10 tahun lalu, tepatnya pada 12
Juli 2005. Hari itu adalah hari bersejarah dalam perjalanan hidup panggilan
saya sebagai seorang Frater Bunda Hati
Kudus. Pada hari itu saya memulai masa novisiat, tahap kedua
masa pembinaan untuk menjadi seorang biarawan. Sebelumnya saya telah
melewati tahap pembinaan awal selama setahun di Postulat yang bertempat di Maumere-Flores.
Masa
novisiat berlangsung selama dua tahun yang diawali dengan serangkaian seremoni
di antaranya, penjubahan (mengenakan busana biara), penyerahan konstitusi (sebuah buku yang
berisi pedoman dan tata cara hidup sebagai seorang frater) serta pemberian nama
biara, dari Arianus Adam Raja Oja (nama asli) menjadi Frater Maria Walterus,
BHK (nama biara). Upacara tersebut dilaksanakan di Novisiat Frater BHK-Malang
dalam sebuah Perayaan Ekaristi kudus bersama para frater dan umat yang
diundang.
Jubah
atau busana biara yang dikenakan berwarna putih dengan sabuk putih sebagai ikat
pinggang atau disebut juga single. Jubah putih selain menjadi tanda kekhasan
atau identitas kongregasi juga bermakna sebagai simbol penyerahan diri untuk
hidup suci dan kudus bagi Allah. Sedangkan dengan mengenakan ikat pinggang
(single) setiap frater diharapkan untuk menghidupi spiritualitas kehambaan
seperti yang ditunjukkan oleh Tuhan Yesus dalam upacara pembasuhan kaki para
murid-Nya pada malam Perjamuan Terakhir. Teladan pelayanan Yesus ini adalah
semangat yang hendak dihayati oleh setiap frater yang terpanggil menjadi
pengikut-Nya.
Adapun
nama Walterus yang saya pilih sebagai nama biara saya adalah sebuah nama yang
saya ambil dari nama seorang frater Belanda, yaitu Frater Maria Walterus (P. F.
J. van Hoesel). Frater ini telah meninggal pada 31 Maret 2004. Alasan saya
memilih namanya dilatarbelakangi sebuah harapan agar kelak saya bisa setia
sampai mati sebagai seorang frater seperti dia. Saya juga ingin meneladani cara
hidupnya sebagai seorang guru yang sederhana, yang sebagian besar hidupnya
dipersembahkan untuk mendapingi kaum muda.
Di
hari bersejarah itu
akan menjadi sangat istimewa apabila dihadiri oleh orang-orang terdekat
terutama orang tua. Tentu berdasarkan pertimbangan jarak dan biaya perjalanan
(transportasi). Saya secara
pribadi tidak terlalu kecewa dengan ketiadaan orang tua atau pun handai taulan
yang turut hadir dalam upacara itu. Namun saya merasakan bahwa ada sesuatu yang
kurang dalam momen istimewa di hari bahagia itu. Maksud hati ingin berbagi
kebahagiaan bersama keluarga terutama orang tua, khususnya ibuku, namun apa
daya ia telah tiada. Melalui doa dalam kesyahduan kukirimkan rasa bahagiaku
bagi dia yang di atas sana sembari memohon doa dan restunya bagi langkah hidup
panggilanku selanjutnya. Dan kepada Tuhan kupanjatkan syukurku atas rahmat
panggilan suci ini.
Malang, 12 Juli 2015