Thursday, 9 April 2015

Menjadi “kaya” karena Mau Berbagi

"Saya tidak akan kaya dengan memiliki uang Rp 2.000,- tetapi saya akan “kaya” dengan memberi uang Rp 2.000,- kepada orang lain yang sangat membutuhkan".
Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari kampus, saya menumpangi sebuah angkot seperti biasanya selepas kuliah. Ada empat orang penumpang dalam angkot itu, seorang ibu dan puterinya yang baru saja pulang jualan, seorang ibu yang lain dan saya. Seperti sopir-sopir angkot lainnya, sopir angkot yang kami tumpangi ini melajui mobilnya dengat sangat lambat bak siput merangkat di suatu senja, lelet tingkat akut.
Tiba-tiba seorang ibu yang duduk persis di sebelah pintu mobil memperlihatkan ekspresi wajah dan gerak tubuh yang sangat jelas menunjukkan bahwa ia sedang cemas. Seperti sebagian orang yang melakoni hidup di kota besar yang cenderung cuek, egois dan individualis, tanpa mau tahu dengan situasi orang lain bahkan di depan matanya sendiri. Demikian pun saya dan si ibu beserta puterinya itu. Kami tidak mau peduli dengan persoalan yang dihadapi sesama penumpang kami bahkan sebuah bentuk peduli yang sangat sederhana pun seperti menanyainya, “bu, ada apa?!”, itu tidak kami lakukan. Sungguh sebuah gaya dan mentalitas hidup kota telah memengaruhi kami.
Akhirnya ibu itu memberanikan diri menyampaikan masalah yang dihadapinya. Ternyata dompetnya ketinggalan di rumahnya dan dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membayar ongkos angkot yang hanya sebesar Rp 2.000,-. Dia mencoba mengutarakan permohonan kepada ibu beserta puterinya itu jika sekiranya berkenan memberinya uang Rp 2.000,- untuk membayar jasa angkot yang telah membawanya lumayan jauh dari tempat tinggalnya.
Jawaban yang diperolehnya sangat mengecewakan. Ibu itu mengatakan bahwa dia tidak memiliki uang. Sungguhkah?! Entalah. Benar atau tidak hanya dia yang tahu, mungkin juga puterinya. Tentu selain Tuhan yang di “atas” sana. Bagaimana dengan saya? Ada dorongan dari dalam yang dimotori oleh spirit hati yang tergerak oleh belaskasihan buah warisan Sang Guru Ilahi, saya ingin membantu. Namun cinta kasih yang diterjemahkan dalam aksi nyata saya ini terbentur pada dua hal, entah kultur ataukah kepribadian.
Benarkah budayaku memeluk ajaran bahwa bantuan hanyan boleh diberikan kepada orang yang memohonnya. Kalau tidak demikian berarti masalahnya terletak pada kepribadianku. Betapa “miskin”nya diriku. Sebagai seorang penghayat spiritualitas hati yang menjalani hidup dengan hati sebagai pusat dan asal segala pertimbangan untuk bertata cara dan berperilaku, seperti inikah sikapku? Dimana kepedulianku?
Singkat cerita, ibu itu ingin mengambil keputusan untuk turun di tengah perjalanan walau tempat tujuannya masih jauh dan udaranya sangat panas di tengah siang yang terik dengan suasana riuh oleh geliat masyarakat kota. Ia berniat jalan kaki saja lantaran ketiadaan ongkos. Entah atas dasar apa, saya mendadak jadi peduli. “Bu, saya punya uang, ibu bisa pakai ini”. Kataku sambil menyerahkan selembar uang Rp 2.000,-. Yah, hanya dua ribu rupiah.
Terlihat jelas ekspresi bebas yang merona di senyumannya. Dia merasa bebas dari rasa cemas dan malu dan tentu juga merasa bebas dari sengatan terik matahari jika seandainya dia terpaksa jalan kaki. Imbalan yang saya peroleh dari aksi peduli dadakan itu adalah ucapan terima kasih yang secara berulang-ulang disampaikannya dengan tulus.
Sepanjang perjalanan pulang siang itu, saya terus merenungi peristiwa itu hingga saya mendapatkan sebuah inspirasi bahwa saya tidak akan pernah kaya dengan memiliki uang Rp 2.000,- tetapi saya akan “kaya” dengan memberi kepada orang lain yang sangat membutuhkan walau itu hanya berupa uang sebesar Rp 2.000,-. Inspirasi ini mengamini sebuah renungan (refleksi) yang pernah saya baca bahwa bantuan sekecil apa pun sangat berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. “Terima kasih, bu, keteledoran ibu telah memberiku inspirasi”, doa syukurku.
Comments
0 Comments