Sunday, 12 July 2015

Penjubahan

10 tahun lalu, tepatnya pada 12 Juli 2005. Hari itu adalah hari bersejarah dalam perjalanan hidup panggilan saya sebagai seorang Frater Bunda Hati Kudus. Pada hari itu saya memulai masa novisiat, tahap kedua masa pembinaan untuk menjadi seorang biarawan. Sebelumnya saya telah melewati tahap pembinaan awal selama setahun di Postulat yang bertempat di Maumere-Flores.
Masa novisiat berlangsung selama dua tahun yang diawali dengan serangkaian seremoni di antaranya, penjubahan (mengenakan busana biara), penyerahan konstitusi (sebuah buku yang berisi pedoman dan tata cara hidup sebagai seorang frater) serta pemberian nama biara, dari Arianus Adam Raja Oja (nama asli) menjadi Frater Maria Walterus, BHK (nama biara). Upacara tersebut dilaksanakan di Novisiat Frater BHK-Malang dalam sebuah Perayaan Ekaristi kudus bersama para frater dan umat yang diundang.
Jubah atau busana biara yang dikenakan berwarna putih dengan sabuk putih sebagai ikat pinggang atau disebut juga single. Jubah putih selain menjadi tanda kekhasan atau identitas kongregasi juga bermakna sebagai simbol penyerahan diri untuk hidup suci dan kudus bagi Allah. Sedangkan dengan mengenakan ikat pinggang (single) setiap frater diharapkan untuk menghidupi spiritualitas kehambaan seperti yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dalam upacara pembasuhan kaki para murid-Nya pada malam Perjamuan Terakhir. Teladan pelayanan Yesus ini adalah semangat yang hendak dihayati oleh setiap frater yang terpanggil menjadi pengikut-Nya.
Adapun nama Walterus yang saya pilih sebagai nama biara saya adalah sebuah nama yang saya ambil dari nama seorang frater Belanda, yaitu Frater Maria Walterus (P. F. J. van Hoesel). Frater ini telah meninggal pada 31 Maret 2004. Alasan saya memilih namanya dilatarbelakangi sebuah harapan agar kelak saya bisa setia sampai mati sebagai seorang frater seperti dia. Saya juga ingin meneladani cara hidupnya sebagai seorang guru yang sederhana, yang sebagian besar hidupnya dipersembahkan untuk mendapingi kaum muda.
Di hari bersejarah itu akan menjadi sangat istimewa apabila dihadiri oleh orang-orang terdekat terutama orang tua. Tentu berdasarkan pertimbangan jarak dan biaya perjalanan (transportasi). Saya secara pribadi tidak terlalu kecewa dengan ketiadaan orang tua atau pun handai taulan yang turut hadir dalam upacara itu. Namun saya merasakan bahwa ada sesuatu yang kurang dalam momen istimewa di hari bahagia itu. Maksud hati ingin berbagi kebahagiaan bersama keluarga terutama orang tua, khususnya ibuku, namun apa daya ia telah tiada. Melalui doa dalam kesyahduan kukirimkan rasa bahagiaku bagi dia yang di atas sana sembari memohon doa dan restunya bagi langkah hidup panggilanku selanjutnya. Dan kepada Tuhan kupanjatkan syukurku atas rahmat panggilan suci ini.

Malang, 12 Juli 2015
Comments
0 Comments