Senyaman apa pun kau berada di tempat orang, tidak akan bisa menggantikan
kehangatan rumahmu sendiri. Seberapa pun jauhnya kau pergi, rumahmu akan selalu “memanggil”mu pulang. Rumah adalah
api yang mengobarkan jiwamu, nafas yang menyambung nyawamu. Rumah adalah
hidupmu sendiri. Oleh karena itu, perjalanan kembali ke rumah adalah perjalanan
pulang menuju sumber kehidupan. Ia menjadi momen yang paling indah dan
dirindukan. Tulisan di bawah ini adalah catatan sharing pengalaman saya tentang perjalanan pulang ke rumah. Saya
tertarik untuk menulisnnya oleh karena pengalaman langka yang saya alami.
Tahun 2016 ini, sesuai aturan kongregasi, saya mendapat jatah liburan
selama dua minggu tidak termasuk waktu perjalanan. Liburan kali ini terasa
istimewa karena saya mengisinya dengan perayaan syukur kaul kekal saya bersama
keluarga besar. Jauh-jauh hari saya sudah merencanakannya. Jadual cuti saya
berlangsung sejak 27 Juni 2016 berangkat dari Malang, tempat tugas saya sekarang
hingga 14 Juli 2016 saya kembali lagi ke tempat saya berdomisili itu.
Senin, 27 Juni 2016 pagi, bersama seorang frater, saya berangkat dari
Malang menuju Bandara Internasional Juanda Surabaya. Menurut schedule, pesawat yang akan saya
tumpangi menuju Denpasar, Bali berangkat pada 10.15 WIB. Pada 12.00 WIB lewat, pesawat
baru bisa berangkat. Itu berarti, kurang lebih 2 jam saya mengalami delay. Pada saat melakukan urusan
administrasi bagi kami, penumpang transit, ketika itu saya baru tahu bahwa
pesawat yang seharusnya akan membawa saya pada 12.50 WITA menuju Ende, sudah take off. Saya bersama kakak dan seorang
suster ketinggalan pesawat. Petugas berusah memberi penjelasan dan meminta maaf
atas keterlambatan ini dengan berbagai argumen yang mendasarinya. Apa pun
alasan yang disampaikan, kami meresponnya dengan marah. Kami merasa kacewa
dengan maskapai penerbangan itu karena kami bertiga ditinggalkan bukan karena
kesalahan kami. Kami yang memiliki tiket langsung (connect) dari Surabaya menuju Ende. Berbagai upaya komunikasi telah
kami lakukan tetapi tetap saja hari itu, kami tidak bisa diberangkatkan ke
tempat tujuan. Kami terpaksa menginap di Denpasar, Bali dengan fasilitas
perjalanan dan akomodasi ditanggung pihak maskapai.
Pukul 09.30 WITA, kami check out
dari hotel dan diantar ke bandara. Urusan check
in kami lakukan sebelum waktunya mengingat kami adalah penumpang “khusus”
karena peristiwa kemarin itu. Petugas mengurusi dengan baik dan cepat. Sebelum
menuju ruang tunggu, kami mampir makan
siang di rumah makan sekitar bandara.
Perjalanan nyaman dan aman kami tempuh selama 1 jam dan 30 menit menuju
Bandara Komodo, Labuan Bajo. Masalah lain lagi terjadi di tempat ini. Biasanya
para penumpang yang menuju Ende tidak turun menuju ruang tunggu, tetap berada
dalam pesawat selama 30 menit sambil menunggu para penumpang naik pesawat yang
sama menuju Kupang. Namun, kali ini kami harus turun menuju ke terminal (ruang
tunggu) setelah mendapat informasi dari seorang pramugari bahwa pesawat belum
bisa langsung menuju Ende karena cuaca buruk. Sekitar 1 jam kami berada dalam
gedung terminal.
“Welcome to Ende”, kata saya berbasa-basi dengan seorang penumpang warga negara asing yang
dibalasnya dengan senyum manis kepunyaannya sembari berkata “thank you”. Gapura selamat datang di
Bandara Haji Hasan Aroebusman menyambut kedatangan para penumpang pesawat. Saya
sudah tiba di Ende, kota kelahiran saya dengan sehat dan selamat tepat pukul
17.10 WITA setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dari Labuan Bajo.
Perjalanan selanjutnya bersama seorang sanak kekuarga yang menjemput, saya menuju
biara frateran St. Aloysius, Ndao Ende. Ini adalah satu-satunya komunitas frater
Bunda Hati Kudus di kota yang menjadi tempat sang proklamator kemerdekaan,
Soekarno merenungkan kelima butir Pancasila semasa pengasingannya di tempat
ini. Saya hanya mampir sebentar untuk
memohon pamit pada salah seorang frater anggota komunitas bahwa saya langsung
menuju ke kampung.
Pukul 18.00 WITA, kami berangkat. Perjalanan yang seharusnya membutuhkan
waktu sekitar hanya 1 jam menuju pusat paroki, tempat saya akan menginap selama
semalam terpaksa menjadi sekitar 4 jam lamanya karena terjadi masalah dengan
kendaraan yang saya tumpangi. Roda belakang sebelah kiri pecah. Dalam situasi
alam yang sudah gelap masalah itu harus segera diatasi, menggatinya dengan roda
serep yang memang selalu dibawa. Masalah belum selesai di situ. Setelah
berjalan sekitar 50-an meter, mobil tidak bisa bergerak maju karena tertahan
tanah berlumpur pada posisi jalan miring. Kemudian mesinnya mati. Rupanya
kendaraan ini bermasalah pada accu-nya
yang berakibat tidak bisa dinyalakan lagi. Berbagai upaya coba diusahakan
dengan bantuan saudara yang rumahnya berada di sekitar lokasi. Juga sanak
keluarga yang sudah ada di pusat paroki, turun membantu. Mereka datang dengan
mobil pick up dan dum track. Masalah yang kami alami bisa
teratasi berkat bantuan mereka. Mobil yang kami pakai itu akhirnya ditarik
menggunakan dum track lalu dititipkan
di kampung terdekat. Selanjutnya kami menuju ke pusat paroki menggunakan mobil pick up.
Sekitar pukul 22.00 Wita, kami tiba di pastoran yang disambut romo paroki,
seorang frater yang sedang menjadi tahun orientasi pastoral (TOP) dan keluarga.
Saya menginap di pusat paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo ini selama
semalam. Besoknya, 29 Juni 2016, pada pukul 15.00 akan dijemput oleh keluarga
menuju kampung halaman saya, namanya Kekadori. Acara penjemputan dilakukan
secara adat dengan iringan musik suling dan gendang (alat musik daerah). Romo
paroki bersama frater M. Christoforus BHK ikut ambil bagian untuk mendampingi saya.
Rangkaian acara ini adalah bagian dari perayaan syukur kaul kekal saya yang
dilaksanakan pada 30 Juni 2016 di kampung Kekadori.
Catatan perjalanan ini saya tulis di pastoran dengan view kota Ende yang mengapit Laut Sawu dan Pulau Ende dipandang dari
belakang kamar tidur saya. Saya menulisnya untuk mengisi waktu kosong sebelum
seremoni penjemputan dilakukan. Saat ini di Rajawawo pukul 13.00, 29 Juni 2016.
***
Agenda utama momen pulang saya kali ini adalah untuk merayakan syukuran
bersama keluarga atas kaul kekal saya yang sudah dilaksanakan pada 28 Mei 2016
di Maumere. Demikian pula seorang suster yang ikut ditinggal pesawat bersama
saya di Denpasar, Bali ternyata juga mempunyai agenda utama liburannya sama
seperti saya. Pada 26 Juni 2016, beliau merayakan pesta perak hidup membiara
dalam kongregasinya di kota Malang. Momen pulangnya kali ini akan dimanfaatkan
untuk merayakan syukuran bersama keluarga atas 25 tahun hidup membiara yang
telah dijalaninya dalam kongregasinya itu. Perayaan syukur dilaksanakan pada 30
Juni 2016, sama seperti saya. Kami merayakan syukur pada waktu bersamaan di
tempat yang berbeda. Sebuah kebetulan yang terduga.
Seharusnya pada 28 Juni 2016 saya menginap di biara frateran BHK Ndao-Ende,
tetapi karena ditinggal pesawat, saya terpaksa harus tertahan di Denpasar, Bali
dan menginap di hotel mewah. Saya mengakui, ini pengalaman istimewa dan langka.
Saya mendapat kesempatan belajar hal baru tentang mekanisme check in-check out dan tata cara
menginap di tempat umum. Hal lainnya adalah apabila saya jadi menginap di
biara, itu berarti saya akan sendiri di sana karena para frater saat itu sedang
mengikuti retret tahunan. Bisa dibayangkan, seorang diri di biara se-gede itu.
Mobil yang saya tumpangi dari bandara menuju kampung mengalami kemacetan di
tanah ulayat nenek moyang. Menurut tetua adat rumah besar, peristiwa itu merupakan “ucapan” selamat datang dari
mereka yang sudah berdiam di alam “sana”. Juga mengingatkan saya agar tidak
lupa mendoakan keselamatan arwah mereka. Saya mengakui bahwa selama ini saya
tidak pernah ingat akan hal ini bahkan berziarah ke tempat peristirahatan
terakhir mereka belum sekalipun saya melakukannya.
Ada peristiwa alam yang jarang sekali terjadi di kampung kami. Menurut
pengakuan tetua adat rumah besar yang
diamini beberapa sanak famili, peristiwa langka itu baru terjadi tiga kali di
tiga generasi berbeda. Yang pertama terjadi pada generasi kakek-nenek, sesaat
sebelum kakek (bapak dari ibu) menghembuskan nafas terakhir. Peristiwa kedua
terjadi persis yang pertama, yaitu saat sebelum salah seorang saudara ibu
menghembuskan nafas terakhir. Ini kejadian pada generasi orang tua. Sedangkan
peristiwa ketiga terjadi pada generasi saya atau generasi anak. Pada 29 Juni
2016 pagi, secara tiba-tiba angin ribut bertiup sangat kencang seperti badai
dan berlangsung hanya sesaat. Peristiwa alam ini terjadi sama persis dengan
kejadian pada dua generasi sebelumnya. Saya sendiri menyaksikan kejadian alam
ini pada generasi saya ketika saya berada di pastoran, sedang membuat catatan
perjalanan pulang saya ini. Angin ribut merupakan peristiwa alam biasa. Namun
menjadi tidak biasa karena terjadi pada momen-momen langka. Menurut pengakuan
anggota rumah besar, kejadian ini
menjadi tanda “kedatangan” para leluhur untuk ikut ambil bagian dalam
perayaraan syukur ini, tentu kehadirannya dengan tata cara mereka. Mungkin ini hanyalah
buah “refleksi adat” tetapi saya percaya bahwa kuasa Yang Mahatinggi mampu
melakukannya, membiarkan para leluhur berkonspirasi dengan alam untuk
menyatakan “kehadiran” mereka.
Tidak hanya itu, campur tangan leluhur dalam penyelenggaraan perayaan
syukur ini sungguh nyata. Saat pengerjaan panggung mencapai tahap finishing, sehari sebelum hari H, hujan
lebat disertai angin kencang melanda kampung kami. Keluarga bersama warga
sangat kuatir, apakah perayaan akan bisa berjalan dalam suasana alam seperti
itu. Di sinilah para leluhur mengambil alih. Mereka berkonspirasi lagi dengan
alam untuk melancarkan acara. Berbagai seremoni adat dilakukan, diantaranya:
memberi makan kepada nenek moyang, nyekar
dan berdoa di pusara mereka sampai melemparkan pakaian yang pernah saya pakai ke
atap rumah. Semua aktivitas budaya ini dilakukan dengan satu intensi mohon
partisipasi dan dukungan para leluhur bagi kesuksesan perayaan.
Dan hasilnya sungguh menakjubkan. Cahaya mentari pertama yang menerangi
kampung halaman pada hari penyelenggaraan perayaan syukuran itu sungguh luar
biasa, terang-benderang dan cerah-ceria. Tanpa segumpal awan pun hari itu sang
mentari melintasi cakrawala di atas panggung acara dari terbit hingga
terbenamnya. Acara berjalan khusuk, tenang penuh khidmat, lancar dan meriah.
Saya sangat bersyukur karena
terlahir sebagai bagian dari gererasi para leluhur saya yang sangat luar biasa. Ungkapan ini saya terisnpirasi dari kata-kata Om saya (saudara mama yang
menjadi penanggung jawab utama perayaan itu), dalam suatu kesempatan beliau
pernah mengatakan bahwa beliau sudah bersumpah di kubur kakek, bahwa apa pun
keadaan alam pada hari H, itu menjadi ukuran kehebatan para leluhur. Kalau
mereka tidak “memberi” hari yang cerah untuk kelancaran acara, semua cerita tentang
kewibawaan dan nama besar mereka di masa lalu tidak lain hanyalah kisah omong
kosong. Saya sempat menangis terharu saat mendengarkan penuturan ini dengan
melihat kenyataan yang ada. Ternyata saya sangat dicintai oleh nenek moyang
saya yang telah tiada. Mereka sangat medukung pilihan hidup saya.
Saya merasakan hal ini sejak pertama kali masuk kampung dan diterima secara
adat. Alunan musik suling dan gendang dan sapaan adat sungguh menyentuh hati.
Saya tidak bisa menahan tangis. Air mata kesedihan karena tidak ada seorang ibu
yang mendampingi ayah untuk menyaksikan momen istimewa saya ini, air mata
karena merasa terharu oleh antusias anggota keluarga besar dan masyarakat yang
menyambut kedatangan saya dan air mata kebahagiaan karena merasa diterima dan
diakui secara adat yang sakral sebagai bagian dari generasi leluhur yang sangat
luar biasa ini. Saya percaya karena mereka sungguh mengasihi saya, mereka mampu
bekerjasama dengan alam untuk membersembahkan hari yang indah demi kelancaran
dan kesuksesan perayaan syukur kaul kekal saya. Sekali lagi, ini hanyalah “refleksi
adat” tanpa mengabaikan kuasa Sang Ilahi yang mengatur dan mengendalikan alam
semesta ini.
Saya menulis refleksi atas pengalaman pulang saya kali ini di sini, di rumah
Oro Oro Dowo 58 Malang, tempat tinggal saya saat ini. Waktu kini tepat pukul
12.00 WIB, pada 29 Agustus 2016. Saya menulis ini untuk mengenang kembali peristiwa
penyambutan secara adat saat memasuki kampung halaman dan perayaan syukuran
kaul kekal saya tepat dua bulan yang lalu.