Monday, 25 May 2015

Ibadat Sabda di atas KM. Mentari Nusantara

Satu tahun berlalu. Aku telah menjalani masa pembinaanku pada tahap awal untuk menjadi seorang biarawan. Kujalani bersama teman-temanku yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Kami saling mendukung satu sama lain. Kami memadukan segala perbedaan yang kami miliki dalam suatu kekuatan bersama yang kami sebut sebagai cita-cita dan semangat bersama. Kami bekerja sama dan saling melengkapi demi tercapainya cita-cita kami tersebut. Kadang-kadang kami berbeda pendapat, ada ketegangan dalam relasi dan menjadi korban fitnahan saudara sendiri, tetapi kami tidak patah semangat. Perbedaan-perbedaan yang terjadi di keseharian hidup kami menjadi kekuatan yang dapat mendorong kami untuk terus maju bersama.
Kamis, 23 Juni 2005 adalah hari bersejarah dalam perjalanan hidupku sebagai seorang biarawan. Aku mengatakan demikian karena pengalaman unik yang kualami saat itu tidak semua orang bisa mengalaminya. Pengalamanku itu adalah pengalaman langka bagi kebanyakan orang. Di atas sebuah kapal motor yang bernama KM. Mentari Nusantara, yang membawa kami dari pulau Flores menuju pulau Jawa itulah kuukirkan pengalamanku yang tak mungkin kulupakan seumur hidupku itu. Aku mendapat kepercayaan dari teman-temanku untuk memimpin Ibadat Sabda bersama seluruh penumpang yang beragama kristiani di atas kapal itu.
Ceritanya bermula dari sekelompok penumpang yang adalah para biarawati. Mereka juga adalah penumpang dengan asal dan tujuan yang sama seperti kami. Karena mereka mengenakan jubah biara maka hampir seluruh penumpang termasuk kapten kapal itu mengetahui bahwa mereka adalah para biarawati. Oleh karena itu kapten meminta kesediaan salah satu dari mereka untuk memimpin ibadat bersama penumpang yang beragama kristiani. Setelah mengiyakan permintaan itu tetapi mereka tidak bersedia. Kami diminta untuk menggatikan. Diskusi pun terjadi di antara kelompok kami. Siapa yang berani dan bersedia menjalani permintaan itu. Teman-temanku tidak ada yang bersedia. Mereka semua menolaknya. Hanya aku yang bersedia. Kucoba utarakan kesediaanku kepada teman-temanku. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Singkat cerita, dengan mengenakan jubah putih seperti yang biasa kami lakukan di rumah pembinaan, aku tampil di hadapan seluruh penumpang yang beragama kristiani untuk memimpin doa bersama. Aku membawakan ibadat sabda dengan renungan singkat. Walaupun seluruh tubuhku dilumuri keringat karena gugup tetapi aku bangga pada diriku sendiri. Walaupun isi renunganku tidak sebaik seperti yang dimiliki oleh teman-temanku tetapi aku telah menjalani tugasku dengan baik. Aku telah menjalani tugas mulia seperti yang telah diamanatkan Sang Guru Ilahi, “pergilah ke seluruh dunia dan wartakanlah Injil”. Dengan segala yang kumiliki aku telah mewartakan DIA di atas kapal itu.
Comments
0 Comments