Friday, 30 September 2016

Seremoni Adat

Salah satu seremoni yang menjadi bagian dari rangkaian perayaan syukur kaul kekal saya beberapa waktu lalu adalah acara penjemputan oleh pihak keluarga. Keluarga menjemput saya di pastoran Paroki St. Maria Bunda Karmel Rajawawo, tempat saya menginap sehari sebelum perayaan syukur dilaksanakan. Acara ini dilakukan dengan latar belakang oleh alasan karena saya yang telah memilih hidup membiara, apalagi sudah berkaul kekal, saya sudah menjadi milik biara dimana saya bergabung. Saya bukan milik keluarga lagi. Oleh karena itu, ketika saya kembali untuk mengadakan acara besar di “rumah besar” dan tanah leluhur, saya perlu diterima kembali secara adat.

Selain itu, ada alasan lain yang lebih mendasar, berkaitan dengan budaya dan hukum perkawinan yang berlaku di daerah kami yaitu sistem perkawinan keluar bagi anak perempuan. Artinya setiap anak perempuan yang sudah bersuami akan pergi dari rumah orang tuanya untuk hidup bersama suami dalam lingkungan keluarga suami. Konsekuensinya adalah sang anak dan keturunannya tidak mendapatkan jatah warisan dari orang tuanya kecuali ada perjanjian di antara orang tua dan sanak saudaranya. Apabila sang anak bersama suami dan anak-anaknya berkunjung ke rumah orang tuanya, mereka akan diterima sebagai tamu. Hukum adat ini juga berlaku bagi saya.

Dalam permenungan dan refleksi saya secara pribadi atas seluruh perjalanan hidup saya (kami) semenjak ibu meninggal dunia, dimana kami dibesarkan oleh nenek dan sanak keluarga ibu dan ibu juga meninggal di rumah orang tuanya, maka saya memutuskan agar syukuran kaul kekal saya dilakukan di “rumah besar”, rumah dimana ibu menitipkan kami saat kepergiannya. Tetapi karena secara adat saya bukan generasi sah rumah besar dan tanah leluhur dari pihak ibu, maka saya perlu melewati seremoni adat sebagai bentuk legitimasi bahwa saya boleh merayakan syukur itu di rumah besar dan tanah leluhur ibu. Proses penerimaan kembali secara sah menurut adat ini disebut dengan bhea, berupa rangkain kata dan ungkapan adat yang disampaikan secara langsung pada seremoni penyambutan. Secara harafia, bhea berarti menyapa, menegur atau menyambut dengan kata-kata.

Di bawah ini saya mencatat rangkaian kata bhea yang diucapkan pada waktu seremoni penjemputan saat itu. Tokoh yang didapuk sebagai penyampai bhea dalam acara tersebut adalah salah seorang sesepuh dalam keluarga besar ibu yang sungguh memahami perjalanan hidup saya. Kata-kata itu demikian:

Mai mbeja si, sea sawe
ke’embu ne’e weta ane,
ne’e ebe ‘ta ari ka’e.

O Ngga’e... Kau pati pawe.
Dewa... Kau ‘ta ngai sia, pati ‘ka ndeka ana Ria

Nua ne’e Weo, miu pera pawe, Ria ana jadi mbaze
Juma ne’e Gete, miu iwa senggo se, ne’e ebe sanua merhe
Miu kema sama ne’e Ria ana, mesu miu jodho, Ria sadha rheze wozo,
mesu miu tuke, embu Ria ‘mu jembu ‘ka ndetu

Toma baba ndoa, Isa ine ria, kau pemba pawe
Toma, kau äko iwa rhewo bhazo
Ine Isa ne’e öla Tina, miu bagi wi’a ‘ka ndeka dunia ne’e kami ndia
Ine e... mesu uzumu du ‘ka nutu, zimamu tika ‘ka Ia,
miu wezu ‘ka ebe ari ndia ndeka dunia

Oni e... ka’e ndoa, kau poro poa, zu kau mai,
kau nggae wa’ai tau pagha ebe ari, eze mbepu öra kau eru,
kau jaga pawe-pawe, taku ebe ari ozo mbepu, ebe ozo mbana nggae,
ndeka tiko za’e, ozo imu ozo iwa pati pawe

Embu... miu ‘ta wezu ‘ka, miu ‘ta pati ‘ka, miu ‘ta ti’i ‘ka
Ti’i miu iwa ‘ka wiki, miu so pati iwa zai.
Kami ono sama, miu pati ja si,
frate ana wai nuka ‘ka nua ‘ki, wai tama ‘ka manga
Ine nua ne’e baba oza, kami ono woso ne’e rhina kapa,
miu pio si, frate ana ‘wi tama
Frate nai ‘ka ndeka puu tangi, frate tika ‘ka ndeka tenda,
kai tama ‘ka ndeka sa’o ko nene Epu ne’e Pama.
Selu... Odja... mame ndoa,kami ono woso, miu ma’e si oka poja,
miu mai sesama si ne’e ate masa, Ria ana kema ‘ki wi iwa du da

Mai mbeja si kita, ine ame, rheze rheu wozo rhaze,
kita wi pongga ‘ka zamba, rupi ‘ka heko, Ria ana wi pao tau rhizi sa’o
Pongga si zamba, rupi si heko!

Berikut ini saya akan menguaraikan poin-poin apa saja yang diungkapan dalam kata-kata bhea di atas. Poin pertama, sebagaimana sebuah acara bersama dalam masyarakat pada umumnya, bhea diawali dengan mengajak semua komponen keluarga besar dan warga masyarakat untuk ikut dalam seremoni ini. Selanjutnya bersama keluarga besar yang hadir, sang penyampai mengajak semuanya untuk mengucapkan syukur kepada Tuhan atas segala kebaikan dan anugerah yang telah diberikan kepada yubilaris, dalam hal ini saya.

Siapa pun saya dengan cerita masa kecil yang agak langka itu, saya tetap bagian dari keturunan nenek moyang bapak saya. Maka, selayaknya sumbangsih mereka melalui doa-doa dari tangan yang tak terlihat dan suara yang tak terdengar dari alam “sana” patut mendapat porsi untuk diapresiasi. Apresiasi selanjutnya tentu disampaikan kepada orang tua saya, bapak dan ibu bersama seorang ibu lagi dari perkawinan kedua bapak, yang keduanya kini telah kembali ke Rumah Bapa. Sesosok pribadi yang juga diangkat oleh penyampai bhea tersebut adalah kakak saya yang sulung. Bagaimana perannya sebagai “orang tua” bagi kami adik-adiknya dengan litani pengorbanan yang dilakoninya dalam hidupnya mendapat sorotan sang sesepuh melalui kata-katanya.

Seperti yang telah diuraikan di atas, bahwa inti seremoni adat ini adalah mengesahkan kehadiran saya di “rumah besar” dalam rangka merayakan syukur kaul kekal, maka pada bagian ini sang penyampai bhea mengutarakan maksud itu. Beliau meminta kerelaan seluruh komponen “rumah besar” yang terdiri dari para leluhur, nenek moyang, tetua adat dan warga masyarakat dan khususnya kedua saudara ibu yang menjadi “pemimpin sah” di rumah besar kami agar mereka semua berkenan mengijinkan saya “masuk” atau “kembali” ke rumah besar untuk merayakan pesta syukuran tersebut. Melalui penyampaian ini yang selanjutnya saya diberi kalungan kain tenunan adat oleh perwakilan keluarga, maka saya telah sah menjadi bagian dari anggota rumah besar dan boleh melangsungkan pesta. Selanjutnya sang penyampai mengajak semua yang hadir dan menyaksikan seremoni itu untuk mengiringi saya menuju rumah besar. Arak-arakan diiringi dengan musik suling dan gendang. Di depan rumah saya mendapat siraman dengan air di kaki sebagai ucapan selamat memasuki rumah besar.

Secara pribadi saya sangat berkesan dengan seremoni tersebut. Perasaan sedih dan terharu sangat mendominasi. Saya sedih karena momen yang sangat bahagia dan istimewa ini tidak disaksikan oleh orang yang sangat saya sayangi, ibu saya. Saya merasa sangat kehilangan dan hati saya serasa sangat sedih ketika nama ibu disebut saat menyampaikan bhea. Saya juga merasa terharu akan peran serta seluruh anggota keluarga besar. Mereka menyambut saya secara meriah dengan tata cara adat yang begitu sakral. Gegap gempita suara musik suling dan gendang yang mengiringi saya dengan suguhan tarian penjemputan oleh sekelompok gadis remaja membuat senja itu begitu indah, agung dan tak terlupakan. Air mata saya tak kuasa dibendung. Tangisan oleh karena sedih dan terharu menyatu dengan suasana yang begitu syahdu. Kesan ini juga diungkapkan oleh seorang konfrater yang mendampingi saya bersama sang gembala, pastor paroki.

Berangkat dari pengalaman ini, saya berpendapat bahwa kesakralan tata cara adat sungguh memberi kekuatan. Keagungannya menjadi daya yang turut memberi andil bagi seseorang untuk setia. Saya merasa sangat bersyukur karena saya memiliki keluarga dan budaya yang berwibawa. Momen ini memberi saya kekuatan untuk menyongsong hari esok di perjalanan hidup panggilan saya. Saya merasa didukung oleh keluarga besar saya dalam menjalani pilihan hidup saya sebagai seorang biarawan, frater Bunda Hati Kudus. Hormat yang setinggi-tingginya dan limpahan terima kasih saya haturkan kepada seluruh anggota keluarga besar dan para leluhur yang dengan penuh cinta telah memberikan yang terbaik bagi saya.
Readmore → Seremoni Adat

Spiritualitas Kamar Makan

Salah satu aspek esensial dari kehidupan manusia sebagai makhluk sosial (homo socius) adalah adanya keinginan untuk selalu berinteraksi dengan sesamanya. Keinginan ini juga merupakan kebutuhan dasar manusia. Setiap pribadi normal secara naluriah selalu berusaha menjalin relasi dengan pribadi lain dalam kehidupannya sehari-hari. Konsekuensi perjalinan antar manusia tersebut terciptalah momen-momen yang memberi ruang setiap pribadi untuk berada bersama pribadi lain pada saat dan tempat tertentu. Maka terjadilah acara-acara bersama seperti perayaan bersama, diskusi, olahraga, berdoa, rekreasi, makan bersama, dan sebagainya.
Bagi kita yang menghayati hidup membiara, aspek ini merupakan salah satu poin penting yang perlu diperhatikan. Hidup bersama dengan orang lain terutama saudara sepanggilan adalah sebuah tuntutan. Ia menjadi salah satu aspek esensial dalam kehidupan kita selain hidup doa, hidup karya dan penghayatan kaul-kaul. Salah satu aktivitas penting dalam aspek hidup bersama di dalam biara adalah makan bersama.
Kesetian untuk membangun hidup membiara tidak terlepas dari kesetiaan kita pada momen-momen yang mendukungnya. Salah satu momen itu adalah makan bersama. Setiap komunitas biara, sama seperti rumah tangga pada umumnya selalu dilengkapi dengan kamar makan. Ini adalah fasilitas standar yang idealnya wajib ada di setiap komunitas biara.
Bagi kita para pelaku hidup bersama dalam biara, kamar makan adalah tempat kita bertemu, berbagi pengalaman, sharing gagasan, berdiskusi sambil menikmati makan bersama. Setiap anggota komunitas pasti sibuk dengan tugas dan tanggung jawab serta urusan pribadinya. Kita jarang bertemu karena waktu kita sebagian besar dihabiskan pada tempat pelayanan kita masing-masing. Oleh karena itu kamar makan dan makan bersama merupakan tempat dan kesempatan yang ideal untuk bertemu dan berbagi tentang banyak hal yang kita alami.
Kamar makan adalah ruang diskusi yang nyaman. Sambil menikmati santapan yang dihidangkan, setiap pribadi bisa berbagi ide atau gagasan untuk didiskusikan. Memberi tanggapan, mengajukan pertanyaan, menimpali dan mendiskusikannya secara lebih mendalam membuat kamar makan menjadi lebih “hidup”. Kita akan menuai fungsi ganda dari kamar makan, kebutuhan jasmaniah terpenuhi dan kesegaran intelektual kita tetap terjaga karena setiap diskusi yang dilakukan menuntut otak kita untuk terus bekerja.
Kamar makan juga bisa menjadi ruang “konseling”. Berbagai arahan, wejangan dan petuah bijak, saling mengingatkan dan mengoreksi bisa dilakukan di kamar makan. Yang yunior bisa belajar dari yang senior melalui cerita tentang kebijaksanaan hidup yang telah dilakoni sepanjang hidupnya. Yang senior bisa membuka diri untuk menerima realita bahwa zaman sudah maju, segala sesuatu sudah berubah dan kini menjadi “dunia”-nya para yunior. Semua hal itu bisa terjadi di kamar makan melalui komunikasi yang dialogis.
Melihat kemungkinan-kemungkinan yang telah diuraikan, kita dapat menyimpulkan bahwa selain sebagai tempat kita menyantap makanan jasmani, kamar makan juga menjadi tempat dimana kita bisa menimba berbagai poin spiritual yang dibutuhkan dalam hidup bersama kita. Hal sama kita bisa temukan dalam cerita kitab suci. Salah satunya adalah kisah Malam Perjamuan terakhir Yesus bersama para murid-Nya. Melalui peristiwa itu, kita bisa memaknai spritualitas kamar makan yang ditunjukkan oleh Yesus dan murid-murid-Nya. Ada dialog di antara mereka, ada tanggapan dan pertanyaan, ada sanggahan dan saling menimpali. Ada amanat tentang cinta kasih, pelayanan dan kerendahan hati, bahkan ada “curhat”tentang saat-saat terakhir Yesus bersama para murid sebelum kisah sengsara-Nya juga diungkapkan di kamar makan pada perjamuan itu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kamar makan adalah ruang spititualitas bagi mereka yang ada di dalamnya.
Tentu bukanlah hal mudah untuk mencapainya. Spiritualitas kamar makan berkaitan erat dengan membangun persaudaraan yang memang tidak selalu mudah bagi beberapa orang. Ada banyak hal yang dapat menyebabkan kita sulit membangun persaudaraan dalam komunitas. Hal-hal tersebut seperti yang ditulis oleh Paul Suparno, SJ dalam sebuah artikelnya, antara lain: Pertama, kita merasa tersakiti oleh teman sekomunitas dan merasa tidak mungkin lagi disembuhkan. Kedua, kita merasa tidak cocok dengan teman kita karena perbedaan watak dan sikap. Ketiga, kesombongan diri, dendam dan sikap diskriminasi yang kita miliki. Keempat, benci karena pernah direndahkan atau tidak didengarkan. Kelima, ingin menjadikan orang lain seperti diriku.
Hal-hal tersebut sangat mengganggu kehidupan bersama kita dalam biara. Kamar makan yang seharusnya menjadi ruang menghidupi semangat persaudaraan menjadi tempat yang tidak nyaman dan ingin dihindari. Beberapa anggota ada di kamar makan hanya karena sudah waktunya makan sebagaimana tercantum pada acara harian. Sekedar ada karena rutinitas dan ingin cepat-cepat pergi dari kamar makan bahkan ada yang berusaha mencari kesibukan untuk menghindari acara makan bersama. Oleh karena itu, dibutuhkan sikap rendah hati, saling memberi dan menerima, saling menghargai dan saling mengasihi. Adanya keterbukaan untuk mau berbagi dan kerelaan untuk mau mendengarkan.
Kita perlu sadar bahwa dalam komunitas, kita tidak dapat memilih teman yang cocok; yang mudah membuka diri; atau yang memiliki kesukaan yang sama. Dalam perbedaan suku, karakter, latar belakang budaya, kita disatukan dalam sebuah komunitas. Tuhanlah yang telah memanggil dan menyatukan kita. Maka, yang perlu dikembangkan dalam diri kita adalah keterbukaan hati agar kasih Tuhan berkembang dalam diri kita, sehingga kita juga rela menerima dan mengasihi saudara-saudara kita sekomunitas apa adanya mereka. Dalam Injil, Yesus mengajak kita untuk menjadi sahabat-Nya. Itu berarti kita juga hendaknya menjadi sahabat bagi orang lain, bagi teman-teman sekomunitas karena mereka juga sahabat Yesus. 
Kita juga perlu membangun persaudaran di komunitas dengan mengembangkan afeksi dan perhatian kepada sesama saudara sekomunitas. Tindakan-tindakan sederhana yang dilakukan di kamar makan seperti memberi ucapan, menyapa dan memberi perhatian adalah sangat penting karena melaluinya kita menjadikan saudara kita bernilai dan berharga bagi kita. Suasana komunitas terasa saling mendukung, akrab dan terbuka. Hal ini dapat membantu setiap anggota untuk berani membuka diri, jujur satu dengan yang lain dan semangat persaudaraan semakin kuat. Setiap anggota dengan penuh gembira dan damai akan selalu berupaya menciptakan kehidupan bersama yang rukun. Dengan demikian, kamar makan menjadi tempat yang hangat untuk membagi persaudaraan dengan anggota yang lain, selain sebagai ruang diskusi atau ruang “konseling”seperti yang telah diuraikan di atas.
Readmore → Spiritualitas Kamar Makan