Wednesday, 31 August 2016

Menjadi Guru yang Berbelaskasih

Sebagai sebuah komunitas religius, kita ingin ikut ambil bagian dalam kerangka gerakan bersama Gereja secara universal untuk mengisi tahun Yubileum Kerahiman Ilahi. Seperti yang sudah kita ketahui, Bapa Suci Paus Fransiskus melalui bulla yang berjudul Misericordiae Vultus atau Wajah Kerahiman telah menetapkan tahun Yubileum Kerahiman Ilahi yang dibuka pada 8 Desember 2015, pada Hari Raya Maria Dikandung Tanpa Noda, sampai nanti akan ditutup pada 20 November 2016, pada Hari Raya Kristus Raja Semeta Alam. Tema tahun kerahiman ilahi ini adalah “Bermurah hati seperti Bapa.” Tujuannya sangat jelas yaitu sebagai undangan untuk mengikuti teladan Bapa yang murah hati yang meminta kita tidak menghakimi atau menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas.
Berangkat dari gagasan tersebut, melalui ulasan ini saya ingin mengajak kita semua, khususnya yang terpanggil menjadi seorang pendidik untuk merenungkan apa hubungan spirit tahun kerahiman ilahi dengan kerahiman seorang guru.

Sebuah kisah inspiratif yang dikutip dari sebuah laman web dengan alamat http://pijar.net/kisah-inspiratif-guru-bijaksana-yang-merubah-murid-bodoh-menjadi-pintar/ di bawah ini akan mengantar kita untuk merenungkan gagasan tersebut:

Guru Bijaksana
Yang Merubah Murid Bodoh Menjadi Pintar

Ada seorang guru pengganti memasuki ruangan kelas di sebuah Sekolah Dasar. Guru itu akan menggantikan guru kelas yang sedang cuti sampai akhir semester ini. Ia memulai pembelajaran di kelas itu. Ketika ia bertanya pada seorang murid laki-laki yang duduk di bangku depan, ia bingung karena tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Murid-murid lain tertawa tanpa sebab.
Karena sudah kenyang dengan pengalaman mengajar, ia paham betul, pastilah ada sesuatu yang ditertawakan oleh anak-anak di kelas itu pada diri anak laki-laki yang ditanya olehnya tadi. Setelah diselidiki ternyata anak laki-laki itu dikenal sebagai murid yang paling bodoh di kelas itu. Teman-temannya begitu meremehkan dia sehingga sering mengolok-olok dan mentertawakannya.
Suatu hari seusai pelajaran ia memanggil murid yang dianggap bodoh itu setelah seluruh teman-temannya pulang. Ia berkata sambil memberikan secarik kertas, “hafalkan baik-baik bait-bait syair yang ada di kertas ini, harus hafal betul dan ingat jangan engkau beritahukan kepada teman-temanmu, siapapun!”
Murid itu mengangguk patuh. Seminggu kemudian, guru menyampaikan pelajaran baru di kelas itu. Ia menulis syair di papan tulis, menerangkannya dan membacakannya berulang-ulang, setelah itu ia berkata,“nah sekarang siapa yang hafal bait-bait syair ini?” Dia bertanya sambil perlahan ia menghapus tulisan syair itu di papan tulis. Tak seorang murid pun mengangkat tangan kecuali murid yang dikenal bodoh oleh teman-temannya itu. Perlahan, malu-malu ia berdiri dan menghafalkan bait-bait syair itu. Hafalan yang lancar sekali. Teman-temannya yang biasa mengolok-olok dan mentertawakan dia, semua terkejut dan terdiam. Guru itu memujinya dan menyuruh teman-temannya untuk bertepuk tangan menghormatinya.
Demikianlah berulang kali guru pengganti ini memberikan kertas hafalan-hafalan kepada si murid bodoh itu. Tertawaan dan cemoohan teman-temannya kini berubah menjadi kekaguman padanya. Hal ini mendorong perubahan besar pada jiwa si murid itu. Ia mulai percaya diri dan meyakini bahwa dia tidaklah bodoh. Ia merasa mampu untuk bersaing dengan teman-teman sekelasnya. Perubahan ini mendorongnya untuk semangat dan bersungguh-sungguh belajar di semua mata pelajaran.
Ketika ujian akhir tiba, murid ini berhasil lulus untuk setiap mata pelajaran dengan nilai yang sangat memuaskan. Mantan si murid bodoh itu kini sedang mengejar gelar doktor di sebuah universitas ternama di kotanya. Kisah ini dia tulis di sebuah koran sebagai pujian untuk gurunya dan sebagai doa agar gurunya itu beroleh pahala dari Tuhan oleh karena kebaikan dan jasa-jasanya.

Penggalan kisah inspiratif ini memberi catatan kepada kita, bahwa ada dua figur guru: yang pertama adalah figur guru yang membuka jalan kebaikan dan menutup jalan keburukan. Guru seperti ini akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya. Dia tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya. Sementara figur guru yang kedua adalah guru yang membuka jalan keburukan, menutup jalan kebaikan. Guru seperti ini akan selalu memutuskan harapan dan cita-cita. Ia selalu menebar duri dan kerikil di jalan yang akan dilalui murid-muridnya berupa pesimisme, putus asa, curiga, buruk sangka, dan berbagai hal yang memadamkan semangat para muridnya.

Dalam hubungannya dengan profesi guru, Bapa pendiri kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman pernah berkata demikian: Saya memerlukan frater-frater yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya pendidikan dan pembentukan kaum muda. Saya memerlukan biarawan-biarawan yang rajin, yang unggul dalam kebijaksaan dan kepandaian, dijiwai oleh suatu itikat yang murni dan dipenuhi oleh cinta kasih dalam secara total untuk tugas yang diberikan oleh pembesar kepada mereka. Saya membutuhkan pria yang sanggup menanamkan pada murid-murid yang dipercayakan kepada mereka, kebenaran-kebenaran utama ajaran agama dan moral Katolik, dan dengan perantaraan mereka, mengajar bagaimana kebenaran-kebenaran itu harus dipraktekkan dalam segala segi kehidupan. Singkatnya, saya membutuhkan guru-guru yang rajin, yang sanggup membentuk akhlak beragama. Guru-rugu yang mampu membantu murid-murid itu, agar mencapai kebahagiaan sementara dan abadi sehingga hati dan budi mereka diresapi oleh sikap iman, harapan dan cinta kasih.” Secara sederhana, amanat sang Pendiri di atas dapat dikatakan bahwa beliau memerlukan frater, biarawan, dan guru dengan seabrek kualifikasi dan potensi yang harus dimiliki.

Dalam kenyataannya, kita mendengar cerita yang dituturkan para pendahulu, bahwa ada sejumlah frater yang hebat pada masanya. Frater yang sungguh menguasai bidangnya. Frater yang sungguh menjadi seorang guru yang bijaksana, disiplin, pandai, rajin dan mengispirasi. Ada frater yang begitu mengasihi anak didiknya. Penuh gembira mendidik, membimbing, menemani murid-murid yang dipercayakan kepada mereka. Mereka tidak kasar, tidak pukul, tidak menghakimi tetapi dengan sabar dan penuh dedikasi memberi kasih dan perhatian demi tumbuh kembang dan kesuksesan anak didiknya. Mereka sungguh menjadi frater, biarawan dan guru yang mampu menerjemahkan amanat pendiri dalam hidup dan tugas perutusan yang diembannya. Karya pelayanan dan cara hidup mereka menjadi kisah inspiratif bagi begitu banyak orang yang pernah mereka didik dan mereka dikenal dan dikenang hingga kini.

Namun, kita juga perlu dengan jujur mengakui bahwa di antara cerita kehebatan para frater itu, ada juga sosok frater yang menakutkan, ada frater yang tidak disiplin, keras, tempramental, tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi anak-anak didiknya, mereka dikenang sebagai frater, biarawan dan seorang guru yang kasar dan suka tempeleng. Jadi mereka diingat karena kerasnya bukan karena kebaikannya.

Mungkin kita pernah membaca, mendengar atau bahkan kita sendiri melihat dan mengalaminya. Pada zaman ini, pendidikan di sekolah-sekolah Katolik mengalami penurunan baik mutu atau kualitas maupun jumlah murid. Dari urain berbagai buku, tulisan atau pemaparan lisan, kita menemukan ada berbagai faktor yang mendasari problematika itu, di antaranya: SDM guru dan staf pendidikan, strategi manajemen, sarana dan prasarana, sumber dana, sistem kurikulum dan program pemerintah, sistem pembelajaran, persaingan antar sekolah, peran masyarakat dan partisipasi instansi terkait dan sebagainya. Namun, ada tuntutan yang harus dipenuhi oleh lembaga pendidikan Katolik bahwa sekolah Katolik jangan pernah menanggalkan nuansa katoliksitasnya. Jangan pernah menghilangkan tradisi mengajarkan nilai-nilai kristiani terhadap peserta didik dalam seluruh aktivitas kelas walaupun agama dan kepercayaannya berbeda. Sekolah Katolik harus tegas tetapi dengan landasan budaya kasih. Sekolah Katolik harus menjadi garda terdepan dalam mencapai apa yang menjadi hakekat pendidikan, yaitu mengubah yang kasar menjadi halus, mengubah yang kotor menjadi bersih, mengubah yang bodoh menjadi pintar dan berakhlak, dan menjadikan seorang pribadi menjadi manusia yang beradab. Ketegasan dan kasih inilah yang meninggalkan kesan-kesan untuk sebagian besar alumni yang pernah bersekolah di sekolah Katolik bahwa pendidikan itu telah memanusiakan mereka.

Orang tua tentu saja mengharapkan anaknya supaya menjadi pribadi yang seimbang antara rohani dan jasmani. Pertimbangan ini membawa akibat logis, bagaimana memilih sekolah bagi anak-anak mereka. Memilih sekolah Katolik yang baik dan bermutu adalah ideal bagi keluarga-keluarga Katolik karena sekolah seperti ini pasti tidak hanya akan memperhatikan kualitas pendidikan duniawi, tetapi juga memperhatikan perkembangan iman anak. Kalau anak tidak beriman pastilah akan menjadi anak yang sombong, walaupun pandai. Selanjutnya anak seperti itu tidak pernah akan bersyukur karena dia merasa bahwa apa yang ada pada dirinya adalah miliknya sendiri. Ia menjadi sulit menghargai orang lain.

Itulah tantangan sekaligus peluang bagi sekolah-sekolah Katolik untuk hadir di masyarakat demi memenuhi kerinduan dan harapan orang tua. Para frater yang berkarya di sekolah, bapak-ibu guru dan staf kependidikan bekerja keras mengelola sekolah-sekolah itu. Bagaimana mereka berusaha untuk tidak meninggalkan aura Kekatolikan dengan mengajarkan iman Katolik di sekolah, mereka berusaha mewartakan nilai-nilai kristiani melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah, mereka berusaha tegas tetapi tetap dengan landasan budaya kasih. Demikianlah mereka menjadi guru dan pendidik yang mampu menghadirkan wajah Gereja di lembaga pendidikan. Wajah Gereja yang adalah wajah Allah sendiri, wajah yang memerdekakan dan membebaskan anak-anak dari belenggu kebodohan, dari penderitaan akan kemiskinan kasih dan perhatian dan dari kegalauan oleh karena tekanan degradasi nilai dan akhlak mulia. Wajah Allah yang tidak menghakimi tetapi penuh belas kasih dan pengampunan yang tanpa batas.

Kita bersyukur karena di tengah hiruk-pikuk dunia ini khususnya di medan pelayanan di bidang pendidikan oleh karena berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapinya, Allah hadir dengan wajah kerahiman-Nya yang membebaskan. Spirit kehadiran Allah di tahun kerahiman ilahi yang ditetapkan Bapa Suci yaitu murah hati seperti Bapa yang memberi kasih dan pengampunan yang tanpa batas menjadi roh yang menggerakan para frater yang berkarya di sekolah bersama bapa-ibu guru untuk memperlihatkan wajah-wajah guru yang berbelaskasih, yang senantiasa membuka jalan kebaikan untuk menutup jalan keburukan; yang akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan murid-muridnya; yang tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya, sebagaimana digambarkan melalui sosok guru inspiratif dalam cerita di atas. Dengan berpedoman pada landasan spiritualitas tahun kerahiman ilahi ini juga, mereka terdorong untuk menjadi guru-guru yang berbelaskasih yang mampu menerjemahkan anamat Bapa pendiri kongregasi Frater BHK melalui pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah.

Bagi mereka yang dalam kapasitasnya sebagai skate holder, pemilik dan pemangku kepentingan bagi sekolah-sekolah itu, mereka berperan penting bagi tumbuh kembang dan kelangsungan hidup sekolah-sekolah tersebut. Mereka bertanggung jawab sebagai penjamin mutu sekolah-sekolah itu melalui berbagai aturan dan kebijakan yang dibuat. Kiranya rahmat tahun kerahiman ilahi ini memampukan mereka untuk hadir sebagai tokoh dengan wajah yang penuh rahim untuk menggambarkan hatinya yang peduli atas semua hal yang terjadi di lembaga pendidikan. Tindakan nyata Sang Guru dan Tuhan kita, Yesus Kristus yang membasuh kaki para murid-Nya, semoga menjadi inspirasi dan suri teladan bagi mereka dalam menjadi guru, frater, dan biarawan yang berspiritualitas pelayan. Tentu sesuai dengan tanggung jawab, tugas perutusan dan dalam kapasitasnya masing-masing. Mari kita menjadi guru yang berbelaskasih dengan menghayati spiritualitas tahun kerahiman ilahi di medan pelayanan kita masing-masing. Kita perlu mulai dengan menjadi guru yang berbelaskasih bagi diri kita sendiri, bagi orang-orang yang berkarya bersama kita dan selanjutnya bagi mereka yang dipercayakan kepada kita. Semoga teladan Sang Guru dan Tuhan kita, amanat pendiri dan spirit tahun kerahiman ilahi menjadi roh yang menjiwai cara hidup dan karya pelayanan kita. Amin.
Readmore → Menjadi Guru yang Berbelaskasih

Monday, 29 August 2016

Pulang

Senyaman apa pun kau berada di tempat orang, tidak akan bisa menggantikan kehangatan rumahmu sendiri. Seberapa pun jauhnya kau pergi, rumahmu  akan selalu “memanggil”mu pulang. Rumah adalah api yang mengobarkan jiwamu, nafas yang menyambung nyawamu. Rumah adalah hidupmu sendiri. Oleh karena itu, perjalanan kembali ke rumah adalah perjalanan pulang menuju sumber kehidupan. Ia menjadi momen yang paling indah dan dirindukan. Tulisan di bawah ini adalah catatan sharing pengalaman saya tentang perjalanan pulang ke rumah. Saya tertarik untuk menulisnnya oleh karena pengalaman langka yang saya alami.
Tahun 2016 ini, sesuai aturan kongregasi, saya mendapat jatah liburan selama dua minggu tidak termasuk waktu perjalanan. Liburan kali ini terasa istimewa karena saya mengisinya dengan perayaan syukur kaul kekal saya bersama keluarga besar. Jauh-jauh hari saya sudah merencanakannya. Jadual cuti saya berlangsung sejak 27 Juni 2016 berangkat dari Malang, tempat tugas saya sekarang hingga 14 Juli 2016 saya kembali lagi ke tempat saya berdomisili itu.
Senin, 27 Juni 2016 pagi, bersama seorang frater, saya berangkat dari Malang menuju Bandara Internasional Juanda Surabaya. Menurut schedule, pesawat yang akan saya tumpangi menuju Denpasar, Bali berangkat pada 10.15 WIB. Pada 12.00 WIB lewat, pesawat baru bisa berangkat. Itu berarti, kurang lebih 2 jam saya mengalami delay. Pada saat melakukan urusan administrasi bagi kami, penumpang transit, ketika itu saya baru tahu bahwa pesawat yang seharusnya akan membawa saya pada 12.50 WITA menuju Ende, sudah take off. Saya bersama kakak dan seorang suster ketinggalan pesawat. Petugas berusah memberi penjelasan dan meminta maaf atas keterlambatan ini dengan berbagai argumen yang mendasarinya. Apa pun alasan yang disampaikan, kami meresponnya dengan marah. Kami merasa kacewa dengan maskapai penerbangan itu karena kami bertiga ditinggalkan bukan karena kesalahan kami. Kami yang memiliki tiket langsung (connect) dari Surabaya menuju Ende. Berbagai upaya komunikasi telah kami lakukan tetapi tetap saja hari itu, kami tidak bisa diberangkatkan ke tempat tujuan. Kami terpaksa menginap di Denpasar, Bali dengan fasilitas perjalanan dan akomodasi ditanggung pihak maskapai. 
Pukul 09.30 WITA, kami check out dari hotel dan diantar ke bandara. Urusan check in kami lakukan sebelum waktunya mengingat kami adalah penumpang “khusus” karena peristiwa kemarin itu. Petugas mengurusi dengan baik dan cepat. Sebelum menuju ruang tunggu, kami mampir makan siang di rumah makan sekitar bandara.
Perjalanan nyaman dan aman kami tempuh selama 1 jam dan 30 menit menuju Bandara Komodo, Labuan Bajo. Masalah lain lagi terjadi di tempat ini. Biasanya para penumpang yang menuju Ende tidak turun menuju ruang tunggu, tetap berada dalam pesawat selama 30 menit sambil menunggu para penumpang naik pesawat yang sama menuju Kupang. Namun, kali ini kami harus turun menuju ke terminal (ruang tunggu) setelah mendapat informasi dari seorang pramugari bahwa pesawat belum bisa langsung menuju Ende karena cuaca buruk. Sekitar 1 jam kami berada dalam gedung terminal.
“Welcome to Ende”, kata saya berbasa-basi dengan seorang penumpang warga negara asing yang dibalasnya dengan senyum manis kepunyaannya sembari berkata “thank you”. Gapura selamat datang di Bandara Haji Hasan Aroebusman menyambut kedatangan para penumpang pesawat. Saya sudah tiba di Ende, kota kelahiran saya dengan sehat dan selamat tepat pukul 17.10 WITA setelah menempuh perjalanan selama 1 jam dari Labuan Bajo.
Perjalanan selanjutnya bersama seorang sanak kekuarga yang menjemput, saya menuju biara frateran St. Aloysius, Ndao Ende. Ini adalah satu-satunya komunitas frater Bunda Hati Kudus di kota yang menjadi tempat sang proklamator kemerdekaan, Soekarno merenungkan kelima butir Pancasila semasa pengasingannya di tempat ini. Saya hanya mampir sebentar untuk memohon pamit pada salah seorang frater anggota komunitas bahwa saya langsung menuju ke kampung.
Pukul 18.00 WITA, kami berangkat. Perjalanan yang seharusnya membutuhkan waktu sekitar hanya 1 jam menuju pusat paroki, tempat saya akan menginap selama semalam terpaksa menjadi sekitar 4 jam lamanya karena terjadi masalah dengan kendaraan yang saya tumpangi. Roda belakang sebelah kiri pecah. Dalam situasi alam yang sudah gelap masalah itu harus segera diatasi, menggatinya dengan roda serep yang memang selalu dibawa. Masalah belum selesai di situ. Setelah berjalan sekitar 50-an meter, mobil tidak bisa bergerak maju karena tertahan tanah berlumpur pada posisi jalan miring. Kemudian mesinnya mati. Rupanya kendaraan ini bermasalah pada accu-nya yang berakibat tidak bisa dinyalakan lagi. Berbagai upaya coba diusahakan dengan bantuan saudara yang rumahnya berada di sekitar lokasi. Juga sanak keluarga yang sudah ada di pusat paroki, turun membantu. Mereka datang dengan mobil pick up dan dum track. Masalah yang kami alami bisa teratasi berkat bantuan mereka. Mobil yang kami pakai itu akhirnya ditarik menggunakan dum track lalu dititipkan di kampung terdekat. Selanjutnya kami menuju ke pusat paroki menggunakan mobil pick up.
Sekitar pukul 22.00 Wita, kami tiba di pastoran yang disambut romo paroki, seorang frater yang sedang menjadi tahun orientasi pastoral (TOP) dan keluarga. Saya menginap di pusat paroki Santa Maria Bunda Karmel Rajawawo ini selama semalam. Besoknya, 29 Juni 2016, pada pukul 15.00 akan dijemput oleh keluarga menuju kampung halaman saya, namanya Kekadori. Acara penjemputan dilakukan secara adat dengan iringan musik suling dan gendang (alat musik daerah). Romo paroki bersama frater M. Christoforus BHK ikut ambil bagian untuk mendampingi saya. Rangkaian acara ini adalah bagian dari perayaan syukur kaul kekal saya yang dilaksanakan pada 30 Juni 2016 di kampung Kekadori.
Catatan perjalanan ini saya tulis di pastoran dengan view kota Ende yang mengapit Laut Sawu dan Pulau Ende dipandang dari belakang kamar tidur saya. Saya menulisnya untuk mengisi waktu kosong sebelum seremoni penjemputan dilakukan. Saat ini di Rajawawo pukul 13.00, 29 Juni 2016. ***

Agenda utama momen pulang saya kali ini adalah untuk merayakan syukuran bersama keluarga atas kaul kekal saya yang sudah dilaksanakan pada 28 Mei 2016 di Maumere. Demikian pula seorang suster yang ikut ditinggal pesawat bersama saya di Denpasar, Bali ternyata juga mempunyai agenda utama liburannya sama seperti saya. Pada 26 Juni 2016, beliau merayakan pesta perak hidup membiara dalam kongregasinya di kota Malang. Momen pulangnya kali ini akan dimanfaatkan untuk merayakan syukuran bersama keluarga atas 25 tahun hidup membiara yang telah dijalaninya dalam kongregasinya itu. Perayaan syukur dilaksanakan pada 30 Juni 2016, sama seperti saya. Kami merayakan syukur pada waktu bersamaan di tempat yang berbeda. Sebuah kebetulan yang terduga.
Seharusnya pada 28 Juni 2016 saya menginap di biara frateran BHK Ndao-Ende, tetapi karena ditinggal pesawat, saya terpaksa harus tertahan di Denpasar, Bali dan menginap di hotel mewah. Saya mengakui, ini pengalaman istimewa dan langka. Saya mendapat kesempatan belajar hal baru tentang mekanisme check in-check out dan tata cara menginap di tempat umum. Hal lainnya adalah apabila saya jadi menginap di biara, itu berarti saya akan sendiri di sana karena para frater saat itu sedang mengikuti retret tahunan. Bisa dibayangkan, seorang diri di biara se-gede itu.
Mobil yang saya tumpangi dari bandara menuju kampung mengalami kemacetan di tanah ulayat nenek moyang. Menurut tetua adat rumah besar, peristiwa itu merupakan “ucapan” selamat datang dari mereka yang sudah berdiam di alam “sana”. Juga mengingatkan saya agar tidak lupa mendoakan keselamatan arwah mereka. Saya mengakui bahwa selama ini saya tidak pernah ingat akan hal ini bahkan berziarah ke tempat peristirahatan terakhir mereka belum sekalipun saya melakukannya.
Ada peristiwa alam yang jarang sekali terjadi di kampung kami. Menurut pengakuan tetua adat rumah besar yang diamini beberapa sanak famili, peristiwa langka itu baru terjadi tiga kali di tiga generasi berbeda. Yang pertama terjadi pada generasi kakek-nenek, sesaat sebelum kakek (bapak dari ibu) menghembuskan nafas terakhir. Peristiwa kedua terjadi persis yang pertama, yaitu saat sebelum salah seorang saudara ibu menghembuskan nafas terakhir. Ini kejadian pada generasi orang tua. Sedangkan peristiwa ketiga terjadi pada generasi saya atau generasi anak. Pada 29 Juni 2016 pagi, secara tiba-tiba angin ribut bertiup sangat kencang seperti badai dan berlangsung hanya sesaat. Peristiwa alam ini terjadi sama persis dengan kejadian pada dua generasi sebelumnya. Saya sendiri menyaksikan kejadian alam ini pada generasi saya ketika saya berada di pastoran, sedang membuat catatan perjalanan pulang saya ini. Angin ribut merupakan peristiwa alam biasa. Namun menjadi tidak biasa karena terjadi pada momen-momen langka. Menurut pengakuan anggota rumah besar, kejadian ini menjadi tanda “kedatangan” para leluhur untuk ikut ambil bagian dalam perayaraan syukur ini, tentu kehadirannya dengan tata cara mereka. Mungkin ini hanyalah buah “refleksi adat” tetapi saya percaya bahwa kuasa Yang Mahatinggi mampu melakukannya, membiarkan para leluhur berkonspirasi dengan alam untuk menyatakan “kehadiran” mereka.
Tidak hanya itu, campur tangan leluhur dalam penyelenggaraan perayaan syukur ini sungguh nyata. Saat pengerjaan panggung mencapai tahap finishing, sehari sebelum hari H, hujan lebat disertai angin kencang melanda kampung kami. Keluarga bersama warga sangat kuatir, apakah perayaan akan bisa berjalan dalam suasana alam seperti itu. Di sinilah para leluhur mengambil alih. Mereka berkonspirasi lagi dengan alam untuk melancarkan acara. Berbagai seremoni adat dilakukan, diantaranya: memberi makan kepada nenek moyang, nyekar dan berdoa di pusara mereka sampai melemparkan pakaian yang pernah saya pakai ke atap rumah. Semua aktivitas budaya ini dilakukan dengan satu intensi mohon partisipasi dan dukungan para leluhur bagi kesuksesan perayaan.
Dan hasilnya sungguh menakjubkan. Cahaya mentari pertama yang menerangi kampung halaman pada hari penyelenggaraan perayaan syukuran itu sungguh luar biasa, terang-benderang dan cerah-ceria. Tanpa segumpal awan pun hari itu sang mentari melintasi cakrawala di atas panggung acara dari terbit hingga terbenamnya. Acara berjalan khusuk, tenang penuh khidmat, lancar dan meriah.
Saya sangat bersyukur karena terlahir sebagai bagian dari gererasi para leluhur saya yang sangat luar biasa. Ungkapan ini saya terisnpirasi dari kata-kata Om saya (saudara mama yang menjadi penanggung jawab utama perayaan itu), dalam suatu kesempatan beliau pernah mengatakan bahwa beliau sudah bersumpah di kubur kakek, bahwa apa pun keadaan alam pada hari H, itu menjadi ukuran kehebatan para leluhur. Kalau mereka tidak “memberi” hari yang cerah untuk kelancaran acara, semua cerita tentang kewibawaan dan nama besar mereka di masa lalu tidak lain hanyalah kisah omong kosong. Saya sempat menangis terharu saat mendengarkan penuturan ini dengan melihat kenyataan yang ada. Ternyata saya sangat dicintai oleh nenek moyang saya yang telah tiada. Mereka sangat medukung pilihan hidup saya.
Saya merasakan hal ini sejak pertama kali masuk kampung dan diterima secara adat. Alunan musik suling dan gendang dan sapaan adat sungguh menyentuh hati. Saya tidak bisa menahan tangis. Air mata kesedihan karena tidak ada seorang ibu yang mendampingi ayah untuk menyaksikan momen istimewa saya ini, air mata karena merasa terharu oleh antusias anggota keluarga besar dan masyarakat yang menyambut kedatangan saya dan air mata kebahagiaan karena merasa diterima dan diakui secara adat yang sakral sebagai bagian dari generasi leluhur yang sangat luar biasa ini. Saya percaya karena mereka sungguh mengasihi saya, mereka mampu bekerjasama dengan alam untuk membersembahkan hari yang indah demi kelancaran dan kesuksesan perayaan syukur kaul kekal saya. Sekali lagi, ini hanyalah “refleksi adat” tanpa mengabaikan kuasa Sang Ilahi yang mengatur dan mengendalikan alam semesta ini.
Saya menulis refleksi atas pengalaman pulang saya kali ini di sini, di rumah Oro Oro Dowo 58 Malang, tempat tinggal saya saat ini. Waktu kini tepat pukul 12.00 WIB, pada 29 Agustus 2016. Saya menulis ini untuk mengenang kembali peristiwa penyambutan secara adat saat memasuki kampung halaman dan perayaan syukuran kaul kekal saya tepat dua bulan yang lalu.
Readmore → Pulang