Sunday, 25 October 2015

Meditasi Alam

Puteri Malu
Sesuai namanya, dia memang malu-malu. Awalnya aku tidak tahu kalau tumbuhan itu adalah puteri malu. Untuk memastikannya aku menyentuh salah satu daunnya. Daun itu pun merunduk seketika, malu-malu. Benarlah tumbuhan itu adalah puteri malu. Aku tertarik memandangnya lantaran terpesona pada kembangnya yang indah, berwarna putih dengan bintik-bintik merah muda yang dipadu dengan kombinasi warna hijau pada daun-daunnya. “Hemmm…Tuhan sungguh hebat. Dia membatiknya sampai seindah ini”, aku bergumam. Ada seekor lebah yang hinggap dan menari-nari di kembang-kembangnya. Rupanya si puteri malu juga bermadu. Aku memperhatikan duri-duri pada batangnya.
Aku tersadar. Aku ingat seseorang. Bertemu puteri malu pagi ini seperti aku bertemu dengan dirinya. Dirinya yang indah penuh pesona oleh karena kepribadian, bakat dan kemampuan yang dimilikinya. Dirinya yang dilumuri oleh pengalaman “duri” dalam perjalanan hidupnya. Dirinya yang kadang merunduk malu tatkala kekurangannya “disentuh”.
Walaupun duri identik dengan luka tetapi duri tidak selalu melukai. Duri bisa menjadi cambuk pelecut semangatnya. Pengalaman-pengalaman “duri” dalam hidupnya telah mendewasakan dia menjadi pribadi sebagaimana adanya dia sekarang. Dia malu pada kekurangannya berarti dia menyadari keterbatasannya. Dia menjadi rendah hati menerima dirinya yang apa adanya.
Akulah si dia yang kujumpai pagi ini. Tuhan, terima kasih karena Kau telah mempertemukan aku dengan diriku melalui perjumpaanku dengan si puteri malu.

Pembakaran
(di tempat ini segala sesuatu berakhir)
Pagi ini, di pojok taman. Pada sebidang tanah berlubang, seonggok dedaunan kering berserakan. Ada yang sudah terbakar menjadi setumpuk abu tak bernyawa. Aku tersadar. Daun-daun itu berasal dari pohon-pohon hijau. Mereka dulu sejuk, hijau, meneduhkan, menghasilkan oksigen, tempat bermain dan bersarangnya burung-burung. Tetapi sekarang mereka hanyalah seonggok sampah tak berguna, menunggu giliran untuk dibakar.
Begitulah gambaran kehidupan manusia. Makhluk ciptaan Tuhan yang mulia sekaligus fana. Hidup manusia akan berziarah menuju kebakaan. Kematian adalah pintu menuju kebakaan manusia. Akankah perziarahanku dikenang sebagai onggokkan sampah tak berguna? Ataukah hidupku senantiasa diwarnai kisah indah tentang kesejukkan, nafas yang menghidupkan, keteduhan dan kenyamanan? Hai manusia, pilihan ada di tanganmu. Jika masih ada waktu, pilihlah yang terbaik agar di penghujung ziarah hidupmu, kau tidak dikenang sebagai seonggok dedaunan kering yang sia-sia dan tak bernyawa. Tetapi kau adalah setumpuk sampah dari daun-daun hijau yang sungguh bermakna pada setiap jejak-jejak langkah yang kau tinggalkan.

Buah Percaya Diri
Berjalan-jalan, sambil melihat-lihat. Aku berhenti pada sebuah tangga. Di sana tergeletak sebuah……….. Ah, aku tidak tahu namanya. Aku lalu memberi dia nama, buah percaya diri. Aku mengamat-amati buah itu. Berwarna kuning, berbiji coklat. Ada dua buah biji dalam sekatnya masing-masing. Buahnya sudah terbela sehingga kedua biji bisa terlihat dengan jelas. Aku mulai bertanya saat aku mengamat-amatinya, “adakah sesuatu yang bisa aku pelajari dari buah ini?”
“Aku adalah buah yang kau namai buah percaya diri. Aku berasal dari pohon yang besar, gagah dan kuat. Sebenarnya aku masih ingin berada pada pohonku tetapi aku tidak bisa begitu terus. Aku harus melepaskan diri agar aku bisa mandiri. Aku punya biji yang bakal menumbuhkan kehidupan baru. Dia harus keluar, harus memisahkan diri, harus keluar dari kenyamanan bersamaku agar dia bisa bertumbuh. Tentu aku berharap dia mencari tanah yang subur agar dia bisa bertumbuh dengan subur. Itulah aku”.
Sayup-sayup aku mendengar perkenalan singkat dari buah percaya diri. Aku belajar bahwa aku perlu keluar dari zona nyaman untuk membuat diriku bisa berkembang. Aku akan bertumbuh jika aku berani keluar dari kenyamanan diriku. Aku akan menjadi percaya diri apabila aku berani menjadi diriku sendiri.

Ciptaan Tuhan
Pagi yang indah. Aku berjalan-jalan di taman. Udara dingin nan sejuk. Kicauan burung menggema. Cemara berayun, pinus melambai, dedaunan menghijau dan rerumputan berseri-seri. Alam begitu indah pagi ini. “Tuhan, ciptaan-Mu begitu agung”, pujiku pada Sang Pencipta. Wajahku ceria, jiwaku bergembira, hatiku bahagia dan hariku menjadi lebih indah. Syukurku kunaikan kepada-Nya.
Aku lalu ingat sesamaku. Ada yang tidak bisa melihat karena memang mereka buta. Ada yang tidak bisa melihat karena tidak ada yang dapat dilihat. Ada yang tidak bisa melihat karena hati mereka “buta”.
Aku bisa melihatnya karena aku bukan mereka. Aku tidak buta, ada sesuatu yang bisa aku lihat dan hatiku memang tidak “buta”. Aku selalu ingin melihat keindahan ciptaan-Mu, Tuhan. Karena ciptaan-Mu selalu jujur menceritakan keagungan-Mu.
Comments
0 Comments