Tiba-tiba
seorang ibu yang duduk persis di sebelah pintu mobil memperlihatkan ekspresi
wajah dan gerak tubuh yang sangat jelas menunjukkan bahwa ia sedang cemas.
Seperti sebagian orang yang melakoni hidup di kota besar yang cenderung cuek,
egois dan individualis, tanpa mau tahu dengan situasi orang lain bahkan di
depan matanya sendiri. Demikian pun saya dan si ibu beserta puterinya itu. Kami
tidak mau peduli dengan persoalan yang dihadapi sesama penumpang kami bahkan
sebuah bentuk peduli yang sangat sederhana pun seperti menanyainya, “bu, ada
apa?!”, itu tidak kami lakukan. Sungguh sebuah gaya dan mentalitas hidup kota
telah memengaruhi kami.
Akhirnya ibu itu
memberanikan diri menyampaikan masalah yang dihadapinya. Ternyata dompetnya
ketinggalan di rumahnya dan dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membayar
ongkos angkot yang hanya sebesar Rp 2.000,-. Dia mencoba mengutarakan
permohonan kepada ibu beserta puterinya itu jika sekiranya berkenan memberinya
uang Rp 2.000,- untuk membayar jasa angkot yang telah membawanya lumayan jauh
dari tempat tinggalnya.
Jawaban yang
diperolehnya sangat mengecewakan. Ibu itu mengatakan bahwa dia tidak memiliki
uang. Sungguhkah?! Entalah. Benar atau tidak hanya dia yang tahu, mungkin juga
puterinya. Tentu selain Tuhan yang di “atas” sana. Bagaimana dengan saya? Ada
dorongan dari dalam yang dimotori oleh spirit hati yang tergerak oleh belaskasihan
buah warisan Sang Guru Ilahi, saya ingin membantu. Namun cinta kasih yang
diterjemahkan dalam aksi nyata saya ini terbentur pada dua hal, entah kultur
ataukah kepribadian.
Benarkah
budayaku memeluk ajaran bahwa bantuan hanyan boleh diberikan kepada orang yang
memohonnya. Kalau tidak demikian berarti masalahnya terletak pada
kepribadianku. Betapa “miskin”nya diriku. Sebagai seorang penghayat
spiritualitas hati yang menjalani hidup dengan hati sebagai pusat dan asal
segala pertimbangan untuk bertata cara dan berperilaku, seperti inikah sikapku?
Dimana kepedulianku?
Singkat cerita,
ibu itu ingin mengambil keputusan untuk turun di tengah perjalanan walau tempat
tujuannya masih jauh dan udaranya sangat panas di tengah siang yang terik
dengan suasana riuh oleh geliat masyarakat kota. Ia berniat jalan kaki saja
lantaran ketiadaan ongkos. Entah atas dasar apa, saya mendadak jadi peduli.
“Bu, saya punya uang, ibu bisa pakai ini”. Kataku sambil menyerahkan selembar
uang Rp 2.000,-. Yah, hanya dua ribu rupiah.
Terlihat jelas
ekspresi bebas yang merona di senyumannya. Dia merasa bebas dari rasa cemas dan
malu dan tentu juga merasa bebas dari sengatan terik matahari jika seandainya
dia terpaksa jalan kaki. Imbalan yang saya peroleh dari aksi peduli dadakan itu
adalah ucapan terima kasih yang secara berulang-ulang disampaikannya dengan
tulus.
Sepanjang
perjalanan pulang siang itu, saya terus merenungi peristiwa itu hingga saya
mendapatkan sebuah inspirasi bahwa saya tidak akan pernah kaya dengan memiliki
uang Rp 2.000,- tetapi saya akan “kaya” dengan memberi kepada orang lain yang
sangat membutuhkan walau itu hanya berupa uang sebesar Rp 2.000,-. Inspirasi
ini mengamini sebuah renungan (refleksi) yang pernah saya baca bahwa bantuan
sekecil apa pun sangat berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. “Terima
kasih, bu, keteledoran ibu telah memberiku inspirasi”, doa syukurku.