“Suster,
sejak awal kita bertemu di tempat ini, saya sudah menaruh perhatian pada
suster. Pembawaan suster yang tenang dan bersahaja membuat saya tertarik pada
suster”. Aku pernah mengutarakan isi hatiku ini di hadapan seorang staf pembina
dan didengarkan oleh 46 orang teman kita yang turut ambil bagian dalam kursus
itu. Ungkapan perasaan itu tersampaikan secara jujur untuk menjawabi pertanyaan
beliau, “apa yang kamu sukai dari kepribadian temanmu yang duduk persis di sampingmu
setelah beberapa hari kalian berada di tempat ini?” Sejujurnya aku sedikit
gugup sebagaimana dirimu. Hal ini terlihat jelas dari ekspresi wajahmu yang
berubah memerah ketika harus jujur dengan perasaanmu sendiri menanggapi
pertanyaan dadakan tersebut. Apalagi ungkapan hati kita direaksi “beda” oleh
teman-teman yang memang sudah tahu bahwa kita dekat.
Berawal
dari momen itu, kita semakin dekat satu sama lain. Kita selalu bersama setiap
kali ada waktu luang di tengah-tengah rutinitas kita sebagai peserta kursus.
Kuakui hal inilah yang membuat kita saling menaruh hati satu dengan yang lain.
Kita merasa cocok. Ada perasaan yang mendorong kita untuk selalu bersama selain
kesempatan-kesempatan yang oleh staf pembina mengharus kita untuk bersama
seperti sharing Emaus, doa, makan,
rekreasi, olahraga, dan sebagainya. Aku bersyukur karena mengalami perasaan
itu. Hal itulah yang membuat kita berani membuka diri, membagikan apa yang
menjadi pengalaman kegembiraan dan pergulatan hidup kita masing-masing.
Kesetiaan untuk mau berbagi secara jujur mampu memberi inspirasi bagi yang
lain. Kita diteguhkan oleh pengalaman orang lain karena dengan rendah hati mau
belajar dari padanya. Itulah pengaruh positif yang kualami dari kebersamaan
kita. Kau pun demikian. Kau berkata bahwa aku adalah pribadi yang banyak
memberi inspirasi kepadamu. Aku turut berperan dalam usahamu untuk berdamai
dengan masa lalumu. Ah, kau berlebihan. Padahal aku hanya membagi apa yang
kebetulan aku alami.
Waktu
pun terus berlalu hingga akhirnya kita harus berpisah setelah 50 hari
bersama-sama. Berat rasanya menerima kenyataan ini. Sebuah realita bahwa kita
harus kembali ke komunitas kita masing-masing tatkala keinginan untuk tetap
bersama semakin kuat. Jujur kuakui bahwa diriku sebagai pribadi berperasa
begitu terguncang saat tatapanku mendapati wajahmu yang sembab dipenuhi deraian
air mata kesedihan. Sekuatnya aku berusaha menguatkanmu bahwa kita akan selalu
bersama dalam doa-doa kita walaupun sebenarnya aku rapuh. Sesungguhnya air
mataku juga mengalir dengan caranya. Walaupun dunia mungkin tidak melihatnya
namum kuyakin kau pasti mengetahuinya. Terbayang hari-hari sepi yang akan
kulewati tanpa kehadiranmu. Aku akan tersiksa akan rasa rindu yang tak
tertahankan. Aku rindu pada wajah teduhmu. Aku rindu pada aura tenangmu. Aku
rindu pada senyum gingsulmu. Ah, yang terakhir ini yang paling menyiksaku.
Senyum ginsulmu itu sangat “sesuatu”. Dan aku akan sangat merindukannya. Aku
juga rindu pada suasana kebersamaan kita untuk berbagi bersama ade kecil kita, si kayu kering. “Selamat jalan, gingsul.
Hati-hati yah… Hubungi aku jika dirimu sudah memiliki HP!” Kata-kataku berusaha
tegar mengiringi perpisahan kita.
***
Kayu
kering. Itulah nama yang kuberikan padamu. Aku membanggilmu demikian berangkat
dari sebuah kisah yang hanya kau dan aku yang tahu. Kehadiranmu memberi warna
dalam cerita kebersamaan kami, aku dan si gingsul. Di bawah naungan pepohonan
di hutan pinus itu, kita menghabiskan waktu bersama sambil ngobrol, berbagi cerita tentang kisah hidup kita masing-masing.
Dari sinilah kau dan si gingsul mengenal diriku sebagaimana aku mengenal siapa
dirimu dan dirinya dengan latar belakang yang telah membentuk kita menjadi
seperti sekarang ini.
Badanmu
memang kecil mungil, usiamu masih muda tetapi kedewasaanmu layak
diperhitungkan. Kau tak segan-segan menasihati kami, mengungkapkan
petuah-petuah bijak yang menumbuhkan jiwa kami. Pengalaman dan kepribadianmu
memberi kami inspirasi sehingga kami belajar banyak hal dari padanya.
Aku
sebagai satu-satunya lelaki yang ada dalam kebersamaan kita tak pernah
menyadari bahwa kesempatan untuk selalu bersama di antara kita yang terlampau
sering menimbulkan perasaan suka. Diam-diam kau menaruh hati padaku. Aku
sungguh tak tahu lantaran sikap dan perhatianmu tak ada yang berubah sejak
pertama kali kita bertemu. Kau tetap menjadi ade kecil kami yang sungguh manis
dalam tindakan dan tutur kata. Kau tetap setia melakoni peranmu sebagai
penghubung relasi antara aku dengan si gingsul. Kau tetap pada posisimu sebagai
malaikat kecil kami, tempat curahan isi hati kami. Ah, kau memang sungguh hebat
menyimpan perasaan itu rapat-rapat seperti katamu bahwa orang yang bersangkutan
tidak akan tahu kalau kau menyukainya sebelum kau secara jujur mengatakannya.
Bagaimana
perasaanmu? Sakitkah hatimu? Belakangan baru aku tahu. Ternyata kau mau
berkorban perasaanmu itu demi kami, demi aku yang sudah kau anggap seperti
kakakmu sendiri dan demi si gingsul yang menjadi sahabat terbaikmu. Kau lakukan
itu lantaran kau ingin menghargaiku sebagai kakak dan tidak tega menyakiti si
gingsul, sahabatmu sendiri. Dan di atas segalanya, pengorbananmu semua karena
kau menyayangi kami. Rahasia ini terungkap ketika kita telah kembali ke
komunitas kita masing-masing setelah 50 hari kita bersama-sama. Kau jujur
dengan perasaanmu itu setelah aku banyak bercerita tentang si bawel, gadis
sedaerahmu yang kini bekerja di sebuah rumah sakit milik tarekatmu.
***
Cerita
awal kedekatan kita memang agak aneh. Kita belum pernah ketemu, tidak pernah
bersua muka tetapi kita akrab layak orang yang sedang pacaran. Lebih dari
setahun kita menjalin relasi jarak jauh ini. LDR alias long distance
relationship, begitulah kalangan muda memberi judul pada hubungan jenis
ini.
Kau
adalah gadis cantik berambut lurus. Aura keturunan Dayak tergambar jelas pada
wajah manismu. Aku menaruh hati padamu berawal dari waktu dan alat komunikasi
yang selalu mendekatkan jarak kita. Saban hari kita selalu berbagi kabar,
perhatian dan pengalaman-pengalaman harian kita. Relasi kita yang awalnya hanya
dijembatani oleh media sosial itu kini membentuk suatu ikatan kedekatan yang
cukup indah untuk dijalani. Kuakui bahwa aku nyaman berada dalam relasi ini dan
kau pun demikian.
Aku
nyaman menjadi seorang kakak yang menyayangimu. Kau merasa bahagia oleh karena
kehadiranku di setiap waktumu. Berbagai cerita kita bagi bersama. Kau selalu
rindu pada kisah konyol yang membuat harimu terasa indah oleh warna cerita
bualan rekaanku. Aku selalu rindu pada ocehan mulutmu yang selalu bereaksi
mencereweti setiap keanehan yang kulakukan. Atas dasar inilah aku mempunyai
alasan untuk memanggilmu, si bawel.
Kini
kau bekerja di sebuah rumah sakit swasta yang dikelola oleh sebuah lembaga
hidup bakti setelah kau menuntaskan pendidikan tinggi di sebuah universitas
ternama di kota Pontianak. Seorang biarawati yang menyarankanmu untuk memasukan
lamaran pada rumah sakit itu. Dialah seseorang suster yang kupanggil dengan
nama si kayu kering. Dalam kesempatan
bersama untuk mengikuti suatu kursus, aku sempat bercerita tentang kedekatan
kita padanya. Dari sinilah awal ceritanya sehingga kini kau menjadi bagian dari
staf kepegawaian rumah sakit milik tarekatnya itu.
Kau
sudah bekerja di rumah sakit itu dan setiap hari kau bertemu si kayu kering. Selama ini kalian sering
bersama dan kadang kalian mengisi waktu-waktu bersama dengan mengisahkan
kembali cerita-cerita yang pernah terungkap antara aku dan dirimu maupun aku
dan dirinya. Ya…, kalian kini adalah dua dari tiga sahabat yang menyayangi dan
disayangi oleh seorang laki-laki, aku.
***
Akhirnya
semua rahasia tentang relasi kami satu per satu terbongkar. Kenyataan-kenyataan
yang semestinya hanya diketahui di kalangan aku dengan si gingsul dan si kecil
atau aku dengan si kecil dan si bawel terungkap dengan caranya pada waktu yang
tak direncanakan. Si gingsul merasa sangat bersalah setelah mengetahui bahwa
ternyata si ade kecil juga menaruh hati padaku seperti dirinya. Si bawel pun
demikian. Dia juga merasa sangat bersalah pada si ade kecil setelah mengetahui
bahwa mereka memiliki perasaan yang sama terhadap aku.
Akulah
aktor di balik semua skenario pengungkapan rahasia-rahasia ini. Akulah yang
mendalangi semua pengakuan akan kebenaran tentang relasi di antara kami yang
pada akhirnya membuat kebersamaan kami semakin indah, jujur dan membahagiakan.
Aku bahagia menjadi satu-satunya lelaki paling ganteng di antara tiga perempuan
cantik yang disayangi dan menyayangiku. Aku berkomitmen menjadi seorang
sahabat, saudara, kakak dan juga “musuh” bagi mereka. Kami akan terus bersama,
saling mendoakan dan tak akan ada satupun yang tersakiti.
Tinggal
satu “pekerjaan” lagi yang menjadi perjuangan kami bersama yaitu mendoakan dan
mendukung adik kami yang termuda, si bawel yang memilih panggilan berbeda
dengan kami agar dia menemukan seorang pria yang tepat sebagai pendamping
hidupnya. Sementara kami bertiga akan saling mendoakan untuk keteguhan
panggilan hidup yang sedang kami jalani saat ini.
Demikianlah
kisah kami. Kisah antara ketiga gadis tak bertuan dan aku, si kakak manis,
hehehe.
Malang,
akhir Desember 2015
Untuk
mereka yang kusapa ade bawel, ade gingsul dan ade kecil