terdiam. Guru itu memujinya dan menyuruh teman-temannya untuk bertepuk tangan menghormatinya.
Demikianlah berulang kali guru pengganti ini memberikan kertas hafalan-hafalan kepada si murid bodoh itu. Tertawaan dan cemoohan teman-temannya kini berubah menjadi kekaguman padanya. Hal ini mendorong perubahan besar pada jiwa si murid itu. Ia mulai percaya diri dan meyakini bahwa dia tidaklah bodoh. Ia merasa mampu untuk bersaing dengan teman-teman sekelasnya. Perubahan ini mendorongnya untuk semangat dan bersungguh-sungguh belajar di semua mata pelajaran.
Ketika ujian akhir tiba, murid ini berhasil lulus untuk setiap mata pelajaran dengan nilai yang sangat memuaskan. Mantan si murid bodoh itu kini sedang mengejar gelar doktor di sebuah universitas ternama di kotanya. Kisah ini dia tulis di sebuah koran sebagai pujian untuk gurunya dan sebagai doa agar gurunya itu beroleh pahala dari Tuhan oleh karena kebaikan dan jasa-jasanya.

Penggalan kisah inspiratif ini memberi catatan kepada kita, bahwa ada dua figur guru: yang pertama adalah figur guru yang membuka jalan kebaikan dan menutup jalan keburukan. Guru seperti ini akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya. Dia tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya. Sementara figur guru yang kedua adalah guru yang membuka jalan keburukan, menutup jalan kebaikan. Guru seperti ini akan selalu memutuskan harapan dan cita-cita. Ia selalu menebar duri dan kerikil di jalan yang akan dilalui murid-muridnya berupa pesimisme, putus asa, curiga, buruk sangka, dan berbagai hal yang memadamkan semangat para muridnya.

Dalam hubungannya dengan profesi guru, Bapa pendiri kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman pernah berkata demikian: Saya memerlukan frater-frater yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya pendidikan dan pembentukan kaum muda. Saya memerlukan biarawan-biarawan yang rajin, yang unggul dalam kebijaksaan dan kepandaian, dijiwai oleh suatu itikat yang murni dan dipenuhi oleh cinta kasih dalam secara total untuk tugas yang diberikan oleh pembesar kepada mereka. Saya membutuhkan pria yang sanggup menanamkan pada murid-murid yang dipercayakan kepada mereka, kebenaran-kebenaran utama ajaran agama dan moral Katolik, dan dengan perantaraan mereka, mengajar bagaimana kebenaran-kebenaran itu harus dipraktekkan dalam segala segi kehidupan. Singkatnya, saya membutuhkan guru-guru yang rajin, yang sanggup membentuk akhlak beragama. Guru-rugu yang mampu membantu murid-murid itu, agar mencapai kebahagiaan sementara dan abadi sehingga hati dan budi mereka diresapi oleh sikap iman, harapan dan cinta kasih.” Secara sederhana, amanat sang Pendiri di atas dapat dikatakan bahwa beliau memerlukan frater, biarawan, dan guru dengan seabrek kualifikasi dan potensi yang harus dimiliki.

Dalam kenyataannya, kita mendengar cerita yang dituturkan para pendahulu, bahwa ada sejumlah frater yang hebat pada masanya. Frater yang sungguh menguasai bidangnya. Frater yang sungguh menjadi seorang guru yang bijaksana, disiplin, pandai, rajin dan mengispirasi. Ada frater yang begitu mengasihi anak didiknya. Penuh gembira mendidik, membimbing, menemani murid-murid yang dipercayakan kepada mereka. Mereka tidak kasar, tidak pukul, tidak menghakimi tetapi dengan sabar dan penuh dedikasi memberi kasih dan perhatian demi tumbuh kembang dan kesuksesan anak didiknya. Mereka sungguh menjadi frater, biarawan dan guru yang mampu menerjemahkan amanat pendiri dalam hidup dan tugas perutusan yang diembannya. Karya pelayanan dan cara hidup mereka menjadi kisah inspiratif bagi begitu banyak orang yang pernah mereka didik dan mereka dikenal dan dikenang hingga kini.

Namun, kita juga perlu dengan jujur mengakui bahwa di antara cerita kehebatan para frater itu, ada juga sosok frater yang menakutkan, ada frater yang tidak disiplin, keras, tempramental, tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi anak-anak didiknya, mereka dikenang sebagai frater, biarawan dan seorang guru yang kasar dan suka tempeleng. Jadi mereka diingat karena kerasnya bukan karena kebaikannya.

Mungkin kita pernah membaca, mendengar atau bahkan kita sendiri melihat dan mengalaminya. Pada zaman ini, pendidikan di sekolah-sekolah Katolik mengalami penurunan baik mutu atau kualitas maupun jumlah murid. Dari urain berbagai buku, tulisan atau pemaparan lisan, kita menemukan ada berbagai faktor yang mendasari problematika itu, di antaranya: SDM guru dan staf pendidikan, strategi manajemen, sarana dan prasarana, sumber dana, sistem kurikulum dan program pemerintah, sistem pembelajaran, persaingan antar sekolah, peran masyarakat dan partisipasi instansi terkait dan sebagainya. Namun, ada tuntutan yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan Katolik bahwa sekolah Katolik jangan pernah menanggalkan nuansa katoliksitasnya. Jangan pernah menghilangkan tradisi mengajarkan nilai-nilai kristiani terhadap peserta didik dalam seluruh aktivitas kelas walaupun agama dan kepercayaannya berbeda. Sekolah Katolik harus tegas tetapi dengan landasan budaya kasih. Sekolah Katolik harus menjadi garda terdepan dalam mencapai apa yang menjadi hakekat pendidikan, yaitu mengubah yang kasar menjadi halus, mengubah yang kotor menjadi bersih, mengubah yang bodoh menjadi pintar dan berakhlak, dan menjadikan seorang pribadi menjadi manusia yang beradab. Ketegasan dan kasih inilah yang meninggalkan kesan-kesan untuk sebagian besar alumni yang pernah bersekolah di sekolah Katolik bahwa pendidikan itu telah memanusiakan mereka.

Orang tua tentu saja mengharapkan anaknya supaya menjadi pribadi yang seimbang antara rohani dan jasmani. Pertimbangan ini membawa akibat logis, bagaimana memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Memilih sekolah Katolik yang baik dan bermutu adalah ideal bagi keluarga-keluarga Katolik karena sekolah seperti ini pasti tidak hanya akan memperhatikan kualitas pendidikan duniawi, tetapi juga memperhatikan perkembangan iman anak. Kalau anak tidak beriman pastilah akan menjadi anak yang sombong, walaupun pandai. Selanjutnya anak seperti itu tidak pernah akan bersyukur karena dia merasa bahwa apa yang ada pada dirinya adalah miliknya sendiri. Ia menjadi sulit menghargai orang lain.

Itulah tantangan sekaligus peluang bagi sekolah-sekolah Katolik untuk hadir di masyarakat demi memenuhi kerinduan dan harapan orang tua. Para frater yang berkarya di sekolah, bapak-ibu guru dan staf kependidikan bekerja keras mengelola sekolah-sekolah itu. Bagaimana mereka berusaha untuk tidak meninggalkan aura Kekatolikan dengan mengajarkan iman Katolik di sekolah, mereka berusaha mewartakan nilai-nilai kristiani melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah, mereka berusaha tegas tetapi tetap dengan landasan budaya kasih. Demikianlah mereka menjadi guru dan pendidik yang mampu menghadirkan wajah Gereja di lembaga pendidikan. Wajah Gereja yang adalah wajah Allah sendiri, wajah yang memerdekakan dan membebaskan anak-anak dari belenggu kebodohan, dari penderitaan akan kemiskinan kasih dan perhatian dan dari kegalauan oleh karena tekanan degradasi nilai dan akhlak mulia. Wajah Allah yang tidak menghakimi tetapi penuh belas kasih dan pengampunan yang tanpa batas.

Kita bersyukur karena di tengah hiruk-pikuk dunia ini khususnya di medan pelayanan di bidang pendidikan oleh karena berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapinya, Allah hadir dengan wajah kerahiman-Nya yang membebaskan. Spirit kehadiran Allah di tahun kerahiman ilahi yang ditetapkan Bapa Suci yaitu murah hati seperti Bapa yang memberi kasih dan pengampunan yang tanpa batas menjadi roh yang menggerakan para frater yang berkarya di sekolah bersama bapa-ibu guru untuk memperlihatkan wajah-wajah guru yang berbelaskasih, yang senantiasa membuka jalan kebaikan untuk menutup jalan keburukan; yang akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya; yang tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya, sebagaimana digambarkan melalui sosok guru inspiratif dalam cerita di atas. Dengan berpedoman pada landasan spiritualitas tahun kerahiman ilahi ini juga, mereka terdorong untuk menjadi guru-guru yang berbelaskasih yang mampu menerjemahkan anamat Bapa pendiri kongregasi Frater BHK melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah.

Bagi mereka yang dalam kapasitasnya sebagai skate holder, pemilik dan pemangku kepentingan bagi sekolah-sekolah itu, mereka berperan penting bagi tumbuh kembang dan kelangsungan hidup sekolah-sekolah tersebut. Mereka bertanggung jawab sebagai penjamin mutu sekolah-sekolah itu melalui berbagai aturan dan kebijakan yang dibuat. Kiranya rahmat tahun kerahiman ilahi ini memampukan mereka untuk hadir sebagai tokoh dengan wajah yang penuh rahim untuk menggambarkan hatinya yang peduli atas semua hal yang terjadi di lembaga pendidikan. Tindakan nyata Sang Guru dan Tuhan kita, Yesus Kristus yang membasuh kaki para murid-Nya, semoga menjadi inspirasi dan suri teladan bagi mereka dalam menjadi guru, frater, dan biarawan yang berspiritualitas pelayan. Tentu sesuai dengan tanggung jawab, tugas perutusan dan dalam kapasitasnya masing-masing. Mari kita menjadi guru yang berbelaskasih dengan menghayati spiritualitas tahun kerahiman ilahi di medan pelayanan kita masing-masing. Kita perlu mulai dengan menjadi guru yang berbelaskasih bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang berkarya bersama kita dan selanjutnya bagi mereka yang dipercayakan kepada kita. Semoga teladan Sang Guru dan Tuhan kita, amanat pendiri dan spirit tahun kerahiman ilahi menjadi roh yang menjiwai cara hidup dan karya pelayanan kita. Amin.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment