Thursday, 31 December 2015

Aku dan Ketiga Gadis Tak Bertuan

“Suster, sejak awal kita bertemu di tempat ini, saya sudah menaruh perhatian pada suster. Pembawaan suster yang tenang dan bersahaja membuat saya tertarik pada suster”. Aku pernah mengutarakan isi hatiku ini di hadapan seorang staf pembina dan didengarkan oleh 46 orang teman kita yang turut ambil bagian dalam kursus itu. Ungkapan perasaan itu tersampaikan secara jujur untuk menjawabi pertanyaan beliau, “apa yang kamu sukai dari kepribadian temanmu yang duduk persis di sampingmu setelah beberapa hari kalian berada di tempat ini?” Sejujurnya aku sedikit gugup sebagaimana dirimu. Hal ini terlihat jelas dari ekspresi wajahmu yang berubah memerah ketika harus jujur dengan perasaanmu sendiri menanggapi pertanyaan dadakan tersebut. Apalagi ungkapan hati kita direaksi “beda” oleh teman-teman yang memang sudah tahu bahwa kita dekat.
Berawal dari momen itu, kita semakin dekat satu sama lain. Kita selalu bersama setiap kali ada waktu luang di tengah-tengah rutinitas kita sebagai peserta kursus. Kuakui hal inilah yang membuat kita saling menaruh hati satu dengan yang lain. Kita merasa cocok. Ada perasaan yang mendorong kita untuk selalu bersama selain kesempatan-kesempatan yang oleh staf pembina mengharus kita untuk bersama seperti sharing Emaus, doa, makan, rekreasi, olahraga, dan sebagainya. Aku bersyukur karena mengalami perasaan itu. Hal itulah yang membuat kita berani membuka diri, membagikan apa yang menjadi pengalaman kegembiraan dan pergulatan hidup kita masing-masing. Kesetiaan untuk mau berbagi secara jujur mampu memberi inspirasi bagi yang lain. Kita diteguhkan oleh pengalaman orang lain karena dengan rendah hati mau belajar dari padanya. Itulah pengaruh positif yang kualami dari kebersamaan kita. Kau pun demikian. Kau berkata bahwa aku adalah pribadi yang banyak memberi inspirasi kepadamu. Aku turut berperan dalam usahamu untuk berdamai dengan masa lalumu. Ah, kau berlebihan. Padahal aku hanya membagi apa yang kebetulan aku alami.
Waktu pun terus berlalu hingga akhirnya kita harus berpisah setelah 50 hari bersama-sama. Berat rasanya menerima kenyataan ini. Sebuah realita bahwa kita harus kembali ke komunitas kita masing-masing tatkala keinginan untuk tetap bersama semakin kuat. Jujur kuakui bahwa diriku sebagai pribadi berperasa begitu terguncang saat tatapanku mendapati wajahmu yang sembab dipenuhi deraian air mata kesedihan. Sekuatnya aku berusaha menguatkanmu bahwa kita akan selalu bersama dalam doa-doa kita walaupun sebenarnya aku rapuh. Sesungguhnya air mataku juga mengalir dengan caranya. Walaupun dunia mungkin tidak melihatnya namum kuyakin kau pasti mengetahuinya. Terbayang hari-hari sepi yang akan kulewati tanpa kehadiranmu. Aku akan tersiksa akan rasa rindu yang tak tertahankan. Aku rindu pada wajah teduhmu. Aku rindu pada aura tenangmu. Aku rindu pada senyum gingsulmu. Ah, yang terakhir ini yang paling menyiksaku. Senyum ginsulmu itu sangat “sesuatu”. Dan aku akan sangat merindukannya. Aku juga rindu pada suasana kebersamaan kita untuk berbagi bersama ade kecil kita, si kayu kering. “Selamat jalan, gingsul. Hati-hati yah… Hubungi aku jika dirimu sudah memiliki HP!” Kata-kataku berusaha tegar mengiringi perpisahan kita.

***
Kayu kering. Itulah nama yang kuberikan padamu. Aku membanggilmu demikian berangkat dari sebuah kisah yang hanya kau dan aku yang tahu. Kehadiranmu memberi warna dalam cerita kebersamaan kami, aku dan si gingsul. Di bawah naungan pepohonan di hutan pinus itu, kita menghabiskan waktu bersama sambil ngobrol, berbagi cerita tentang kisah hidup kita masing-masing. Dari sinilah kau dan si gingsul mengenal diriku sebagaimana aku mengenal siapa dirimu dan dirinya dengan latar belakang yang telah membentuk kita menjadi seperti sekarang ini.
Badanmu memang kecil mungil, usiamu masih muda tetapi kedewasaanmu layak diperhitungkan. Kau tak segan-segan menasihati kami, mengungkapkan petuah-petuah bijak yang menumbuhkan jiwa kami. Pengalaman dan kepribadianmu memberi kami inspirasi sehingga kami belajar banyak hal dari padanya.
Aku sebagai satu-satunya lelaki yang ada dalam kebersamaan kita tak pernah menyadari bahwa kesempatan untuk selalu bersama di antara kita yang terlampau sering menimbulkan perasaan suka. Diam-diam kau menaruh hati padaku. Aku sungguh tak tahu lantaran sikap dan perhatianmu tak ada yang berubah sejak pertama kali kita bertemu. Kau tetap menjadi ade kecil kami yang sungguh manis dalam tindakan dan tutur kata. Kau tetap setia melakoni peranmu sebagai penghubung relasi antara aku dengan si gingsul. Kau tetap pada posisimu sebagai malaikat kecil kami, tempat curahan isi hati kami. Ah, kau memang sungguh hebat menyimpan perasaan itu rapat-rapat seperti katamu bahwa orang yang bersangkutan tidak akan tahu kalau kau menyukainya sebelum kau secara jujur mengatakannya.
Bagaimana perasaanmu? Sakitkah hatimu? Belakangan baru aku tahu. Ternyata kau mau berkorban perasaanmu itu demi kami, demi aku yang sudah kau anggap seperti kakakmu sendiri dan demi si gingsul yang menjadi sahabat terbaikmu. Kau lakukan itu lantaran kau ingin menghargaiku sebagai kakak dan tidak tega menyakiti si gingsul, sahabatmu sendiri. Dan di atas segalanya, pengorbananmu semua karena kau menyayangi kami. Rahasia ini terungkap ketika kita telah kembali ke komunitas kita masing-masing setelah 50 hari kita bersama-sama. Kau jujur dengan perasaanmu itu setelah aku banyak bercerita tentang si bawel, gadis sedaerahmu yang kini bekerja di sebuah rumah sakit milik tarekatmu.

***
Cerita awal kedekatan kita memang agak aneh. Kita belum pernah ketemu, tidak pernah bersua muka tetapi kita akrab layak orang yang sedang pacaran. Lebih dari setahun kita menjalin relasi jarak jauh ini. LDR alias long distance relationship, begitulah kalangan muda memberi judul pada hubungan jenis ini.
Kau adalah gadis cantik berambut lurus. Aura keturunan Dayak tergambar jelas pada wajah manismu. Aku menaruh hati padamu berawal dari waktu dan alat komunikasi yang selalu mendekatkan jarak kita. Saban hari kita selalu berbagi kabar, perhatian dan pengalaman-pengalaman harian kita. Relasi kita yang awalnya hanya dijembatani oleh media sosial itu kini membentuk suatu ikatan kedekatan yang cukup indah untuk dijalani. Kuakui bahwa aku nyaman berada dalam relasi ini dan kau pun demikian.
Aku nyaman menjadi seorang kakak yang menyayangimu. Kau merasa bahagia oleh karena kehadiranku di setiap waktumu. Berbagai cerita kita bagi bersama. Kau selalu rindu pada kisah konyol yang membuat harimu terasa indah oleh warna cerita bualan rekaanku. Aku selalu rindu pada ocehan mulutmu yang selalu bereaksi mencereweti setiap keanehan yang kulakukan. Atas dasar inilah aku mempunyai alasan untuk memanggilmu, si bawel.
Kini kau bekerja di sebuah rumah sakit swasta yang dikelola oleh sebuah lembaga hidup bakti setelah kau menuntaskan pendidikan tinggi di sebuah universitas ternama di kota Pontianak. Seorang biarawati yang menyarankanmu untuk memasukan lamaran pada rumah sakit itu. Dialah seseorang suster yang kupanggil dengan nama si kayu kering. Dalam kesempatan bersama untuk mengikuti suatu kursus, aku sempat bercerita tentang kedekatan kita padanya. Dari sinilah awal ceritanya sehingga kini kau menjadi bagian dari staf kepegawaian rumah sakit milik tarekatnya itu.
Kau sudah bekerja di rumah sakit itu dan setiap hari kau bertemu si kayu kering. Selama ini kalian sering bersama dan kadang kalian mengisi waktu-waktu bersama dengan mengisahkan kembali cerita-cerita yang pernah terungkap antara aku dan dirimu maupun aku dan dirinya. Ya…, kalian kini adalah dua dari tiga sahabat yang menyayangi dan disayangi oleh seorang laki-laki, aku.

***
Akhirnya semua rahasia tentang relasi kami satu per satu terbongkar. Kenyataan-kenyataan yang semestinya hanya diketahui di kalangan aku dengan si gingsul dan si kecil atau aku dengan si kecil dan si bawel terungkap dengan caranya pada waktu yang tak direncanakan. Si gingsul merasa sangat bersalah setelah mengetahui bahwa ternyata si ade kecil juga menaruh hati padaku seperti dirinya. Si bawel pun demikian. Dia juga merasa sangat bersalah pada si ade kecil setelah mengetahui bahwa mereka memiliki perasaan yang sama terhadap aku.
Akulah aktor di balik semua skenario pengungkapan rahasia-rahasia ini. Akulah yang mendalangi semua pengakuan akan kebenaran tentang relasi di antara kami yang pada akhirnya membuat kebersamaan kami semakin indah, jujur dan membahagiakan. Aku bahagia menjadi satu-satunya lelaki paling ganteng di antara tiga perempuan cantik yang disayangi dan menyayangiku. Aku berkomitmen menjadi seorang sahabat, saudara, kakak dan juga “musuh” bagi mereka. Kami akan terus bersama, saling mendoakan dan tak akan ada satupun yang tersakiti.
Tinggal satu “pekerjaan” lagi yang menjadi perjuangan kami bersama yaitu mendoakan dan mendukung adik kami yang termuda, si bawel yang memilih panggilan berbeda dengan kami agar dia menemukan seorang pria yang tepat sebagai pendamping hidupnya. Sementara kami bertiga akan saling mendoakan untuk keteguhan panggilan hidup yang sedang kami jalani saat ini.
Demikianlah kisah kami. Kisah antara ketiga gadis tak bertuan dan aku, si kakak manis, hehehe.

Malang, akhir Desember 2015
Untuk mereka yang kusapa ade bawel, ade gingsul dan ade kecil
Comments
0 Comments

No comments:

Post a Comment