Sebagai sebuah komunitas
religius, kita ingin ikut ambil bagian dalam kerangka gerakan bersama Gereja
secara universal untuk mengisi tahun Yubileum Kerahiman Ilahi. Seperti yang
sudah kita ketahui, Bapa Suci Paus Fransiskus melalui bulla yang berjudul Misericordiae
Vultus atau Wajah Kerahiman telah menetapkan tahun Yubileum Kerahiman Ilahi yang dibuka pada 8 Desember 2015, pada Hari Raya Maria
Dikandung Tanpa Noda,
sampai nanti akan ditutup pada
20 November 2016, pada Hari Raya Kristus Raja Semeta Alam. Tema tahun kerahiman ilahi ini adalah “Bermurah hati seperti Bapa.” Tujuannya
sangat jelas yaitu sebagai undangan untuk
mengikuti teladan Bapa yang murah hati yang meminta kita tidak menghakimi atau
menghukum tetapi mengampuni serta memberi kasih dan pengampunan tanpa batas.
Berangkat dari gagasan
tersebut, melalui ulasan ini saya ingin mengajak kita semua, khususnya yang
terpanggil menjadi seorang pendidik untuk merenungkan apa hubungan spirit tahun
kerahiman ilahi dengan kerahiman seorang guru.
Sebuah kisah
inspiratif yang dikutip dari sebuah
laman web dengan alamat http://pijar.net/kisah-inspiratif-guru-bijaksana-yang-merubah-murid-bodoh-menjadi-pintar/
di bawah ini akan mengantar kita untuk merenungkan gagasan tersebut:
Guru Bijaksana
Yang Merubah Murid
Bodoh Menjadi Pintar
Ada seorang guru pengganti
memasuki ruangan kelas di sebuah Sekolah Dasar. Guru itu akan menggantikan guru
kelas yang sedang cuti sampai akhir semester ini. Ia memulai pembelajaran di
kelas itu. Ketika ia bertanya pada seorang murid laki-laki yang duduk di bangku
depan, ia bingung karena tiba-tiba suasana kelas menjadi riuh. Murid-murid lain
tertawa tanpa sebab.
Karena sudah kenyang dengan
pengalaman mengajar, ia paham betul, pastilah ada sesuatu yang ditertawakan
oleh anak-anak di kelas itu pada diri anak laki-laki yang ditanya olehnya tadi.
Setelah diselidiki ternyata anak laki-laki itu dikenal sebagai murid yang
paling bodoh di kelas itu. Teman-temannya begitu meremehkan dia sehingga sering
mengolok-olok dan mentertawakannya.
Suatu hari seusai pelajaran ia
memanggil murid yang dianggap bodoh itu setelah seluruh teman-temannya pulang.
Ia berkata sambil memberikan secarik kertas, “hafalkan baik-baik bait-bait syair yang ada di kertas ini, harus hafal
betul dan ingat jangan engkau beritahukan kepada teman-temanmu, siapapun!”
Murid itu mengangguk patuh.
Seminggu kemudian, guru menyampaikan pelajaran baru di kelas itu. Ia menulis
syair di papan tulis, menerangkannya dan membacakannya berulang-ulang, setelah
itu ia berkata,“nah sekarang siapa
yang hafal bait-bait syair ini?” Dia bertanya sambil perlahan ia
menghapus tulisan syair itu di papan tulis. Tak seorang murid pun mengangkat
tangan kecuali murid yang dikenal bodoh oleh teman-temannya itu. Perlahan,
malu-malu ia berdiri dan menghafalkan bait-bait syair itu. Hafalan yang lancar
sekali. Teman-temannya yang biasa mengolok-olok dan mentertawakan dia, semua
terkejut dan terdiam. Guru itu memujinya dan menyuruh teman-temannya untuk
bertepuk tangan menghormatinya.
Demikianlah berulang kali guru
pengganti ini memberikan kertas hafalan-hafalan kepada si murid bodoh itu.
Tertawaan dan cemoohan teman-temannya kini berubah menjadi kekaguman padanya.
Hal ini mendorong perubahan besar pada jiwa si murid itu. Ia mulai percaya diri
dan meyakini bahwa dia tidaklah bodoh. Ia merasa mampu untuk bersaing dengan
teman-teman sekelasnya. Perubahan ini mendorongnya untuk semangat dan
bersungguh-sungguh belajar di semua mata pelajaran.
Ketika ujian akhir tiba, murid
ini berhasil lulus untuk setiap mata pelajaran dengan nilai yang sangat
memuaskan. Mantan si murid bodoh itu kini sedang mengejar gelar doktor di
sebuah universitas ternama di kotanya. Kisah ini dia tulis di sebuah koran
sebagai pujian untuk gurunya dan sebagai doa agar gurunya itu beroleh pahala
dari Tuhan oleh karena kebaikan dan jasa-jasanya.
Penggalan kisah inspiratif ini
memberi catatan kepada kita, bahwa ada dua figur guru: yang pertama adalah
figur guru yang membuka jalan kebaikan dan menutup jalan keburukan. Guru
seperti ini akan selalu memberikan harapan, optimisme, menolong dan menumbuhkan
murid-muridnya. Dia tidak menghukum atau menghakimi tetapi selalu punya jalan
keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi murid-muridnya. Sementara figur
guru yang kedua adalah guru yang membuka jalan keburukan, menutup jalan
kebaikan. Guru seperti ini akan selalu memutuskan harapan dan cita-cita. Ia
selalu menebar duri dan kerikil di jalan yang akan dilalui murid-muridnya
berupa pesimisme, putus asa, curiga, buruk sangka, dan berbagai hal yang
memadamkan semangat para muridnya.
Dalam hubungannya dengan profesi guru, Bapa
pendiri kongregasi Frater Bunda Hati Kudus, Mgr. Andreas Ignatius Schaepman
pernah berkata demikian: “Saya memerlukan frater-frater yang berkeyakinan mendalam tentang pentingnya
pendidikan dan pembentukan kaum muda. Saya memerlukan biarawan-biarawan yang
rajin, yang unggul dalam kebijaksaan dan kepandaian, dijiwai oleh suatu itikat
yang murni dan dipenuhi oleh cinta kasih dalam secara total untuk tugas yang
diberikan oleh pembesar kepada mereka. Saya membutuhkan pria yang sanggup
menanamkan pada murid-murid yang dipercayakan kepada mereka,
kebenaran-kebenaran utama ajaran agama dan moral Katolik, dan dengan
perantaraan mereka, mengajar bagaimana kebenaran-kebenaran itu harus
dipraktekkan dalam segala segi kehidupan. Singkatnya, saya membutuhkan
guru-guru yang rajin, yang sanggup membentuk akhlak beragama. Guru-rugu yang
mampu membantu murid-murid itu, agar mencapai kebahagiaan sementara dan abadi
sehingga hati dan budi mereka diresapi oleh sikap iman, harapan dan cinta
kasih.” Secara sederhana, amanat sang Pendiri di atas dapat dikatakan bahwa beliau
memerlukan frater, biarawan, dan guru dengan seabrek kualifikasi dan potensi
yang harus dimiliki.
Dalam kenyataannya, kita
mendengar cerita yang dituturkan para pendahulu, bahwa ada sejumlah frater yang
hebat pada masanya. Frater yang sungguh menguasai bidangnya. Frater yang
sungguh menjadi seorang guru yang bijaksana, disiplin, pandai, rajin dan
mengispirasi. Ada frater yang begitu mengasihi anak didiknya. Penuh gembira
mendidik, membimbing, menemani murid-murid yang dipercayakan kepada mereka.
Mereka tidak kasar, tidak pukul, tidak menghakimi tetapi dengan sabar dan penuh
dedikasi memberi kasih dan perhatian demi tumbuh kembang dan kesuksesan anak
didiknya. Mereka sungguh menjadi frater, biarawan dan guru yang mampu
menerjemahkan amanat pendiri dalam hidup dan tugas perutusan yang diembannya.
Karya pelayanan dan cara hidup mereka menjadi kisah inspiratif bagi begitu
banyak orang yang pernah mereka didik dan mereka dikenal dan dikenang hingga
kini.
Namun, kita juga perlu dengan
jujur mengakui bahwa di antara cerita kehebatan para frater itu, ada juga sosok
frater yang menakutkan, ada frater yang tidak disiplin, keras, tempramental,
tidak bisa berbuat apa-apa. Bagi anak-anak didiknya, mereka dikenang sebagai
frater, biarawan dan seorang guru yang kasar dan suka tempeleng. Jadi mereka
diingat karena kerasnya bukan karena kebaikannya.
Mungkin kita pernah membaca,
mendengar atau bahkan kita sendiri melihat dan mengalaminya. Pada zaman ini,
pendidikan di sekolah-sekolah Katolik mengalami penurunan baik mutu atau
kualitas maupun jumlah murid. Dari urain berbagai buku, tulisan atau pemaparan
lisan, kita menemukan ada berbagai faktor yang mendasari problematika itu, di
antaranya: SDM guru dan staf pendidikan, strategi manajemen, sarana dan
prasarana, sumber dana, sistem kurikulum dan program pemerintah, sistem
pembelajaran, persaingan antar sekolah, peran masyarakat dan partisipasi instansi
terkait dan sebagainya. Namun, ada tuntutan yang harus dipenuhi oleh lembaga
pendidikan Katolik bahwa sekolah Katolik jangan pernah
menanggalkan nuansa katoliksitasnya. Jangan pernah menghilangkan tradisi
mengajarkan nilai-nilai kristiani terhadap peserta didik dalam seluruh
aktivitas kelas walaupun agama dan kepercayaannya berbeda. Sekolah Katolik
harus tegas tetapi dengan landasan budaya kasih. Sekolah Katolik harus menjadi
garda terdepan dalam mencapai apa yang menjadi hakekat pendidikan, yaitu
mengubah yang kasar menjadi halus, mengubah yang kotor menjadi bersih, mengubah
yang bodoh menjadi pintar dan berakhlak, dan menjadikan seorang pribadi menjadi
manusia yang beradab. Ketegasan dan kasih inilah yang meninggalkan kesan-kesan
untuk sebagian besar alumni yang pernah bersekolah di sekolah Katolik bahwa
pendidikan itu telah memanusiakan mereka.
Orang tua tentu saja mengharapkan
anaknya supaya menjadi pribadi yang seimbang antara
rohani dan jasmani.
Pertimbangan ini membawa akibat logis, bagaimana memilih sekolah bagi anak-anak
mereka. Memilih sekolah
Katolik yang baik dan bermutu adalah ideal bagi keluarga-keluarga Katolik karena sekolah
seperti ini pasti tidak hanya akan memperhatikan kualitas pendidikan duniawi,
tetapi juga memperhatikan perkembangan iman anak. Kalau anak tidak beriman
pastilah akan menjadi anak yang sombong, walaupun pandai. Selanjutnya anak
seperti itu tidak pernah akan bersyukur karena dia merasa
bahwa apa yang ada pada dirinya adalah miliknya sendiri. Ia menjadi sulit menghargai orang lain.
Itulah tantangan sekaligus peluang
bagi sekolah-sekolah Katolik untuk hadir di masyarakat demi memenuhi kerinduan
dan harapan orang tua. Para frater yang berkarya di sekolah, bapak-ibu guru dan
staf kependidikan bekerja keras mengelola sekolah-sekolah itu. Bagaimana mereka
berusaha untuk tidak meninggalkan aura Kekatolikan dengan mengajarkan iman
Katolik di sekolah, mereka berusaha mewartakan nilai-nilai kristiani melalui
pembelajaran di kelas dan kehidupan di sekolah, mereka berusaha tegas tetapi
tetap dengan landasan budaya kasih. Demikianlah mereka menjadi guru dan pendidik
yang mampu menghadirkan wajah Gereja di lembaga pendidikan. Wajah Gereja yang
adalah wajah Allah sendiri, wajah yang memerdekakan dan membebaskan anak-anak
dari belenggu kebodohan, dari penderitaan akan kemiskinan kasih dan perhatian
dan dari kegalauan oleh karena tekanan degradasi nilai dan akhlak mulia. Wajah
Allah yang tidak menghakimi tetapi penuh belas kasih dan pengampunan yang tanpa
batas.
Kita bersyukur karena di
tengah hiruk-pikuk dunia ini khususnya di medan pelayanan di bidang pendidikan
oleh karena berbagai tantangan dan persoalan yang dihadapinya, Allah hadir
dengan wajah kerahiman-Nya yang membebaskan. Spirit kehadiran Allah di tahun
kerahiman ilahi yang ditetapkan Bapa Suci yaitu murah hati seperti Bapa yang
memberi kasih dan pengampunan yang tanpa batas menjadi roh yang menggerakan
para frater yang berkarya di sekolah bersama bapa-ibu guru untuk memperlihatkan
wajah-wajah guru yang berbelaskasih, yang senantiasa membuka jalan kebaikan untuk
menutup jalan keburukan; yang akan selalu memberikan harapan, optimisme,
menolong dan menumbuhkan murid-muridnya; yang tidak menghukum atau menghakimi
tetapi selalu punya jalan keluar untuk setiap kesulitan yang dihadapi
murid-muridnya, sebagaimana digambarkan melalui sosok guru inspiratif dalam cerita
di atas. Dengan berpedoman pada landasan spiritualitas tahun kerahiman ilahi ini juga,
mereka terdorong untuk menjadi guru-guru yang berbelaskasih yang mampu
menerjemahkan anamat Bapa pendiri kongregasi Frater BHK melalui pembelajaran di
kelas dan kehidupan di sekolah.
Bagi mereka yang dalam
kapasitasnya sebagai skate holder,
pemilik dan pemangku kepentingan bagi sekolah-sekolah itu, mereka berperan
penting bagi tumbuh kembang dan kelangsungan hidup sekolah-sekolah tersebut.
Mereka bertanggung jawab sebagai penjamin mutu sekolah-sekolah itu melalui
berbagai aturan dan kebijakan yang dibuat. Kiranya rahmat tahun kerahiman ilahi
ini memampukan mereka untuk hadir sebagai tokoh dengan wajah yang penuh rahim
untuk menggambarkan hatinya yang peduli atas semua hal yang terjadi di lembaga
pendidikan. Tindakan nyata Sang Guru dan Tuhan kita, Yesus Kristus yang
membasuh kaki para murid-Nya, semoga menjadi inspirasi dan suri teladan bagi mereka
dalam menjadi guru, frater, dan biarawan yang berspiritualitas pelayan. Tentu
sesuai dengan tanggung jawab, tugas perutusan dan dalam kapasitasnya
masing-masing. Mari kita menjadi guru yang berbelaskasih dengan menghayati
spiritualitas tahun kerahiman ilahi di medan pelayanan kita masing-masing. Kita
perlu mulai dengan menjadi guru yang berbelaskasih bagi diri kita sendiri, bagi
orang-orang yang berkarya bersama kita dan selanjutnya bagi mereka yang
dipercayakan kepada kita. Semoga teladan Sang Guru dan Tuhan kita, amanat
pendiri dan spirit tahun kerahiman ilahi menjadi roh yang menjiwai cara hidup
dan karya pelayanan kita. Amin.