Tuesday, 30 June 2015

Ayah, Pemilik Cinta yang Hampir Dilupakan

Aku pernah membaca sebuah buku kecil yang di dalamnya tertulis kisah-kisah menarik tentang seorang ayah. Aku membeli buku itu di sebuah minimarket dekat rumah. Setelah membaca penggalan-penggalan cerita pendek yang dikisahkan dalam buku setebal 190 halaman itu, aku menjadi sangat rindu pada ayahku yang berada di kampung.
Kisah-kisah inspiratif tentang seorang ayah yang disampaikan melalui buku kecil itu membawaku pada sebuah kesadaran bahwa begitu besar cinta seorang lelaki yang diserahi amanah oleh Sang Khalik menjadi ayahku. Cinta tulusnya yang kadang tampak tersamar karena bersembunyi di balik kelembutan kasih sayang ibu. Benarlah kata orang bahwa seorang ayah adalah pemilik cinta yang kadang tak dianggap. Demikian juga ayahku. Mengatakan bahwa ayah mencintai kami, putra-putrinya rasanya aneh. Apalagi setelah ibu meninggal dunia, ayah pergi meninggalkan kami untuk merantau ke negeri orang. Bertahun-tahun hidup tanpa orang tua, bisa dibayangkan betapa merananya kami.
Namun itu dulu. Sekarang, saat usia kami beranjak dewasa, setelah kedua putri ayah telah menikah, kami baru menyadari betapa ayah sangat mencintai kami. Dulu kami sering protes kepada ayah, mengapa ayah tega meninggalkan kami setelah kami baru saja ditinggal ibu untuk selamanya. Sekarang, ketika kami telah mengerti tentang hidup dengan segala dinamikanya, kami baru menyadari bahwa ayah memutuskan pergi merantau bukan karena ingin menelantarkan kami. Ayah terpaksa melakukan hal itu karena ayah tidak kuat menghadapi kenyataan hidup bahwa dia harus kehilangan istri yang sangat dicintainya ketika kami masih kecil. Bagi ayah, kehilangan ibu dapat diibaratkan dengan seorang pelukis yang kehilangan pengelihatannya, seperti seorang musisi yang kehilangan pendengarannya atau seperti seorang koki yang kehilangan daya kecapnya.
Banyak orang mengatakan bahwa kepergian ayah meninggalkan kami untuk menghindari tanggung jawabnya sebagai orang tua. Apalagi semenjak ayah memiliki istri kedua setelah kepulangannya yang pertama dari tanah rantau. Keluarga besar ibu sangat kecewa dengan keputusan ayah ini. Aku dan kakak-kakakku dulu juga merasakan seperti itu. Namun sekarang kami baru menyadari bahwa ayah peduli dengan kehidupan dan masa depan kami. Ayah sebenarnya tidak tega meninggalkan kami untuk pergi merantau. Tuntutan situasilah yang membuatnya seperti itu. Dengan pergi merantau ayah hanya ingin melupakan ibu yang telah meninggalkannya. Walaupun sulit tetapi cara inilah yang bisa dilakukan ayah saat itu untuk menyembuhkan luka hatinya lantaran ditinggalkan wanita yang sangat dikasihinya, ibu kami. Tentang keberadaan ibu tiriku, ayah bermaksud dengan kehadirannya bisa memenuhi dahaga kami yang kehilangan kasih sayang seorang ibu. Apalagi ibu tiriku adalah sepupu ibuku sendiri. Ah…ayahku memang benar-benar pemilik cinta yang terlupakan. ***
“Ayah, terima kasih atas kegantengan yang kau wariskan kepadaku”. Aku pernah mem-posting kata-kata tersebut di media sosial, facebook. Sebuah kalimat pendek yang sukses menuai beragam komentar, entah yang mendukung maupun sebaliknya. Namun bukan untuk itu tujuannya. Aku menulis kata-kata itu sebagai ungkapan rasa banggaku pada ayah. Kegantengan yang kumaksudkan tidak bemakna harafia belaka. Karena memang demikian adanya. Ayahku tidak setampan bintang film Bollywood atau segagah actor-actor Hollywood. Ayahku hanyalah seorang pemuda kampung yang menjadi istimewa karena menikahi ibuku yang adalah seorang gadis cantik puteri seorang pemuka wilayah. Menurut cerita ayah, perjodohan mereka terjadi karena orang tua ibuku mengetahui bahwa orang tua ayah memiliki persediaan belis (gading gajah) yang banyak sebagai mahar perkawinan sebagaimana yang lazim dalam adat perkawinan di daerah kami. Ada 12 batang belis yang dibawa orang tua ayah untuk meminang ibu. Atas dasar inilah ayah dan ibu menjadi sepasang suami istri dan orang tua bagi kami. Pesta pernikahan mereka menjadi yang terbesar dalam sejarah perayaan-perayaan dalam keluarga besar kami. Begitulah nenekku sering bernostalgia ketika hati kami sama-sama merindu pada sesosok pribadi yang adalah ibuku dan juga puteri nenek.
Seorang Pastor pernah berkisah kepadaku untuk melengkapi cerita nenek. Katanya pernikahan orang tuaku memang sangat meriah dan berlangsung secara besar-besaran. Masih segar dalam ingatan sang Pastor yang kala itu masih seorang murid SD, sebuah lagu yang diciptakan khusus untuk pernikahan ayah-ibu. Dalam tradisiku, lagu itu diberi nama ”more”, sebuah lagu kenangan yang berisikan lirik-lirik bernuansa syukur dan pujian. Syair-syair lagu itu menjadi kenangan indah sang Gembala dan menjadi penyemangat beliau dalam perjalanan pastoralnya di daerah pedalaman Papua, tanah misi tempatnya berkarya saat ini.
Ayahku pekerja keras dan tekun. Dia memiliki jiwa seni. Cara kerjanya rapi dan tidak banyak menuntut. Meneladani kesederhaan hidupnya adalah modalku bagi perjalanan hidup panggilanku. Aku masih ingat pesan ayah ketika aku mau berangkat ke Malang untuk memasuki masa novisiatku, ayahku berkata, “nak, selamat jalan, berusahalah menekuni panggilan hidupmu dengan sungguh-sungguh. Jangan ikut orang, ikutilah ayahmu, orang yang tidak punya apa-apa ini.” Air mataku kadang tak kuasa kubendung ketika hatiku rindu pada ayah dengan kata-katanya yang sederhana ini. Pesan ayah sangat membekas dalam ingatanku di sepanjang hidupku. Ayahku menekankan pengtingnya kesederhanaan hidup seperti yang telah ditunjukkannya kepada kami, anak-anaknya. Aku sangat bersyukur karena teladan kesederhanaan  yang diwariskan oleh ayahku ini sejalan dengan semangat yang dihidupi oleh tarekatku.
Satu lagi yang membuatku kagum pada ayahku. Ternyata ayahku adalah pesepak bola sejati. Ayahku memiliki talenta yang luar biasa dalam dunia sepak bola. Ayahku pernah berkisah, di usianya yang masih sangat muda, ayah pernah terpilih menjadi pemain bola kaki di tingkat kecamatan dengan spesialis posisi sebagai penyerang. Kelihaiannya menggiring bola yang didukung dengan kualitas skill yang mumpuni membuat ayahku menjadi istimewa di mata para penonton. Aksi-aksi brilian mengolah si kulit bundar itu menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh para penggemar ayahku. Semua itu diperoleh ayahku secara alami. Ayahku tidak pernah mengenal SSB yang memang tidak ada di kampung halamannya. Kemampuannya adalah murni sebuah bakat alami pemberian Yang Kuasa.
Namun, sayangnya bakat ayahku ini akhirnya tinggal cerita. Ayahku terpaksa meninggalkan dunia sepak bola seiring dengan berakhirnya masa lajang ayahku lantaran menikah dengan ibuku di usianya yang baru 18 tahun. Padalah ayahku sudah dipersiapkan untuk menjadi pemain kabupaten mewakili kecamatannya dengan jaminan akan diangkat menjadi PNS. Pelatihnya sangat kecewa ketika mengetahui hal ini dan untuk mengobati rasa kecewanya, ia ikut hadir dalam pesta pernikahan ayahku.
Ah…ayahku memang luar biasa. Hati kecilku selalu berteriak, “aku bangga menjadi puteramu, ayah”. Kebanggaanku pada ayah semakin lengkap ketika aku sadar bahwa kesukaannku di dunia sepak bola adalah warisan ayahku dan aku sangat menikmati permainan sepak bola untuk mengisi waktu-waktu olahraga di biara dengan posisi penyerang sama seperti ayahku ketika masih aktif sebagai pemain bola kaki. Itulah makna kegantengan yang kumaksdukan yang diwarisi oleh ayahku.
Semuanya berjalan secara alami. Ayahku tidak banyak bicara. Tidak melalui ceramah atau pun petuah-petuah bijak yang disampaikannya. Semua yang dimiliki ayahku diwariskan melalui pola tingkah dan teladan hidup yang ditunjukkan dalam kesehariannya. Atas dasar inilah aku sampai punya kesimpulan sendiri tentang ayahku.
Sebagai putera sulung ayah, aku akhirnya sadar bahwa ayah pergi merantau ketika aku masih sangat kecil itu merupakan cara ayah mendidikku. Ayah tidak pernah mengajariku cara berjalan ketika kakiku sudah bisa melangkah. Ayah tidak pernah mengajariku cara memegang sendok yang benar ketika mulutku sudah bisa mengunyah makanan sendiri. Ayah tidak pernah mengajariku cara berpakaian ketika aku mulai mengenal rasa malu. Ayah tidak pernah mengajariku cara berdoa ketika aku mulai mengetahui adanya agama. Ayah pun tidak pernah memelukku ketika hatiku menangis lantaran rindu yang tak tertahankan pada ibuku yang telah tiada. Ayah juga tidak pernah mengajariku cara bermain sepak bola yang baik yang menjadi kealihannya.
Namun, satu hal yang kutahu pasti, mungkin karena ayahku terlalu baik sehingga Tuhan mengajarinya cara dalam menata masa depanku. Ayah membiarkan aku belajar mandiri sejak dini tanpa bimbingannya agar kelak aku kuat dan tangguh menjadi pewaris trahnya. Ayah mengajariku terbiasa dengan pengalaman-pengalaman penderitaan dan hidup susah tanpa tangan kekarnya yang menyanggaku agar aku bisa memaknai setiap hikmah dan pesan di baliknya. Bagi ayah, penderitaan adalah sekolah hidup yang mengajariku untuk memahami dinamika hidup yang lebih mendalam dengan iman yang lebih kuat. Ayah mengimani sebagaimana adanya Jalan Salib dan Kalvari sebelum Paskah dan “kubur kosong” demikian juga akan selalu ada kabut penderitaan sebelum adanya sebuah terang kebahagiaan. Aku diberinya ruang dan waktu untuk belajar dan mengerti banyak hal secara mandiri di bawah bimbingan kakakku yang sulung yang kehadirannya merangkap ibu sekaligus ayah bagi kami. Apakah ayahku tidak bertanggung jawab seperti yang dikeluhkan oleh beberapa orang di sekitar kami? Dengan sadar aku mengatakan bahwa ayahku adalah seorang bapak yang baik, seorang ayah yang penuh tanggung jawab. Kesadaranku ini adalah buah refleksiku tentang peran ayah yang tak kelihatan tetapi ada. Ayah membiayai kebutuhan hidup kami terutama biaya sekolah kakak-kakakku dari hasil jerih payahnya di tanah orang. Saban hari dalam setiap detak jantungnya ada wajah dengan nama kami masing-masing yang menjadi jiwa-jiwa yang sangat dirindukannya. Di sela-sela kesibukannya, ada lantunan doa yang dihunjukkan untuk kebaikan, kesehatan dan kesuksesan kami, putra-putrinya. Tentu ayahku juga mempunyai harapan-harapan yang indah bagi setiap kami.
Dan kini, di senja kehidupannya, ayahku menjadi lebih bahagia bersama ketiga jagoan ayah, buah cinta ayah dari perkawinannya bersama mamaku yang kedua yang kini telah bertakhta di singgasana Bapa di surga bersama ibuku. Hari-hari ayahku menjadi lebih ceria berkat kehadiran tiga kehidupan baru, cucu-cucu ayah. Namun, ada satu yang menjadi harapan ayah tentu juga harapanku yaitu “menanggalkan” status “mama” yang melekat di pundak putri sulungnya dan menyandingkannya di sisi seorang pria yang menjadi suaminya. Dan juga ayah ingin melihat putra bungsunya melangkah pada jalan yang telah ditunjukkannya. Itulah sekelumit kebahagiaan ayah yang masih tersimpan di memori pengharapannya.
Dan aku dengan jalan panggilanku, bahagiakah ayah dengan jalan hidup yang kupilih ini? Aku menunggu senyum ayah menyambut jubah putihku yang melangkah ke altar Tuhan, mempersembahkan diriku seutuhnya untuk kemuliaan Nama-Nya. Itulah doaku dan semoga juga menjadi doa dan harapan ayah, pemilik cinta yang hampir dilupakan.

Rumah Retret “Bintang Kejora” Pacet, 26 Juni 2015
Didedikasikan untuk ayahku.

Oleh
  Walter Odja Arryano, BHK
Readmore → Ayah, Pemilik Cinta yang Hampir Dilupakan

Wednesday, 17 June 2015

Foto Wisuda

Masing-masing orang mempunyai caranya sendiri-sendiri untuk mengabadikan momen-monen penting dalam hidupnya. Ada yang melakukannya melalui tulisan, rekaman video atau audio dan ada juga yang mengabadikannya melalui foto. Momen-momen yang diabadikan itu juga beragam, misalnya momen berkarya wisata ke suatu tempat terkenal nan eksotis, perayaan HUT kelahiran, pesta pernikahan, wisuda, dan sebagainya. Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi tentang keberadaan sebuah pigura yang dipajang di dinding kamar saya. Pigura itu berisi foto diri saya berbalut busana wisuda lengkap dengan atribut-atributnya. Itu adalah foto wisuda saya.
Pada 1 November 2014, saya mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup saya melalui sebuah foto berbingkai itu. Hari itu adalah hari ketika saya diwisuda menjadi seorang sarjana muda di bidang pendidikan (S.Pd) melalui serangkain acara yang khidmat dan meriah di sebuah universitas swasta di kota Surabaya. Upacara itu dilakukan setelah kurang lebih 4 tahun saya terdaftar sebagai mahasiswa di kampus tersebut.
Melalui SK yang berlaku terhitung mulai 1 Juli 2010, saya mendapat tugas perutusan studi. Pada waktu itu saya diberi tanggung jawab oleh pimpinan untuk menempuh pendidikan tinggi jurusan pendidikan bahasa Jerman di sebuah universitas negeri di kota Surabaya. Namun saya dinyatakan tidak diterima setelah menjalani serangkaian tes masuk. Setelah berkonsultasi dengan pimpinan waktu itu, akhirnya saya mendaftarkan diri untuk berkuliah di Universitas Wijaya Kusuma Surabaya mengambil program studi pendidikan bahasa Inggris. Mulai saat itu saya tercatat sebagai salah satu mahasiswa di kampus swasta tersebut.
Menjalani tugas perutusan sebagai religius studi adalah hal yang tidak mudah bagi saya. Saya adalah biarawan satu-satunya yang menjadi mahasiswa di kampus itu dengan mayoritas mahasiswa non Katolik. Berbagai kesulitan pun saya hadapi terutama pada masa-masa awal perkuliahan.
Saya lulus SMA tahun 2004, itu artinya telah 6 tahun saya tidak berhubungan dengan dunia pendidikan. Ada materi-materi pelajaran yang diperoleh di bangku sekolah menengah dulu yang sudah mulai dilupakan. Dari segi usia, 95 % teman-teman saya adalah mahasiswa dengan rata-rata usia 6-7 tahun di bawah usia saya. Hampir semua dari mereka adalah generasi yang hidup dan dibesarkan dalam ruang lingkup kehidupan kota besar yang kualitas pendidikannya sudah maju dengan tunjangan fasilitas yang mumpuni sehingga menjamin mereka memiliki pengetahuan dan wawasan yang jauh lebih luas dan tingkat kepercayaan diri yang cukup tinggi. Bagi mereka, seorang guru adalah mitra diskusi, tempat setiap pertanyaan dituju, kolega belajar bahkan rival debat atau teman berbagi.
Hal ini sungguh jauh berbeda dengan pola pendidikan yang saya alami. Saya berasal dari daerah yang kehidupannya tidak semaju teman-teman saya. Mutu dan fasilitas pendidikannya juga berbeda. Seorang guru di tempat saya adalah sosok yang disegani bahkan ditakuti. Tidak semua siswa bisa berinteraksi dengan guru secara bebas entah dalam konteks belajar atau relasi di luar sekolah. Akibatnya siswa-siswi menjadi lebih pasif dan kurang percaya diri. Hal itu juga yang saya alami. Tentu tidak semua mengalaminya seperti saya.
Selain itu masih ada hal-hal lain yang menjadi kendala bagi saya dalam menjalani masa-masa awal studi diantaranya, saya menjadi minoritas dari segi budaya, suku, bahasa dan agama. Selama satu setengah tahun (3 semester) saya pergi dan pulang kampus menggunakan angkutan umum dengan jarak tempuh rata-rata 1 jam dalam perjalanan.  Artinya, jika perkuliahan dimulai pada pukul 08.00 saya harus sudah berangkat paling lambat pukul 07.00 agar tidak terlambat. Jalur angkot yang berliku-liku, masuk keluar gang, sering macet pada suasana kota besar yang padat, ramai, bising dengan suhu udara yang amat panas dan di lain waktu terpaksa basah kuyup oleh karena kehujanan yang tak terhindarkan. Semua itu menambah daftar kesulitan yang saya alami pada masa-masa awal perkuliahan. Bisa dibayangkan betapa besarnya tantangan yang saya hadapi dalam menyesuaikan diri dengan semua itu. Bukan berarti saya manja atau ingin menunjukkan kesombongan diri saya tetapi itu realita yang pernah saya alami.
Puji Tuhan, pada akhirnya saya mampu melalui semua proses adaptasi itu dengan baik. Semua itu berkat dukungan yang diberikan oleh para saudara sekomunitas. “Entah sebagai mahasiswa yang kerjanya menghabiskan uang kongregasi maupun sebagai kepala sekolah yang menghasilkan banyak uang untuk kongregasi, kita semua sama-sama sedang menjalani tugas perutusan kongregasi. Yang paling penting kita menjalaninya sepenuh hati dan bertanggung jawab sebagai bentuk persembahan diri kita untuk kongregasi, Gereja dan sesama”. Kata-kata peneguhan yang pernah diucapkan oleh seorang frater itu menjadi pelecut semangat saya tatkala rasa lelah menghampiri lantaran rutinitas perkuliahan yang menjenuhkan.
Masa kuliah 8 semester pun akhirnya berlalu setelah 4 tahun saya bergulat dengan tugas perutusan ini.  Ada pengalaman suka dan duka yang turut mewarnai. Ada tawa dan canda yang turut menghiasi. Ada pula sakit dan kecewa yang kadang menghantui perjalanan saya pada masa-masa ketika predikat mahasiswa disematkan pada pundakku. Masa-masa yang indah namun penuh perjuangan.
Berbagai penggalan kisah pun terukir indah di singgasana hatiku dengan beragam topiknya. Mulai dari kisah inspiratif penuh hikmah hingga cerita melankolis ala mahasiswa; mulai dari kisah petualangan penuh tantangan hingga cerita konyol sebagaimana dialami mahasiswa pada umumnya. Semua itu menjadi pengalaman berharga bagi hidup dan turut memberi andil bagi perjalanan panggilan saya.
Sebuah foto yang terpajang di kamar saya itu merekam semuanya. Keberadaannya bukan untuk memberitahukan kepada semua yang melihatnya bahwa saya adalah seorang sarjana. Bukan! Bukan untuk itu! Apalah artinya bagi seorang sarjana apabila ia tidak mampu mengaplikasikan ilmu yang diperolehnya di perguruan tinggi kepada orang lain sesuai dengan medan karya dan panggilan hidupnya. Hal itu juga yang menjadi tantangan tersendiri bagi diri saya secara pribadi.
Saya sengaja memajang foto wisuda saya di tempat yang mudah dilihat dengan maksud agar saya selalu sadar bahwa kongregasi telah membekali saya dengan ilmu pengetahuan yang cukup dan pengalaman yang memadai dan saya hendaknya bertanggung jawab dengan bekal yang diberikan itu untuk dipersembahkan demi kemuliaan nama Tuhan dan hidup saya mampu menjadi berkat bagi sesama melalui cara hidup dan karya pelayanan yang saya embani.
Selain itu, foto itu juga menjadi bagaikan meterai yang mengabadikan ingatan saya akan sebuah proses yang pernah saya lakoni. Sebuah proses yang menurut saya tidak mudah namun memiliki sumbangsih bagi pengembangan diri saya dalam perjalanan hidup yang sedang saya jalani ini. Dekianlan foto itu memerankan fungsinya sebagai media bagi saya untuk mengabadikan salah satu momen penting dalam hidup saya. Sebagaimana yang telah saya utarakan pada awal tulisan ini. 
Readmore → Foto Wisuda