Aku pernah membaca sebuah
buku kecil yang di dalamnya tertulis kisah-kisah menarik tentang seorang ayah.
Aku membeli buku itu di sebuah minimarket dekat rumah. Setelah membaca
penggalan-penggalan cerita pendek yang dikisahkan dalam buku setebal 190
halaman itu, aku menjadi sangat rindu pada ayahku yang berada di kampung.
Kisah-kisah inspiratif
tentang seorang ayah yang disampaikan melalui buku kecil itu membawaku pada
sebuah kesadaran bahwa begitu besar cinta seorang lelaki yang diserahi amanah
oleh Sang Khalik menjadi ayahku. Cinta tulusnya yang kadang tampak tersamar
karena bersembunyi di balik kelembutan kasih sayang ibu. Benarlah kata orang
bahwa seorang ayah adalah pemilik cinta yang kadang tak dianggap. Demikian juga
ayahku. Mengatakan bahwa ayah mencintai kami, putra-putrinya rasanya aneh.
Apalagi setelah ibu meninggal dunia, ayah pergi meninggalkan kami untuk
merantau ke negeri orang. Bertahun-tahun hidup tanpa orang tua, bisa
dibayangkan betapa merananya kami.
Namun itu dulu. Sekarang,
saat usia kami beranjak dewasa, setelah kedua putri ayah telah menikah, kami
baru menyadari betapa ayah sangat mencintai kami. Dulu kami sering protes
kepada ayah, mengapa ayah tega meninggalkan kami setelah kami baru saja ditinggal
ibu untuk selamanya. Sekarang, ketika kami telah mengerti tentang hidup dengan
segala dinamikanya, kami baru menyadari bahwa ayah memutuskan pergi merantau
bukan karena ingin menelantarkan kami. Ayah terpaksa melakukan hal itu karena
ayah tidak kuat menghadapi kenyataan hidup bahwa dia harus kehilangan istri
yang sangat dicintainya ketika kami masih kecil. Bagi ayah, kehilangan ibu dapat
diibaratkan dengan seorang pelukis yang kehilangan pengelihatannya, seperti
seorang musisi yang kehilangan pendengarannya atau seperti seorang koki yang
kehilangan daya kecapnya.
Banyak orang mengatakan
bahwa kepergian ayah meninggalkan kami untuk menghindari tanggung jawabnya
sebagai orang tua. Apalagi semenjak ayah memiliki istri kedua setelah
kepulangannya yang pertama dari tanah rantau. Keluarga besar ibu sangat kecewa
dengan keputusan ayah ini. Aku dan kakak-kakakku dulu juga merasakan seperti
itu. Namun sekarang kami baru menyadari bahwa ayah peduli dengan kehidupan dan
masa depan kami. Ayah sebenarnya tidak tega meninggalkan kami untuk pergi
merantau. Tuntutan situasilah yang membuatnya seperti itu. Dengan pergi
merantau ayah hanya ingin melupakan ibu yang telah meninggalkannya. Walaupun
sulit tetapi cara inilah yang bisa dilakukan ayah saat itu untuk menyembuhkan
luka hatinya lantaran ditinggalkan wanita yang sangat dikasihinya, ibu kami. Tentang
keberadaan ibu tiriku, ayah bermaksud dengan kehadirannya bisa memenuhi dahaga
kami yang kehilangan kasih sayang seorang ibu. Apalagi ibu tiriku adalah sepupu
ibuku sendiri. Ah…ayahku memang benar-benar pemilik cinta yang terlupakan. ***
“Ayah, terima kasih atas
kegantengan yang kau wariskan kepadaku”. Aku pernah mem-posting kata-kata tersebut di media sosial, facebook. Sebuah
kalimat pendek yang sukses menuai beragam komentar, entah yang mendukung maupun
sebaliknya. Namun bukan untuk itu tujuannya. Aku menulis kata-kata itu sebagai
ungkapan rasa banggaku pada ayah. Kegantengan yang kumaksudkan tidak bemakna
harafia belaka. Karena memang demikian adanya. Ayahku tidak setampan bintang
film Bollywood atau segagah actor-actor Hollywood. Ayahku hanyalah seorang
pemuda kampung yang menjadi istimewa karena menikahi ibuku yang adalah seorang
gadis cantik puteri seorang pemuka wilayah. Menurut cerita ayah, perjodohan
mereka terjadi karena orang tua ibuku mengetahui bahwa orang tua ayah memiliki
persediaan belis (gading gajah) yang banyak sebagai mahar perkawinan
sebagaimana yang lazim dalam adat perkawinan di daerah kami. Ada 12 batang
belis yang dibawa orang tua ayah untuk meminang ibu. Atas dasar inilah ayah dan
ibu menjadi sepasang suami istri dan orang tua bagi kami. Pesta pernikahan
mereka menjadi yang terbesar dalam sejarah perayaan-perayaan dalam keluarga
besar kami. Begitulah nenekku sering bernostalgia ketika hati kami sama-sama merindu
pada sesosok pribadi yang adalah ibuku dan juga puteri nenek.
Seorang Pastor pernah
berkisah kepadaku untuk melengkapi cerita nenek. Katanya pernikahan orang tuaku
memang sangat meriah dan berlangsung secara besar-besaran. Masih segar dalam ingatan
sang Pastor yang kala itu masih seorang murid SD, sebuah lagu yang diciptakan
khusus untuk pernikahan ayah-ibu. Dalam tradisiku, lagu itu diberi nama ”more”, sebuah lagu kenangan yang
berisikan lirik-lirik bernuansa syukur dan pujian. Syair-syair lagu itu menjadi
kenangan indah sang Gembala dan menjadi penyemangat beliau dalam perjalanan
pastoralnya di daerah pedalaman Papua, tanah misi tempatnya berkarya saat ini.
Ayahku pekerja keras dan
tekun. Dia memiliki jiwa seni. Cara kerjanya rapi dan tidak banyak menuntut. Meneladani
kesederhaan hidupnya adalah modalku bagi perjalanan hidup panggilanku. Aku
masih ingat pesan ayah ketika aku mau berangkat ke Malang untuk memasuki masa
novisiatku, ayahku berkata, “nak, selamat jalan, berusahalah menekuni panggilan
hidupmu dengan sungguh-sungguh. Jangan ikut orang, ikutilah ayahmu, orang yang
tidak punya apa-apa ini.” Air mataku kadang tak kuasa kubendung ketika hatiku
rindu pada ayah dengan kata-katanya yang sederhana ini. Pesan ayah sangat
membekas dalam ingatanku di sepanjang hidupku. Ayahku menekankan pengtingnya
kesederhanaan hidup seperti yang telah ditunjukkannya kepada kami,
anak-anaknya. Aku sangat bersyukur karena teladan kesederhanaan yang diwariskan oleh ayahku ini sejalan dengan
semangat yang dihidupi oleh tarekatku.
Satu lagi yang membuatku
kagum pada ayahku. Ternyata ayahku adalah pesepak bola sejati. Ayahku memiliki
talenta yang luar biasa dalam dunia sepak bola. Ayahku pernah berkisah, di
usianya yang masih sangat muda, ayah pernah terpilih menjadi pemain bola kaki
di tingkat kecamatan dengan spesialis posisi sebagai penyerang. Kelihaiannya
menggiring bola yang didukung dengan kualitas skill yang mumpuni membuat ayahku
menjadi istimewa di mata para penonton. Aksi-aksi brilian mengolah si kulit
bundar itu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar ayahku. Semua
itu diperoleh ayahku secara alami. Ayahku tidak pernah mengenal SSB yang memang
tidak ada di kampung halamannya. Kemampuannya adalah murni sebuah bakat alami
pemberian Yang Kuasa.
Namun, sayangnya bakat
ayahku ini akhirnya tinggal cerita. Ayahku terpaksa meninggalkan dunia sepak
bola seiring dengan berakhirnya masa lajang ayahku lantaran menikah dengan
ibuku di usianya yang baru 18 tahun. Padalah ayahku sudah dipersiapkan untuk
menjadi pemain kabupaten mewakili kecamatannya dengan jaminan akan diangkat
menjadi PNS. Pelatihnya sangat kecewa ketika mengetahui hal ini dan untuk
mengobati rasa kecewanya, ia ikut hadir dalam pesta pernikahan ayahku.
Ah…ayahku memang luar
biasa. Hati kecilku selalu berteriak, “aku bangga menjadi puteramu, ayah”. Kebanggaanku
pada ayah semakin lengkap ketika aku sadar bahwa kesukaannku di dunia sepak
bola adalah warisan ayahku dan aku sangat menikmati permainan sepak bola untuk
mengisi waktu-waktu olahraga di biara dengan posisi penyerang sama seperti
ayahku ketika masih aktif sebagai pemain bola kaki. Itulah makna kegantengan
yang kumaksdukan yang diwarisi oleh ayahku.
Semuanya berjalan secara
alami. Ayahku tidak banyak bicara. Tidak melalui ceramah atau pun petuah-petuah
bijak yang disampaikannya. Semua yang dimiliki ayahku diwariskan melalui pola
tingkah dan teladan hidup yang ditunjukkan dalam kesehariannya. Atas dasar
inilah aku sampai punya kesimpulan sendiri tentang ayahku.
Sebagai putera sulung ayah,
aku akhirnya sadar bahwa ayah pergi merantau ketika aku masih sangat kecil itu
merupakan cara ayah mendidikku. Ayah tidak pernah mengajariku cara berjalan
ketika kakiku sudah bisa melangkah. Ayah tidak pernah mengajariku cara memegang
sendok yang benar ketika mulutku sudah bisa mengunyah makanan sendiri. Ayah
tidak pernah mengajariku cara berpakaian ketika aku mulai mengenal rasa malu. Ayah
tidak pernah mengajariku cara berdoa ketika aku mulai mengetahui adanya agama. Ayah
pun tidak pernah memelukku ketika hatiku menangis lantaran rindu yang tak
tertahankan pada ibuku yang telah tiada. Ayah juga tidak pernah mengajariku
cara bermain sepak bola yang baik yang menjadi kealihannya.
Namun, satu hal yang kutahu
pasti, mungkin karena ayahku terlalu baik sehingga Tuhan mengajarinya cara
dalam menata masa depanku. Ayah membiarkan aku belajar mandiri sejak dini tanpa
bimbingannya agar kelak aku kuat dan tangguh menjadi pewaris trahnya. Ayah
mengajariku terbiasa dengan pengalaman-pengalaman penderitaan dan hidup susah
tanpa tangan kekarnya yang menyanggaku agar aku bisa memaknai setiap hikmah dan
pesan di baliknya. Bagi ayah, penderitaan adalah sekolah hidup yang mengajariku
untuk memahami dinamika hidup yang lebih mendalam dengan iman yang lebih kuat.
Ayah mengimani sebagaimana adanya Jalan Salib dan Kalvari sebelum Paskah dan “kubur
kosong” demikian juga akan selalu ada kabut penderitaan sebelum adanya sebuah
terang kebahagiaan. Aku diberinya ruang dan waktu untuk belajar dan mengerti banyak
hal secara mandiri di bawah bimbingan kakakku yang sulung yang kehadirannya merangkap
ibu sekaligus ayah bagi kami. Apakah ayahku tidak bertanggung jawab seperti
yang dikeluhkan oleh beberapa orang di sekitar kami? Dengan sadar aku
mengatakan bahwa ayahku adalah seorang bapak yang baik, seorang ayah yang penuh
tanggung jawab. Kesadaranku ini adalah buah refleksiku tentang peran ayah yang tak
kelihatan tetapi ada. Ayah membiayai kebutuhan hidup kami terutama biaya
sekolah kakak-kakakku dari hasil jerih payahnya di tanah orang. Saban hari
dalam setiap detak jantungnya ada wajah dengan nama kami masing-masing yang
menjadi jiwa-jiwa yang sangat dirindukannya. Di sela-sela kesibukannya, ada
lantunan doa yang dihunjukkan untuk kebaikan, kesehatan dan kesuksesan kami, putra-putrinya.
Tentu ayahku juga mempunyai harapan-harapan yang indah bagi setiap kami.
Dan kini, di senja
kehidupannya, ayahku menjadi lebih bahagia bersama ketiga jagoan ayah, buah
cinta ayah dari perkawinannya bersama mamaku yang kedua yang kini telah
bertakhta di singgasana Bapa di surga bersama ibuku. Hari-hari ayahku menjadi lebih
ceria berkat kehadiran tiga kehidupan baru, cucu-cucu ayah. Namun, ada satu
yang menjadi harapan ayah tentu juga harapanku yaitu “menanggalkan” status “mama”
yang melekat di pundak putri sulungnya dan menyandingkannya di sisi seorang
pria yang menjadi suaminya. Dan juga ayah ingin melihat putra bungsunya
melangkah pada jalan yang telah ditunjukkannya. Itulah sekelumit kebahagiaan
ayah yang masih tersimpan di memori pengharapannya.
Dan aku dengan jalan
panggilanku, bahagiakah ayah dengan jalan hidup yang kupilih ini? Aku menunggu
senyum ayah menyambut jubah putihku yang melangkah ke altar Tuhan, mempersembahkan
diriku seutuhnya untuk kemuliaan Nama-Nya. Itulah doaku dan semoga juga menjadi
doa dan harapan ayah, pemilik cinta yang hampir dilupakan.
Rumah Retret “Bintang Kejora” Pacet, 26 Juni
2015
Didedikasikan untuk ayahku.
Oleh
Walter Odja Arryano, BHK