Wednesday, 17 June 2015

Foto Wisuda

Masing-masing orang mempunyai caranya sendiri-sendiri untuk mengabadikan momen-monen penting dalam hidupnya. Ada yang melakukannya melalui tulisan, rekaman video atau audio dan ada juga yang mengabadikannya melalui foto. Momen-momen yang diabadikan itu juga beragam, misalnya momen berkarya wisata ke suatu tempat terkenal nan eksotis, perayaan HUT kelahiran, pesta pernikahan, wisuda, dan sebagainya. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi tentang keberadaan sebuah pigura yang dipajang di dinding kamar saya. Pigura itu berisi foto diri saya berbalut busana wisuda lengkap dengan atribut-atributnya. Itu adalah foto wisuda saya.
Pada 1 November 2014, saya mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup saya melalui sebuah foto berbingkai itu. Hari itu adalah hari ketika saya diwisuda menjadi seorang sarjana muda di bidang pendidikan (S.Pd) melalui serangkain acara yang khidmat dan meriah di sebuah universitas swasta di kota Surabaya. Upacara itu dilakukan setelah kurang lebih 4 tahun saya terdaftar sebagai mahasiswa di kampus tersebut.
Melalui SK yang berlaku terhitung mulai 1 Juli 2010, saya mendapat tugas perutusan studi. Pada waktu itu saya diberi tanggung jawab oleh pimpinan untuk menempuh pendidikan tinggi jurusan pendidikan bahasa Jerman di sebuah universitas negeri di kota Surabaya. Namun saya dinyatakan tidak diterima setelah menjalani serangkaian tes masuk. Setelah berkonsultasi dengan pimpinan waktu itu, akhirnya saya mendaftarkan diri untuk berkuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya mengambil program studi pendidikan bahasa Inggris. Mulai saat itu saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa di kampus swasta tersebut.
Menjalani tugas perutusan sebagai religius studi adalah hal yang tidak mudah bagi saya. Saya adalah biarawan satu-satunya yang menjadi mahasiswa di kampus itu dengan mayoritas mahasiswa non Katolik. Berbagai kesulitan pun saya hadapi terutama pada masa-masa awal perkuliahan.
Saya lulus SMA tahun 2004, itu artinya telah 6 tahun saya tidak berhubungan dengan dunia pendidikan. Ada materi-materi pelajaran yang diperoleh di bangku sekolah menengah dulu yang sudah mulai dilupakan. Dari segi usia, 95 % teman-teman saya adalah mahasiswa dengan rata-rata usia 6-7 tahun di bawah usia saya. Hampir semua dari mereka adalah generasi yang hidup dan dibesarkan dalam ruang lingkup kehidupan kota besar yang kualitas pendidikannya sudah maju dengan tunjangan fasilitas yang mumpuni sehingga menjamin mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang jauh lebih luas dan tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi. Bagi mereka, seorang guru adalah mitra diskusi, tempat setiap pertanyaan dituju, kolega belajar bahkan rival debat atau teman berbagi.
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan pola pendidikan yang saya alami. Saya berasal dari daerah yang kehidupannya tidak semaju teman-teman saya. Mutu dan fasilitas pendidikannya juga berbeda. Seorang guru di tempat saya adalah sosok yang disegani bahkan ditakuti. Tidak semua siswa bisa berinteraksi dengan guru secara bebas entah dalam konteks belajar atau relasi di luar sekolah. Akibatnya siswa-siswi menjadi lebih pasif dan kurang percaya diri. Hal itu juga yang saya alami. Tentu tidak semua mengalaminya seperti saya.
Selain itu masih ada hal-hal lain yang menjadi kendala bagi saya dalam menjalani masa-masa awal studi diantaranya, saya menjadi minoritas dari segi budaya, suku, bahasa dan agama. Selama satu setengah tahun (3 semester) saya pergi dan pulang kampus menggunakan angkutan umum dengan jarak tempuh rata-rata 1 jam dalam perjalanan.  Artinya, jika perkuliahan dimulai pada pukul 08.00 saya harus sudah berangkat paling lambat pukul 07.00 agar tidak terlambat. Jalur angkot yang berliku-liku, masuk keluar gang, sering macet pada suasana kota besar yang padat, ramai, bising dengan suhu udara yang amat panas dan di lain waktu terpaksa basah kuyup oleh karena kehujanan yang tak terhindarkan. Semua itu menambah daftar kesulitan yang saya alami pada masa-masa awal perkuliahan. Bisa dibayangkan betapa besarnya tantangan yang saya hadapi dalam menyesuaikan diri dengan semua itu. Bukan berarti saya manja atau ingin menunjukkan kesombongan diri saya tetapi itu realita yang pernah saya alami.
Puji Tuhan, pada akhirnya saya mampu melalui semua proses adaptasi itu dengan baik. Semua itu berkat dukungan yang diberikan oleh para saudara sekomunitas. “Entah sebagai mahasiswa yang kerjanya menghabiskan uang kongregasi maupun sebagai kepala sekolah yang menghasilkan banyak uang untuk kongregasi, kita semua sama-sama sedang menjalani tugas perutusan kongregasi. Yang paling penting kita menjalaninya sepenuh hati dan bertanggung jawab sebagai bentuk persembahan diri kita untuk kongregasi, Gereja dan sesama”. Kata-kata peneguhan yang pernah diucapkan oleh seorang frater itu menjadi pelecut semangat saya tatkala rasa lelah menghampiri lantaran rutinitas perkuliahan yang menjenuhkan.
Masa kuliah 8 semester pun akhirnya berlalu setelah 4 tahun saya bergulat dengan tugas perutusan ini.  Ada pengalaman suka dan duka yang turut mewarnai. Ada tawa dan canda yang turut menghiasi. Ada pula sakit dan kecewa yang kadang menghantui perjalanan saya pada masa-masa ketika predikat mahasiswa disematkan pada pundakku. Masa-masa yang indah namun penuh perjuangan.
Berbagai penggalan kisah pun terukir indah di singgasana hatiku dengan beragam topiknya. Mulai dari kisah inspiratif penuh hikmah hingga cerita melankolis ala mahasiswa; mulai dari kisah petualangan penuh tantangan hingga cerita konyol sebagaimana dialami mahasiswa pada umumnya. Semua itu menjadi pengalaman berharga bagi hidup dan turut memberi andil bagi perjalanan panggilan saya.
Sebuah foto yang terpajang di kamar saya itu merekam semuanya. Keberadaannya bukan untuk memberitahukan kepada semua yang melihatnya bahwa saya adalah seorang sarjana. Bukan! Bukan untuk itu! Apalah artinya bagi seorang sarjana apabila ia tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di perguruan tinggi kepada orang lain sesuai dengan medan karya dan panggilan hidupnya. Hal itu juga yang menjadi tantangan tersendiri bagi diri saya secara pribadi.
Saya sengaja memajang foto wisuda saya di tempat yang mudah dilihat dengan maksud agar saya selalu sadar bahwa kongregasi telah membekali saya dengan ilmu pengetahuan yang cukup dan pengalaman yang memadai dan saya hendaknya bertanggung jawab dengan bekal yang diberikan itu untuk dipersembahkan demi kemuliaan nama Tuhan dan hidup saya mampu menjadi berkat bagi sesama melalui cara hidup dan karya pelayanan yang saya embani.
Selain itu, foto itu juga menjadi bagaikan meterai yang mengabadikan ingatan saya akan sebuah proses yang pernah saya lakoni. Sebuah proses yang menurut saya tidak mudah namun memiliki sumbangsih bagi pengembangan diri saya dalam perjalanan hidup yang sedang saya jalani ini. Dekianlan foto itu memerankan fungsinya sebagai media bagi saya untuk mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup saya. Sebagaimana yang telah saya utarakan pada awal tulisan ini. 
Comments
0 Comments