Masing-masing
orang mempunyai caranya sendiri-sendiri untuk mengabadikan momen-monen penting
dalam hidupnya. Ada yang melakukannya melalui tulisan, rekaman video atau audio
dan ada juga yang mengabadikannya melalui foto. Momen-momen yang diabadikan itu
juga beragam, misalnya momen berkarya wisata ke suatu tempat terkenal nan
eksotis, perayaan HUT kelahiran, pesta pernikahan, wisuda, dan sebagainya. Melalui
tulisan ini, saya ingin berbagi tentang keberadaan sebuah pigura yang dipajang
di dinding kamar saya. Pigura itu berisi foto diri saya berbalut busana wisuda
lengkap dengan atribut-atributnya. Itu adalah foto wisuda saya.
Pada 1
November 2014, saya mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup saya melalui
sebuah foto berbingkai itu. Hari itu adalah hari ketika saya diwisuda menjadi
seorang sarjana muda di bidang pendidikan (S.Pd) melalui serangkain acara yang
khidmat dan meriah di sebuah universitas swasta di kota Surabaya. Upacara itu
dilakukan setelah kurang lebih 4 tahun saya terdaftar sebagai mahasiswa di
kampus tersebut.
Melalui
SK yang berlaku terhitung mulai 1 Juli 2010, saya mendapat tugas perutusan
studi. Pada waktu itu saya diberi tanggung jawab oleh pimpinan untuk menempuh
pendidikan tinggi jurusan pendidikan bahasa Jerman di sebuah universitas negeri
di kota Surabaya. Namun saya dinyatakan tidak diterima setelah menjalani
serangkaian tes masuk. Setelah berkonsultasi dengan pimpinan waktu itu,
akhirnya saya mendaftarkan diri untuk berkuliah di Universitas Wijaya Kusuma
Surabaya mengambil program studi pendidikan bahasa Inggris. Mulai saat itu saya
tercatat sebagai salah satu mahasiswa di kampus swasta tersebut.
Menjalani
tugas perutusan sebagai religius studi adalah hal yang tidak mudah bagi saya.
Saya adalah biarawan satu-satunya yang menjadi mahasiswa di kampus itu dengan
mayoritas mahasiswa non Katolik. Berbagai kesulitan pun saya hadapi terutama
pada masa-masa awal perkuliahan.
Saya
lulus SMA tahun 2004, itu artinya telah 6 tahun saya tidak berhubungan dengan
dunia pendidikan. Ada materi-materi pelajaran yang diperoleh di bangku sekolah
menengah dulu yang sudah mulai dilupakan. Dari segi usia, 95 % teman-teman saya
adalah mahasiswa dengan rata-rata usia 6-7 tahun di bawah usia saya. Hampir
semua dari mereka adalah generasi yang hidup dan dibesarkan dalam ruang lingkup
kehidupan kota besar yang kualitas pendidikannya sudah maju dengan tunjangan
fasilitas yang mumpuni sehingga menjamin mereka memiliki pengetahuan dan
wawasan yang jauh lebih luas dan tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi.
Bagi mereka, seorang guru adalah mitra diskusi, tempat setiap pertanyaan
dituju, kolega belajar bahkan rival debat atau teman berbagi.
Hal ini
sungguh jauh berbeda dengan pola pendidikan yang saya alami. Saya berasal dari
daerah yang kehidupannya tidak semaju teman-teman saya. Mutu dan fasilitas
pendidikannya juga berbeda. Seorang guru di tempat saya adalah sosok yang
disegani bahkan ditakuti. Tidak semua siswa bisa berinteraksi dengan guru
secara bebas entah dalam konteks belajar atau relasi di luar sekolah. Akibatnya
siswa-siswi menjadi lebih pasif dan kurang percaya diri. Hal itu juga yang saya
alami. Tentu tidak semua mengalaminya seperti saya.
Selain
itu masih ada hal-hal lain yang menjadi kendala bagi saya dalam menjalani
masa-masa awal studi diantaranya, saya menjadi minoritas dari segi budaya,
suku, bahasa dan agama. Selama satu setengah tahun (3 semester) saya pergi dan
pulang kampus menggunakan angkutan umum dengan jarak tempuh rata-rata 1 jam dalam
perjalanan. Artinya, jika perkuliahan
dimulai pada pukul 08.00 saya harus sudah berangkat paling lambat pukul 07.00
agar tidak terlambat. Jalur angkot yang berliku-liku, masuk keluar gang, sering
macet pada suasana kota besar yang padat, ramai, bising dengan suhu udara yang
amat panas dan di lain waktu terpaksa basah kuyup oleh karena kehujanan yang
tak terhindarkan. Semua itu menambah daftar kesulitan yang saya alami pada
masa-masa awal perkuliahan. Bisa dibayangkan betapa besarnya tantangan yang
saya hadapi dalam menyesuaikan diri dengan semua itu. Bukan berarti saya manja
atau ingin menunjukkan kesombongan diri saya tetapi itu realita yang pernah
saya alami.
Puji
Tuhan, pada akhirnya saya mampu melalui semua proses adaptasi itu dengan baik.
Semua itu berkat dukungan yang diberikan oleh para saudara sekomunitas. “Entah sebagai mahasiswa yang kerjanya menghabiskan
uang kongregasi maupun sebagai kepala sekolah yang menghasilkan banyak uang
untuk kongregasi, kita semua sama-sama sedang menjalani tugas perutusan
kongregasi. Yang paling penting kita menjalaninya sepenuh hati dan bertanggung
jawab sebagai bentuk persembahan diri kita untuk kongregasi, Gereja dan
sesama”. Kata-kata peneguhan yang pernah diucapkan oleh seorang frater itu
menjadi pelecut semangat saya tatkala rasa lelah menghampiri lantaran rutinitas
perkuliahan yang menjenuhkan.
Masa
kuliah 8 semester pun akhirnya berlalu setelah 4 tahun saya bergulat dengan
tugas perutusan ini. Ada pengalaman suka
dan duka yang turut mewarnai. Ada tawa dan canda yang turut menghiasi. Ada pula
sakit dan kecewa yang kadang menghantui perjalanan saya pada masa-masa ketika
predikat mahasiswa disematkan pada pundakku. Masa-masa yang indah namun penuh
perjuangan.
Berbagai
penggalan kisah pun terukir indah di singgasana hatiku dengan beragam topiknya.
Mulai dari kisah inspiratif penuh hikmah hingga cerita melankolis ala
mahasiswa; mulai dari kisah petualangan penuh tantangan hingga cerita konyol
sebagaimana dialami mahasiswa pada umumnya. Semua itu menjadi pengalaman
berharga bagi hidup dan turut memberi andil bagi perjalanan panggilan saya.
Sebuah
foto yang terpajang di kamar saya itu merekam semuanya. Keberadaannya bukan
untuk memberitahukan kepada semua yang melihatnya bahwa saya adalah seorang
sarjana. Bukan! Bukan untuk itu! Apalah artinya bagi seorang sarjana apabila ia
tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di perguruan tinggi kepada
orang lain sesuai dengan medan karya dan panggilan hidupnya. Hal itu juga yang
menjadi tantangan tersendiri bagi diri saya secara pribadi.
Saya
sengaja memajang foto wisuda saya di tempat yang mudah dilihat dengan maksud
agar saya selalu sadar bahwa kongregasi telah membekali saya dengan ilmu
pengetahuan yang cukup dan pengalaman yang memadai dan saya hendaknya
bertanggung jawab dengan bekal yang diberikan itu untuk dipersembahkan demi
kemuliaan nama Tuhan dan hidup saya mampu menjadi berkat bagi sesama melalui
cara hidup dan karya pelayanan yang saya embani.
Selain
itu, foto itu juga menjadi bagaikan meterai yang mengabadikan ingatan saya akan
sebuah proses yang pernah saya lakoni. Sebuah proses yang menurut saya tidak
mudah namun memiliki sumbangsih bagi pengembangan diri saya dalam perjalanan
hidup yang sedang saya jalani ini. Dekianlan foto itu memerankan fungsinya
sebagai media bagi saya untuk mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup
saya. Sebagaimana yang telah saya utarakan pada awal tulisan ini.