Thursday, 21 September 2017

TERCIPTA SEBAGAI HADIAH

Jika wajahmu masih bisa merona, tertawalah
Karena ada sesamamu yang sangat menginginkannya
Tetapi mereka tak punya alasan untuk melakukannya.

Jika bibirmu masih bisa merekah, tersenyumlah
Karena ada sesamamu yang sangat mendambakannya
Tetapi mereka tak punya sebab untuk melakukannya.

Jika tawamu masih bisa menggembirakan, tunjukkanlah
Karena ada sesamamu yang telah mencobanya
Tetapi mereka tak punya daya untuk melakukannya.

Jika tatapanmu masih bisah meneduhkan, pandanglah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan perhatian
Tetapi mereka tak punya kuasa untuk meminta.

Jika kupingmu masih bisa disendengkan, mendengarlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan telinga
Tetapi mereka tak punya hak untuk memohon.

Jika tanganmu masih bisa menghangatkan, peluklah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan sentuhan
Tetapi mereka tak punya keberanian untuk menyuruh.

Jika kakimu masih bisah diayunkan, melangkahlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan kunjungan
Tetapi mereka tak punya kekuatan untuk memaksa.

Jika bahumu masih bisa menyangga, menopanglah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan dukungan
Tetapi mereka tak punya tempat untuk bersandar.

Jika suaramu masih bisa meneguhkan, berkatalah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan wejangan
Tetapi tak ada petuah yang diperdengarkan.

Jika hatimu masih bisa mengasihi, tunjukkanlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan cinta
Tetapi tak banyak mereka yang peduli.

Saudara,
Jika dirimu masih memiliki sejuta alasan untuk dibagi, lakukakanlah
Karena ada sesamamu yang sangat membutuhkan orang lain
Tetapi tidak semua orang bisa ada untuk mereka.
Hidup ini hanyalah titipan dari langit
Hadiah Sang Khalik yang akan berarti jika dibagi
Engkau tercipta sebagai hadiah bagi sesamamu
Maka, berbagilah.





Malang, 21 09 17
sang tenang
Readmore → TERCIPTA SEBAGAI HADIAH

Saturday, 9 September 2017

TUKANG BECAK DAN KEBIJAKSANAANNYA

Usianya tak lagi muda. Ia sudah sepuh dan sakit-sakitan. Perkerjaannya tak jauh berbeda dengan rakyat jelata pada umumnya. Ia hanya seorang tukang becak. Tetapi yang membedakannya dengan kebanyakan tukang becak lain, ia adalah seorang tukang becak yang sedang menderita strok. Walaupun dengan kondisi kesehatannya seperti itu tetapi semangat kerja kerasnya tidak kendur. Ia tidak ingin merepotkan orang lain. Ia tidak mengemis sebagaimana yang dilakukan orang lain yang bahkan tidak menderita strok seperti dirinya. Berbekal becak tua, harta milik satu-satunya itu, ia berjuang menyambung hidup dan menyisi sedikit penghasilan untuk pengobatannya. Ia berangkat pagi-pagi, pukul 05.00, saat selaksa jingga biasan fajar mulai meronai langit timur hingga mentari sore menjemput, saat sekawanan camar melenguh, terbang menyusur pantai di batas peraduan sang senja.
Aku seringkali berpapasan dengan si kakek, tukang becak itu. Biasanya kami saling menyapa saat bertemu dan mengobrol sebentar. Terutama saat ia mampir makan di sebuah warung kecil yang berada di antara sebuah rumah makan besar dan balai kota. Kebetulan rumahku berada tak jauh dari pangkalan becaknya itu. Saat-saat seperti itu adalah momen istimewa bagi diriku. Kesempatan emas bagiku untuk belajar tentang kebijaksaan hidup di tengah keterbatasan materi. Dari setiap obrolan bersama si kakek tua yang miskin dan sakit-sakitan itu, aku selalu menuai hikmah, menjumput petuah bernilai tinggi.
Seperti di sore itu, setelah senja ke tujuh berlalu. Walau pendarnya agak murung di antara hamparan lembayung sore, tetapi senja ini sungguh istimewa bagiku. “Nduk, memang tidak semua mereka koruptor tetapi cerita miring tentang orang-orang itu menggerakan hatiku. Aku selalu menerima pemberian mereka, berapa pun itu. Uang-uang itu tidak pernah aku pakai walaupun aku sangat membutuhkannya. Aku selalu menyerahkannya ke panti asuhan di bukit sana. Pemikiranku sederhana saja, nduk. Masih ada banyak orang yang jauh lebih membutuhkannya. Biarlah dengan caraku ini, orang-orang berbaju necis itu selalu dimudahkan oleh Yang di atas. Bagi mereka yang kurang jujur, semoga Gusti dengan cara-Nya selalu mengingatkan mereka.” Ceritanya itu mengingatkan aku pada bungkukkan badan penuh hormat yang selalu dilakukannya setiap kali para penjabat pengkot itu menyerahkan sejumlah rupiah kepadanya. Aku pun sadar, ternyata tukang becak renta yang selalu membawa serta kruk saat dia “bekerja” ini adalah seorang manusia langka di tengah metropolitan ini.

Malang, 09-09-2017
sang tenang
Readmore → TUKANG BECAK DAN KEBIJAKSANAANNYA

Friday, 8 September 2017

Keluarga Terberkati

Aku adalah anak satu-satunya dari keluarga itu. Orang tuaku hidup sederhana dan saleh. Mereka hidup dalam tradisi warisan nenek moyangku yang taat beragama dan ketat dalam hukum. Aku bersyukur dilahirkan di tengah-tengah orang tuaku yang sangat mencintaiku. Karena itu aku bertumbuh menjadi gadis yang sederhana dan saleh. Keistimewaan lain yang selalu kuingat dari kedua orang tuaku adalah apa pun yang mereka hadapi dalam hidup, terutama kesulitan-kesulitan, beban, atau pun pergulatan, mereka selalu berpasrah pada kehendak Ilahi. Tentu tetap ada usaha-usaha manusiawi yang mereka lakukan. Ayah dan ibuku mengambil cara hidup yang berkenan pada Tuhan. Aku, puteri tunggal mereka mewarisi teladan hidup yang hebat itu.
Pada suatu ketika, aku mengalami sebuah peristiwa yang “mencoreng” nama baik ayah-ibuku. Mereka merasa terpukul, malu, dan kecewa. Di usiaku yang masih belia, aku hamil. Memang saat itu aku sudah betunangan dengan seorang lelaki, pujaan hatiku. Tetapi kami belum hidup bersama sebagai suami-istri. Maka, peristiwa memalukan itu menjadi bahan pergunjingan tetangga. Aku tahu kejadian tidak biasa itu melukai hati kedua orang tuaku yang belum memahaminya. Tetapi aku hanya berpasrah dan berdoa di tengah hatiku yang diliputi kekalutan sebagaimana biasanya orang tua lakukan saat mereka menghadapi masalah.
Sekali lagi kukatakan bahwa aku bersyukur dilahirkan dalam keluarga kecil yang bersahaja nan suci murni ini. Mereka tidak menghakimiku apalagi mengusirku dari rumah. Mereka tetap mencintaiku walaupun aku telah merendahkan martabat keluargaku dengan peristiwa yang sesungguhnya aku sendiri belum memahaminya. Apalagi kedua orang tuaku. Kami hanya bisa berdoa dan berpasrah pada penyelenggaraan Ilahi. Hingga kabar itu, kabar gembira dari surga yang dibawa sang utusan menjadi kenyataan. Aku yang disebut sebagai wanita yang beroleh kasih karunia di hadapan Allah terpilih menjadi ibu Tuhan dan Bunda Allah. Sementara kedua orang tuaku diganjari mahkota Para Kudus. Dan kini, kami hidup mulia bersama Bapa di kemah abadi, surga-Nya.

Malang, 26 Juli 2017
Pada Peringatan St. Yoakim dan Ana,
Orang tua Santa Perawan Maria.

Walter Arryano
Readmore → Keluarga Terberkati

Tuesday, 5 September 2017

Pelukan Jessy


Malam yang rusuh. Listrik padam. Suara petir menggelegar, sambar-menyambar. Jessy, seorang gadis dari keluarga berada yang baru saja menyewa kotrakan persis di sebelah rumah seorang ibu miskin dan dua anaknya itu gemetaran. Jiwanya kelu oleh gemparan suara petir di tengah hujan deras di malam ketujuh dia menempati rumah kontrakan itu.
Diterangi cahaya handphone, gadis itu hendak ke dapur, mengambil lilin. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu kontrakannya. Ternyata seorang anak miskin, tetangga sebelah rumah. “Kakak ada lilin?” Tanya anak miskin itu dengan risau setelah Jessy membuka pintu. Dia berpikir sejenak. Lalu muncul di benaknya kata-kata yang telah lama tertanam “jangan pinjamkan, nanti jadi kebiasaan untuk terus-menerus meminta!” Maka gadis itu menjawab, “tidak ada!” Sebuah jawaban yang tegas penuh penekanan.  
Lalu si anak miskin berkata dengan riang, "Saya sudah menduga kakak tidak ada lilin, ini ada dua lilin saya bawakan untuk kakak. Kami sangat kuatir karena kakak tinggal sendirian dan tidak ada lilin." Jessy merasa bersalah. Sesaat kemudian tumpukan kristal di pelupuk matanya merekah. Dalam linangan air mata, dia memeluk anak miskin itu. Erat sekali.

Malang, September 2017
sang tenang
Readmore → Pelukan Jessy