20 April 2008.
Hari itu adalah hari ulang tahun kelahiran saya yang ke-24. Sebuah kejadian
menarik tak terlupakan yang saya alami bersama penghuni asrama putera frateran
Podor-Larantuka, NTT, tempat saya bertugas saat itu sebagai asisten bapak
asrama. Saya mendapat perlakuan istimewa dari anak-anak asrama sebagai “hadiah” di hari ulang tahun saya itu.
Sudah menjadi deal antara saya
dan frater yang menjadi bapak asrama di situ, dia bertugas mendampingi
anak-anak di pagi hari sedangkan saya mendapat bagian pada sore harinya. Tetapi
waktu itu dengan sebuah alasan yang bisa diterima sang bapak asrama meminta
saya menggantikannya untuk mengurusi anak-anak agar segera berangkat ke gereja
untuk mengikuti misa hari Minggu. Kebetulan hari ulang tahun saya waktu itu
jatuh pada hari Minggu.
Setelah berjubah lengkap, saya mendatangi ruang belajar anak-anak yang
merangkap kamar makan itu untuk mendata kehadiran mereka sebelum berangkat ke
gereja. Karena sudah pada waktu yang telah disepakati bersama, saya pun mulai
memanggil nama mereka satu per satu. Bagi mereka yang sudah ada dan siap ke
gereja diarahkan untuk segera berangkat. Sementara bagi mereka yang belum, pada
namanya diberi kode sebagai pelanggar kedisiplinan dan akan diberi sanksi
sesuai kesepakatan.
Sesuatu yang agak aneh terjadi. Itu tidak seperti biasanya. Sebagian besar
anak belum siap. Ada yang masih mandi. Ada yang sedang santai-santai di
sepanjang lorong asrama. Sebagian lainnya masih sibuk mengurus diri di kamar
pakaian. Merasa tak dihiraukan, saya segera beranjak menuju ruang ganti itu
untuk melihat secara dekat apa yang mereka lakukan sampai terlambat seperti
ini.
Saya heran ketika mendapati sebagian anak yang sudah berpakaian rapi tetapi
tidak peduli dengan apa yang saya lakukan di ruang belajar tadi. Dengan gusar
saya berteriak, “apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian tidak tau kalau sekarang waktunya harus
berangkat ke gereja? Kenapa kalian
masih santai-santai di sini?” Saya terus berteriak sampai akhirnya saya
berkata, “saya sudah beri tanda nama-nama kalian yang tidak disiplin pagi ini.
Itu berarti kalian siap diberi sanksi sesuai aturan kita!”
Serentak mereka mereaksi perkataan saya dengan keras. Mereka kompak
menunjukkan respon protes terhadap saya. Suara mereka yang dari mana-mana
dengan berbagai argumen menyerang saya untuk membenarkan diri, memberi alasan
keterlambatan, dan menolak diberi sanksi. Hal itu membuat nyali saya ciut. Saya
menjadi marah. Di tengah kegeraman itu, saya berupaya mencari dukungan frater
bapak asrama. Ketika saya hendak melangkahkan kaki menuju kamarnya, dari jauh
samar-samar saya mendapati sebuah ekspresi senang kemenangan merona di
wajahnya. Sementara di belakang saya anak-anak mulai riuh, bertepuk tangan
dengan riangnya. “Apa gerangan ini”, saya menggumam. Sesaat kemudian mereka
kompak menyanyikan lagu “Happy birthday
to you”. Ketika itu saya tersadar bahwa saya sedang di-kerjain. “Pekuleku...”, saya mengumpat sembari mengangkat sebuah
tong sampah yang kebetulan berada di depan saya dan melemparkannya ke arah
anak-anak. Tindakan saya yang disambut dengan sorak-sorai dan tepukan tangan
kemenangan anak-anak ini bukan karena saya marah tetapi sebagai ucapan “terima kasih”
atas perhatian yang telah mereka berikan di hari ulang tahun kelahiran saya
ini.
Rencana mereka berjalan sempurna. Belakangan saya tahu, ternyata ide itu
terlaksana atas usulan seorang anak asrama yang beberapa hari sebelumnya sempat
tegang dengan saya lantaran saya mengasarinya. Aksi “balas dendamnya” sempurna
dan bermartabat, hahaha. Bersama bapak asrama, mereka membahas rencana itu di
sela-sela acara rutin asrama dengan melibatkan beberapa anak yang selama ini
tidak pernah membangkan saya termasuk ketua asrama. Tentu tanpa sepengetahuan
saya.
Aksi “balas dendam” ini bukan saja dari si anak itu tetapi juga dari sang
bapak asrama. Frater yang dua tahun lebih senior dari saya inilah yang menjadi
tokoh penting di balik semua ini. Dialah yang merancang skenarionya sebagai
bentuk “pembalasan” terhadap aksi serupa yang pernah saya lakukan bersama
anak-anak terhadapnya pada 12 hari sebelumnya.
Iyah, pada 8 April di tahun yang sama, peristiwa yang hampir serupa juga
terjadi di asrama yang sama. Namun kali ini korbannya adalah frater bapak
asrama. Rupanya kejadian yang menimpa saya ini merupakan bagian dari upaya
pembalasan darinya.
Hari itu, 7 April 2008, sehari sebelum hari ulang tahun kelahiran sang
bapak, kami merancang skenario untuk mengerjainya. Kami melakukan hal itu sebagai
bentuk perhatian yang diungkapkan dengan cara kreatif. Otak dari perencanaan
kali ini adalah saya dan seorang guru muda yang kebetulan merayakan hari ulang
tahun kelahiran di waktu yang sama, 8 April juga. Frater bapak asrama dan si
guru muda ini mempunyai kesamaan hari, tanggal dan tahun kelahiran. Mereka juga
berasal dari daerah yang sama. Sebuah kebetulan yang membuat rencana kami
semakin keren.
Sepanjang hari kami memikirkan rencana itu. Hingga di sore hari, kami
menemukan idenya, yaitu kami akan menyuruh seorang anak asrama putera
berpura-pura mengalami kesurupan ketika waktu menunjukkan tepat pukul 00.00,
waktu ketika sang bapak merayakan hut kelahirannya.
Anak asrama yang kami pilih utuk menjadi pelaku aksi kami ini memang dalam
keadaan sakit, sehingga kalau dia berpura-pura kesurupan bisa dipercaya.
Apalagi pada sore hari itu sang bapak sempat mengungkapkan firasatnya, bahwa
nanti akan terjadi “sesuatu” dengan anak ini. Untuk diketahui, waktu-waktu itu,
yang namanya kesurupan di asrama putera, terlebih di asrama puteri sudah
menjadi peristiwa yang sering terjadi. Sang bapaklah yang paling dibuat repot
dalam menghadapi tragedi ini. Oleh karena itu, bisa dipahami apabila
kadang-kadang beliau tiba-tiba berfirasat seperti itu. Kenyataan itulah yang
kami manfaatkan untuk mengerjai dia.
Kami melibatkan beberapa anak asrama, sementara yang lain yang tidak
terlibat dan sengaja tidak diberitahu, kami biarkan berjalan sebagaimana
biasanya. Anak-anak yang diajak untuk terlibat, ada beberapa yang sempat
menolak karena takut dimarahi oleh frater bapak asrama. Tetapi saya sebagai
asisten bapak asrama berjanji bahwa saya akan bertanggung jawab perihal
keterlibatan mereka. Dengan demikian rencana kami pun bisa berjalan dengan
baik.
Waktu menunjukkan pukul 22.00, waktunya bagi anak-anak untuk tidur.
Sementara sebagian anak sudah mulai tidur terutama yang tidak terlibat, tetapi
ada beberapa yang lain, masuk keluar kamar tidur dan berjalan-jalan di
sepanjang lorong asrama. Mereka ini adalah para pelaku. Syukurlah gerak-gerik
mereka tidak menimbulkan kecurigaan bagi sang bapak.
Tepat pukul 00.00 tiba-tiba keributan terjadi di ruang tidur asrama putera.
Beberapa anak dengan nafas tersengal-sengal menemui bapak asrama yang saat itu
sedang nonton tv bersama kami di ruang rekreasi. Tentu ekspresi dan aksi yang
diperlihatkan anak-anak ini hanyalah sandiwara yang membuat kami (saya dan si
guru muda) tertawa terbahak-bahak di dalam hati. Namun tidak demikian bagi sang
bapak. Dia terlihat begitu cemas merespon apa yang disampaikan anak-anak itu
dan segera beranjak menuju kamar tidur mereka. Sebelumnya dia sempat berkata
dengan agak bangga bahwa apa yang difirasatkannya sore tadi sungguh menjadi
kenyataan. Sesaat kemudian kami berdua terbahak-bahak setelah sang bapak telah
lenyap dalam keremangan malam di jalan menuju kamar tidur anak-anak.
Selanjutnya yang terjadi di kamar tidur menurut penuturannya sendri
besoknya: sesampai di dalam kamar, dia langsung mendekati ranjang si anak,
pelaku kesurupan dengan perasaan agak gugup sembari menanyakan apa yang terjadi
pada teman-temannya yang berdiri mengintarinya. Di tengah malam beliau kebingungan,
kemana harus meminta bantuan. Dalam suasama getir itu, di tengah si anak yang
terus meronta layaknya orang yang kesurupan sungguhan, pandangannya menangkap
seorang anak yang sedang memangku gitar untuk memainkannya. Hampir saja
kemarahannya meledak sebelum si anak terlebih dahulu menge-jreng-kan gitar yang diikuti sorak-sorai anak-anak lain dengan
semangat dan kompak. Mereka serentak menepuk tangan sembari menyanyikan lagu
selamat ulang tahun diiringi petikan gitar. Ketika itu sang bapak tersadar
bahwa ternyata dia sedang di-kerjain.
hahahaha. Dia pun tahu siapa aktor dibaliknya.
Berbagai perasaan berkecamuk, campur-aduk antara marah, kesal, malu, kalah
dan juga bahagia. Semua perasaannya itu melebur menjadi satu dan mengiringi
langkahnya menemui kami di ruang rekreasi yang kompak menyambutnya dengan tawa
kemenangan. Kami telah sukses menjahilinya.
Kami melewati momen persaudaraan itu dengan sungguh indah. Sebuah bentuk
perhatian yang sangat sederhana namun sangat berkesan. Tidak ada tar ulang
tahun dengan lilin bernyala. Tidak ada kecupan kening atau ciuman pipi. Yang
ada hanyalah satu jabatan tangan erat, tanda kasih sebagai satu saudara yang
sama-sama memilih jalan ini, pilihan hidup di jalan panggilan-Nya. Tidak ada
sanak keluarga kandung yang ikut merayakan momen bahagia itu. Yang ada hanyalah
teman sejawat dan anak-anak yang kami bimbing. Namun kami tetap bahagia
mengalami realitas itu. Itulah konsekuensi pilihan hidup kami. Kami bahagia dan
menerimanya dalam nada syukur.
Semua itu kami lalui dalam suasana persaudaraan tanpa saya berpikir bahwa
dalam waktu 12 hari kemudian, tepatnya pada 20 April di tahun itu, saya akan
mengalami hal yang sama, menjadi korban kejahilan sang bapak asrama. Hari itu pun
akan datang, menjemput saya untuk merasakan “pembalasan”-nya.