Saturday, 31 December 2016

Kerahiman Kamar Pengakuan

Namaku Nuela, diambil dari Emanuela karena aku dilahirkan di bulan Desember. Bulan yang sungguh indah bagi segenap umat kristiani di seluruh dunia karena pada bulan ini Sang Imanuel, Allah beserta kita dilahirkan. Aku adalah pemilik wajah cantik dengan senyum manis yang memesona. Aku baik hati dan tipe pribadi yang setia. Kehadiranku selalu menyenangkan orang-orang di sekitarku. Demikian siapa aku menurut teman-temanku. Namun, pengalaman hidupku tidak secantik wajah yang kumiliki. Aku akan menceritakan kisah hidupku untuk membuktikan kebenaran pernyataanku itu.

Seperti yang sudah kukatakan bahwa aku memang memiliki wajah cantik. Hal ini membuat aku menjadi primadona di kampusku dulu. Aku menjadi rebutan cowok-cowok keren, kaya dan cerdas. Adalah si Rio yang beruntung. Cowok hitam manis berdarah Flores yang murah senyum itu berhasil memikat hatiku. Dia memanggilku choti, kata bahasa India yang berarti adik perempuan. Itu bukan berarti dia menganggapku sebagai adik perempuannya tetapi dengan panggilan itu dia merasa lebih dekat dan nyaman dalam menjalin relasi denganku sebagai pasangan kekasihnya. Begitulah latar belakang pemilihan kata choti sebagai panggilan kesayangannya untuk aku.

Tiga tahun berpacaran semenjak pertama kali kami dekat di awal-awal masa kuliah semester satu di sebuah kampus negeri ternama di kota Malang. Kemudian peristiwa itu terjadi. Sebuah kenyataan yang nanti-nantinya akan menjadi beban hidup yang amat berat untuk ditanggung. Aku dinyatakan positif hamil oleh karena kedekatan kami yang terlampau jauh. Rio memang sungguh mencintaiku. Apa pun keadaanku, dia bertanggung jawab. Selama aku hamil, Rio bersedia menemani dan melayani kebutuhanku sebagai ibu hamil. Rio sungguh berperan sebagai “suami” yang bertanggung jawab. Kami sepakat untuk tidak memberitahukan peristiwa itu kepada orang tua kami masing-masing dan merahasiakannya dari orang-orang terdekat hingga bayi itu dilahirkan. Kami berencana akan menitipkan anak kami di panti asuhan. Itu memang pilihan terberat bagi kami dan aku sebagai ibunya akan menanggung beban psikis yang sangat berat dalam hidupku. Tetapi kami harus melakukannya mengingat masa depan kami yang belum jelas dan kuliah kami juga yang masih tertahan di awal semester tujuh karena cuti.

Rio memang sungguh bertanggung jawab. Dia tetap menjagaku selama masa kehamilan anak kami. Uang bulanan yang dikirim orang tuanya, kami pakai bersama untuk kebutuhan kami termasuk biaya pemeriksaan rutinku sebagai ibu hamil dan biaya rumah kontrakan yang kami tempati.

Akhirnya, aku melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat dan normal setelah mengandungnya kira-kira sembilan bulan. Setelah bersama kami sekitar tiga bulan, bayi itu kami titipkan di salah satu panti asuhan terbaik di kota Malang. Kami mendatangi suster pengasuh panti asuhan untuk menitipkan bayi itu. Kami membicarakan dengan baik-baik duduk persoalan dan latar belakang keputusan kami. Suster memahami dan menerimanya. Semua berjalan sesuai rencana kami.

Selanjutnya kami mulai lagi hidup kami sebagai mahasiswa. Kami melajutkan lagi kuliah kami yang sempat tertunda dan memutuskan untuk menjaga jarak agar tidak terjadi lagi hal-hal yang tidak diharapkan. Kami tetap berkomunikasi dengan baik dan berpegang teguh dengan komitmen bersama itu. Kadang-kadang kami berdua berkunjung anak kami di panti asuhan. Kami bertahan dengan kesepakatan itu sampai diwisuda menjadi serjana. Setelah itu Rio kembali ke kampung halamannya sedangkan aku memutuskan untuk menetap di Malang. Keputusanku disetujui oleh kedua orang tuaku. Sebagai lulusan terbaik dari universitas terbaik, aku dengan mudah diterima untuk bekerja di sebuah sekolah swasta favorit di kota Malang sebagai guru BP sesuai ijasahku.

Di luar rutinitasku sebagai guru, aku terlibat secara aktif di perhimpunan para pemerhati panti asuhan yang aku gagas sendiri bersama teman-teman yang memiliki minat yang sama. Aku melakukan itu selain karena aku berminat dalam karya sosial semenjak kuliah dulu juga sebagai panggilan hati untuk menyelamatkan jiwaku, menebus kesalahan yang pernah kubuat terhadap anakku sendiri. Dengan begitu, aku juga secara langsung dapat mengikuti proses tumbuh kembang putraku. Dengan selalu mengunjungi, menyalurkan bantuan ke panti asuhan-panti asuhan termasuk panti asuhan dimana anakku tinggal, aku mempunyai kesempatan bertemu dan berkomunikasi dengannya, tanpa dia dan orang lain tahu bahwa akulah ibu kandungnya, kecuali suster pengasuhnya. Sesungguhnya batinku tersiksa menyimpan rahasia ini. Ingin kuselalu memeluknya setiap kali berkunjung tapi aku tidak ingin menciptakan kesan pilih kasih bagi anak-anak panti yang lain. Suster yang mengetahui rahasia ini memahami sungguh perasaanku sebagai seorang ibu. Kadang dia berusaha menciptakan momen agar aku bisa berdua bersama anakku. Dan saat itu adalah momen terindah bagiku. Aku ingin jujur mengatakan sebenarnya tetapi aku tidak ingin hal itu melukai hati anakku. Aku juga takut dia menolak aku sebagai ibunya. Dia masih terlalu kecil untuk memahami itu semua. Aku bertahan dengan kenyataan itu dan berjanji dengan diriku sendiri pada saatnya nanti rahasia ini harus diketahui anakku, entah bagaimana caranya.

Suatu hari tiba-tiba aku mendapat informasi dari suster pengasuh bahwa anakku tidak tinggal di panti asuhan lagi. Sebuah keluarga dermawan dari Blitar mengadopsinya. Saat itu usianya empat tahun, dia akan masuk TK di bawah asuhan orang tua barunya. Hatiku hancur, aku kehilangan kontak dengan anakku. Semangatku aktif di perhimpunan yang sudah berkembang bagus selama ini menjadi redup. Aku kehilangan gairah. Namun aku tidak boleh egois. Anakku butuh figur ayah-ibu untuk membesarkannya. Mengetahui dia berada pada orang yang tepat yang dapat memenuhi kerinduan psikisnya, itulah sedikit hiburan yang membuatku tetap bertahan di organisasi yang aku gagas ini.

Waktu terus berlalu. Anakku tumbuh menjadi anak yang sehat, cerdas dan memiliki karakter yang kuat. Rupanya gen kecerdasan yang dimiliki Rio, ayah kandungnya menurun pada anakku. Orang tua angkatnya merawat dia dengan baik selayaknya anak sendiri. Karena kecerdesan dan kepribadian yang dimilikinya dinilai mumpuni, orang tua angkat anakku mengijinkan dia masuk seminari. Anakku bercita-cita menjadi Pastor, seperti yang selalu kutanyai dulu ketika mengunjunginya di panti asuhan.

Singkat cerita, ketekunan, kecerdasan dan kesetiaannya pada pilihan hidupnya, anakku diperkenankan untuk menerima sakramen imamat. Anakku ditahbiskan menjadi seorang imam praja keuskupan Malang. Aku menyaksikan seluruh rangkaian perayaan tahbisan itu dengan mata kepalaku sendiri. Sedih dan terharu, bercampur menjadi satu. Aku sedih karena bukan aku, ibu kandungnya yang berdiri di sana, mendampinginya. Aku terharu karena putraku, darah daging buah relasi di luar nikah bersama Rio, anak dari orang tua yang tak bertanggung jawab seperti kami ini, hari ini mataku menyaksikan sendiri dia diurapi menjadi imam Allah dalam sebuah perayaan yang khusuk dan meriah. Aku juga bahagia karena dari rahim wanita berdosa ini, terlahir seorang imam yang akan menyelamatkan banyak jiwa yang dilayaninya kelak. Aku berdoa dalam hati, semoga anakku setia dengan imamatnya dan menjadi seorang gembala yang mencintai dan dicintai umatnya.

Dan di kedalaman hatiku, aku menangis, meratapi nasibku yang tersiksa oleh sebuah rahasia besar yang hingga kini belum mampu kuungkapkan secara jujur terhadap anakku. Untuk ke sekian kalinya aku berjanji, termasuk di hari pentahbisannya ini, aku juga berjanji bahwa pada saatnya aku akan mengungkapkan rahasia itu. Rahasia yang membebani hidupku bertahun-tahun, sejak anakku masih bayi hingga kini dia telah menjadi imam. Rahasia yang membuat hidupku serasa tak memiliki makna di hadirat Tuhan. Karena memiliki rahasia itu, sudah bertahun-tahun pula aku tak pernah sekalipun menyambut komuni kudus pada setiap perayaan Ekaristi. Aku memiliki dosa besar yang butuh kerahiman Allah untuk mengampuniku. Sebenarnya aku memiliki kesempatan untuk menerima sakramen pengampunan, namun semenjak aku tahu anakku masuk seminari dan ingin menjadi imam, aku memutuskan akan melakukan rekonsiliasi langsung dengannya. Dengan anakku yang kini sudah menjadi pastor di parokiku, rencana yang sudah kubuat bertahun-tahun itu menjadi lebih mungkin dan mudah kulakukan.

Momen itu pun datang. Seperti biasa, menjelang perayaan Natal akan selalu ada penerimaan sakramen tobat sebagai bentuk persiapan bagi umat kristiani untuk menyambut kelahiran Sang Imanuel. Kali ini aku sungguh-sungguh berniat mengakui dosaku langsung pada pastor yang juga putraku sendiri sekaligus mengungkapkan rahasia yang selama ini kusembunyikan. Aku melakukan itu bukan karena kebetulan anakku menjadi bapa pengakuan tetapi lebih karena aku sudah siap setelah bertahun-tahun mengumpulkan energi keberanian untuk hal itu apalagi saat ini anakku yang sudah dewasa dengan martabatnya sebagai imam Allah yang Maharahim, aku yakin anakku lebih siap mendengar pengakuanku. Anakku akan sangat bijaksana menyikapi masalah ini. Aku juga sudah siap dengan berbagai konsekuensi yang harus kuterima, apa pun itu.

Kamar pengakuan sesaat menjadi lengang. Aku tertunduk dan diam. Aku tergugu, tak kuasa mengangkat kepala. Pengakuan dosa atau lebih tepatnya pengungkapan secara jujur rahasia yang selama ini kusimpan rapat-rapat itu berjalan lancar walau dadaku terasa sesak seperti ditindih beban berat. Aku menangis dan gemetar. Masih dalam posisi tertunduk. Sesaat aku mendengar suara sesegukan. Suara itu berasal dari orang yang ada di depanku. Sang gembala juga menangis. Mungkin dia marah, kecewa atau barangkali dia terharu bahagia karena bertemu dengan seseorang yang ternyata ibu kandungannya sendiri, begitu pikirku. Entahlah, aku sungguh tidak mengerti. Sang pastor tetap menuai tugasnya sebagai bapa pengakuanku saat itu. Dengan tenang dia menyuruhku mendoakan doa tobat sambil dia mendaraskan rumusan pengampunan dosa untuk memberi absolusi yang dikuasakan kepadanya sebagaimana dilakukan para bapa pengakuan pada umumnya. Semuanya berjalan seperti biasa hingga aku keluar dari kamar pengakuan untuk menjalani penitensi seperti yang diberikan sang gembala.

“Mama, sampaikan salamku untuk bapak”. Aku tidak salah dengar. Itu kata-kata dari mulut sang Pastor dari balik kamar pengakuan yang ditempatinya. Langkahku terhenti dan segera balik menghadap sumber suara itu untuk memastikan. Anakku memaafkan kami, orang tua kandungnya. Aku mendapati senyum pengampunan yang ikhlas di wajahnya. Plong. Beban berat yang selama bertahun-tahun lamanya menindih dadaku lenyap seketika. Aku menangis bahagia. Anakku memanggil aku “mama”, pertama kali dalam hidupku. Dan kata bapak dalam kalimatnya tadi menjadi tanda bahwa dia menerima aku dan Rio sebagai orang tua kandungnya. Ini sebuah sukacita besar bagiku dan tentu juga bagi Rio. Aku akan mengabarinya segera.

Natal tahun ini menjadi perayaan yang sungguh istimewa dalam hidupku. Aku menerima dua hadiah sekaligus, anakku memaafkanku dan aku pun bisa berdamai dengan rahasia yang selama ini menghatui hidupku. Aku sungguh mengalami belas kasih Allah melalui sakramen pengampunan yang kuterima melalui tangan terurapi, putraku sendiri. Aku akan mengingat selalu peristiwa ini sepanjang hidupku sebagai momen kerahiman kamar pengakuan. Aku semakin mengimani kerahiman Allah yang tanpa batas bagi siapa saja yang mau kembali kepada-Nya.

SALAM DAMAI NATAL UNTUK ORANG-ORANG TERCINTA. Ini adalah kata-kata yang tertulis dalam kartu itu. Sebuah kartu Natal yang dikuterima dari koster parokiku. Di bawah tulisan itu terdapat tiga foto. Paling kiri adalah foto aku dan Rio, di bawahnya ada keterangan: Bapak dan Mama yang telah menghadirkan aku di dunia ini. Paling kanan adalah foto orang tua angkat anakku, diberi keterangan: Ayah dan Ibu yang telah menunjukkanku bagaimana menjalani hidup di dunia ini. Dan yang ketiga, berada di tengah-tengah adalah foto dengan keterangan: Oma, malaikatku yang cantik nan lemah lembut yang dengan sabar mengajariku bahwa Tuhan memberikan empat orang tua kepadaku bukan tanpa alasan. Melalui Oma itu semua upaya “pembebasan” aku dari belenggu rahasia yang kusembunyikan selama ini menemui akhir ceritanya. Beliau yang selalu mendampingi anakku untuk menerima kenyataan hidup yang dialaminya. Semua rahasia masa kecil sejak dia diantar ke panti asuhan hingga diadopsi diceritakan secara jujur oleh sang Oma sambil terus mendukung anakku untuk memaafkan kami, orang tuanya. Proses itu adalah bagian dari penerimaan masa lalu yang harus dilakukan anakku dalam tahap-tahap formasi menjadi imam. Anakku melaluinya dengan baik hingga ia mengalami penerimaan yang sempurna. Sebuah bentuk penerimaan yang indah. Adalah Oma, suster pengasuh panti asuhan anakku dulu menjadi aktor di balik kisah ini semua termasuk yang memberikan fotoku bersama Rio kepada anakku.

Di bawah ketiga foto itu ada tanda tangan di atas nama, RD. Emanuel Mariano. Itu adalah nama anakku yang kini sudah menjadi seorang imam. Nama itu adalah gabungan dari nama baptis aku dan Rio. Dulu, ketika kami menyerahkan bayi Nuel ke panti asuhan, kami juga menyerahkan nama itu dengan pesan suatu ketika apabila Nuel akan dibaptis, gunakan nama itu jika dia dan orang tua angkatnya tidak keberatan. Kami berharap dengan dia memakai nama itu, itu berarti dia mau menerima dan mengakui kami sebagai orang tua kandungnya. Syukur kepada Tuhan, harapan kami akhirnya terpenuhi. Aku yakin semua itu merupakan rahmat yang diperoleh dari kemurahan kasih Tuhan yang tersimpul dalam kerahiman kamar pengakuan.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment