Wednesday, 20 April 2016

Podor Pada 20 04 2008

20 April 2008. Hari itu adalah hari ulang tahun kelahiran saya yang ke-24. Sebuah kejadian menarik tak terlupakan yang saya alami bersama penghuni asrama putera frateran Podor-Larantuka, NTT, tempat saya bertugas saat itu sebagai asisten bapak asrama. Saya mendapat perlakuan istimewa dari anak-anak asrama sebagai “hadiah” di hari ulang tahun saya itu.
Sudah menjadi deal antara saya dan frater yang menjadi bapak asrama di situ, dia bertugas mendampingi anak-anak di pagi hari sedangkan saya mendapat bagian pada sore harinya. Tetapi waktu itu dengan sebuah alasan yang bisa diterima sang bapak asrama meminta saya menggantikannya untuk mengurusi anak-anak agar segera berangkat ke gereja untuk mengikuti misa hari Minggu. Kebetulan hari ulang tahun saya waktu itu jatuh pada hari Minggu.
Setelah berjubah lengkap, saya mendatangi ruang belajar anak-anak yang merangkap kamar makan itu untuk mendata kehadiran mereka sebelum berangkat ke gereja. Karena sudah pada waktu yang telah disepakati bersama, saya pun mulai memanggil nama mereka satu per satu. Bagi mereka yang sudah ada dan siap ke gereja diarahkan untuk segera berangkat. Sementara bagi mereka yang belum, pada namanya diberi kode sebagai pelanggar kedisiplinan dan akan diberi sanksi sesuai kesepakatan.
Sesuatu yang agak aneh terjadi. Itu tidak seperti biasanya. Sebagian besar anak belum siap. Ada yang masih mandi. Ada yang sedang santai-santai di sepanjang lorong asrama. Sebagian lainnya masih sibuk mengurus diri di kamar pakaian. Merasa tak dihiraukan, saya segera beranjak menuju ruang ganti itu untuk melihat secara dekat apa yang mereka lakukan sampai terlambat seperti ini.
Saya heran ketika mendapati sebagian anak yang sudah berpakaian rapi tetapi tidak peduli dengan apa yang saya lakukan di ruang belajar tadi. Dengan gusar saya berteriak, “apa yang kalian lakukan di sini? Apa kalian tidak tau kalau sekarang waktunya harus berangkat ke gereja? Kenapa kalian masih santai-santai di sini?” Saya terus berteriak sampai akhirnya saya berkata, “saya sudah beri tanda nama-nama kalian yang tidak disiplin pagi ini. Itu berarti kalian siap diberi sanksi sesuai aturan kita!”
Serentak mereka mereaksi perkataan saya dengan keras. Mereka kompak menunjukkan respon protes terhadap saya. Suara mereka yang dari mana-mana dengan berbagai argumen menyerang saya untuk membenarkan diri, memberi alasan keterlambatan, dan menolak diberi sanksi. Hal itu membuat nyali saya ciut. Saya menjadi marah. Di tengah kegeraman itu, saya berupaya mencari dukungan frater bapak asrama. Ketika saya hendak melangkahkan kaki menuju kamarnya, dari jauh samar-samar saya mendapati sebuah ekspresi senang kemenangan merona di wajahnya. Sementara di belakang saya anak-anak mulai riuh, bertepuk tangan dengan riangnya. “Apa gerangan ini”, saya menggumam. Sesaat kemudian mereka kompak menyanyikan lagu “Happy birthday to you”. Ketika itu saya tersadar bahwa saya sedang di-kerjain. “Pekuleku...”, saya mengumpat sembari mengangkat sebuah tong sampah yang kebetulan berada di depan saya dan melemparkannya ke arah anak-anak. Tindakan saya yang disambut dengan sorak-sorai dan tepukan tangan kemenangan anak-anak ini bukan karena saya marah tetapi sebagai ucapan “terima kasih” atas perhatian yang telah mereka berikan di hari ulang tahun kelahiran saya ini.
Rencana mereka berjalan sempurna. Belakangan saya tahu, ternyata ide itu terlaksana atas usulan seorang anak asrama yang beberapa hari sebelumnya sempat tegang dengan saya lantaran saya mengasarinya. Aksi “balas dendamnya” sempurna dan bermartabat, hahaha. Bersama bapak asrama, mereka membahas rencana itu di sela-sela acara rutin asrama dengan melibatkan beberapa anak yang selama ini tidak pernah membangkan saya termasuk ketua asrama. Tentu tanpa sepengetahuan saya.
Aksi “balas dendam” ini bukan saja dari si anak itu tetapi juga dari sang bapak asrama. Frater yang dua tahun lebih senior dari saya inilah yang menjadi tokoh penting di balik semua ini. Dialah yang merancang skenarionya sebagai bentuk “pembalasan” terhadap aksi serupa yang pernah saya lakukan bersama anak-anak terhadapnya pada 12 hari sebelumnya.
Iyah, pada 8 April di tahun yang sama, peristiwa yang hampir serupa juga terjadi di asrama yang sama. Namun kali ini korbannya adalah frater bapak asrama. Rupanya kejadian yang menimpa saya ini merupakan bagian dari upaya pembalasan darinya.
Hari itu, 7 April 2008, sehari sebelum hari ulang tahun kelahiran sang bapak, kami merancang skenario untuk mengerjainya. Kami melakukan hal itu sebagai bentuk perhatian yang diungkapkan dengan cara kreatif. Otak dari perencanaan kali ini adalah saya dan seorang guru muda yang kebetulan merayakan hari ulang tahun kelahiran di waktu yang sama, 8 April juga. Frater bapak asrama dan si guru muda ini mempunyai kesamaan hari, tanggal dan tahun kelahiran. Mereka juga berasal dari daerah yang sama. Sebuah kebetulan yang membuat rencana kami semakin keren.
Sepanjang hari kami memikirkan rencana itu. Hingga di sore hari, kami menemukan idenya, yaitu kami akan menyuruh seorang anak asrama putera berpura-pura mengalami kesurupan ketika waktu menunjukkan tepat pukul 00.00, waktu ketika sang bapak merayakan hut kelahirannya.
Anak asrama yang kami pilih utuk menjadi pelaku aksi kami ini memang dalam keadaan sakit, sehingga kalau dia berpura-pura kesurupan bisa dipercaya. Apalagi pada sore hari itu sang bapak sempat mengungkapkan firasatnya, bahwa nanti akan terjadi “sesuatu” dengan anak ini. Untuk diketahui, waktu-waktu itu, yang namanya kesurupan di asrama putera, terlebih di asrama puteri sudah menjadi peristiwa yang sering terjadi. Sang bapaklah yang paling dibuat repot dalam menghadapi tragedi ini. Oleh karena itu, bisa dipahami apabila kadang-kadang beliau tiba-tiba berfirasat seperti itu. Kenyataan itulah yang kami manfaatkan untuk mengerjai dia.
Kami melibatkan beberapa anak asrama, sementara yang lain yang tidak terlibat dan sengaja tidak diberitahu, kami biarkan berjalan sebagaimana biasanya. Anak-anak yang diajak untuk terlibat, ada beberapa yang sempat menolak karena takut dimarahi oleh frater bapak asrama. Tetapi saya sebagai asisten bapak asrama berjanji bahwa saya akan bertanggung jawab perihal keterlibatan mereka. Dengan demikian rencana kami pun bisa berjalan dengan baik.
Waktu menunjukkan pukul 22.00, waktunya bagi anak-anak untuk tidur. Sementara sebagian anak sudah mulai tidur terutama yang tidak terlibat, tetapi ada beberapa yang lain, masuk keluar kamar tidur dan berjalan-jalan di sepanjang lorong asrama. Mereka ini adalah para pelaku. Syukurlah gerak-gerik mereka tidak menimbulkan kecurigaan bagi sang bapak.
Tepat pukul 00.00 tiba-tiba keributan terjadi di ruang tidur asrama putera. Beberapa anak dengan nafas tersengal-sengal menemui bapak asrama yang saat itu sedang nonton tv bersama kami di ruang rekreasi. Tentu ekspresi dan aksi yang diperlihatkan anak-anak ini hanyalah sandiwara yang membuat kami (saya dan si guru muda) tertawa terbahak-bahak di dalam hati. Namun tidak demikian bagi sang bapak. Dia terlihat begitu cemas merespon apa yang disampaikan anak-anak itu dan segera beranjak menuju kamar tidur mereka. Sebelumnya dia sempat berkata dengan agak bangga bahwa apa yang difirasatkannya sore tadi sungguh menjadi kenyataan. Sesaat kemudian kami berdua terbahak-bahak setelah sang bapak telah lenyap dalam keremangan malam di jalan menuju kamar tidur anak-anak.
Selanjutnya yang terjadi di kamar tidur menurut penuturannya sendri besoknya: sesampai di dalam kamar, dia langsung mendekati ranjang si anak, pelaku kesurupan dengan perasaan agak gugup sembari menanyakan apa yang terjadi pada teman-temannya yang berdiri mengintarinya. Di tengah malam beliau kebingungan, kemana harus meminta bantuan. Dalam suasama getir itu, di tengah si anak yang terus meronta layaknya orang yang kesurupan sungguhan, pandangannya menangkap seorang anak yang sedang memangku gitar untuk memainkannya. Hampir saja kemarahannya meledak sebelum si anak terlebih dahulu menge-jreng-kan gitar yang diikuti sorak-sorai anak-anak lain dengan semangat dan kompak. Mereka serentak menepuk tangan sembari menyanyikan lagu selamat ulang tahun diiringi petikan gitar. Ketika itu sang bapak tersadar bahwa ternyata dia sedang di-kerjain. hahahaha. Dia pun tahu siapa aktor dibaliknya.
Berbagai perasaan berkecamuk, campur-aduk antara marah, kesal, malu, kalah dan juga bahagia. Semua perasaannya itu melebur menjadi satu dan mengiringi langkahnya menemui kami di ruang rekreasi yang kompak menyambutnya dengan tawa kemenangan. Kami telah sukses menjahilinya.
Kami melewati momen persaudaraan itu dengan sungguh indah. Sebuah bentuk perhatian yang sangat sederhana namun sangat berkesan. Tidak ada tar ulang tahun dengan lilin bernyala. Tidak ada kecupan kening atau ciuman pipi. Yang ada hanyalah satu jabatan tangan erat, tanda kasih sebagai satu saudara yang sama-sama memilih jalan ini, pilihan hidup di jalan panggilan-Nya. Tidak ada sanak keluarga kandung yang ikut merayakan momen bahagia itu. Yang ada hanyalah teman sejawat dan anak-anak yang kami bimbing. Namun kami tetap bahagia mengalami realitas itu. Itulah konsekuensi pilihan hidup kami. Kami bahagia dan menerimanya dalam nada syukur.
Semua itu kami lalui dalam suasana persaudaraan tanpa saya berpikir bahwa dalam waktu 12 hari kemudian, tepatnya pada 20 April di tahun itu, saya akan mengalami hal yang sama, menjadi korban kejahilan sang bapak asrama. Hari itu pun akan datang, menjemput saya untuk merasakan “pembalasan”-nya.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment