“Ameeeeell...!” Teriak ibunya memanggil Amel. Yang dipanggil tidak perlu
diteriaki dua kali, segera mendekat. “Kamu dimana, ha? Lihat rambut adikmu
ini.” Amel hendak bilang salah adiknya sendiri, kenapa tangannya tidak bisa
diam, setiap kali belajar, dia mesti begitu, rambut panjangnya diputar-putar
pakai sisir begitu. Jadilah sekarang rambutnya tidak bisa diuraikan lagi.
Sebelum argumen-argumen itu keluar dari mulut Amel, ibunya sudah menyumpalnya
dengan kata-kata tegas dan menyakiti hati, “seharusnya kamu tahu adikmu ada di
mana, dia melakukan apa! Karena itulah tugas anak sulung!”
Tenggorokan Amel serasa tercekik. Tak satu pun kata yang mampu terucap
dari bibirnya. Hanya air mata yang keluar deras, membasahi serbet di tangannya.
Kain itu tadi dipakainya untuk mengelap piring saat ibunya memanggil.
Di meja kerja, aku yang senja itu sedang asyik melahap novel favoritku
itu sejenak diam. Penggalan cerita novel itu membawa anganku menyeberangi
lautan, melewati pulau-pulau. Pikiranku terbang nun jauh ke sana, ke kampung
halamanku. “Sulungku..., iya sulungku,” aku membatin. “Bahkan tak seorang pun
di dunia ini yang memintanya apalagi meneriaki seperti ibunya Amel dalam novel
itu. Dia mengambil alih tugas mulia itu
semenjak kepergian ibu. Dia merawat, membesarkan, dan menyekolahkan kami,
adik-adiknya sampai mengorbankan diri dan masa depannya.” Setitik kristal
merekah di pelupuk mataku, diikuti titik-titik yang lain. Tangisanku pecah,
mengingat cinta dan pengorbanannya mengantarku memetik janji masa depan yang
lebih baik di kota metropolitan ini.
***
Untuk sebuah nama yang kupanggil "kk tani"
sang tenang
sang tenang