Monday, 20 April 2015

Ada Rindu dari Surga

“Ibu adalah wanita terhebat di dunia ini. Selamat hari ibu.” Seorang sahabat menulis status di account  FB-nya demikian. Rangkain kata-kata itu mengusik pikiranku. Sungguhkah seorang pribadi bernama ibu adalah wanita terhebat di muka bumi ini?
Di suatu malam yang sunyi, aku duduk merenung, mencermati makna yang tersirat di balik deretan kata-kata yang baru saja kubaca di media sosial itu. Ditemani temaran kawanan bintang yang sedang asyik mendandani langit berpesona remangan cahaya rembulan malam itu, aku bangkit menatap angkasa ingin menggugat surga, kediaman abadi ibuku. “Sungguhkah ibu adalah wanita terhebat sehingga hampir semua lidah mengakuinya? Tuhan, tunjukkan kuasa-Mu! Biarlah ibuku memberi jawaban untuk membuktikan dirinya sebagai wanita terhebat di dunia ini agar rindu ini terobati, sakit kehilangan ini tersembuhkan, agar benak ini tak sangsi lagi dan lidah ini tak kelu tatkala hati teguh mengumandangkan kehebatannya seperti yang diungkapkan sebayaku!”
Entah apa jawaban dari surga kala itu, namun satu hal yang masih terlukis indah di hati ini adalah bahwa Tuhan telah menepati janji-Nya. Dia menunjukkan kuasa-Nya dengan menghadirkan ibuku melalui sosok yang tersamarkan dalam wujud air mata yang tak kuasa kubendung. Butiran-butiran bening yang pecah dan membasahi pipiku kala itu menjadi bukti reaksi surga menanggapi gugatanku perihal kehebatan seorang wanita yang menjadi ibuku. Aku terharu akan kasih Tuhan dan cinta ibuku yang selalu ada walau raga ini tak bisa memeluknya lantaran maut yang telah memisahkan kami. ***
Ibuku telah lama meninggal dunia. Ia meninggalkan seorang suami yang menjadi ayah kami, tiga orang puteri, kakak-kakakku, serta dua orang putera, aku dan adikku. Ketika ibu meninggal, aku berusia sekitar tiga tahun. Itu berarti kami telah menjalani hidup tanpa seorang istri dan ibu sejak lebih dari 28 tahun silam. Bagaimana rasanya hidup selama itu tanpa sesosok pribadi yang menduduki posisi penting dalam rumah tangga kami?! Tidak ada seorang istri yang mendampi ayahku dalam menahkodai biduk rumah tangga yang telah mereka bangun bersama; tidak ada seorang ibu yang menyiapkan sarapan buat ayah sebelum beliau ke ladang dan bagi putera-puterinya sebelum mereka berangkat ke sekolah; tidak ada seorang sahabat yang menjadi terman curhat bagi ketiga kakakku; tidak ada seorang mama yang menyusui adikku dan tidak ada lagi sejumlah litani tugas ibu yang lainnya. Yang ada hanyalah kesedihan dan kehilangan serta tuntutan hidup mandiri yang datang belum pada waktunya. Ayahku dituntut melakoni peran ganda sebagai bapak sekaligus ibu bagi kami. Kakakku yang sulung dipaksa mandiri, membantu ayah mengambil alih peran ibu walaupun usianya masih sebagai seorang dara yang baru beranjak remaja. Sungguh sedih, sangat kehilangan dan langkah kami tertatih-tatih. Itulah potret rumah tangga yang dibangun ayahku semenjak kepergian istrinya, ibu kami.
Aku adalah anak kesayangan ibu. Ibu sangat memanjakanku. Begitulah ayahku sering bernostalgia tentang cinta ibu bagiku yang diamini oleh ketiga kakakku. Bersama sang ayah, ibu rela meninggalkan kenyamanan kampung halamannya hanya ingin menyelamatkan hidupku dari “kekuatan-kekuatan lain” yang mengganggu. Dari kampung ke kampung terus berpindah-pindah, mencari ketenangan jiwa sembari mengusahakan berbagai langkah alternative sebagai silih atas amukan badai yang terus menggerogoti ketenangan bahtera keluarga kami. Saban hari suara tangisku memekik di keheningan malam tanpa ada penyebab yang jelas. Tak terkira seberapa seringnya aku sakit oleh deraan “angin kiriman” yang meyiksa tubuh mungilku. Demikianlah sang dukung kampung mengdiagnosis. Entah benar atau tidak namun itulah yang terjadi pada masa kecilku. “Karena alasan-alasan itulah, ayah bersama ibumu rela meninggalkan kampung, meninggalkan rumah tembok satu-satunya di kampung ini waktu itu, rumah yang ayah bangun dari hasil jeri payah ayah sebagai tukang gergaji kayu hutan yang didukung oleh kerja keras ibumu. Ibumu bersikeras mengambil langkah itu hanya untuk menyelamatkanmu. Begitu besar kasih sayang ibumu terhadapmu, nak. Dia pergi dari rumah ini hingga tak kembali lagi untuk selama-lamanya”. Ayahku pernah berkisah demikian di suatu senja di kediaman kami yang baru yang ayah bangun lagi di atas bekas bangunan rumah lama kami yang telah runtuh oleh gempa bumi melanda pulau Flores medio 1992. Ayah menuturkan kisah ini di liburan pertamaku setelah sekitar 9 tahun aku pergi dari rumah untuk menjalani pilihan hidupku sebagai seorang pengabdi di suatu lembaga religius di sebuah kota di pulau Jawa. Besarnya kasih sayang ibu terhadapku dilatarbelakangi alasan bahwa aku adalah satu-satunya putera ibu waktu itu semenjak kakakku yang laki-laki meninggal dan adikku belum terlahir. Kehadiranku menjadi alasan ibu melakukan apa saja agar aku tetap terlindungi. Bahkan menurut cerita, pada waktu menjelang ajalnya, ibu pernah berpesan khusus pada kakakku untuk selalu menjagaku. Apa yang ibu inginkan dariku? Bukankah anak-anak ibu masih ada yang lain? Mengapa aku menjadi istimewa di mata ibu? Mungkinkah karena aku putera pertama ibu yang akan menjadi penanggung jawab dan penerus trah keluarga yang dibangunnya bersama ayahku? Entalah!?
Namun, satu hal yang pasti bahwa kini, hati ini masih terus merindukan belaiannya, jiwa ini masih mendambakan curahan kasih sayangnya dan raga ini masih mengharapkan kehangatan pelukannya walau hari-hariku kian lelah oleh jarak yang tak terjamah pada bayangan surga, rumah abadi kediaman ibuku yang ternyata masih dalam fatamorgana.
Pengalaman kehilangan figur ibu bagi setiap kami mempunyai ceritanya masing-masing. Tidak banyak kisah bersama ibu yang mampu kurangkai menjadi cerita indah tentang kami, seorang ibu bersama putera kesayangannya. Bahkan sampai saat ini aku tidak mengenal wajah ibuku sendiri. Semua tentang ibu telah pergi bersama lajunya sang waktu yang terus beranjak. Yang tersisa hanyalah nostalgia ayahku, dongeng pelipur lara yang diberi judul “Mama” oleh kakak-kakakku dan kerinduan seorang putera yang pernah istimewa di hati ibu serta asaku, asa seorang anak manja yang kini sudah tumbuh dewasa untuk bertemu ibunya, hanya ingin menyampaikan isi hatinya yang terdalam, “maah, aku sangat merindukan mama”.  ***
Sebentar lagi waktu akan berpijak pada Senin, 20 April 2015, waktunya aku merayakan ulang tahun kelahiranku yang ke-31. Hasrat hati ingin berbagi kebahagiaanku bersama ibu yang mengandung dan melahirkanku. Namun apa daya surga-Nya tak kuasa kugapai. Bukan karena jarak yang memisahkan tetapi ini tentang waktu yang belum mengijinkanku. Aku masih mengembara di alam fana ini sementara ibuku telah bahagia di kebakaannya, di kediaman Bapa dan para kudus-Nya.
Pukul 00.00, tanggal 20 April 2015. Waktu itu pun tiba. Di pojok rohani di salah satu sudut kamarku, aku bertelut bersimbah rindu, mengakat hati sembari meluapkan hasrat jiwa yang tak tertahankan. “Maah, masih ingat, kan? Hari ini aku ulang tahun. Usiaku kini telah 31 tahun dan aku sudah besar, ma. Putera kecil mama kini telah tumbuh dewasa. Sejak kepergian mama 28 tahun silam duniaku menjadi sangat berbeda. Bersama ayah dan anak-anak mama yang lain, langkah kami tertatih-tatih menjalani hidup ini. Kadang kami jatuh terkulai lantaran kehilangan pijakkan penyangga hidup. Kadang hati kering dan jiwa kami rapuh oleh kehausan akan kasih sayang mama. Terbesit niat ingin menggunggat surga atas ketidakadilan yang kami alami. Mengapa mama tega meninggalkan kami? Mengapa Tuhan memanggil pulang mama ketika jiwa kami masih merangkak dan tubuh kami masih goyah? Namun keinginan kami tetaplah menjadi harapan kami dan rancangan Tuhan tetaplah menjadi kendehak-Nya. Bersama sang waktu yang terus bergulir kami pun terus melangkah dalam kepasrahan yang menjadi tuntutan tak terelakan di kala prahara ini melanda biduk rumah tangga yang telah dibangun mama bersama ayah. Walaupun langkah kami gontai, jiwa kami remuk dan asa kami seakan sirna namun kaki kami harus tetap berpijak, beranjak menyongsong hari menuju ke batas petang sampai senja berlalu hingga malam pun beranjak untuk menyambut rona mentari lagi. Di muara segala pencarian ini, kami akhirnya menyadari bahwa Tuhan telah menyediakan rencana indah di setiap jejak-jejak langkah kami, ada sungai kasih di ujung pijakkan jiwa kami yang haus. Terima kasih untuk Dia yang mama sembah di surga-Nya. Terima kasih untuk seorang suami yang mama tinggalkan untuk menjaga kami. Terima kasih untuk puteri sulung mama yang telah menjadi segalanya buat kami. Menjadi kakak sekaligus ibu bagi kami rasanya belum cukup untuk disematkan padanya karena dia memang lebih dalam segalanya. Dan juga terima kasih untuk sanak saudara mama yang dengan caranya telah mewarisi cinta mama kepada kami. Mama, kami sangat bersyukur atas pribadi-pribadi penuh kasih yang telah rela menjadi perpanjangan tangan mama dalam membimbing, mengarahkan dan memelihara kami.  Terima kasih atas keagungan cinta mama yang selalu ada buat kami sebagi sosok yang tersamarkan dalam diri mereka.
Kini aku, putera kesayangan mama telah melangkah jauh di jalan pilihanku. Sebuah jalan hidup yang juga adalah kehendak Dia yang memanggilku. Aku bahagia memilih jalan ini, ma. Demikian juga ayah dan putera-puteri mama yang terus mendukung dan mendoakanku. Aku berharap mama juga demikian. Aku memilih jalan ini bukan karena ingin lari dari tanggung jawabku sebagai salah satu penerus keluarga kita. Kewajibanku seperti yang diharapkan mama tetap akan kujalani tentu dengan caraku.
Mama, pada tepian refleksiku, aku akhirnya tersadar akan cara Tuhan menyiapkan jalan hidupku. Mama telah pergi untuk selamanya ketika aku masih kecil adalah kebijaksanaan Tuhan dalam menata diri dan seluruh adaku untuk kelak aku siap sebagai pengabdi di jalan panggilan-Nya. Aku bersyukur untuk anugerah ini. Bahwa kepergian mama adalah anugerah terindah bagi jalan hidupku. Mama, ternyata aku tetap istimewa di hati mama. Ah, rindunya hati ini tak tertahankan. Ingin kumemeluk dan dan terlena di pangkuan mama sembari mengungkapkan madah jiwa yang telah sekian lama termaktup di singgasana hatiku: terima kasih atas keagungan cinta mama untukku”.
Menulis tentang ibu serasa melangkah di jalan tak berujung. Susah menemukan tempatnya bahkan hanya untuk sekedar membubuhi tanda titik bahwa kisahnya telah berakhir. Menulis tentang ibu adalah menguraikan cerita tentang kisah yang tak ada ending-nya. Itu tentang memulis, apalagi kalau judulnya adalah curhat yang saat ini sedang kulakukan bersama ibuku yang jasadnya telah berpusara tetapi jiwanya masih diam di relung hati ini, di kelenaan alam rinduku. Namun, aku harus mengakhirinya agar malamku mampu merengkuh mimpi indahnya dalam tidurku bersama-Nya sembari menengadahkan asa bahwa dengan kuasa-Nya, Dia mau mempertemukan aku dengan ibuku agar ocehan bertema rinduku pada dirinya ini menemui tanda titiknya sendiri dan kisah tentang pengembaraan rasa rinduku juga menemui jalannya sendiri untuk berlabuh. “Selamat ulang tahun, anakku. Peluk, cium dan sayang dari mama untukmu.” Suara ibuku membawa rindunya dari surga.

Oro Oro Dowo 58 Malang, 20 April 2015
Didedikasikan untuk seorang penghuni surga yang pernah menjadi ibuku

  Walter Odja Arryano, BHK
Readmore → Ada Rindu dari Surga

Thursday, 9 April 2015

Menjadi “kaya” karena Mau Berbagi

"Saya tidak akan kaya dengan memiliki uang Rp 2.000,- tetapi saya akan “kaya” dengan memberi uang Rp 2.000,- kepada orang lain yang sangat membutuhkan".
Suatu hari, dalam perjalanan pulang dari kampus, saya menumpangi sebuah angkot seperti biasanya selepas kuliah. Ada empat orang penumpang dalam angkot itu, seorang ibu dan puterinya yang baru saja pulang jualan, seorang ibu yang lain dan saya. Seperti sopir-sopir angkot lainnya, sopir angkot yang kami tumpangi ini melajui mobilnya dengat sangat lambat bak siput merangkat di suatu senja, lelet tingkat akut.
Tiba-tiba seorang ibu yang duduk persis di sebelah pintu mobil memperlihatkan ekspresi wajah dan gerak tubuh yang sangat jelas menunjukkan bahwa ia sedang cemas. Seperti sebagian orang yang melakoni hidup di kota besar yang cenderung cuek, egois dan individualis, tanpa mau tahu dengan situasi orang lain bahkan di depan matanya sendiri. Demikian pun saya dan si ibu beserta puterinya itu. Kami tidak mau peduli dengan persoalan yang dihadapi sesama penumpang kami bahkan sebuah bentuk peduli yang sangat sederhana pun seperti menanyainya, “bu, ada apa?!”, itu tidak kami lakukan. Sungguh sebuah gaya dan mentalitas hidup kota telah memengaruhi kami.
Akhirnya ibu itu memberanikan diri menyampaikan masalah yang dihadapinya. Ternyata dompetnya ketinggalan di rumahnya dan dia tidak memiliki uang sepeser pun untuk membayar ongkos angkot yang hanya sebesar Rp 2.000,-. Dia mencoba mengutarakan permohonan kepada ibu beserta puterinya itu jika sekiranya berkenan memberinya uang Rp 2.000,- untuk membayar jasa angkot yang telah membawanya lumayan jauh dari tempat tinggalnya.
Jawaban yang diperolehnya sangat mengecewakan. Ibu itu mengatakan bahwa dia tidak memiliki uang. Sungguhkah?! Entalah. Benar atau tidak hanya dia yang tahu, mungkin juga puterinya. Tentu selain Tuhan yang di “atas” sana. Bagaimana dengan saya? Ada dorongan dari dalam yang dimotori oleh spirit hati yang tergerak oleh belaskasihan buah warisan Sang Guru Ilahi, saya ingin membantu. Namun cinta kasih yang diterjemahkan dalam aksi nyata saya ini terbentur pada dua hal, entah kultur ataukah kepribadian.
Benarkah budayaku memeluk ajaran bahwa bantuan hanyan boleh diberikan kepada orang yang memohonnya. Kalau tidak demikian berarti masalahnya terletak pada kepribadianku. Betapa “miskin”nya diriku. Sebagai seorang penghayat spiritualitas hati yang menjalani hidup dengan hati sebagai pusat dan asal segala pertimbangan untuk bertata cara dan berperilaku, seperti inikah sikapku? Dimana kepedulianku?
Singkat cerita, ibu itu ingin mengambil keputusan untuk turun di tengah perjalanan walau tempat tujuannya masih jauh dan udaranya sangat panas di tengah siang yang terik dengan suasana riuh oleh geliat masyarakat kota. Ia berniat jalan kaki saja lantaran ketiadaan ongkos. Entah atas dasar apa, saya mendadak jadi peduli. “Bu, saya punya uang, ibu bisa pakai ini”. Kataku sambil menyerahkan selembar uang Rp 2.000,-. Yah, hanya dua ribu rupiah.
Terlihat jelas ekspresi bebas yang merona di senyumannya. Dia merasa bebas dari rasa cemas dan malu dan tentu juga merasa bebas dari sengatan terik matahari jika seandainya dia terpaksa jalan kaki. Imbalan yang saya peroleh dari aksi peduli dadakan itu adalah ucapan terima kasih yang secara berulang-ulang disampaikannya dengan tulus.
Sepanjang perjalanan pulang siang itu, saya terus merenungi peristiwa itu hingga saya mendapatkan sebuah inspirasi bahwa saya tidak akan pernah kaya dengan memiliki uang Rp 2.000,- tetapi saya akan “kaya” dengan memberi kepada orang lain yang sangat membutuhkan walau itu hanya berupa uang sebesar Rp 2.000,-. Inspirasi ini mengamini sebuah renungan (refleksi) yang pernah saya baca bahwa bantuan sekecil apa pun sangat berarti bagi mereka yang sangat membutuhkan. “Terima kasih, bu, keteledoran ibu telah memberiku inspirasi”, doa syukurku.
Readmore → Menjadi “kaya” karena Mau Berbagi