Puteri
Malu
Sesuai
namanya, dia memang malu-malu. Awalnya aku tidak tahu kalau tumbuhan itu adalah
puteri malu. Untuk memastikannya aku menyentuh salah satu daunnya. Daun itu pun
merunduk seketika, malu-malu. Benarlah tumbuhan itu adalah puteri malu. Aku
tertarik memandangnya lantaran terpesona pada kembangnya yang indah, berwarna
putih dengan bintik-bintik merah muda yang dipadu dengan kombinasi warna hijau
pada daun-daunnya. “Hemmm…Tuhan sungguh hebat. Dia membatiknya sampai seindah
ini”, aku bergumam. Ada seekor lebah yang hinggap dan menari-nari di
kembang-kembangnya. Rupanya si puteri malu juga bermadu. Aku memperhatikan
duri-duri pada batangnya.
Aku
tersadar. Aku ingat seseorang. Bertemu puteri malu pagi ini seperti aku bertemu
dengan dirinya. Dirinya yang indah penuh pesona oleh karena kepribadian, bakat
dan kemampuan yang dimilikinya. Dirinya yang dilumuri oleh pengalaman “duri”
dalam perjalanan hidupnya. Dirinya yang kadang merunduk malu tatkala
kekurangannya “disentuh”.
Walaupun
duri identik dengan luka tetapi duri tidak selalu melukai. Duri bisa menjadi
cambuk pelecut semangatnya. Pengalaman-pengalaman “duri” dalam hidupnya telah
mendewasakan dia menjadi pribadi sebagaimana adanya dia sekarang. Dia malu pada
kekurangannya berarti dia menyadari keterbatasannya. Dia menjadi rendah hati
menerima dirinya yang apa adanya.
Akulah
si dia yang kujumpai pagi ini. Tuhan, terima kasih karena Kau telah
mempertemukan aku dengan diriku melalui perjumpaanku dengan si puteri malu.
Pembakaran
(di tempat ini segala sesuatu berakhir)
Pagi
ini, di pojok taman. Pada sebidang tanah berlubang, seonggok dedaunan kering
berserakan. Ada yang sudah terbakar menjadi setumpuk abu tak bernyawa. Aku
tersadar. Daun-daun itu berasal dari pohon-pohon hijau. Mereka dulu sejuk,
hijau, meneduhkan, menghasilkan oksigen, tempat bermain dan bersarangnya
burung-burung. Tetapi sekarang mereka hanyalah seonggok sampah tak berguna,
menunggu giliran untuk dibakar.
Begitulah
gambaran kehidupan manusia. Makhluk ciptaan Tuhan yang mulia sekaligus fana.
Hidup manusia akan berziarah menuju kebakaan. Kematian adalah pintu menuju kebakaan
manusia. Akankah perziarahanku dikenang sebagai onggokkan sampah tak berguna?
Ataukah hidupku senantiasa diwarnai kisah indah tentang kesejukkan, nafas yang
menghidupkan, keteduhan dan kenyamanan? Hai manusia, pilihan ada di tanganmu.
Jika masih ada waktu, pilihlah yang terbaik agar di penghujung ziarah hidupmu,
kau tidak dikenang sebagai seonggok dedaunan kering yang sia-sia dan tak
bernyawa. Tetapi kau adalah setumpuk sampah dari daun-daun hijau yang sungguh bermakna
pada setiap jejak-jejak langkah yang kau tinggalkan.
Buah
Percaya Diri
Berjalan-jalan,
sambil melihat-lihat. Aku berhenti pada sebuah tangga. Di sana tergeletak
sebuah……….. Ah, aku tidak tahu namanya. Aku lalu memberi dia nama, buah percaya
diri. Aku mengamat-amati buah itu. Berwarna kuning, berbiji coklat. Ada dua
buah biji dalam sekatnya masing-masing. Buahnya sudah terbela sehingga kedua
biji bisa terlihat dengan jelas. Aku mulai bertanya saat aku mengamat-amatinya,
“adakah sesuatu yang bisa aku pelajari dari buah ini?”
“Aku
adalah buah yang kau namai buah percaya diri. Aku berasal dari pohon yang
besar, gagah dan kuat. Sebenarnya aku masih ingin berada pada pohonku tetapi
aku tidak bisa begitu terus. Aku harus melepaskan diri agar aku bisa mandiri. Aku
punya biji yang bakal menumbuhkan kehidupan baru. Dia harus keluar, harus
memisahkan diri, harus keluar dari kenyamanan bersamaku agar dia bisa
bertumbuh. Tentu aku berharap dia mencari tanah yang subur agar dia bisa
bertumbuh dengan subur. Itulah aku”.
Sayup-sayup
aku mendengar perkenalan singkat dari buah percaya diri. Aku belajar bahwa aku
perlu keluar dari zona nyaman untuk membuat diriku bisa berkembang. Aku akan
bertumbuh jika aku berani keluar dari kenyamanan diriku. Aku akan menjadi
percaya diri apabila aku berani menjadi diriku sendiri.
Ciptaan
Tuhan
Pagi
yang indah. Aku berjalan-jalan di taman. Udara dingin nan sejuk. Kicauan burung
menggema. Cemara berayun, pinus melambai, dedaunan menghijau dan rerumputan
berseri-seri. Alam begitu indah pagi ini. “Tuhan, ciptaan-Mu begitu agung”,
pujiku pada Sang Pencipta. Wajahku ceria, jiwaku bergembira, hatiku bahagia dan
hariku menjadi lebih indah. Syukurku kunaikan kepada-Nya.
Aku
lalu ingat sesamaku. Ada yang tidak bisa melihat karena memang mereka buta. Ada
yang tidak bisa melihat karena tidak ada yang dapat dilihat. Ada yang tidak
bisa melihat karena hati mereka “buta”.
Aku
bisa melihatnya karena aku bukan mereka. Aku tidak buta, ada sesuatu yang bisa
aku lihat dan hatiku memang tidak “buta”. Aku selalu ingin melihat keindahan
ciptaan-Mu, Tuhan. Karena ciptaan-Mu selalu jujur menceritakan keagungan-Mu.