Hari ini bersama umat Kristiani di seluruh dunia,
aku merenungkan kisah sengsara Tuhan Yesus. Peristiwa penyaliban Tuhan itu
bermula pada pengadilan Yesus di hadapan Pilatus. Aku merenungkan bagaimana
Yesus dipermainkan oleh penguasa negara-Nya sendiri. Aku membayangkan
penghasutan kepada rakyat yang dilakukan dengan lihai oleh kaum elit, pemimpin agama-Nya
sendiri. Sungguh sebuah pemandangan yang menyayat hati.
Demi kenyamanan posisinya sebagai penguasa negeri,
Pilatus pun membebaskan seorang penjahat bernama Barnabas. Dia memutuskan
secara tidak adil untuk menyalibkan Yesus agar luapan amarah rakyat yang telah
dihasut dapat diredamkan dan nafsu kekuasaannya tetap langgeng. Juga kemapanan
posisi para pemimpin agama tidak terusik. Menjatuhkan hukuman mati bagi Yesus
merupakan “buah” aksi konspirasi yang terjadi di antara pemimpin negara dan
agama-Nya sendiri.
Penderitaan Yesus tak terkira di sepanjang jalan
salib-Nya dari tempat pengadilan menuju bukit Golgota. Dia dimahkotai sebagai
raja dengan rangkaian mahkota duri untuk mengolok-olokkan-Nya. Dia dihina,
dipukul dan ditampar, diludahi, ditendang dan dicambuk. Dia disiksa seperti
bukan kepada seorang manusia lagi. Sungguh keji perlakukan para algojo
terhadap-Nya. Darah bercucuran, peluh berhamburan, bercampur debu jalanan dan
kerikil tanjam yang menusuk setiap pijakkan-Nya menambah kesengsaraan-Nya.
Yesus sangat menderita. Tiga kali Dia jatuh tertindih beban salib yang sangat
berat. Namun Dia tetap setia pada tugas-Nya, memanggul salib sampai ke Golgota
demi menebus dosa umat manusia.
Aku merenungkan peristiwa agung yang terjadi di
bukit tengkorak itu. Setelah melewati jalan salib-Nya yang penuh penderitaan,
kini Yesus mau menuntaskan tugas-Nya dengan menyerahkan nyawa-Nya di kayu salib.
Dia wafat bagi umat manusia. Penyaliban Tuhan Yesus menyingkapkan tiga misteri
agung, yaitu tentang kesetiaan-Nya kepada kehendak Bapa, cinta-Nya kepada umat
manusia dan penyerahan diri-Nya yang total.
Tuhan disalibkan bersama jeritan dunia. Sambil
memandang Yesus yang tersalib, aku melihat penderitan umat manusia di dunia ini
karena peperangan dan aksi terorisme yang tak pernah berhenti; kekerasan dan
penindasan yang tak pernah berlalu; keserakahan, diskriminasi dan korupsi yang terus
merajalela. Aku melihat penderitaan para pengungsi, korban kekerasan rumah
tangga, orang-orang di rumah sakit, mereka yang berkebututuhan khusus, kaum
LGBT yang tidak mendapat tempat di masyarakat. Aku mendengar tangisan anak-anak
jalanan dan bayi-bayi yang ditinggalkan ibunya. Aku melihat penderitaan sanak
saudara dan orang-orang di sekitarku, mereka yang berjuang bersamaku dan mereka
yang dipercayakan kepadaku. Aku juga mendengar jeritan dosa-dosaku yang telah
turut menambah beban penderitaan Tuhan. Aku menyadari bahwa dari atas
salib-Nya, Tuhan merangkul kami semua. Dia disalibkan bersama duka lara umat
manusia. Tuhan Yesus wafat atas nama cinta Allah kepada dunia.
Di bawah salib Tuhan, aku hanya ingin
memandang-Nya. Dialah Tuhanku yang telah menebus aku dari segala kesalahan dan
kelemahanku. Aku ingin mengalami cinta-Nya yang sungguh agung yang telah
membayar semua hutang dosaku dengan merenggang nyawa-Nya di kayu salib itu. Di
bawah salib-Nya, aku ingin berteriak kepada dunia dan kekuasaannya bahwa
Tuhanku telah menang. Dia telah tuntas melaksanakan tugas pertutusan yang
diserahkan Bapa kepada-Nya. Dalam pengharapan, aku menantikan Paskah-Nya yang
mulia. Aku ingin bangkit bersama-Nya dan hidup baru sebagai manusia yang sudah
ditebus.