Hari itu materi pelajaran kami
tentang “Shapes”. Kami belajar bersama tentang macam-macam bentuk dan bahasa
Inggrisnya. “That is a Triangle” adalah judul materi yang kami pelajari hari
itu. Seperti biasanya, saya selaku guru selalu mengawali pelajaran pada tema
baru dengan menyuruh anak-anak untuk membacakan judulnya. Anak-anak merespon
suruhan saya dengan membacanya secara bersama-sama.
Beberapa anak dengan lantang
penuh percaya diri menyerukannya walaupun kurang tepat. Ada sekelompok anak
yang agak ragu-ragu. Ada juga anak-anak yang tidak jelas. Mereka berada di
antara ragu-ragu dan tidak bisa. Kelompok yang terakhir ini sangat jelas
menunjukkan sikap tidak percaya diri. Mungkin karena mereka sungguh tidak
mengetahui pengucapan yang tepat tentang judul itu terutama pada kata
“triangle”.
Adalah Wensis, salah seorang
murid dari kelompok yang terakhir. Rupanya dia sungguh tidak tahu. Itu terlihat
dengan jelas dari ekspresi wajah dan komat-kamit mulutnya yang sesungguhnya tak
bersuara. Aksinya “kreatifnya” tertangkap mata saya. Atas sikapnya itu, saya
lalu berkata, “Wensis, kamu sendiri”. Dia merespon perintah saya kemudian
disambut gelak tawa teman-temannya.
Supaya tidak mempermalukan Wensis
lebih lama, saya mengambil alih dengan memberi tahu pengucapan judul tema
pelajaran kami hari itu yang sebenarnya. Kemudian saya meminta mereka sekelas
untuk mengulanginya. Kali ini kedengarannya sudah agak tepat walaupun masih ada
beberapa suara yang perlu diperbaiki. Di antara yang beberapa itu, Wensis
adalah salah satunya. Kali ini saya memberi perhatian khusus padanya dengan
berusaha memperbaiki cara pengucapannya. Saya melakukan dengan pelan-pelan dan
sabar sembari memintanya mengulangi. Beberapa kali kami lakukan. Tetapi Wensis
masih saja salah. Setiap kali saya mengucapkan “trainggel” (cara baca dari kata
triangle), Wensis akan mengulangi dengan mengucapkan “trigel”. Beberapa kali
seperti itu. Pada kali yang terakhir karena direspon dengan ramai oleh
tertawaan teman-temannya, saya lalu berkata kepada mereka, “mari, kita berikan
tepuk tangan untuk Wensis”.
Tindakan saya ini tidak bermaksud
untuk menyelamatkan muka Wensis tetapi lebih karena saya telah mendapat “sesuatu”
dari padanya. Dia memberikan kepada saya dan teman-temannya sebuah hadiah yaitu
penghiburan. Hal itu tidak disadari oleh teman-temannya. Ketika saya bertanya,
“apakah kalian tahu, mengapa frater minta kalian berikan tepuk tangan untuk
Wensis?” Semua menggeleng kepala. Kemudian saya menjelaskan maksudnya dan
diakhiri dengan meminta mereka memberikan tepukan tangan lagi. Kali ini mereka
lebih bersemangat. Rupanya mereka telah menyadari “sesuatu” yang dihadiahi
teman mereka itu.
Berangkat dari pengalaman ini
saya menemukan sebuah gagasan. Saya menyadari bahwa setiap manusia memiliki
keterbatasan. Namun apabila keterbatasan itu ditunjukkan secara jujur dan apa
adanya, maka secara tak sengaja justru dia akan memperlihatkan kekuatannya.
Wensis telah membuktikan argumen saya ini. Melalui keterbatasannya sebagai
murid, dia justru memperlihatkan kelebihannya yang lain. Dia memberi kami
penghiburan di tengah penatnya suasana kelas melalui kesalahan yang sama yang
dibuatnya berulang kali. Hal ini terjadi lantaran kesalahan yang dilakukannya
bukan karena dibuat-buat tetapi secara jujur dan apa adanya. Wensis telah
memperlihatkan suatu kekuatan yang dia miliki melalui keterbatasannya. Untuk
itu, mari kita berikan tepuk tangan untuk Wensis.