Monday, 23 February 2015

Berbagi sebagai Satu Saudara

Sejumlah Frater Yunior yang berkarya di Jawa mengadakan karya wisata bernuansa rohani ke bumi Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Kegiatan yang diikuti 14 orang frater ini berlangsung dari tanggal 22-24 Maret 2012. Kegiatan tersebut merupakan bagian dari program pembinaan bagi para Frater Yunior Kongregasi Frater Bunda Hati Kudus. Hanya kali ini bentuknya berbeda dengan yang sebelumnya. Kegiatan-kegiatan sebelumnya berupa pendampingan (pendalaman) melalui materi-materi dan kunjungan (live in), kali ini kegiatannya dalam bentuk karya wisata bernuansa rohani.
Adalah Yogyakarta menjadi tujuan kegiatan kami. Penentuan tempat ini tentu dilatarbelakangi oleh berbagai pertimbangan, di antaranya Jogja merupakan pilihan paling bijak untuk berekreasi karena selain memiliki tempat-tempat ziarah rohani, Jogja juga terkenal dengan kota budaya.
Perjalanan panjang dan melelahkan kami mulai dengan makan malam bersama di Komunitas Kepanjen 14 Surabaya. Suasana persaudaraan mulai mewarnai kebersamaan kami ketika itu. Bersama seorang Frater yang menjadi saudara, teman dan pendamping kami, kami pun mengawali perjalalan kami dalam suasana sebagai satu saudara. Untaian nada guyon dan canda ria adalah sahabat sejati yang setia menemani perjalanan panjang kami. Lamanya waktu yang diperlukan untuk menempuh perjalanan jauh nan melelahakan dari Surabaya menuju Jojgakarta seakan tak ada artinya. Senda gurau dalam suasana persaudaraan adalah jawabannya mengapa demikian.
Kebersamaan rasa memang penting tetapi perlu ada dukungan energi sebagai daya kekuatan jasmani bagi jiwa manusiawi kami. Kami pun dengan rendah hati menyadari kerapuhan kami bahwa sebagai manusia kami butuh waktu untuk istirahat sembari menimba kekuatan jasmani melalui makan bersama. Walaupun waktunya sudah tidak “normal” lagi tetapi kami harus melakukannya bukan hanya karena takut menjadi korban kehilangan energi (pingsan karena kelaparan) tetapi lebih sebagai pemenuhan tuntutan sistuasi yang agak memaksa. Aneka menu santapan berdasarkan selera masing-masing akhirnya ludes dinikmati dan selajutnya kami pun meneruskan perjalanan kami.
Selamat datang di kota Yogyakarta. Gapura selamat datang menyambut kedatangan kami. Kala itu malam baru saja berlalu dan pagi sedang beranjak menjemput mentari. Udara dingin kota Yogyakarta menambah keasrian kota destinasi wisata yang terkenal dalam sejarah turun-temurun sebagai kota propinsi yang dipimpin oleh seorang raja (sultan). Nuansa keistimewaan kota mulai terpandangi tatkala mata dengan leluasa menjelajahi sudut-sudut kota yang kaya akan pernak-pernik dan asesoris bernilai historis.
Berdasarkan rencana kami terus meluncur ke tempat penginapan. Rumah studi para Frater SSCC adalah penginapan yang comfort dan menyenangkan buat kami. Dalam suasana sebagai saudara yang sama-sama memilih hidup “menyimpang” dari dunia, kami disambut oleh para Romo dan para Frater dengan penuh ramah dan cinta kasih. Sarapan sambil berkenalan adalah momen awal kerbersamaan kami di rumah itu. Selanjutnya kami istirahat seharian untuk memulihkan kembali energi yang terkuras akibat perjalanan panjang sehari sebelumnya. Pada sore harinya, kami berbagi bersama seorang romo melalui pendalaman materi yang berkaitan dengan pilihan hidup kami.
Di tengah kesibukan akan hal-hal yang beraroma rekreatif, kami tidak lupa akan kebutuhan jiwa kami sebagai pribadi-pribadi Ekaristis. Kami percaya bahwa Ekaristi adalah sumber kekuatan bagi jiwa kami dan oleh Ekaristi pula kami disatukan sebagai anak-anak satu Bapa untuk memilih dan menjalani hidup sebagai biarawan dalam persekutuan kami. Oleh karena dasar iman inilah, kami melewati sore hari itu dengan Perayaan Ekaristi bersama. Kebersamaan kami lanjutkan dengan santap malam dan selajutnya jalan-jalan di pusat perbelanjaan Malioboro. Kegiatan terakhir ini dilakukan berdasarkan keputusan bersama yang dilatarbelakangi oleh alasan demi efektifitas waktu. Akhirnya malam pun membawa kami ke penghujung hari dan memaksa kami untuk istrahat, melepas lelah sekaligus menyerahkan diri kepada Sang Empunya kehidupan untuk dijaga dan dilindungi.
Selamat pagi Bapa, selamat pagi Yesus, selamat pagi Roh Kudus dan selamat pagi dunia. Alunan madah pujian bernada syukur menggema menyambut pagi nan indah. Kami pun bergegas menyiapkan diri untuk mengawali hari dengan Perayaan Ekaristi dan sarapan bersama. Sederetan agenda kegiatan untuk hari ini telah menanti. Selepas sarapan kami beranjak menuju Klaten ke sebuah gua Maria yang bernama Sendang Sriningsih.  Di sana, di bawah kaki Sang Bunda, kami bersimbah bakti seraya menghunjukan segala niat dan ujud kehadirat Tuhan melalui perantaraannya. Bunda Maria, doakanlah kami yang datang di hadapanmu.
Perjalanan dilanjutkan ke area wisata budaya Candi Prambanan. Di tempat ini kami menghabiskan waktu berjam-jam untuk sekedar jalan-jalan sambil melihat keagungan candi yang megah nan artistik itu. Kegagahannya melahirkan nada-nada indah yang terucap melalui bibir kami. Berbagai bentuk ekspresi pun tak kuasa dibendung. Decak kagum dan beragam apresiasi pun terlontar. Untuk mengabadikan momen langka ini, kami melakukannya dengan foto bersama. Kami mengakhiri acara wisata rohani hari itu dengan makan siang bersama di sebuah rumah makan. Selajutnya kami kembali ke penginapan, istirahat sejenak, kemudian packing dan bersiap-siap untuk kembali ke Malang.
Perjalanan panjang dan melelahkan akan kami hadapi lagi. Untuk itu kami memutuskan untuk makan malam bersama di sebuah rumah makan di daerah sekitar Solo. Suasana sebagai satu saudara terus mewarnai kebersamaan kami.
Sunday at C21-Malang. Hari Minggu dini hari kami tiba di Komunitas Celaket 21 Malang. Karena kelelahan kami langsung istrahat hingga pagi menjemput. Sesuai rencana, agenda hari ini adalah evaluasi kegiatan yang telah kami lakukan. Setelah sarapan kami pun bersatu untuk melihat kembali proses berlangsungnya kegiatan kami sejak awal berangkat hingga kembalinya. Berbagai bentuk masukan dan usulan, kritik dan saran yg konstruktif mewarnai acara evaluasi kami. Rangkaian kegiatan wisata rohani kami akhiri dengan makan siang bersama di komunitas yang menjadi rumah induk biara kami tersebut.
Selanjutnya kami kembali ke komunitas kami masing-masing. Kegiatan bersama para Frater Yunior untuk kali ini telah berakhir. Apa yang perlu kami bawa pulang sebagai oleh-oleh untuk sama saudara di komunitas masing-masing tidak lain adalah setumpuk cerita bertemakan persaudaraan yang kami namai pengalaman berbagi sebagai satu saudara. Kiranya cerita indah yang kami kisahkan dapat menjadi kekuatan baru yang bisa membantu kami dalam perjalanan hidup keseharian kami sebagai Frater Bunda Hati Kudus terutama dalam menjalani karya perutusan kongregasi yang dipercayakan kepada kami masing-masing. Perbedaan yang kami jumpai dalam kerbersamaan kami adalah harta karung yang kami olah menjadi kekayaan bersama untuk dipersembahkan kepada persekutuan kami tercinta sehingga dengan segala kerendahan hati layaknya hati seorang ibu (Bunda Hati Kudus), kami pun boleh berserah diri pada Allah : “ini aku Tuhan, utuslah aku”, dan kepada mereka yang kami layani : “aku akan hadir demi engkau”.

kepanjenempatbelas,
20 April 2012
Readmore → Berbagi sebagai Satu Saudara

Temu Kaum Muda Vinsensian

Hari yang terik. Sengatannya seakan menghanguskan. Panasnya membara. Sekelompok kawula muda yang menamakan diri Kaun Muda Vinsensian hilir mudik kesana kemari hendak mencari dan menemukan Dia. Dia yang diyakini hadir di antara sesama yang paling hina, orang kecil yang dianggap sampah oleh masyarakat dan mereka yang miskin secara materi, yang terlupakan dan yang terpinggirkan. Keyakinan ini didasari oleh buah renungan dan refleksi mendalam dari sang guru spiritual, St. Vinsensius a Paulo yang memandang orang miskin sebagai tuannya.
Kehadiran orang muda di tempat ini untuk menyapa, memberi seberkas senyuman hangat dan belajar menjadi pendengar yang setia. Lebih dari itu mereka ingin menjadi bagian dari perjuangan hidup dan suka duka orang-orang yang mereka jumpai. Mereka ingin berbagi kegembiraan sembari belajar menjadi sesama dan sahabat bagi yang papa.
Sungguh sebuah pemandangan langka di tengah hingar bingar dan kegemerlapan dunia abad ini. Di sudut sana, disaksikan begitu banyak orang muda yang mengahabiskan waktu dengan bersenang-senang tanpa nilai tambah yang bisa diperoleh. Mengkonsumsi narkoba, minuman keras, tawuran, sekularisasi hingga seks bebas adalah contoh-contoh cerita lumrah yang kian menjadi tren yang membudaya. Akibatnya, mereka melakoni hidup sebagai pribadi-pribadi yang angkuh, antipati, antisosial dan egoistis.
Namun, para putera-puteri Vinsensian muda ini ingin bersaksi kepada dunia bahwa mereka adalah generasi muda yang memiliki kisahnya sendiri. Mereka masih memiliki kepekaan kepada sesama. Mereka adalah kawula muda yang masih memiliki hati bagi orang-orang kecil. Mereka mampu hadir sebagai saudara bagi yang miskin dan teman bagi yang hina dina. Semangat St. Vinsensius yang memandang orang miskin sebagai tuannya telah merasuk dalam nadi-nadi belia harapan gereja ini.
Inspirasi dan pelajaran hidup yang mereka peroleh adalah bekal berharga yang boleh dibawa pulang sebagai hadiah terindah dari pengalaman perjumpaan bersama paras-paras letih pejuang kehidupan penantang ganasnya zaman ini. Semangat juang yang tinggi, peduli terhadap sesama, rendah hati dan suka berbagi, jujur, terbuka dan apa adanya, pasrah pada kehendak ilahi, mencintai keluarga dan sebagaianya. Semuanya itu adalah nilai-nilai tentang hidup yang bisa dipelajari melalui pengalaman hadir bersama saudara yang miskin dan hina dina. Mereka menerimanya secara cuma-cuma dari tangan-tangan kasih berhati sahaja nan ikhlas. Terima kasih saudaraku atas kerelaannya menjadi guru bagi teman-temanku.

(refleksi ini terinspirasi oleh pengalaman mendampingi teman-teman dalam kegiatan TKMV)
Gresik, 26-28 Oktober 2012)
Readmore → Temu Kaum Muda Vinsensian

Mereka pun bisa mengispirasi

Berbicara tentang para inspirator, banyak orang akan setuju bahwa mereka berasal dari kalangan terpelajar, ilmuwan atau tokoh-tokoh terkenal di dunia. Tetapi pengalamanku berkata lain. Ternyata para inspirator juga berasal dari kelompok orang-orang yang hampir tidak dianggap di kalangan masyarakat. Mereka adalah orang kecil, kaum marginal yang hidupnya di pinggir jalan atau di kolong jembatan; mereka yang menghabiskan waktu sepanjang hari sebagai pengamen jalanan, tukang becak atau pedagang asongan.
Adalah pengalamanku di suatu siang yang terik, tatkala sang raja siang dengan angkuh menujukkan kegagahannya. Sekelompok penjual asongan asyik menjajakan dagangannya.  Beraneka jenis makanan dan minuman ringan menjadi dagangan yang mungkin bagi mereka ketika tekanan ekonomi menghimpit hidup. Kreativitas adalah tuntutan yang tak terelakan dikala persaingan menjadi harga mati yang harus diperebutkan. Tergurat semangat juang di tengah kegarangan zaman adalah kesaksian nyata akan nilai hidup yang patut diteladani.
Mataku terpanah pada pemandangan di depannya. Sosok pribadi-pribadi gigih itu seakan menampar kesadaranku yang tengah nyenyak bersama elit negeri ini. Hidup bergelimang harta sementara mereka harus berjuang keras sepanjang hari demi sesuap nasi untuk kelangsungan hidup anggota keluarga. Mereka mengajariku arti sebuah perjuangan di tengah minimnya suatu kesempatan dalam merengkuh sebuah kemenangan (sukses).
Di suatu sudut kota yang lain, seorang tukang becak sukses membuatku terpukau. Kejengahan kota metropolitan seakan sirna tatkala tanpa sengaja pandanganku tertuju kepadanya. Ekspresi kegembiraannya menjadi hiburan tersendiri bagiku di tengah penatnya hawa kota. Sosok ringkih itu begitu senang ketika salah seorang ibu menghampirinya hendak menggunakan layanan jasanya. Senyum keberhasilan pun menghiasi wajah keriputnya. Terbayang dalam benaknya bahwa hari ini dia behasil mengais rejeki demi kehidupan keluarganya walau tak seberapa. Itulah secuil inspirasi yang kuperoleh di balik tawa cerianya.
Sungguh sesuatu yang kontras terjadi di hadapanku. Ada begitu banyak orang yang berkelimpahan harta namun sangat sulit untuk bersyukur. Tetapi si tukang becak ini dengan mudahnya dia bersykur akan apa yang dia peroleh. Imbalan yang diterima dari jasa pelayanannya tidak seberapa besarnya namun ia dengan tulus mensyukurinya. Hal ini terlukis indah di balik ekspresi kegembiraan yang terpancar melalui wajah keriputnya. Si tukang becak itu mengajariku pentingnya ucapan syukur.
“Terima kasih Allah atas anugerah hidup yang Kau berikan kepadaku. Nafas hidup yang ku hirup adalah bukti cinta-Mu kepadaku…” Itulah sepenggal syair lagu yang kudengar suatu hari di sebuah terminal kota. Syair lagu ini keluar dari mulut seorang pengamen jalanan. Ditemani sebuah gitar uzur yang dipetiknya sendiri, ia mendendangkan syair lagu dari sebuah group band ternama di negeri ini. Suara merdu yang dipadu dengan alunan indah buah racikkan jemari mungilnya pada tali-tali gitar tua itu mampu meredam suasana terminal yang tengah bising oleh karena deru kendaraan.
Aku terpukau kagum pada tontonan gratis di depan mataku. Decak kagum pun tak kuasa kubendung. “Luar biasa…”. Dua kata ini tanpa sadar terucap dari bibirku mewakili perasaan kagumku pada sosok unik yang telah berhasil menyadariku pada suatu nilai hidup yang harus kumiliki. Syair lagu yang dinyanyikannya menyadariku dan orang-orang di sekitarnya akan pentingnya mensyukuri anugerah terbesar yang diterima dari Sang Pencipta yaitu nafas kehidupan. Selain itu, kepiawainnya memainkan gitar memberi motivasi kepadaku bahwa talenta yang dianugerahkan oleh Tuhan jangan sampai sia-sia oleh kemalasan kita. Bukti nyata cinta Tuhan tersebut hendaknya menjadi sarana pemberian diri dalam melayani sesama terutama mereka yang sangat membutuhkan.
Tiga sosok di atas mewakili kaumnya cukup menjadi bukti bahwa para inspirator juga berasal dari kalangan mereka. Mereka adalah figur sejati yang dapat menjadi suri teladan ketika tokoh-tokoh panutan yang sesungguhnya lenyap di balik hingar bingarnya kemewahan hidup. Mereka mempunyai harta yang tak dimiliki oleh para elit di negeri ini yang telah menjadikan uang di atas segalanya. Suka duka mereka dalam melakoni hidup adalah inspirasi yang turut memberi andil dalam hidup kita. Mari kita belajar dari mereka. Karena sesungguhnya Sang Inspirator Sejati hadir sebagai sosok yang tersamarkan dalam diri mereka.
Readmore → Mereka pun bisa mengispirasi

Wisata Rohani ke Bumi Ngayogyakartadiningrat

Waktu telah memberi kesempatan bagiku untuk mengukir kisah baru dalam sejarah hidupku. Bagi kebanyakan orang kesempatan ini adalah hal yang biasa namun bagiku sebagai orang luar pulau Jawa momen ini merupakan hal yang luar biasa. Untuk pertama kalinya kujejakkan kakiku di bumi Ngayogyakartadiningrat. Keberadaanku di sana dalam rangka ikut ambil bagian dan kegiatan wisata rohani yang diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Bidang Kerohanian Katolik (UKM BKK) Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Bersama saudara seiman Katolik, kami mengawali perjalanan wisata rohani kami dengan registrasi dan persiapan oleh panitia pelaksanaan kegiatan di depan kampus. Setelah doa bersama untuk memohon berkat dan perlindungan Tuhan dalam seluruh kegiatan kami, kami pun meninggalkan kampus untuk memulai perjalanan kami. Suasana kegembiraan dalam persaudaraan dan kebersamaan mewarnai sepanjang perjalanan kami dari Surabaya hingga Jogjakarta. Perjalanan yang jauh dan melelahkan tak kuasa mengurangi ekspresi kegembiraan di wajah-wajah belia putera-puteri Wijaya Kusuma ini. Persaudaraan dan keakraban di antara kami telah menjiwai semangat kami yang telah memproklamirkan diri sebagai “arek-arek bkk”.
Sendang Sri Ningsih, di sebuah gua Maria yang terletak di daerah Klaten-Jogjakarta itu menjadi tempat pertama kami memulai wisata rohani kami. Perziarahan kami awali dengan Ibadat Jalan Salib sepanjang jalan menuju puncak melewati perhentian-perhentian yang telah disiapkan di sisi kanan dan kiri jalan. Sengatan hawa dingin yang diselimuti hembusan angin pagi seakan menambah kekhusukkan permenungan kami akan kisah sengsara Sang Guru Ilahi untuk menebus dosa-dosa umat manusia. Kisah sengsara yang dilakoni-Nya ke puncak golgota 2 ribuan tahun lalu itu terasa hadir kembali menemani kami kala itu. Perjalanan iman ini kami lanjutkan dengan bersimpuh di bawah kaki Sang Bunda di puncak Sri Ningsih. Segala ujud dan niat kami panjatkan kehadirat Bunda sembari memohon berkat dan pertolongannya. Ziarah rohani kami puncaki dengan Perayaan Ekaristi Kudus bersama di Gereja Marga Ningsih. Rangkaian pengalaman iman ini kami alami ditinjau dalam konteks kaca mata iman kami orang muda. Artinya, bahwa ada kesan di suatu sisi masih ada hal-hal yang perlu dibenahi lagi namun di sisi yang lain kami telah mulai berproses.
“Wisata Rohani, ada unsur wisata di dalam kegiatan rohani dan sebaliknya, ada unsur rohani di dalam kegiatan wisata”. Demikianlah yang kami lakukan dalam kegiatan kami ini seperti yang ditegaskan oleh Romo yang memimpim Perayaan Ekaristi waktu itu dalam khotbahnya. Setelah kami bergumul dalam permenungan rohani “ala orang muda”, kami melanjutkan kegiatan kami ke Candi Prambanan. Di area yang berlumuran aroma budaya nan artistik ini, kami menghabiskan waktu beberapa jam untuk sekedar jalan-jalan sambil melihat-lihat kemegahan salah satu benda peninggalan cagar budaya bumi pertiwi tersebut. Terik mentari yang menyengat tak kuasa mengaburi ekspresi keceriaan di wajah kami. Decak kagum pun turut melatari nada apresiatif kami akan keagungan Tuhan yang telah turut mendandani keindahan negeri ini dengan menghadirkan bangunan ajaib itu. Momen ini tak disia-siakan oleh pengunjung yang baru pertama kali maupun telah beberapa kali menjejaki kakinya di tempat itu. Ada yang mengabadikan kesempatan itu dengan foto bersama dan sebagainya.
Perjalanan kami lanjutkan ke kota Jogjakarta. Hawa budaya terasa hangat dan merasuki jiwa tatkala gapura selamat datang “menyapa” kami. Bumi Ngayogyakartadiningrat dengan nuansa kekeratonan yang sangat kental menjadi pandangan yang menyejukkan raga di tengah perihnya sengatan terik matahari. Di salah satu daerah istimewa yang dinakhodai oleh seorang Sultan ini, kami menghabiskan energi dan waktu hingga berjam-jam hanya untuk berwisata (jalan-jalan). Setelah mengikuti Perayaan Ekaristi Hari Raya Pentakosta (sesuai jadual acara dari panitia), kami diberi kebebasan untuk menyibukkan diri dengan agenda pribadi. Hampir semua peserta yang memanfaatkan kesempatan ini dengan aneka aksi di sekitar pusat perbelanjaan Malioboro. Ada yang shopping. Ada yang hanya jalan-jalan sambil melihat-lihat (mungkin juga yang sekedar “melirik-lirik”). Ada yang mencoba mencicipi beragam kuliner khas Jogjakarta dan sebagainya. Sebuah momen sederhana namun cukup unik dan sangat terkesan bagiku yaitu ketika kami duduk manis di pinggir jalan alun-alun kota dekat Malioboro. Beralaskan selembar tikar kami menikmati kebersamaan dalam persaudaraan yang diwadahi segelas “kopi arang”. Segelas kopi yang dibubuhi sepotong arang (sisa pembakaran) itu menjadi perekat keakraban di antara kami. Dia juga menjadi peretas batas profesi dan senioritas di antara kami. Dosen, pendamping, senior, yunior dan sebagainya melebur jadi satu. Satu saudara dalam iman akan Yesus Kristus. Sungguh sebuah pengalaman yang langka dan mengesankan bagiku.
Seiring dengan berjalannya sang waktu, malam pun membawa kami ke penghujung hari dan dengan “terpaksa” menghentikan segala aktifitas kami sepanjang hari itu. Kami beranjak ke tempat penginapan kami di Parangtritis. Masih dalam rangkulan semangat kebersamaan, kami mengakhiri hari itu di sebuah penginapan yang sangat nyaman. Ucapan selamat malam dan selamat tidur menjadi salam terakhir malam itu sebelum semuanya terlelap dalam tidur dan mencari jalan masing-masing menuju alam mimpi.
Sunday in the beach. Itulah acara kami hari ini (Minggu 12 Juni 2011). Keceriaan kembali mewarnai raut wajah kami setelah semalaman “berwisata” bersama mimpi masing-masing. Setelah sarapan kami beranjak menuju pantai Parangtritis untuk berhari minggu bersama di sana. Senda gurau dan tawa canda bersama menjadi pemandangan indah di tengah kegarangan pantai paling selatan Jogjakarta itu. Di pantai yang diyakini menurut legenda oleh penduduk setempat sebagai tempat bermukimnya Nyai Loro Kidul (Queen of South) itu menjadi tempat terakhir kegiatan wisata rohani kami.
Akhirnya, dengan semangat baru kami kembali ke Surabaya membawa serta segenggam cerita yang bernama pengalaman. Harapannya bahwa semoga dengan seluruh pengalaman kebersamaan yang kami alami dalam rangkaian kegiatan wisata rohani tersebut menjadi bekal yang sangat berharga terutama memberi kami spirit dan kekuatan baru untuk melanjutkan tugas-tugas utama kami sebagai mahasiswa serta kebersamaan dan persudaraan kami sebagai warga UKM BKK tetap terpelihara. Amin.
Tuhan memberkati.

Juli 2011
Readmore → Wisata Rohani ke Bumi Ngayogyakartadiningrat