Satu tahun berlalu. Aku telah menjalani masa pembinaanku
pada tahap awal untuk menjadi seorang biarawan. Kujalani bersama teman-temanku
yang berasal dari berbagai daerah yang berbeda-beda. Kami saling mendukung satu
sama lain. Kami memadukan segala perbedaan yang kami miliki dalam suatu
kekuatan bersama yang kami sebut sebagai cita-cita dan semangat bersama. Kami bekerja
sama dan saling melengkapi demi tercapainya cita-cita kami tersebut.
Kadang-kadang kami berbeda pendapat, ada ketegangan dalam relasi dan menjadi
korban fitnahan saudara sendiri, tetapi kami tidak patah semangat.
Perbedaan-perbedaan yang terjadi di keseharian hidup kami menjadi kekuatan yang
dapat mendorong kami untuk terus maju bersama.
Kamis, 23 Juni 2005 adalah hari bersejarah dalam perjalanan
hidupku sebagai seorang biarawan. Aku mengatakan demikian karena pengalaman
unik yang kualami saat itu tidak semua orang bisa mengalaminya. Pengalamanku
itu adalah pengalaman langka bagi kebanyakan orang. Di atas sebuah kapal motor
yang bernama KM. Mentari Nusantara, yang membawa kami dari pulau Flores menuju
pulau Jawa itulah kuukirkan pengalamanku yang tak mungkin kulupakan seumur
hidupku itu. Aku mendapat kepercayaan dari teman-temanku untuk memimpin Ibadat
Sabda bersama seluruh penumpang yang beragama kristiani di atas kapal itu.
Ceritanya bermula dari sekelompok penumpang yang adalah
para biarawati. Mereka juga adalah penumpang dengan asal dan tujuan yang sama
seperti kami. Karena mereka mengenakan jubah biara maka hampir seluruh
penumpang termasuk kapten kapal itu mengetahui bahwa mereka adalah para
biarawati. Oleh karena itu kapten meminta kesediaan salah satu dari mereka
untuk memimpin ibadat bersama penumpang yang beragama kristiani. Setelah
mengiyakan permintaan itu tetapi mereka tidak bersedia. Kami diminta untuk
menggatikan. Diskusi pun terjadi di antara kelompok kami. Siapa yang berani dan
bersedia menjalani permintaan itu. Teman-temanku tidak ada yang bersedia.
Mereka semua menolaknya. Hanya aku yang bersedia. Kucoba utarakan kesediaanku
kepada teman-temanku. Mereka menyambutnya dengan gembira.
Singkat cerita, dengan mengenakan jubah putih seperti
yang biasa kami lakukan di rumah pembinaan, aku tampil di hadapan seluruh
penumpang yang beragama kristiani untuk memimpin doa bersama. Aku membawakan
ibadat sabda dengan renungan singkat. Walaupun seluruh tubuhku dilumuri
keringat karena gugup tetapi aku bangga pada diriku sendiri. Walaupun isi
renunganku tidak sebaik seperti yang dimiliki oleh teman-temanku tetapi aku
telah menjalani tugasku dengan baik. Aku telah menjalani tugas mulia seperti
yang telah diamanatkan Sang Guru Ilahi, “pergilah ke seluruh dunia dan
wartakanlah Injil”. Dengan segala yang kumiliki aku telah mewartakan DIA di
atas kapal itu.