Tuesday, 10 May 2016

Tepuk Tangan untuk Wensis

Hari itu materi pelajaran kami tentang “Shapes”. Kami belajar bersama tentang macam-macam bentuk dan bahasa Inggrisnya. “That is a Triangle” adalah judul materi yang kami pelajari hari itu. Seperti biasanya, saya selaku guru selalu mengawali pelajaran pada tema baru dengan menyuruh anak-anak untuk membacakan judulnya. Anak-anak merespon suruhan saya dengan membacanya secara bersama-sama.

Beberapa anak dengan lantang penuh percaya diri menyerukannya walaupun kurang tepat. Ada sekelompok anak yang agak ragu-ragu. Ada juga anak-anak yang tidak jelas. Mereka berada di antara ragu-ragu dan tidak bisa. Kelompok yang terakhir ini sangat jelas menunjukkan sikap tidak percaya diri. Mungkin karena mereka sungguh tidak mengetahui pengucapan yang tepat tentang judul itu terutama pada kata “triangle”.

Adalah Wensis, salah seorang murid dari kelompok yang terakhir. Rupanya dia sungguh tidak tahu. Itu terlihat dengan jelas dari ekspresi wajah dan komat-kamit mulutnya yang sesungguhnya tak bersuara. Aksinya “kreatifnya” tertangkap mata saya. Atas sikapnya itu, saya lalu berkata, “Wensis, kamu sendiri”. Dia merespon perintah saya kemudian disambut gelak tawa teman-temannya.

Supaya tidak mempermalukan Wensis lebih lama, saya mengambil alih dengan memberi tahu pengucapan judul tema pelajaran kami hari itu yang sebenarnya. Kemudian saya meminta mereka sekelas untuk mengulanginya. Kali ini kedengarannya sudah agak tepat walaupun masih ada beberapa suara yang perlu diperbaiki. Di antara yang beberapa itu, Wensis adalah salah satunya. Kali ini saya memberi perhatian khusus padanya dengan berusaha memperbaiki cara pengucapannya. Saya melakukan dengan pelan-pelan dan sabar sembari memintanya mengulangi. Beberapa kali kami lakukan. Tetapi Wensis masih saja salah. Setiap kali saya mengucapkan “trainggel” (cara baca dari kata triangle), Wensis akan mengulangi dengan mengucapkan “trigel”. Beberapa kali seperti itu. Pada kali yang terakhir karena direspon dengan ramai oleh tertawaan teman-temannya, saya lalu berkata kepada mereka, “mari, kita berikan tepuk tangan untuk Wensis”.

Tindakan saya ini tidak bermaksud untuk menyelamatkan muka Wensis tetapi lebih karena saya telah mendapat “sesuatu” dari padanya. Dia memberikan kepada saya dan teman-temannya sebuah hadiah yaitu penghiburan. Hal itu tidak disadari oleh teman-temannya. Ketika saya bertanya, “apakah kalian tahu, mengapa frater minta kalian berikan tepuk tangan untuk Wensis?” Semua menggeleng kepala. Kemudian saya menjelaskan maksudnya dan diakhiri dengan meminta mereka memberikan tepukan tangan lagi. Kali ini mereka lebih bersemangat. Rupanya mereka telah menyadari “sesuatu” yang dihadiahi teman mereka itu.

Berangkat dari pengalaman ini saya menemukan sebuah gagasan. Saya menyadari bahwa setiap manusia memiliki keterbatasan. Namun apabila keterbatasan itu ditunjukkan secara jujur dan apa adanya, maka secara tak sengaja justru dia akan memperlihatkan kekuatannya. Wensis telah membuktikan argumen saya ini. Melalui keterbatasannya sebagai murid, dia justru memperlihatkan kelebihannya yang lain. Dia memberi kami penghiburan di tengah penatnya suasana kelas melalui kesalahan yang sama yang dibuatnya berulang kali. Hal ini terjadi lantaran kesalahan yang dilakukannya bukan karena dibuat-buat tetapi secara jujur dan apa adanya. Wensis telah memperlihatkan suatu kekuatan yang dia miliki melalui keterbatasannya. Untuk itu, mari kita berikan tepuk tangan untuk Wensis.
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment