“Ibu
adalah wanita terhebat di dunia ini. Selamat hari ibu.” Seorang sahabat menulis
status di account FB-nya demikian. Rangkain kata-kata itu
mengusik pikiranku. Sungguhkah seorang pribadi bernama ibu adalah wanita
terhebat di muka bumi ini?
Di suatu malam yang sunyi,
aku duduk merenung, mencermati makna yang tersirat di balik deretan kata-kata
yang baru saja kubaca di media sosial itu. Ditemani temaran kawanan bintang
yang sedang asyik mendandani langit berpesona remangan cahaya rembulan malam
itu, aku bangkit menatap angkasa ingin menggugat surga, kediaman abadi ibuku.
“Sungguhkah ibu adalah wanita terhebat sehingga hampir semua lidah mengakuinya?
Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu! Biarlah ibuku memberi jawaban untuk membuktikan
dirinya sebagai wanita terhebat di dunia ini agar rindu ini terobati, sakit
kehilangan ini tersembuhkan, agar benak ini tak sangsi lagi dan lidah ini tak
kelu tatkala hati teguh mengumandangkan kehebatannya seperti yang diungkapkan
sebayaku!”
Entah apa jawaban dari
surga kala itu, namun satu hal yang masih terlukis indah di hati ini adalah
bahwa Tuhan telah menepati janji-Nya. Dia menunjukkan kuasa-Nya dengan
menghadirkan ibuku melalui sosok yang tersamarkan dalam wujud air mata yang tak
kuasa kubendung. Butiran-butiran bening yang pecah dan membasahi pipiku kala
itu menjadi bukti reaksi surga menanggapi gugatanku perihal kehebatan seorang
wanita yang menjadi ibuku. Aku terharu akan kasih Tuhan dan cinta ibuku yang
selalu ada walau raga ini tak bisa memeluknya lantaran maut yang telah
memisahkan kami. ***
Ibuku telah lama meninggal
dunia. Ia meninggalkan seorang suami yang menjadi ayah kami, tiga orang puteri,
kakak-kakakku, serta dua orang putera, aku dan adikku. Ketika ibu meninggal,
aku berusia sekitar tiga tahun. Itu berarti kami telah menjalani hidup tanpa
seorang istri dan ibu sejak lebih dari 28 tahun silam. Bagaimana rasanya hidup
selama itu tanpa sesosok pribadi yang menduduki posisi penting dalam rumah
tangga kami?! Tidak ada seorang istri yang mendampi ayahku dalam menahkodai
biduk rumah tangga yang telah mereka bangun bersama; tidak ada seorang ibu yang
menyiapkan sarapan buat ayah sebelum beliau ke ladang dan bagi putera-puterinya
sebelum mereka berangkat ke sekolah; tidak ada seorang sahabat yang menjadi
terman curhat bagi ketiga kakakku; tidak ada seorang mama yang menyusui adikku
dan tidak ada lagi sejumlah litani tugas ibu yang lainnya. Yang ada hanyalah
kesedihan dan kehilangan serta tuntutan hidup mandiri yang datang belum pada
waktunya. Ayahku dituntut melakoni peran ganda sebagai bapak sekaligus ibu bagi
kami. Kakakku yang sulung dipaksa mandiri, membantu ayah mengambil alih peran
ibu walaupun usianya masih sebagai seorang dara yang baru beranjak remaja.
Sungguh sedih, sangat kehilangan dan langkah kami tertatih-tatih. Itulah potret
rumah tangga yang dibangun ayahku semenjak kepergian istrinya, ibu kami.
Aku adalah anak kesayangan
ibu. Ibu sangat memanjakanku. Begitulah ayahku sering bernostalgia tentang
cinta ibu bagiku yang diamini oleh ketiga kakakku. Bersama sang ayah, ibu rela
meninggalkan kenyamanan kampung halamannya hanya ingin menyelamatkan hidupku
dari “kekuatan-kekuatan lain” yang mengganggu. Dari kampung ke kampung terus
berpindah-pindah, mencari ketenangan jiwa sembari mengusahakan berbagai langkah
alternative sebagai silih atas amukan badai yang terus menggerogoti ketenangan
bahtera keluarga kami. Saban hari suara tangisku memekik di keheningan malam
tanpa ada penyebab yang jelas. Tak terkira seberapa seringnya aku sakit oleh
deraan “angin kiriman” yang meyiksa tubuh mungilku. Demikianlah sang dukung
kampung mengdiagnosis. Entah benar atau tidak namun itulah yang terjadi pada
masa kecilku. “Karena alasan-alasan itulah, ayah bersama ibumu rela
meninggalkan kampung, meninggalkan rumah tembok satu-satunya di kampung ini
waktu itu, rumah yang ayah bangun dari hasil jeri payah ayah sebagai tukang
gergaji kayu hutan yang didukung oleh kerja keras ibumu. Ibumu bersikeras
mengambil langkah itu hanya untuk menyelamatkanmu. Begitu besar kasih sayang
ibumu terhadapmu, nak. Dia pergi dari rumah ini hingga tak kembali lagi untuk
selama-lamanya”. Ayahku pernah berkisah demikian di suatu senja di kediaman
kami yang baru yang ayah bangun lagi di atas bekas bangunan rumah lama kami
yang telah runtuh oleh gempa bumi melanda pulau Flores medio 1992. Ayah
menuturkan kisah ini di liburan pertamaku setelah sekitar 9 tahun aku pergi dari
rumah untuk menjalani pilihan hidupku sebagai seorang pengabdi di suatu lembaga
religius di sebuah kota di pulau Jawa. Besarnya kasih sayang ibu terhadapku
dilatarbelakangi alasan bahwa aku adalah satu-satunya putera ibu waktu itu
semenjak kakakku yang laki-laki meninggal dan adikku belum terlahir.
Kehadiranku menjadi alasan ibu melakukan apa saja agar aku tetap terlindungi.
Bahkan menurut cerita, pada waktu menjelang ajalnya, ibu pernah berpesan khusus
pada kakakku untuk selalu menjagaku. Apa yang ibu inginkan dariku? Bukankah
anak-anak ibu masih ada yang lain? Mengapa aku menjadi istimewa di mata ibu?
Mungkinkah karena aku putera pertama ibu yang akan menjadi penanggung jawab dan
penerus trah keluarga yang dibangunnya bersama ayahku? Entalah!?
Namun, satu hal yang pasti
bahwa kini, hati ini masih terus merindukan belaiannya, jiwa ini masih
mendambakan curahan kasih sayangnya dan raga ini masih mengharapkan kehangatan
pelukannya walau hari-hariku kian lelah oleh jarak yang tak terjamah pada
bayangan surga, rumah abadi kediaman ibuku yang ternyata masih dalam fatamorgana.
Pengalaman kehilangan figur
ibu bagi setiap kami mempunyai ceritanya masing-masing. Tidak banyak kisah
bersama ibu yang mampu kurangkai menjadi cerita indah tentang kami, seorang ibu
bersama putera kesayangannya. Bahkan sampai saat ini aku tidak mengenal wajah
ibuku sendiri. Semua tentang ibu telah pergi bersama lajunya sang waktu yang terus
beranjak. Yang tersisa hanyalah nostalgia ayahku, dongeng pelipur lara yang
diberi judul “Mama” oleh kakak-kakakku dan kerinduan seorang putera yang pernah
istimewa di hati ibu serta asaku, asa seorang anak manja yang kini sudah tumbuh
dewasa untuk bertemu ibunya, hanya ingin menyampaikan isi hatinya yang terdalam,
“maah, aku sangat merindukan mama”. ***
Sebentar lagi waktu akan
berpijak pada Senin, 20 April 2015, waktunya aku merayakan ulang tahun
kelahiranku yang ke-31. Hasrat hati ingin berbagi kebahagiaanku bersama ibu
yang mengandung dan melahirkanku. Namun apa daya surga-Nya tak kuasa kugapai.
Bukan karena jarak yang memisahkan tetapi ini tentang waktu yang belum
mengijinkanku. Aku masih mengembara di alam fana ini sementara ibuku telah
bahagia di kebakaannya, di kediaman Bapa dan para kudus-Nya.
Pukul 00.00, tanggal 20
April 2015. Waktu itu pun tiba. Di pojok rohani di salah satu sudut kamarku,
aku bertelut bersimbah rindu, mengakat hati sembari meluapkan hasrat jiwa yang
tak tertahankan. “Maah, masih ingat, kan? Hari ini aku ulang tahun. Usiaku kini
telah 31 tahun dan aku sudah besar, ma. Putera kecil mama kini telah tumbuh
dewasa. Sejak kepergian mama 28 tahun silam duniaku menjadi sangat berbeda.
Bersama ayah dan anak-anak mama yang lain, langkah kami tertatih-tatih
menjalani hidup ini. Kadang kami jatuh terkulai lantaran kehilangan pijakkan
penyangga hidup. Kadang hati kering dan jiwa kami rapuh oleh kehausan akan
kasih sayang mama. Terbesit niat ingin menggunggat surga atas ketidakadilan
yang kami alami. Mengapa mama tega meninggalkan kami? Mengapa Tuhan memanggil
pulang mama ketika jiwa kami masih merangkak dan tubuh kami masih goyah? Namun
keinginan kami tetaplah menjadi harapan kami dan rancangan Tuhan tetaplah menjadi
kendehak-Nya. Bersama sang waktu yang terus bergulir kami pun terus melangkah
dalam kepasrahan yang menjadi tuntutan tak terelakan di kala prahara ini
melanda biduk rumah tangga yang telah dibangun mama bersama ayah. Walaupun
langkah kami gontai, jiwa kami remuk dan asa kami seakan sirna namun kaki kami
harus tetap berpijak, beranjak menyongsong hari menuju ke batas petang sampai
senja berlalu hingga malam pun beranjak untuk menyambut rona mentari lagi. Di
muara segala pencarian ini, kami akhirnya menyadari bahwa Tuhan telah
menyediakan rencana indah di setiap jejak-jejak langkah kami, ada sungai kasih
di ujung pijakkan jiwa kami yang haus. Terima kasih untuk Dia yang mama sembah
di surga-Nya. Terima kasih untuk seorang suami yang mama tinggalkan untuk menjaga
kami. Terima kasih untuk puteri sulung mama yang telah menjadi segalanya buat
kami. Menjadi kakak sekaligus ibu bagi kami rasanya belum cukup untuk
disematkan padanya karena dia memang lebih dalam segalanya. Dan juga terima
kasih untuk sanak saudara mama yang dengan caranya telah mewarisi cinta mama
kepada kami. Mama, kami sangat bersyukur atas pribadi-pribadi penuh kasih yang
telah rela menjadi perpanjangan tangan mama dalam membimbing, mengarahkan dan
memelihara kami. Terima kasih atas
keagungan cinta mama yang selalu ada buat kami sebagi sosok yang tersamarkan
dalam diri mereka.
Kini aku, putera kesayangan
mama telah melangkah jauh di jalan pilihanku. Sebuah jalan hidup yang juga
adalah kehendak Dia yang memanggilku. Aku bahagia memilih jalan ini, ma.
Demikian juga ayah dan putera-puteri mama yang terus mendukung dan mendoakanku.
Aku berharap mama juga demikian. Aku memilih jalan ini bukan karena ingin lari
dari tanggung jawabku sebagai salah satu penerus keluarga kita. Kewajibanku
seperti yang diharapkan mama tetap akan kujalani tentu dengan caraku.
Mama, pada tepian
refleksiku, aku akhirnya tersadar akan cara Tuhan menyiapkan jalan hidupku.
Mama telah pergi untuk selamanya ketika aku masih kecil adalah kebijaksanaan
Tuhan dalam menata diri dan seluruh adaku untuk kelak aku siap sebagai pengabdi
di jalan panggilan-Nya. Aku bersyukur untuk anugerah ini. Bahwa kepergian mama
adalah anugerah terindah bagi jalan hidupku. Mama, ternyata aku tetap istimewa
di hati mama. Ah, rindunya hati ini tak tertahankan. Ingin kumemeluk dan dan
terlena di pangkuan mama sembari mengungkapkan madah jiwa yang telah sekian
lama termaktup di singgasana hatiku: terima kasih atas keagungan cinta mama
untukku”.
Menulis tentang ibu serasa
melangkah di jalan tak berujung. Susah menemukan tempatnya bahkan hanya untuk
sekedar membubuhi tanda titik bahwa kisahnya telah berakhir. Menulis tentang
ibu adalah menguraikan cerita tentang kisah yang tak ada ending-nya. Itu tentang memulis, apalagi kalau judulnya adalah
curhat yang saat ini sedang kulakukan bersama ibuku yang jasadnya telah
berpusara tetapi jiwanya masih diam di relung hati ini, di kelenaan alam
rinduku. Namun, aku harus mengakhirinya agar malamku mampu merengkuh mimpi
indahnya dalam tidurku bersama-Nya sembari menengadahkan asa bahwa dengan
kuasa-Nya, Dia mau mempertemukan aku dengan ibuku agar ocehan bertema rinduku
pada dirinya ini menemui tanda titiknya sendiri dan kisah tentang pengembaraan
rasa rinduku juga menemui jalannya sendiri untuk berlabuh. “Selamat ulang tahun,
anakku. Peluk, cium dan sayang dari mama untukmu.” Suara ibuku membawa rindunya
dari surga.
Oro Oro Dowo 58 Malang, 20 April 2015
Didedikasikan untuk seorang penghuni surga
yang pernah menjadi ibuku
Walter
Odja Arryano, BHK